Jono mengangguk. Pantas saja dia memilih jalan lewat rentenir. "Aku turut prihatin dengan kondisi ayah kamu. Semoga beliau cepat sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti biasa," tutur Jono lembut.
Bagus tersentak. Tersentuh hatinya mendengar nada bicara Jono yang sopan, baik, dan bersikap ramah. Tidak seperti orang-orang kebanyakan. Bagus merasa senang dengan sosok rentenir yang Bagus tidak tahu namanya.
"Terima kasih, emmm, anu …." Ucapan Bagus menggantung, dia tidak tahu harus memanggil apa.
"Jono, panggil saja aku Jono. Nggak usah ada embel-embel lain, seperti abang atau apalah. Supaya kamu tidak perlu kaku," ujar Jono yang paham akan kebingungan lawan bicaranya.
"Baik, Jono. Namaku Bagus," balas Bagus. Dia menjulurkan tangan kanan yang disambut dengan uluran tangan dari Jono.
"Senang bertemu denganmu, Bagus. Baiklah, aku akan membantumu, sebentar! Aku akan mengambi
Ya. Dia bisa menyimpulkan. Yang memberitahu tentang rumah rentenir itu adalah Asep. Asep yang sangat terobsesi kepada Tyas. Asep yang tampak membenci Bagus. Bisa saja semua ini sudah direncanakan oleh Asep dan Jono untuk membuat Bagus terjebak.Tentu saja Bagus heran, darimana Jono mengetahui sosok Tyas, padahal Bagus baru bertemu Jono hari ini. Soal Tyas, bagaimana bisa dia berkenalan dengan sosok Jono. Apa mungkin sudah saling kenal? Namun, firasat Bagus lebih kuat menjurus kalau ada campur tangan Asep."Manusia nggak ada akhlak!" geram Bagus. Kedua tangannya kembali mengepal.Rasanya ingin meluapkan emosi, tetapi itu akan menghabiskan tenaganya secara percuma. Bagus ingin membuat perhitungan kepada tetangganya itu, tetapi Bagus malas sekali ribut-ribut seperti itu. Alhasil, Bagus telan bulat-bulat saja semua kejadian hari ini.Menjadi pelajaran untuknya, jangan pernah lagi mendengar apa pun yang dikatakan oleh
Ngidam yang dialami oleh Hanna, tak membuat dia mual dan muntah setelah meminum cokelat panas. Namun, baginya tidak cukup hanya itu saja. Perutnya masih berbunyi akibat sudah beberapa hari tidak makan, memilih menghindari sebisanya. Rasanya sangat sakit saat muntah dan perut berkontraksi hebat. Belum lagi dumelan Hanna yang bisa panjang, menyalahkan sang anak yang justru tidak memiliki salah apa pun."Apa aku harus ke rumah sakit saja, ya?" Hanna bertanya kepada dirinya sendiri."Enggak perlulah. Biarkan saja. Anak ini nggak perlu diberi obat penguat kandungan, vitamin, atau minum susu, obat hamil. Aku tidak mau dia tumbuh sehat, aku tidak mau merawat dan membesarkannya." Dia yang menjawab pertanyaannya sendiri. Bagai tidak ada hati, dia berani melakukan hal seperti itu, bahkan sebelum anak tersebut lahir.Tekanan mental, hancur sudah hati dan dunianya, saat ada anak yang dia kandung hasil hubungan dengan sang mantan. Se
"Basement!" Satu kata itu langsung tercetus. Segera dia berlari menuju basement.Ketika dia baru saja di ambang pintu masuk basement, sebuah mobil baru saja melintas. Matanya menatap awas pada BK-nya. Membaca nomor plat itu, dia sudah tidak merasa asing lagi."Nggak salah lagi, itu pasti dia!"Lelaki tersebut langsung berlari ke arah mobilnya dan memasukinya dengan cepat. Melajukan kendaraan beroda empat itu dengan kecepatan tinggi, menyusul mobil itu agar tak kehilangan jejak.Hanna lambat menyadari kalau dia sejak tadi tengah diikuti. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang saja. Pandangannya lurus ke depan, tetapi ketika melihatnya dari spion, dia merasa ada yang janggal. Sebuah mobil berwarna putih tampak selalu ingin mepet dengannya.Tingkat kewaspadaan Hanna lekas meningkat. Dia menaikkan kecepatan mobilnya untuk menghindari. Sekarang dia b
