"Saya permisi ke toilet sebentar ya? Tidak usah diantar Sesil. Kami lumayan sering numpang makan malam di sini. Jadi saya tahu jalannya," ujar Valdo. Lara mengiyakan dengan senyum kecil. Valdo ini karakternya santai dan ceria. Beda dengan Sakti yang berwajah datar."Hallo Sesil, akhirnya kita bertemu lagi. Kamu masih ingat pada saya tidak?" Sakti baru bersuara setelah punggung Valdo tidak terlihat lagi. Degh! Lara gelisah. Sakti mengenal Sesil rupanya. Tetapi mengapa Sakti tidak mengenali wajah Sesil? Aneh sekali. "Silakan duduk, Sakti. Maaf, saya tidak mengingatmu. Kalau saya boleh tahu kita berkenalan di mana ya?" tanya Lara hati-hati. Ia tidak boleh salah bersikap. Setelah Sakti duduk, Lara ikut duduk di depannya."Di sekolah Bina Bangsa. Saya adalah anak baru kelas lima SD sewaktu dipindahkan dari Bandung ke Jakarta. Nama lengkap saya adalah Sakti Alamsyah. Sampai di sini kamu sudah bisa mengingat siapa saya belum?" Sakti menghempaskan pinggulnya pada sofa yang empuk.Sakti yan
Bagas melirik Sesil yang membolak-balik tubuhnya gelisah. Saat ini Sesil bersiap tidur, sementara dirinya masih mempunyai beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Makanya ia masih duduk di kursi meja rias sambil memeriksa beberapa folder di laptop. Akhir-akhir ini Bagas memang lebih suka bekerja di kamar daripada di ruang kerja. Ia tidak tahu penyebabnya. Padahal dulu, ia tidak suka ada suara jikalau sedang fokus bekerja. Sekarang ia santai saja mendengar suara batuk Sesil, atau gerakan-gerakan lain istrinya yang mengeluarkan suara.Sementara Lara yang tengah gelisah memikirkan rencana balas dendam Sakti, tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Sakti akan beraksi sebelum ayahnya pulih menggentarkannya. Lara berbalik kembali. Bibirnya berdecak kesal. Ia benar-benar kehilangan kantuknya."Kenapa kamu gelisah? Pasti kamu tengah memikirkan masa lalumu bersama Sakti ya? Kamu ingin mengulang manisnya cinta pertama masa lalu bersamanya bukan?" tuduh Bagas sinis. Ia yakin pasti ada sesuatu a
"Sini!" Bagas dengan gesit merebut ponsel yang disembunyikan Sesil di belakang tubuhnya. Bagas penasaran siapa yang menelepon hingga Sesil ketakutan seperti ini."Kembalikan ponsel saya, Mas!" Lara yang panik berusaha merebut kembalinya ponselnya. Bagas yang sudah menduga akan aksi Sesil, mengangkat ponsel hasil rampasannya tinggi-tingi ke udara, agar Sesil tidak dapat menggapainya."Kembalikan, Mas. Ponsel itu privacy saya!" Lara melompat-lompat. Berusaha menggapai ponsel yang masih diangkat tinggi oleh Bagas."Akan saya kembalikan kalau kamu mau mengatakan siapa yang menelepon. Kalau tidak, jangan harap." Kalimat Bagas terhenti ketika ponsel kembali berdering. Tanpa pikir panjang Bagas segera mengangkatnya."Hallo, ini siapa?" Lara memejamkan mata saat Bagas benar-benar mengangkat telepon dari Priya. Hancur sudah. Semua kebohongannya akan segera terungkap. "Lara? Anak supir Pak Hardi?"Lara merasa darahnya turun semua ketika mendengar Bagas menyebut namanya dan juga profesi ayahny
"Kalau ponsel Mas kehabisan daya, sini saya charge." Lara mengulurkan tangan. Meminta Bagas menyerahkan ponselnya. "Ponsel Mas ini ponsel grade tinggi. Jadi fast charging. Sebentar saja dicharge pasti sudah full." Lara mengubah topik pembicaraan. Ia ingin Bagas fokus pada masalahnya. Yaitu mengisi daya ponselnya sendiri. Bukan meminjam ponsel orang lain.Bagas melirik Sesil. Ia tahu Sesil berusaha mengubah topik pembicaraan. "Saya bisa mencharge sendiri ponsel saya. Toh chargernya di sini." Bagas menunjuk sakelar di atas nakas."Yang saya inginkan adalah menggunakan ponselmu. Boleh tidak?" Bagas memperjelas maksudnya. Sadar kalau Bagas tidak terpancing dengan aksinya, Lara mengalah. Lara beringsut dari ranjang. Membuka laci nakas dan mengeluarkan ponselnya. Kalau ia bersikukuh tidak ingin meminjamkan ponselnya, Bagas pasti akan makin curiga."Mmm... boleh. Tapi sebentar ya, Mas. saya ingin memeriksa apakah ada panggilan yang-- apa-apaan sih, Mas?" Lara terperanjat ketika Bagas tiba
Tiga minggu kemudian.Lara berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah hebat tatkala aroma nasi goreng menerpa penciumannya. Ia baru saja menyusul Bagas dan Pak Jaya ke dapur untuk sarapan pagi bersama. "Kamu kenapa, Sil?" Tergopoh-gopoh Bagas beringsut dari kursi menyusul Sesil ke kamar mandi. Bagas tahu sudah seminggu ini Sesil kurang enak badan. Makanya sudah seminggu ini pula Sesil absen membantu Mbok Sum dan Tinah di dapur. "Saya nggak apa-apa, Mas. Cuma agak mual dan pusing saja." Lara menekan tombol flush closet yang berisi cairan asam lambung perutnya. Setelahnya ia berkumur-kumur dan membasuh mulutnya di wastafel. Karena tidak ada makanan yang masuk ke perutnya, yang ia muntahkan pun hanya berupa cairan asam kekuningan saja."Sudah dari kemarin saya memintamu ke rumah sakit untuk medical check up. Tapi kamu selalu menolak. Kali ini saya tidak mau tahu, kamu harus segera check up." Bagas mengomeli Sesil di ambang pintu kamar mandi."Saya nggak apa-apa, Mas. Paling cuma masuk an
Bagas mondar mandir di ruang tunggu IGD. Ia gelisah menunggu kabar dari dokter jaga yang tengah memeriksa Sesil. Saat Sesil pingsan, dirinya dan ayahnya langsung membawa Sesil ke rumah sakit terdekat. Aris yang menyopir, karena ayahnya tidak membolehkannya menyetir. Alasan ayahnya agar dirinya fokus menjaga Sesil di jok penumpang. Bagas memindai jam di dinding. Dua puluh menit telah berlalu. Namun dokter IGD belum juga keluar dari ruangan. Entah apa yang diperiksa oleh dokter IGD tersebut, karena sudah begitu lama tapi belum juga ada hasilnya."Kamu duduk saja dulu, Gas. Ayah pusing melihatmu hilir mudik begini. Kecemasanmu tidak membuat Sesil cepat siuman." Pak Jaya mengomeli putranya. Namun dibalik omelannya Pak Jaya bahagia. Sikap Bagas ini menunjukkan bahwa putranya sudah mulai ada rasa pada Sesil."Nah, itu dokter sudah keluar." Pak Jaya bergegas berdiri saat dokter keluar dari ruang IGD. Bagas mengikuti aksi ayahnya. Berdua mereka segera menyambut kedatangan dokter."Bagaimana
"Tolong sabar sebentar lagi, ya? Kamu sudah tahu perihal Pak Ibas bukan? Saya masih sibuk mengurus masalah ini. Tapi kamu jangan khawatir. Setelah masalah Pak Ibas selesai, saya janji, saya akan menyelesaikan masalahmu secepatnya. Sabar dulu ya, Ra?""Baik. Sesil tunggu janji Ayah. Jangan lupa akan tanggung jawab Ayah pada Pak Yono. Sesil tutup dulu teleponnya ya, Yah? Sesil ingin istirahat." Lara mengakhiri pembicaraan. Ia tidak tahan berlama-lama bersandiwara dengan Pak Hardi. Akan halnya Bagas, diam-diam ia menyerap semua pembicaraan Sesil dengan ayahnya. Ada yang aneh dalam pembicaraan ayah dan anak ini. Sesil tampak sangat kaku selama berbicara dengan ayahnya. Tiada kehangatan atau kemanjaan di sana. Padahal menurut ayahnya Sesil ini sangat manja dan dekat dengan ayahnya. Selain itu Sesil membicarakan tentang tanggung jawab, janji dan juga menyinggung nama Pak Yono. Rasanya sangat aneh kalau lebih khawatir akan keadaan supirnya daripada ibunya sendiri. Sesil sama sekali tidak me
Bagas menekan pedal gas dalam-dalam. Selain ia memang ingin menuntaskan hubungannya dengan Agni, ia juga ingin kembali ke rumah sakit secepat mungkin. Menurut ayahnya Sesil sedang kesal padanya. Dan tentu itu tidak baik. Karena mood ibu hamil sangat mempengaruhi janin. Bagas tidak ingin kalau janin dalam kandungan Sesil kenapa-kenapa. Setelah mengetahui bahwa dirinya akan menjadi seorang ayah, aura kebapakannya keluar dengan sendirinya. Bagas membelokkan mobil ke area kebun teh milik ayah Agni yang rindang. Di depan pondok yang indah nan asri itu tampak mobil Agni sudah terparkir rapi di halaman. Sepertinya Agni sudah menunggunya cukup lama. Tanpa membuang waktu Bagas mematikan mesin mobil dan bergegas masuk ke dalam pondok."Akhirnya kamu datang juga, Mas." Agni beringsut dari kursi rotan yang ia duduki saat pintu pondok terbuka. Ia menyambut kedatangan Bagas dengan tangis lega. Sisa-sisa air mata terlihat masih menggantung di ujung-ujung bulu matanya."Aku rindu sekali padamu, Mas.
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia
Bagas yang duduk diam di kursi tunggu, seketika menegakkan punggungnya. Ia mendengar nama Sakti Alamsyah disebut-sebut. Kecurigaannya saat melihat sikap kaku antara Sakti dan Lara dulu ternyata benar. Ada sesuatu di antara mereka pada masa lalu. Hanya saja rupanya Sakti salah orang. Yang Sakti kira Sesil adalah Lara. Wajar mengingat mereka semua dulu bertemu sewaktu SD. Dalam diam Bagas mempertajam pendengarannya."Akhirnya kamu mengerti bagaimana sakitnya difitnah bukan? Itu baru sekali. Saya merasakannya hampir seumur hidup saya." Lara menengadah. Menatap langit-langit rumah sakit dengan senyum pahit."Gue nggak akan minta maaf pada lo, Ra." Sesil menggeleng."Karena gue tahu, kesalahan gue terhadap lo terlalu banyak. Gue nggak layak dimaafkan." Sesil menunduk pasrah. Ia sekarang sadar bahwa tingkah lakunya selama ini memang keterlaluan. Dirinya sangat egois karena tidak bisa melihat orang lain lebih darinya. Lara dulu lebih cantik, lebih pintar, lebih populer dari dirinya. Padaha
"Pelan-pelan jalannya, Ra. Nanti kamu jatuh." Bagas menahan langkah Lara, agar yang bersangkutan memperlambat laju langkahnya. Bagas ngeri melihat Lara yang seperti tidak ada capeknya padahal sedang berbadan dua. Berada dalam pesawat selama hampir satu setengah jam, yang dilanjutkan dengan berkendara dari bandara hingga rumah sakit, Lara tidak terlihat lelah sedikit pun. Rasa khawatirnya pada Pak Yono mengalahkan kelelahan fisiknya. Saat ini mereka telah tiba di gerbang rumah sakit. Selanjutnya mereka berjalan ke bagian Nurse Station untuk menanyakan ruangan Pak Yono."Selamat siang, Suster. Kami kerabat Pak Suryono yang tadi menelepon untuk deposit biaya operasi Pak Suryono tadi." Lara langsung menyatakan keperluannya pada sang perawat."Oh, ibu dan bapak Bagas Antareja ya? Ibu dan Bapak sudah ditunggu di ruang UGD oleh dokter Gani. Kalau Pak Suryono sendiri, beliau saat ini telah berada di ruang operasi. Pak Suryono akan segera di operasi. Silakan langsung temui beliau di sana saj
"Karena saya takut Mas mengira saya tidak bisa moved on dari Mas Priya. Makanya saya pikir, saya matikan saja," kata Lara terus terang."Mengenai mengapa saya menonton persidangan, itu karena semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama. Jadi saya tidak spesifik memilih chanel tadi," lanjut Lara lagi. Ia mengatakan hal sesuai fakta."Penjelasanmu masuk akal. Sini, lebih dekat pada, Mas, Ra." Lara celingukan sejenak sebelum merapatkan diri pada Bagas. Tidak enak juga duduk seintim ini di siang bolong. "Ra, Mas percaya padamu. Bahwa kamu tidak punya perasaan apapun lagi pada Priya. Dulu memang Mas cemburu pada Priya. Sebelum Mas tahu kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian pun, Mas masih cemburu. Padahal waktu itu status Priya adalah sepupumu bukan? Yang artinya ia tidak boleh menikahimu." "Lantas sekarang Mas tidak cemburu lagi? Padahal Mas Priya terbukti bukan sepupu saya? Kok rasanya aneh, Mas?" Lara tidak mengerti jalan pikiran Bagas."Tidak aneh karena sekarang Mas