“Hm… uang, ya? Atau hak Asuh Alan?” kata Lilis tampak seperti dia sedang berpikir, tapi kenyataannya dia tengah menertawakan Hendra sekarang. ‘Bagaimana rasanya mengemis padaku, Hendra? Apakah itu sakit? Kau pasti kesal dan marah menjatuhkan harga dirimu kan? Rasakan itu! Asal kau tahu, itu lah yang aku rasakan selama ini!’ Lilis berkata membatin, dia sangat puas saat ini, sebab Hendra lah yang berada di posisi pengemis.“Tawaranmu cukup bagus. Apakah aku harus mempertimbangkannya?” kata Lilis, dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang terasa lebih indah sekarang. Mungkin karena dia sedang di posisi yang baik, sehingga semua terlihat indah di matanya.Hendra yang mendengar Lilis akan mempertimbangkannya pun sedikit memiliki semangat. Mungkin pernikahannya masih bisa diselamatkan jika Lilis mau menerima tawaran itu. Setidaknya ada satu yang bisa dipertahankan.“Katakan saja, berapa uang yang kamu minta. Jika memang Alan yang kamu inginkan, meski berat
Hancur sudah semuanya, tak ada harapan untuk Hendra bisa melewati semua masalah ini. Dia termenung memikirkan nasibnya yang—entah mengapa—sangat memuakkan ini.Juwita tak mungkin kembali, sementara Alan sudah ada di tangan Lilis sekarang. Hendra tak punya apa pun untuknya memperjuangkan kehidupan. Semua hambar, semua tak berarti, hidupnya sudah di ambang kehancuran sekarang.“Harg!” teriak Hendra, membanting tangannya di atas meja. Dia sangat kacau sampai tak bisa mengontrol emosi.Apa sih maunya hidup ini? Kenapa selalu saja tidak berpihak pada Hendra? Dia dengan bodohnya mau dijual pada perempuan lain, hanya karena istri yang tidak mau hidup pas-pasan. Demi masa depan putranya, demi membuat istrinya tidak terus di dalam kemiskinan, Hendra mengiyakan permintaan itu.Dia juga merasakan betapa sakitnya terhina di sisi Juwita, dan berusaha menunjukkan pada wanita itu bahwa dia sudah tulus mencintai. Hendra bahkan sudah berpikir merelakan putranya pada Lilis, tapi Juwita lebih percaya vi
“Apa katamu? Kamu akan bercerai dengan Hendra?”Saat ini Armaja hampir saja pingsan mendengar perkataan putrinya. Pernikahan yang ditentang habis-habisan olehnya, tapi Juwita bersikeras berkata percaya pada suaminya, lalu sekarang Juwi ingin bercerai dengan laki-laki itu? Dia tidak mengerti dengan isi pikiran Juwita yang berubah sangat cepat.“Juwita, pernikahan bukan main-main, pikirkan sebelum kamu memutuskannya!”“Apa yang harus dipikirkan lagi, Pa? Jelas-jelas Hendra mencurangi putri kita, sudah sepatutnya mereka memang bercerai!” Maria yang langsung menjawab. Memang begitulah perempuan, mereka selalu sangat cepat termakan emosi, jika mendengar seorang suami berkhianat. Meski itu bukan suami sendiri atau bukan suami dari putrinya.“Tapi, Maria, kita belum mendengar penjelasan dari Hendra. Lagian, Hendra sudah menemuiku, dia berkata tidak berniat meninggalkan Juwita. Hendra hanya butuh waktu untuk mendapatkan Alan kembali.” Armaja orang yang bijak sana, begitu dia dikenal khalayak.
Kegaduhan itu akhirnya berhenti setelah Hendra memutuskan pergi. Tanpa perlu menjelaskan apa pun pada media, dia memilih meninggalkan rumah Lilis. Toh, di sana tak ada Alan, percuma juga dia mengamuk mencari putranya di sana.Setelah kepergian Hendra, baru lah Steve kembali ke rumah. Dia segera memeluk Lilis yang membukakan pintu untuknya. Orang-orang tidak ramai lagi, semua sudah kembali ke rumah masing-masing.“Bagus, Sayang, kamu melakukannya sangat baik!” Steve memuji Lilis, menggendong perempuan itu menuju sofa.Sebenarnya, setelah Hendra menelepon tadi, Lilis langsung mengatakannya pada Steve. Lalu Steve pun yakin Hendra pasti akan datang, sehingga dia menyusun rencana sangat bagus. Tidak salah dugaannya, Hendra langsung datang ke apartemen itu dan Lilis lagi-lagi mengabari pada Steve. Diam-diam Steve menghubungi kantor televisi yang selalu menyorot gosip para artis, berlagak sebagai orang asing melapor kalau Hendra tengah membuat gaduh di rumah Steve Jordan. Umpan tidak sia-sia
Tak sia-sia Lilis mengikuti perkataan Steve. Setelah kedatangan Hendra kemarin, sekarang Lili mendapat perhatian dari publik. Warga net banyak yang menaruh simpatik padanya, memberi dukungan dan berkata agar Lilis tidak pernah memaafkan laki-laki seperti Hendra. Bahkan, saat ini dia mulai mendapat undangan dari berbagai televisi, untuk menceritakan keretakan rumah tangganya bersama Hendra dulu.“Jadi, selama ini kamu berharap kembali pada Hendra, Lis? Soalnya di video itu kita semua melihat kamu yang mengatakan ingin rujuk dengan Hendra,” tanya host yang duduk di depan Lilis.Wajahnya dibuat sesedih mungkin, juga ada perasaan bersalah ketika melirik Steve, Lilis memang jago berakting.“Jujur aku sedih harus mengatakan ini. Steve suami yang baik, dia yang membuat aku kuat melewati semua ini. Ketika dulu Hendra meninggalkanku dan Alan, aku hampir bunuh diri. Tapi keberadaan Steve di sisiku selalu bisa membuat aku merasa berharga, dan aku sangat menghargai semua itu. Hanya saja...” Matan
Segera setelah Ratna menghilang ke dalam butik, Hendra pun keluar dari dalam mobilnya. Mengendap-endap dia menuju mobil yang membawa Alan, matanya awas melihat kiri kanan, memastikan tak ada yang melihatnya. Hendra menarik pintu mobil itu pelan, tetapi terkunci dari dalam.Tok! Tok!“Lan, buka pintunya, Nak,” kata Hendra, mengintip putranya yang menangis di dalam sana.Ternyata masih ada satu laki-laki tua berada di dalam mobil itu bersama dengan Alan. Hendra mengenalnya, dia adalah sopir yang dulu Juwita berikan untuk Alan. sopir itu tengah mendiamkan Alan yang menangis, membujuknya memakan biskuit.“Papa... papa!” teriak Alan melihat papanya di luar sana.Sopir tersebut tentunya takut melihat Hendra. Alan adalah tanggung jawabnya, bisa mati dia dibuat Lilis jika Hendra membawa Alan. Dia pura-pura tidak melihat Hendra.“Pak Amin, buka pintunya, Pak.”Sopir itu tetap tidak mau membuka, berpura tidak mendengar.“Papa... papa, tolong Alan, Pa. Alan nggak mau sama nenek itu!” Alan menang
Orang-orang masih melihat ke arah Hendra, mereka mengenalinya sebab sudah beberapa lama ini wajah Hendra bertebaran di sosial media dan televisi. Mereka pun mulai riuh bertanya apa yang dilakukan orang itu.“Bu, itu bukannya Hendra? Mantan suami Lisa, istrinya Steve Jordan yang belakangan ini viral?” kata mereka, memastikan tidak salah melihat.Ratna menjadi kesal, bukannya lekas mengusir atau memukul Hendra, malah mereka mulai sibuk mengambil video dan gambar.“Gila, sih. Selain merebut istri orang, sekarang malah jadi maling? Memangnya restorannya sudah tidak laku?”“Wah, ini harus disiarkan secara live di sosmed, pasti banyak yang bakal nonton.”Mereka mengambil kesempatan untuk mencari pengikut di media sosial. Ratna pun semakin geram, jika Hendra sampai mendapatkan Alan, akan hancur lah impiannya menjadi kaya seperti dulu.“Mas, Mbak, tolongin, dong. Dia itu lagi mengincar cucu saya! Dia pasti ingin memanfaatkan cucu saya untuk mendapatkan anak saya kembali!” kata Ratna, dia manf
Lilis berdiri membuat semua orang bingung. Kamera terarah padanya sehingga fokus pandangan semua penonton pun tertuju padanya. Kemudian, dia menyingkap perlahan-lahan ujung baju, menunjukkan beberapa bekas luka di pinggang.Semua orang terkejut, terdengar helaan napas bersamaan. Tak ubahnya dengan Steve yang ikut terbelalak matanya.“Lis, apa yang kamu lakukan!” Steve segera menarik ujung baju Lilis, dia ketakutan melihat luka-luka itu. ‘Sialan! Ini cewek mau mempermalukan gue?’Bekas luka yang Lilis tunjukkan adalah bekas pukulan Steve selama ini, yang tidak menghilang begitu saja. kalau Lilis sampai mengungkapkannya, maka karier Steve akan hancur sekarang juga.“Lisa, apa itu? Kenapa sangat banyak bekas luka di pinggangmu?” Host pun bertanya dengan wajah terkejut.“Tolong jangan mengatakan apa pun, Lis. Kita akan kehilangan kesempatan jika begini.” Steve berbisik memperingatkan, tapi Lilis justru membuka cardigan yang dia kenakan.“Di sini juga banyak.”“Cukup, Lisa, cukup!” kata St
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.