Hanna sedang menantang maut, berlari di jalanan yang mana banyak kendaraan berlalu lalang. Nyaris saja dia tertabrak ketika berlari tidak melihat kanan dan kiri. Makian dari sang pengendara, Hanna abaikan. Dia hanya harus berhati-hati lagi, matanya tetap awas."Berarti sejak dari supermarket, Robby sudah memerhatikan aku dan mengikuti." Hanna membatin kembali."Hanna kau tidak akan bisa lepas dariku!"Hanna masih mendengar teriakan Robby dari belakang. Menoleh, ternyata sang mantan masih tak lelah mengejarnya. Hanna capek. Entah apa maksudnya Robby masih mengusik kehidupannya saat ini. Hanna sudah muak dan tidak mau lagi melihat wajah lelaki jahanam itu.Ketika Hanna berlari, tak lihat-lihat ke depan. Sampai dia menubruk seseorang. Kebetulan sekali orang tersebut juga berjalan sambil menunduk."Aduh." Mereka sama-sama mengaduh.Hanna mengusap kepalanya yang s
Bagus meletakkan gelas tersebut ke atas meja. Sejak tadi Hanna merasa sangat senang dengan sikap Bagus yang begitu baik dan hangat. Hanna merasa terlindungi, merasa begitu nyaman dan hangat dekat dengan Bagus."Terima kasih, Bagus," ucap Hanna. Meski egonya setinggi Burj Khalifa, dia merasa bersalah tidak mengucapkan terima kasih atas sikap baik Bagus."Sama-sama. Bagaimana kondisi kamu?" tanya Bagus. Mendudukkan dirinya di sofa."Tidak baik," jawab Hanna lirih."Apakah kamu mau ke rumah sakit?" tanya Bagus.Hanna menggeleng sebagai jawaban."Ya sudah kalau begitu. Kamu banyak istirahat saja, ya. Aku sarankan kamu banyak di rumah saja. Jika kamu keluar rumah, kamu harus didampingi oleh beberapa orang yang kuat agar bisa melindungi kamu. Kalau kamu di rumah, kunci semua pintu dan jendela. Supaya lelaki tadi tidak mengusik kamu kembali. Itu saja saran dari aku.
Hanna memerhatikan kakak-beradik itu. Hanna merasa ikut hanyut dalam kesedihan. Tampak terharu dengan sikap penyayang Bagus kepada adiknya. Dia memang tidak terlalu mengenal Tyas, adik dari Bagus. Hanya pertama kali bertemu, waktu dia berada di rumah Bagus. Kasus penculikan saat itu.Tyas yang terlihat jutek di mata Hanna, galak, ketus, blakblakan, sekarang tampak sisi sebaliknya. Begitu rapuh, terpuruk. Tak ubahnya seperti Hanna yang bersikap dingin, galak, sombong, merasa bisa melakukan apa pun dengan uangnya, tetapi memiliki sisi sebaliknya. Hancur, mentalnya rusak.Kita tidak bisa melihat sesuatu dari luarnya saja. Ada banyak hal lain yang disembunyikan. Apa yang tampak, justru di belakang, sungguh berbeda."Ayah harus segera dioperasi, Kak. Tapi dananya belum ada. Ayah tadi sempat drop parah, aku sudah memohon kepada mereka untuk menyelamatkan ayah terlebih dulu. Tapi mereka tetap tidak mau karena belum mel
"Bu, pesan nasi biasa satu pakai telur, ya," ucap Bagus kepada sang penjual."Loh, kok, cuma satu? Memangnya kamu nggak beli?" tanya Hanna."Tidak, biar untuk adikku saja. Aku sudah kenyang," jawab Bagus."Bohong. Mana mungkin kamu kenyang. Aku tahu kamu juga lapar. Kamu itu suka menyembunyikan kesedihan kamu sendiri demi bisa membahagiakan orang lain. Aku tahu itu bukti kepedulian kamu, tapi kamu harusnya peduli juga diri kamu sendiri. Jika kamu sampai sakit dan terus mati, siapa yang akan menjaga adik kamu dan ayah kamu, hah?"Bagus tersentak mendengar ocehan dari Hanna. Meski menyakitkan, tetapi apa yang dikatakan Hanna adalah kebenaran. Bagus sering lupa dan mengorbankan diri sendiri demi orang lain."Kalau kamu memang tidak punya uang, bilang saja. Nanti aku kasih uang, kamu beli dua atau tiga, berapa pun yang kamu mau," ucap Hanna. Mengerti jika Bagus pasti tidak memiliki u
"Tyas, kamu di sini menjaga ayah, ya. Kamu boleh lihat ayah di dalam. Tapi jangan membuat keributan dan jangan ceroboh, ya," ucap Bagus memberi nasihat kepada sang adik."Iya, Kak. Memangnya Kakak mau pergi?" tanya Tyas."Iya, Dek. Kakak ada urusan sebentar. Nggak apa-apa, kan, kamu kakak tinggal? Nanti kakak akan balik lagi setelah selesai," jawah Bagus."Iya, Kak. Nggak apa-apa. Hati-hati saja," ujar Tyas."Terima kasih, Dek," balas Bagus.Lelaki itu melirik ke arah Hanna dan dibalas lirikan oleh wanita tersebut. Hanna tentu sudah paham kalau Bagus ingin memberikan waktu hanya berdua saja. Mereka pun berjalan beriringan.Tyas menatap keduanya penuh tanda tanya. "Kenapa kakak pergi bersama Kak Hanna? Apa mereka saling dekat setelah kejadian waktu itu? Apakah ada sesuatu?" batin Tyas.Bagus dan Hanna tiba halaman parkir rumah sakit.
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali