"Lebih baik aku panggilkan dokter untuk memastikannya." Tyas pun bertolak dari sana dan segera menemui dokter yang biasa menangani sang ayah.
Cukup kesusahan dia mencari sebab sejak tadi batang hidung dokter tersebut belum menampakkan dirinya. Di rumah sakit yang begitu luas, Tyas sampai harus keliling mencari dokter itu. Tyas merasa kelelahan.
Langkah Tyas terhenti ketika dia berhasil menemukan dokter yang dia cari. Namun, dokter tersebut tampak sedang berbicara dengan seorang wanita di depan pintu. Merasa tidak sopan jika langsung menghampiri atau menguping pembicaraan mereka, Tyas memilih menunggu dan duduk di salah satu kursi panjang. Sambil sesekali melirik ke arah dokter tersebut.
Begitu dokter lelaki tersebut sudah selesai dari urusannya, Tyas pun bangkit sebelum dokter tersebut pergi.
"Permisi, Dok," sapa Tyas.
Dokter itu menoleh ke arah Tyas. Dia juga mengenal Tyas dan p
Mendengar ancaman dari Asep, Tyas tak boleh hanya meratapi ketakutan. Dia harus berpikir segala macam cara untuk membuat Asep kesulitan masuk. Tyas pun bergerak mendorong kursi sebanyak dua buah dan menumpuknya di belakang pintu. Sekuat tenaga dia juga mendorong buffet. Tyas lantas bergerak ke dapur, mencari sesuatu. Netranya tertuju kepada dua buah benda, yaitu palu dan pisau.Dengan penuh keberanian meski ada rasa gemetar, Tyas menggenggam erat dua benda tersebut. Dia pun berjalan kembali ke tempat semula. Siap siaga menghadapi Asep dengan dua senjata di tangannya."Oke kalau kamu nggak ada respons. Aku dobrak ini, ya. Satu … dua … tiga …." Asep mengambil aba-aba untuk mendobrak pintu.Saat Asep mencoba mendobrak pintu itu, tiba-tiba dia meringis karena kakinya yang terasa sakit."Ahh, kenapa kaki aku ini? Pintu dari papan lapuk begini, kok, susah didobrak," gerutu Asep. Dia pu
Langit sepertinya mengerti suasana hati Bagus saat ini. Rintik hujan jatuh satu per satu lalu turun begitu banyak. Tanah pemakaman yang semula lembab, menjadi basah dan agak berlumpur. Namun, Bagus enggan beranjak dari sana. Dia masih tetap setia meski hujan sudah membuatnya basah. Namun, Bagus merasa beruntung sebab tidak ada yang bisa melihatnya menangis sebab air hujan telah menyamarkannya."Yang tenang di sana, ya, Bu. I love you."Bagus mencium batu nisan ibunya cukup lama. Setelahnya, dia bangkit dan beranjak pergi dari tempat itu. Bongkahan batu yang menimpa dadanya, perlahan satu per satu mulai pecah. Bongkahan batu itu hanya sebuah ibarat menumpuknya beban hidup Bagus. Perlahan mulai terasa ringan sebab dia sudah menceritakannya kepada mendiang sang ibu. Bercerita kepada ibunya sudah membuat Bagus senang. Seperti energinya ter-charger kembali. Penuh.Bagus sadar kalau dia tidak boleh terlalu la
"Kakak dilarang masuk, mau mencoba bertemu kamu. Mengajak pulang. Akhirnya kakak bertemu dengan Pak Brata, kakak minta tolong untuk temui kamu dan segera pulang ke rumah.""Ya, Kak. Terus setelah dari rumah sakit itu, kenapa Kakak lama sekali sampai ke rumah?" tanya Tyas."Kakak pergi ke kuburan ibu."Mendengar kata ibu disebut, Tyas diselimuti pilu. "Kakak sedang apa di sana?" tanya Tyas."Mengobati rindu."Jawaban Bagus, membuat Tyas meneteskan air mata. Tyas juga sama, merindukan sosok ibu. Dia masih kecil, sudah ditinggal malaikat tanpa sayap."Kak, aku mau ketemu sama ibu," rengek gadis itu. Satu bulir air mata, jatuh membasahi pipi.Bagus sigap mengusap dengan jari jempolnya. "Kita nanti pergi sama-sama ke sana, ya. Ini sedang hujan. Lebih baik kita istirahat saja," ujarnya menenangkan.Tyas mengangguk. Dia perg
Dia adalah Matthew Elliot. Papa dari Hanna. Pemilik dari perusahaan YG Union. Matthew menunjukkan ekspresi sangat senang ketika bertemu dengan sang anak.Hanna sendiri, bahkan tidak sanggup untuk bicara."Sayang, kamu kenapa? Terjadi sesuatu, kah," tanya Matthew.Diam membisu, tersadar karena elusan lembut dari tangan sang papa."Pa-pa, sedang apa di sini?" tanya Hanna. Pertanyaan konyol."Papa pemilik perusahaan ini, sudah tentu papa akan sering berkunjung ke sini, kan?" Matthew melemparkan pertanyaan balik.Itu benar. Hanna saja yang sudah kehabisan kosa kata. Mau bicara apa. Sekarang pun bungkam kembali."Bisa kita bicara sebentar? Di kafe tempat kita biasa makan dulunya. Apakah kamu sudah lupa?"Matthew bertanya sangat serius. Nada bicaranya sudah berbeda dengan yang tadi. Kali ini tegas dan menegangkan.&n
Obrolan mereka disela oleh seorang waitress yang datang menghampiri mereka. Pesanan mereka sudah datang. Terhidangkan di atas meja. Keduanya pun menyantap pesanan mereka dalam suasana hening.Hanna tidak memesan makanan, hanya jus jambu merah saja. Dia sedang tidak selera makan. Sudah lama Hanna tidak memperhatikan papanya yang sedang makan. Melihat Matthew menyantap makanannya dengan elegan. Hanna terus memerhatikan. Matthew hanya sesekali menatap Hanna.Hanna sendiri antara menikmati dan tidak, minuman yang dia pesan. Hanya sedikit yang baru masuk ke tenggorokan. Dirinya kebanyakan melamun.Tiba-tiba saja, Hanna menggeser agak jauh minumannya. Perut terasa diputar-putar, dililit-lilit, terasa sangat sakit. Hanna merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. Mendengar suara ringisan itu, Matthew menatap Hanna penuh kebingungan."Kenapa kamu?" tanya Matthew.Hanna tidak
"Saya sudah menyuruhnya untuk datang hari ini, mulai bekerja. Tapi kamu tahu sendiri sekarang sudah jam sepuluh. Dia belum datang juga," jawab Sean. Menyandar punggungnya ke kursi."Nanti saya coba tanya kepada satpam, Pak. Mungkin saja mereka melihat Pak Bagus," ujar Khalif.Sean mengangguk. "Boleh. Jika melihat Bagus, sampaikan saja untuk datang langsung ke ruangan saya," balasnya."Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap Khalif. Berbalik badan lalu keluar dari ruangan atasannya.Khalif bergerak menuju pos satpam. Ketika sampai di pintu utama, dia berpapasan dengan Julio. Khalif memicing heran saat melihat penampilan Julio yang berantakan. Seragam kusut, sama seperti mukanya. Rambut acak-acakan. Menenteng tasnya, ketebak kalau Julio baru saja tiba di kantor."Jam segini baru datang, memang wajar kalau Pak Sean menurunkan jabatannya menjadi seorang office boy,
"Julio, kerja yang bener! Nanti kamu dimarahi Pak Sean."Salah seorang rekan kerja sesama office boy, menegur Julio. Lelaki itu tidak terima."Heh, kau lancang sekali memanggil aku dengan nama. Kau tidak tahu aku siapa?" bentak Julio."Loh, kan, kita sama-sama seorang office boy. Lagian, umur kita juga sama, sih. Wajar kalau aku panggil nama," balas lelaki itu.Julio merasa geram. Dibantingkannya pengepel ke lantai. Menimbulkan bunyi yang keras. Julio saat ini menjadi pusat perhatian, sebenarnya dia suka itu. Namun, bukan di posisi turun jabatan seperti itu. Tatapan mereka adalah penghinaan. Dia merasa dipermalukan. Untuk pertama kalinya, Julio bekerja sebagai office boy."Ini balasan untuk kamu karena terlalu bersikap sombong. Sekarang kamu rasakan bagaimana ada di posisi terendah. Aku harap kamu bisa mengambil pelajaran," ujar rekan kerja Julio yang l
Keesokan harinya. Sudah sejak kemarin Hanna belum makan nasi. Yang dia makan hanya bubur, roti, itu pun sedikit. Dia tidak selera makan, selalu saja apa yang dia konsumsi, berujung keluar semua karena muntah. Imunitas tubuh Hanna melemah. Sering merasa pusing, jam tidurnya berantakan karena tidak bisa tidur. Kebanyakan terbagun. Efek kehamilan memang begitu dahsyat ke tubuhnya.Kembali bekerja sesuai permintaan papanya. Tidak mau mengecewakan Matthew lagi. Hanna sekarang stay di ruangan. Tidak ada pertemuan dengan klien hari ini, dia hanya sibuk menandatangani beberapa berkas.Hanna menyusun kembali berkas-berkas tersebut. Dia membutuhkan penjepit kertas. Membuka laci, mencari benda kecil itu di dalam. Setelah mendapat apa yang dia cari, diambilnya. Kedua mata terfokus pada selembar kertas. Dia juga mengambil itu.Ketika dia sudah menjepit berkas tersebut, disingkirkannya dulu. Dia meraih kertas yang tadi diambi
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali