“Baik, Bu,” ucap sopir taksi. Mengendarai kendaraannya ke arah yang dituju penumpang.
Hanna dibawa sampai tiba di supermarket. Dia meminta sopir taksi untuk menunggu karena dia berjanji tidak akan lama. Hanna tidak perlu mengambil keranjang karena yang dia beli hanya sedikit. Hanna menuju ke etalase roti lalu mengambil dua bungkus roti tawar tak lupa juga mengambil selai rasa cokelat. Entah kenapa, kaki Hanna membawanya menuju ke etalase yang lain. Akhirnya dia berkeliling supermarket, sekaligus saja dia melepas stres, pikir Hanna. Sampai akhirnya, kedua kaki jenjang itu berhenti di bagian yang menjajakan kapur barus, pembasmi seranga, dan sebagainya. Perhatian Hanna, terpaku ke salah satu benda yang berbentuk botol agak panjang, bungkusnya kuning. Tangan Hanna, terjulur mengambil benda itu tanpa ada rasa ragu sedikit pun. Lalu, dia beringsut menuju kasir. Teringat kalau sang sopir masih menunggu. Terlebih dia sudah berjanji tidak akan lama. Hanna celingak-celinguk, mencari kasir yang agak sepi pembelinya. Bergerak ke kasir nomor enam yang hanya tiga orang mengantre, yang lain lebih dari itu. Tak lama mengantre, sampai tiba giliran Hanna, semua barang belanjaannya di-scan. Sang kasir menyebutkan nominal yang harus Hanna bayar. “Totalnya seratus ribu rupiah.”Hanna mengeluarkan satu lembar uang merah lalu memberikannya ke kasir. Sang kasir mengucapkan terima kasih, memberikan barang belanjaan beserta struknya. Hanna pun buru-buru keluar. Di dalam taksi, meminta sopir untuk membawanya ke rumah. “Ke alamat yang sudah saya bilang dari awal, ya, Pak,” ucap Hanna yang dibalas dengan anggukan oleh sang sopir taksi. Sampai akhirnya tiba, wanita itu melangkah masuk setelah membayar ongkos yang sengaja dia lebihkan karena sang sopir sudah sabar menunggu dan mengantarkan Hanna ke berbagai tempat, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Tubuh Hanna merosot ke lantai. Punggungnya bersandar di balik pintu. Air mata jatuh begitu deras. Hancur sudah hidup Hanna, sampai dia merasa sudah tidak ingin lagi melihat dunia. “Kurang ajar kau, Robby. Sumpah, aku benci kau!”Hanna meraung. Meluapkan emosinya kepada lelaki yang sudah menanam benih ke rahimnya. Namun, Hanna berpikir kembali, ini bukan sepenuhnya salah Robby. Hanna sendiri saja merasa kenikmatan saat bercinta dengan mantan kekasihnya itu. Hanna benci kepada lelaki tersebut, juga kepada dirinya sendiri. Inilah dampak dari perbuatannya. Namun, dia harus menanggung semuanya sendirian. Sementara Robby tidak mau bertanggung jawab. Lebih tepatnya, Hanna juga tidak menginginkan hal itu karena sudah tahu kalau Robby tidak akan bersedia.Hanna teringat dengan barang yang dia beli di supermarket. Plastiknya tergeletak begitu saja di dekat tubuhnya. Hanna meraih lalu mengambil suatu benda di dalam. Bukan roti, bukan pula selai, melainkan sebuah racun tikus. Ya, tak salah. Hanna memang membelinya. Hanna menggenggam erat botol racun tikus berbentuk sprai itu. Ditatapnya lekat-lekat. Tangan sampai gemetar kala memegangnya. Hanna menarik napas berkali-kali. Berpikir ribuan kali, apakah tindakannya ini sudah tepat. Akhirnya, Hanna pasrah, dia tidak perlu meragukan apa pun lagi sebab dia sudah tidak lagi kuat menghadapi penderitaan ini.“Ayo, matilah bersamaku, anak yang tidak aku inginkan!” Hanna sudah membuka tutup botol racun tikus itu. Bibir botol tersebut pun sudah dekat ke bibir Hanna, nyaris menyentuh. Hanna inin mengakhiri hidupnya dengan meminum cairan racun tikus. Dia membeli itu bukanlah untuk membasmi hewan tikus di rumahnya karena tidak ada hewan tersebut yang berkeliaran. “Lebih baik aku mati daripada hidup menanggung semua ini sendirian!” Hanna yang sudah siap menenggak racun tikus itu, tiba-tiba saja botol tersebut dia lemparkan ke arah dinding. Menghasilkan bunyi yang cukup kuat. Cairan bening membasahi lantai. Dia menatap kosong dengan napas yang tersengal-sengal. Ada dorongan dalam hatinya untuk tidak melakukan hal itu. Hanna tidak sanggup. Terlalu rapuh. Hanna tidak jadi mengakhiri hidup. Rintihan lolos dari bibirnya, memegangi perut yang terasa sakit. Hanna sendiri masih tidak percaya kalau dirinya tengah hamil, sampai beli test pack. Padahal, hasil dari dokter lebih akurat. Dia ingin memastikannya besok pagi. Hanna berusaha berpikir bagaimana caranya agar kehamilannya di luar nikah ini tidak tersebar karena akan menjadi sebuah aib. Apalagi jika terdengar sampai ke telinga sang papa. Wanita itu dilanda stres yang hebat. Saking lelahnya, dia pun tertidur di lantai, tanpa bantal dan juga selimut. ***Sinar matahari menyelinap melalui ventilasi. Kesilauannya langsung menyambar wajah Hanna. Wanita itu mengerjap kecil, berusaha mengumpulkan kesadaran dirinya usai bangun tidur. Netranya pun berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Duduk bersandar di dinding kamar, dia teringat kalau hari ini waktu yang tepat untuk menggunakan test pack yang baru saja dia beli. Bangkit dengan lemas, berjalan menuju kamar mandi. Diraihnya kantong plastik berisi test pack yang berada di atas lantai. Hanna berjongkok, menampung urinenya menggunakan baskom. Setelahnya, dia membuka plastik test pack dan mencelupkan benda itu ke dalamnya. Debar jantung seirama dengan dia menunggu tanda garis di benda itu. "Aku ingin vonis dokter terbantahkan!" Namun, kenyataan adalah ada dua garis biru di test pack tersebut. Dia pun mencoba kesembilan test pack lainnya. Hasilnya tetap sama. Hanna mencoba berpikir jernih, dia harus bisa mencari solusi permasalahan ini. Dia pun jadi teringat satu hal. Hanna tidak mungkin meminta Robby untuk bertanggung jawab. Dia ingin anak dalam kandungannya memiliki status ayah meski hanya sebatas hukum. Tentu saja dia harus mencari lelaki untuk mau menikah dengannya dan menerima anak hasil hubungan nikah dengan lelaki lain, tetapi hanya sebatas kontrak saja. Tentu saja Hanna tidak ingin mencari lelaki sembarangan. Dia tidak mau kalau mendapat seorang lelaki yang seperti Robby, atau lelaki miskin yang melecehkannya waktu itu. Dia tidak mau dimanfaatkan kembali. Dia ingin lelaki itu adalah yang bisa dia kendalikan. Hanya ada satu lelaki dalam pikirannya. Itu pun penuh pertimbangan. Tak lain adalah sosok lelaki yang dia jumpai di rumah sakit kemarin. Hanna memutuskan untuk mandi agar tubuhnya kembali segar. Setelahnya, dia pun bersiap-siap ke rumah sakit. Hanna memiliki tujuan datang ke sana. Dia ingin bertemu kembali dengan lelaki tersebut.***"Dok, bagaimana hasilnya? Apakah ginjal saya cocok dengan pasien.”Bagus bertanya, penuh harap-harap cemas. Dia saat ini sedang berada di ruangan pemeriksaan bersama dengan Brata dan sang dokter. Lelaki berjas putih itu sedang memegang sebuah amplop berwarna putih. Isinya pasti selembaran hasil diagnosa, pikir Bagus. Tak hanya kakak dari Tyas yang menunggu, Brata juga tampak gugup menanti hasilnya. Pasalnya, keduanya sama-sama membutuhkan untuk orang yang mereka sayangi, tengah berada antara hidup atau mati. Dokter membuka amplop itu lalu membaca hasil pemeriksaan dalam hati. Bagus yang tidak sabaran, terus bertanya akan hasilnya. Dokter paruh baya itu menarik napas panjang lalu mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan telinga. “Mohon maaf, ginjal milik Pak Bagus, tidak cocok dengan kakeknya Pak Brata.”Bagus membulatkan kedua matanya. Tubuh kaku, mendengar hasil tersebut dibacakan. Pupus sudah harapan untuk bisa menolong sang ayah. “Bagaimana mungkin bisa tidak cocok, Dok? Mungkin ada yang salah.” Bagus berharap kalau hasilnya keliru. “Hasil mengatakan kalau golongan darah Bapak dan pasien tidak cocok sehingga transplantasi ginjal, tidak dapat kami lakukan,” jelas Dokter.Bagus meraih kertas tersebut dari tangan sang dokter lalu melihat hasilnya sendiri. Brata pun juga ikut melihat, bergeser lebih dekat dengan Bagus. Sama-sama membaca isi kertas tersebut. Bagus tidak paham istilah-istilah medis, yang dia tahu sendiri akhirnya adalah kalau ginjalnya tidak bisa didonorkan. “Dokter, coba periksa lagi. Pasti ada yang salah.” Bagus mendesak dokter agar dirinya melakukan pemeriksaan kembali. “Hasil itu sudah akurat. Jika dilakukan pemeriksaan kembali, hasilnya akan tetap sama.” Bagus menghela napas panjang. Benar apa yang dikatakan oleh dokter tersebut, Bagus hanya tidak bisa menerima kenyataan saja. Satu tepukan pelan, Bagus terima. Menoleh ke arah kiri, Brata tersenyum getir. “Sudah, mungkin memang itu yang terbaik untuk kita berdua. Tidak perlu bersedih.” Brata menyemangati, nyatanya dia juga merasa sedih sebab nyawa sang kakek sedang di ujung tanduk. “Lalu bagaimana dengan kakek Bapak?” tanya Bagus. Brata menggeleng lemah. “Mungkin akan ada keajaib
Bagus mencerna maksud dari perkataan Hanna. Yang bisa dia simpulkan adalah, Hanna mengajaknya menikah kontrak agar anak hasil hubungannya dengan laki-laki lain, memiliki seorang ayah. Balasannya adalah, Hanna membiayai seluruh pengobatan ayah Bagus sampai sembuh. “Bagaimana? Kamu setuju, kan?” Bagus menipiskan bibirnya. “Bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Tentu saja aku menolak. Kenapa kamu tidak meminta saja ayah kandungnya untuk bertanggung jawab.” Hanna memasang wajah masam, kala mengingat wajah Robby. “Tidak. Dia adalah lelaki tidak berguna. Dia selingkuh dan mendekati aku hanya karena harta saja. Tentu saja aku tidak mau memiliki pasangan yang seperti itu,” jelas Hanna. “Lalu, apakah aku adalah pria yang tepat? Sementara kita belum saling mengenal. Bagaimana kamu bisa tiba-tiba memilih aku?” tanya Bagus. Hanna tentu saja penuh pertimbangan sebelum menentukan Bagus adalah orangnya. Dia tidak mau sembarangan mencari orang. Hanna tidak kepikiran lelaki lain, hanya Bagus yan
Mungkin itu adalah kata-kata terakhir sebelum nyawanya sudah tidak dikandung badan. Namun, ketika dia hendak menusukkan benda tajam itu ke perutnya. Belum apa-apa, dia sudah merintih kesakitan. Hanna memegang perut, gunting yang dia pegang pun jatuh ke lantai. Hanna berlinang air mata, merasakan sakit yang hebat. Kedua kaki tak mampu untuk sekadar menopang tubuh berdiri, Hanna merosot ke lantai. “Tenanglah di dalam. Jangan membuat sakit seperti ini, aku tersiksa.”Hanna seolah sedang berbicara dengan bayinya sambil mengusap perut dengan lembut. Sangat ajaib, rasa sakit itu hilang perlahan. Hanna sendiri bingung, apa yang dia alami. Hanna melirik kembali benda tajam yang tergeletak di lantai. Percobaan bunuh dirinya telah gagal, ketika Hanna ingin mencoba kembali. Tangannya gemetaran dan hatinya tidak mau melakukan hal itu. Hanna urung bunuh diri. Dia merasa tubuhnya sangat lelah. Mencoba bangkit dari posisinya, Hanna beranjak ke kasur. Dia memilih untuk tidur saja supaya pikirannya t
Perutnya terus berbunyi, lapar pun dia tahankan. Sadar kalau diam saja dan meratapi nasib tidak akan mengubah apa pun, Bagus mencoba mengumpulkan semangatnya yang sudah berserak. Dia harus mencari pekerjaan kembali, sama seperti hari-hari kemarin. Dengan harapan, kali ini bisa mendapatkannya. Jalanan aspal, polusi yang menyebar, teriknya sinar mentari, tak menyurutkan Bagus untuk bertarung di ibukota. Setiap langkah yang berpijak, netranya tak lepas melihat ke kiri dan ke kanan. Barang kali ada lowongan pekerjaan. Bangunan pencakar langit, saling berlomba satu sama lain untuk mendapatkan gelar yang paling tinggi. Di sekitaran bangunan-bangunan tersebut, masih ada warung-warung emperan jalan, toko-toko kecil, dan sebagainya. Bagus melangkah ke salah satu toko sembako, berharap ada lowongan di sana. Bagus tidak mencoba untuk melamar ke perusahaan-perusahaan sebab dia hanya tamatan SMA. Tidak ada yang menerimanya saat dia sudah mencoba, dengan berbagai alasan. Dituduh maling, belum ada
Sudah dua kali Bagus mencari pekerjaan, tetapi belum juga dia dapatkan. Menyerah? Tentu saja tidak. Bagus tetap berusaha mencari pekerjaan yang lain. Menyusuri jalanan, Bagus masuk kembali ke salah satu kedai yang cukup besar. Bagus menghampiri seorang lelaki paruh baya yang sedang menunggu di sana. “Permisi, Pak. Apakah di sini ada lowongan pekerjaan?” tanya Bagus. Sang penjaga toko menoleh ke arah Bagus lalu berkata, “Mohon maaf, di sini belum ada lowongan. Kamu bisa mencari tempat yang lain, ya.” Penjaga toko itu bersikap ramah dan lemah lembut menolak. “Saya mohon, Pak. Saya sangat butuh uang untuk membiayai ayah saya yang sedang sakit. Butuh uang yang banyak untuk operasi. Saya membutuhkan pekerjaan agar saya bisa mengumpulkan uang.” Bagus menceritakan kesulitan hidupnya, bukan untuk dikasihani, melainkan agar sang penjaga toko bisa terbuka hatinya.“Maaf, Nak. Belum ada,” jawab sang penjaga toko. Air muka Bagus mendadak murung, tetapi dia tetap memohon kembali. “Saya lihat, d
Silvi pun merasa bersalah dan meminta maaf. Hanna menjelaskan lebih detail tentang surat perjanjian pernikahan kontrak tersebut. Silvi mengangguk pertanda paham. “Setelah kamu selesai membuat surat itu, kembali lagi ke sini dan berikan kepada saya, ya,” ujar Hanna. Semenjak tingggal di kontrakan sederhana, Hanna tidak memiliki ruang kerja pribadi. Sehingga Silvi harus bolak-balik. “Baik, Bu. Saya laksanakan,” balas Silvi patuh. “Tapi, pastikan tidak ada yang tahu soal ini, ya. Bisa kamu menjaga rahasia ini?” tanya Hanna yang dibalas anggukan oleh Silvi. Hanna mengembangkan senyumnya. Selepas kepergian sang sekretaris, Hanna beranjak ke kamar mandi. Dia membersihkan tubuhnya. Hari ini Hanna ingin pergi mencoba menemui Bagus kembali. Meski saat ini, dia tidak tahu di mana keberadaan lelaki itu. Waktu bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah pukul 13.00 WIB. Silvi sudah kembali dan dia membawa sebuah map berwarna biru. Hanna menerimanya dan membaca isi surat tersebut. Semua sudah
Perkataan Hanna, ada benarnya. Bagus kembali fokus pada deretan kata yang tertuang daam kertas tersebut. Bagus tetap membacanya, meski keputusan tetap tidak. Yang bertanda tangan di bawah ini adalah kedua belah pihak. Pihak pertama adalah Hanna Rihanna Kumalasari dan pihak yang kedua adalah Bagus. Pihak pertama dan kedua menjalin pernikahan kontrak selama lima tahun. Dengan kesepakatan berikut ini: Bagus menjadi ayah secara hukum untuk anak yang dikandung Hanna. Hanna membiayai seluruh biaya pengobatan ayah Bagus dan seluruh biaya hidup keluarga Bagus. Tidak ada nafkah batin dan tidak melibatkan perasaan.Bagus tidak berkewajiban memberi nafkah kepada Hanna. Hanna tidak berkewajiban melayani Bagus selayaknya seorang istri kepada suaminya.Kedua belah pihak bebas menjalin hubungan dengan perempuan/lelaki mana pun. Tidak boleh saling mengekang aktivitas satu sama lain. Tinggal serumah, tetapi tidak satu ranjang. Setelah bercerai, Hanna menjamin kehidupan Bagus selama dua tahun.
“Beli berapa batang?” tanya Bagus usai menghampiri mereka. “Lima batang saja cukup,” jawab lelaki tersebut sambil menunjuk salah satu rokok yang dia inginkan. Bagus mengambilnya sesuai pesanan lalu memberikan lima batang rokok kepada lelaki itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan Bagus ditahan olehnya. “Ada apa? Tolong lepaskan tangan saya.” Pinta Bagus hanya dianggap angin lalu. Salah seorang temannya yang lain, menarik dagangan Bagus dan membuangnya ke tanah. Tak hanya itu, dia juga menginjak-injak sampai hancur. Bagus ternganga, melihat dagangannya yang sudah berantakan. “Hei! Apa yang baru saja kalian lakukan?” teriak Bagus. Berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman pria bertubuh kekar. Namun, apalah daya, tenaga tak sebanding. “Kau rasakan ini, hahahah.” Mereka tertawa di atas penderitaan Bagus. Lelaki itu tak ada yang menolong meski banyak orang yang berlalu lalang, menatap Bagus hanya sekadar singgah. “Kenapa malah merusak dagangan saya? Ganti rugi sekarang ju
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali