Seyra terdiam, matanya menyipit menatap selidik ke arah Regan. Namun beberapa detik kemudian, dia mengangkat sudut bibirnya membentuk senyuman. "Apa kamu sedang bercanda?"Seyra tertawa. Namun bukan tawa alami, melainkan tawa yang terdengar dipaksakan. Dia berusaha menganggap ucapan Regan hanya lelucon semata. "Omong kosong. Bagaimana mungkin kamu orang kaya, sementara kamu dulu adalah seorang satpam. Bahkan membeli mobil bekas saja memakai cicilan. Ada-ada saja kamu."Seyra meredakan tawanya sambil menggelengkan kepala. Namun tiba-tiba tatapan matanya terlihat ragu, seakan mencurigai sesuatu saat melihat wajah Regan tampak serius. Sungguh dia tidak mungkin membayangkan jika pria itu benar-benar orang kaya. Tapi... bagaimana jika Regan termasuk golongan tersebut?"Maaf, aku nggak bermaksud menertawakanmu," kata Seyra sambil mengubah ekspresinya dalam sekejap. Dia takut jika Regan merasa tersinggung.Regan menghela napas berat. "Seyra, aku tahu kamu kecewa dengan Aldo dan ayahmu, tapi
Malam semakin larut, namun Regan dan Seyra masih berdiri di depan jendela kamar, menikmati pemandangan langit malam. Angin bertiup pelan membuat udara semakin dingin."Kamu sering merenung di sini?" Regan masih memandangi wajah Seyra dari samping, mengamati rambut gadis itu yang sesekali melambai-lambai tertiup angin.Seyra menoleh, membalas tatapan Regan. "Dulu iya. Sekarang nggak."Alis Regan berkerut penasaran. "Kenapa?Seyra tersenyum sambil menjulurkan telunjuknya, menyentuh bahu Regan yang lebar. "Bagaimana aku mau merenung di sini, sementara jendela ini sering dikuasai olehmu.""Oh, benarkah?" Regan menyahut cepat, disusul suara kekehan renyah. "Aku minta maaf. Aku nggak tahu kalau ini wilayahmu?"Seyra menggeleng pelan, lalu mengamati mata gelap Regan yang tajam, namun penuh dengan kehangatan. Raut wajahnya yang serius seringkali dipatahkan dengan senyum tipis pria itu yang terlihat menggoda. "Nggak apa-apa. Kita bisa saling berbagi."Regan tersenyum, lalu mengalihkan wajahnya
Hari minggu, Regan dan Seyra tidak perlu berangkat ke kantor. Mereka memiliki waktu luang untuk bersantai bersama. Regan duduk di kursi ruang tamu sedang menyaksikan Seyra yang sedang membersihkan jendela kaca. Sesekali gadis itu mencuri pandang ke arahnya, membuat Regan tanpa sadar tersenyum tipis.Suara notif pesan berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia meraih ponselnya yang sempat diletakkan di atas meja. Lalu mengecek dan melihat beberapa pesan dari kakeknya, yang meminta Regan untuk pulang.Regan menghela napas berat, lalu meletakkan kembali ponselnya setelah sempat membalas pesan dari Bastian."Butuh bantuan?" Regan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati istrinya.Seyra menghentikan aktivitasnya sejenak, menoleh pada Regan. "Kamu yakin ingin membantuku?" "Tentu saja. Berikan lapnya!" Regan menyodorkan sebelah tangannya ke arah Seyra.Seyra mengangguk. Lalu memberikan lap yang langsung disambut oleh Regan. Mereka saling berhadapan di sisi jendela yang dipisahkan ole
Mata Regan melebar, namun hanya sepersekian detik saja, karena pria itu langsung menyembunyikan ekspresinya dan berusaha bersikap tenang. "Mungkin kamu salah lihat," balasnya acuh. Lalu kembali menunduk, mengabaikan tatapan selidik dari Robert.Alis Robert semakin turun, menatap gerak-gerik Regan yang tampak tenang, namun mencurigakan. "Penglihatanku masih berfungsi dengan baik. Tidak mungkin jika aku salah lihat. Kurasa gadis itu yang menjadi alasanmu tidak ingin pulang."Senyum nakal tiba-tiba tersungging di wajah Robert. Dia memiringkan kepalanya, mengamati wajah Regan yang masih menunduk, berusaha mencari ekspresi mencurigakan. "Apa dia kekasihmu? Atau jangan-jangan dia ...."Regan menarik wajahnya ke atas, kali ini tatapannya tajam dan menusuk. "Apa kau tidak memiliki pekerjaan?""Tentu saja aku punya pekerjaan." Robert memundurkan wajahnya, cukup terintimidasi oleh tatapan menusuk sepupunya itu. Namun bukan berarti dia akan berhenti untuk mengoreksi informasi tentang gadis itu.
Seyra gagal melanjutkan kalimatnya, saat mendengar ponsel miliknya berdering cukup keras. Dia segera merogoh tasnya dan mengambil benda pipih itu."Maaf, sebentar." Seyra menunjukkan ponselnya pada Robert, memberitahukan jika dia harus menerima panggilan penting.Robert mengangguk, mempersilahkan Seyra untuk mengangkat panggilan tersebut. Dia mengamati gadis itu yang kini menempelkan ponselnya ke telinga sambil berbicara dengan seseorang di seberang sana.Diam-diam Robert memperhatikan penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. Tatapannya tertuju pada kemeja maroon dan rok span selutut berwarna hitam yang melekat pas di tubuh ramping Seyra. Rambut panjangnya digerai, namun terlihat rapi, sopan dan juga cantik. Pembawaan gadis itu terlihat anggun. Mungkin itu yang membuat Regan tertarik dengannya."Ah, saya minta maaf. Saya harus kembali ke meja saya. Manajer saya sudah menunggu di sana," kata Seyra dengan sopan."Oke. Lain waktu kita bisa bertemu kembali." Robert tersenyum, dan meng
Regan bangkit dari tempat duduknya mengejar Seyra yang menghiraukan panggilannya. Gadis itu berjalan tak tentu arah, masih diliputi kebingungan dan ketidakpercayaan atas fakta yang baru diketahuinya.Gadis itu merasa kesal karena Regan telah membohonginya selama ini. Seyra merasa dipermainkan oleh ketidakjujuran pria itu. Kenapa dia baru mengetahuinya sekarang, setelah dia sudah mempercayai pria itu. Dan sempat menaruh harapan padanya. Dia benci pembohong dan orang kaya yang lagi-lagi mempermainkan hidupnya.Bila saja Regan jujur dari awal, mungkin dia tidak akan sekecewa ini. Dia bisa mengakhiri pernikahan tersebut secara baik-baik, hingga tidak ada yang kecewa, apalagi merasa dibohongi.Namun, Seyra benci pada dirinya yang mulai lemah. Dia tidak menginginkan pernikahan itu berakhir. Gadis itu mulai nyaman dengan sikap dan perlakuan Regan. Hingga membuat perasaan asing mulai tumbuh di hatinya."Seyra, tunggu!" Regan meraih pergelangan tangan Seyra, membuat gadis itu menghentikan lang
Seyra duduk termenung di ujung tempat tidur, matanya terpejam sesaat mencoba menghindari pandangan Regan yang baru saja masuk ke dalam kamar. Dia merasakan hatinya dipenuhi amarah ketika melihat suaminya yang berdiri tidak jauh dari pintu. Pria itu berjalan pelan mendekat, mencoba meredakan kemarahan yang tersirat jelas di wajah Seyra."Seyra, aku tahu aku telah membuatmu marah. Aku benar-benar minta maaf," ucap Regan pelan, mencoba membuka pembicaraan.Seyra hanya diam, tanpa sedikit pun memperlihatkan bahwa dia sedang mendengarkan. Hatinya masih dipenuhi dengan rasa kecewa dan merasa dibohongi. Dia membuka matanya, tetapi berpaling ke arah lain.Regan duduk di sampingnya, mencoba memegang tangan Seyra, namun langsung ditolak dengan kasar. Pria itu menghela napas kasar, berusaha untuk sabar dan memahami sikap dingin istrinya. "Aku menyesal, Seyra. Aku sadar jika tidak seharusnya aku membohongimu. Aku janji, aku tidak akan mengulangi hal itu lagi," kata Regan dengan nada penuh penyes
Ratih mengerutkan kening saat melihat Seyra masuk ke dalam kamarnya. Dia yang baru saja keluar dari arah dapur kini menyusul putrinya, untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi."Seyra, ada apa, Nak?" tanya Ratih begitu masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat putrinya meringkuk di atas kasur dengan masih mengenakan kemeja kantor."Nggak apa-apa, Bu. Aku cuma pingin tidur di sini saja," jawab Seyra sambil mengubah posisinya menjadi duduk.Mata Ratih menyipit, tentu saja dia tahu jika Seyra sedang berbohong. Dia yang melahirkannya dan selama bertahun-tahun pula dia yang merawatnya. Ratih mengenal baik putrinya dengan segala tindak tanduknya.Tapi, dia berpikir untuk memberi kesempatan pada putrinya agar bisa menyelesaikan masalahnya. Dia tidak ingin mendesaknya jika Seyra sendiri tidak berniat menceritakan. Mungkin lebih baik dia tidak ikut campur dan memberi waktu pada Seyra untuk menyelesaikan masalah sendiri."Kamu mandi dulu sana. Ibu sudah menyiapkan makan malam." Ratih mengambil h
"Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b
Aldo sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Mira muncul dengan raut wajah masam dan langsung membanting tasnya di atas meja.Aldo yang sedang fokus memeriksa laporan, tersentak kaget melihat tindakan ibunya. Dia menatap ibunya yang kini duduk di kursi depan meja kerjanya. "Mama kenapa?"Mira menatap tajam Aldo dan menjawab dengan suara yang sedikit tinggi. "Aku tadi bertemu dengan Seyra. Dia mempermalukan mama di toko perhiasan. Aku tidak menyangka, Seyra yang dulunya terlihat sopan dan lembut, kini berubah menjadi kurang ajar dan menghina mama."Wajah Aldo langsung berubah serius ketika mendengar nama Seyra disebut oleh ibunya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, dan fokus memandang ibunya dengan penuh rasa penasaran. "Seyra? Mantan kekasihku? Apa yang dia lakukan, Ma?"Mira menghela napas panjang sebelum menceritakan kejadian di toko perhiasan tadi. Tentu saja dia melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya, agar Aldo semakin memb
Tatapan sang manajer beralih ke arah Seyra. Matanya bergulir dari atas hingga ke bawah, meneliti penampilan wanita itu. Dia bisa menebak, jika Seyra hanyalah seorang pekerja kantoran."Maaf, Nona. Mungkin lebih baik Nona mengalah. Masih banyak perhiasan model lain di toko ini. Biarlah Nyonya ini yang memiliki perhiasan itu," ucap sang manajer, berusaha masih menjaga kesopanannya."Tidak bisa. Saya yang akan tetap membeli perhiasan ini. Harusnya Anda bersikap profesional," kekeh Seyra pada pendiriannya. Dia tidak sudi menyerahkan perhiasan pilihannya pada orang yang sudah berulang kali menghinanya."Saya mohon, jangan dipersulit! Nona lebih muda. Harusnya Nona bisa mengalah." Manajer itu masih berusaha keras membujuk Seyra.Bila saja yang menginginkan perhiasan itu adalah orang lain, mungkin Seyra akan mau mengalah. Namun Mira sudah menginjak-injak harga dirinya, bahkan menghina ibunya dengan keji, tentu saja Seyra tidak mungkin terima dan mau mengalah, meski Mira lebih tua darinya.Se
"Tidak. Saya yang lebih dulu memilih perhiasan itu. Jadi saya lebih berhak dari Nyonya. Anda tidak bisa ambil barang yang bukan milik Anda." Seyra tidak akan mengalah. Sudah cukup dia dihina dan direndahkan di hari pernikahan. Kali ini dia harus membalas penghinaan itu dan tetap mempertahankan harga dirinya. Dia tidak akan membiarkan Mira menginjak-injak dan mempermalukan dirinya untuk kedua kalinya.Pelayan berusaha memberi pengertian pada Mira. "Maaf, tapi aturan kami adalah barang akan diberikan kepada pelanggan yang lebih dulu memilihnya.""Ini tidak adil!," ucap Mira dengan marah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya aku mau kalung itu sekarang juga.""Tapi, Nyonya ...." Mira mengangkat tangannya, menyuruh sang pelayan untuk diam.Kemudian tatapan tajam Mira tertuju pada Seyra yang masih tidak gentar menghadapinya. "Kamu pasti hanya menggertak. Kamu pasti tidak sanggup membayar kalung itu kan?""Saya sanggup," balas Seyra yakin.Mira mengerang kesal. Dia tidak menyangka jika Seyra masi