Bagus kelelahan, terduduk di lantai sambil menyandarkan punggungnya ke dinding rumah bercat putih itu. Sebuah mobil muncul di hadapan Bagus. Dengan sigap dia pun segera bangkit. Sang pengemudi keluar dari kendaraannya, sosok yang sudah ditunggu Bagus sejak tadi.
"Wah, ada apa gerangan, sosok kurir pengantar makanan datang ke sini? Apakah aku ada memesan sesuatu?" tanyanya. Pandai menyembunyikan keterkejutan akan kehadiran Bagus di depan rumah. Hanna kembali ke rumah karena ada sesuatu yang harus dia ambil.
"Hanna Rihanna Kumalasari." Bagus menyebutkan nama wamita tersebut dengan mantap.
"Ya?" tanya Hanna. Alisnya terangkat sebelah. Bingung kenapa Bagus bisa ada di sini.
Bagus menarik napas dalam-dalam. Ada rasa bimbang, tetapi dia mencoba memantapkan hati. Tidak ada pilihan lain, demi kesembuhan sang ayah.
"Aku mau menikah kontrak dengan kamu," ucap Bagus. Penuh keyakinan.
Hanna berkata pedas, didorongnya tubuh Bagus yang menghalangi jalannya masuk. Berdiri di depan pintu.Bagus ingin marah saat Hanna seperti tengah mendoakan ayahnya cepat mati. Namun, Bagus mencoba menahan diri sekuat mungkin. Dari pada makin emosi saat bersama dengan Hanna, Bagus memilih pergi saja tanpa sepatah kata dari kediaman wanita itu dengan tangan kosong.Hanna tersenyum lebar saat melihat punggung Bagus yang perlahan menjauh. Begitu masuk ke rumah, tawanya langsung lepas seketika. Hanna merasa sangat bahagia. Dia tertawa di atas penderitaan orang lain.Begitulah Hanna. Sesungguhnya adalah dia bisa saja menerima Bagus untuk menandatangani surat pernikahan kontrak mereka. Namun, pikiran Hanna berkata sebaliknya. Dia menolak dengan alasan pembalasan dendam."Aku tidak suka penolakan. Ketika dia menolakku maka dia harus merasakan hal yang sama. Sekarang dia tahu rasa! Bagaimana perihnya aku tola
Ashari mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak ada yang lebih penting bagi aku, selain uang," ucapnya lalu berjalan kembali menjauhi keponakannya itu.Ketika Ashari baru saja beranjak satu langkah, Bagus sudah tiga langkah ke depan. Menghalangi jalan pamannya. Membuat rasa jengkel Ashari kian membesar."Minggir, Bodoh! Kau mau aku hajar di sini? Jangan menggangguku. Aku tidak ada waktu untuk meladeni semua kata-kata kau!" bentak Ashari. Satu kepalan tangan sudah hampir mendarat di wajah keponakannya. Namun, dia urungkan sebab tidak mau memancing keributan di tempat umum.Bagus yang mengira kalau pamannya sungguhan mau mencelakainya, lelaki itu sudah memasang posisi menghindar. Memundurkan wajahnya, kedua netra itu juga sempat terpejam selang beberapa saat. Ketika merasa tidak ada apa pun yang terjadi, dia menatap sang paman dan berujar dengan lembut."Aku mohon, Paman. Dengarkan aku sekali ini saja," pinta
"Aku mohon Paman menyisihkan sebagian rezeki untuk membantu ayah dan juga beritahu keluarga lain, supaya kita bisa mengumpulkan uangnya bersama-sama," jawab Bagus."Aku tidak akan memberitahu mereka. Biarlah itu menjadi urusan kalian. Lagian juga kami tidak bisa membantu apa pun. Se peser pun kami tidak akan mau mengeluarkan uang. Meskipun pada akhirnya dia mati karena tak bisa dioperasi, ya, itu memang sudah ajalnya," balas Ashari enteng."Cukup, Paman! Jangan mendoakan ayah aku mati. Ayah itu masih anggota keluarga kita. Kalau saja aku tidak kepepet, aku tidak akan meminta seperti ini. Tapi kebetulan sekali bertemu dengan Paman. Anggota keluarga seharusnya saling membantu saat yang lain dalam kesulitan," ucap Bagus. Merasa geram dengan tingkah pamannya. Jika tidak membantu, setidaknya jangan menghina.Ashari mengendikkan bahu, bersikap cuek. "Kenapa kau marah? Perkataan aku itu benar. Kau tidak perlu meminta bantuan ke
Ketika Ashari menatap ke arah anak tersebut, tiba-tiba saja anak kecil itu berlari ke arah seorang wanita berambut panjang yang Ashari duga adalah ibunya."Kenapa anak itu lari? Apa dia mengira aku hantu?" Ashari bertanya-tanya, merasa jengkel. Tatapan Ashari memang tajam dan ekspresi wajahnya sungguh tidak enak dilihat. Hanya satu yang menggambarkan wajah Ashari, yaitu menyeramkan.Jarang tersenyum, mata setajam pisau, rahang tegas, rambut acak-acakan, kulit hitam, hidung agak mancung, dan kedua alis yang menekuk. Badan kurus kering, penampilan biasa saja. Raut wajahnya tak pernah membawa aura positif. Aura kegelapan yang ada.Ashari hanya bisa memandang anak kecil dan ibunya tersebut dari kejauhan. Anak kecil itu mengarahkan jari telunjuknya ke Ashari sambil melirik-lirik kecil, seperti masih ada rasa takut. Sementara sang ibu, hanya menatap Ashari sekilas lalu mencoba menenangkan anaknya. Mengelus lembut rambutnya.
Bagus langsung memasang muka masan. "Kan sudah aku bilang. Kau mau apa? Cepat katakan! Kalau tidak, aku pergi," tanyanya ketus.Asep meletakkan telunjuknya di bawah bibir. "Eumm, aku tahu, kenapa kau buru-buru sekali. Kau pasti sedang sibuk mencari biaya untuk operasi ayah kamu, kan?"Pertanyaan dari Asep, membuat Bagus terkejut. Bola matanya melebar, mulut terbuka sedikit, dirinya mati kutu. Tubuh menegak di tempatnya. Bagus merasa tidak pernah menceritakan apa pun soal kondisi sang ayah kepada Asep, lantas dari mana lelaki itu bisa tahu?Melihat reaksi Bagus yang membisu, Asep tertawa licik. Senang dia melihat penderitaan Bagus yang tak ada habisnya."Kalau diam, berarti omongan aku benar, kan?" Asep bertanya, memancing Bagus untuk berbicara."Dari mana kau tahu soal itu?" Bagus akhirnya buka mulut dan langsung bertanya ke intinya. Dia ingat tidak pernah memberitahu soal ayahny
Awalnya, Bagus tidak tertarik, hati dan pikiran tidak sinkron. Hati mengatakan untuk tidak mendengarkan satu kata pun yang keluar dari mulut Asep karena apa yang dia sampaikan, itu tidak pernah beres.Pikiran berkata sebaliknya. Mengingat kalau Asep adalah lelaki yang mudah sekali mendapatkan uang banyak dalam waktu cepat, membuat Bagus begitu penasaran. Di saat genting begini, dia akan melakukan apa pun. Alhasil, langkahnya pun berhenti. Sebuah kode kalau Bagus mau mendengar saran dari tetangganya itu.Asep tersenyum, penuh kemenangan. Tahu kalau Bagus sepertinya ingin mengetahui saran darinya itu."Jangan jauh-jauh, sini! Mendekatlah. Ini hanya pembicaraan kita berdua," ucap Asep. Mempermainkan Bagus.Demi sang ayah yang sedang bertaruh nyawa, Bagus sampai patuh. Berbalik badan kembali dan menghadap ke Asep, seperti awal tadi. Keduanya saling bertatapan penuh arti."Katakan sek
Jono sampai dibuat terperangah melihat wajah cantik yang terpotret lewat sebuah gambar itu. Jono terpesona dengan parasnya yang indah. Mata yang bulat jernih, alis tebal, bulu mata yang lentik, hidung yang agak mancung. Wajah tirus, rambut hitam panjang, leher jenjang. Meski dalam foto tersebut, kulit perempuannya tidak putih cerah. Biasa saja. Namun, tak mengurangi kadar kecantikannya."Siapa dia? Aku sangat menyukainya?" tanya Jono."Dia adalah adik dari orang yang akan datang menemui kamu," jawab Asep."Tunggu, terus apa maksudnya mereka dengan rencana kamu itu?" tanya Jono.Pertanyaan dari Jono tercetus karena penasaran. Ditatapnya wajah Asep yang sejak tadi terus menyunggingkan senyum. Jono ingin tahu apa rencana dia dan ada kaitan apa dengan sosok gadis yang ada dalam ponsel Asep. Jujur saja, Jono sudah memiliki ketertarikan dengan gadis tersebut, meski hanya melihat dari foto.
Jono mengangguk. Pantas saja dia memilih jalan lewat rentenir. "Aku turut prihatin dengan kondisi ayah kamu. Semoga beliau cepat sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti biasa," tutur Jono lembut.Bagus tersentak. Tersentuh hatinya mendengar nada bicara Jono yang sopan, baik, dan bersikap ramah. Tidak seperti orang-orang kebanyakan. Bagus merasa senang dengan sosok rentenir yang Bagus tidak tahu namanya."Terima kasih, emmm, anu …." Ucapan Bagus menggantung, dia tidak tahu harus memanggil apa."Jono, panggil saja aku Jono. Nggak usah ada embel-embel lain, seperti abang atau apalah. Supaya kamu tidak perlu kaku," ujar Jono yang paham akan kebingungan lawan bicaranya."Baik, Jono. Namaku Bagus," balas Bagus. Dia menjulurkan tangan kanan yang disambut dengan uluran tangan dari Jono."Senang bertemu denganmu, Bagus. Baiklah, aku akan membantumu, sebentar! Aku akan mengambi
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali