"Aku mohon jangan bicara seperti itu, Neng. Aku minta maaf... aku mohon maafkan aku," mohon Azlan, dia meraih tangan Nauma tetapi dihempaskan tanganya oleh Nauma. "Kalau memang Akang mencintaiku, setidaknya beri aku kabar. Pagi hari Akang mendiamiku dan menyuruhku untuk tidak menunggu. Apa ini yang Akang maksud? Aku yang bodoh terus saja berharap Akang kembali, aku yang bodoh sudah percaya dengan cintamu Kang," ucap Nauma sambil menangis. "Bukan... bukan itu maksudnya. Waktu itu aku kesal karena kamu tidak memberitahuku tentang Codet yang mau mencelakaimu. Aku bersumpah, tidak ada niat untuk meninggalkanmu seperti yang kamu katakan." Nauma hanya terdiam tidak menjawab pembelaan Azlan, hatinya sudah terlanjur sakit dengan apa yang diterimanya. Dia memunggungi Azlan, enggan untuk melihat wajahnya. "N-neng, kamu ada hubungan apa dengan Fero?" Azlan bertanya dengan keraguan, tetapi dia juga ingin tahu bagaimana Nauma bisa mengenal Fero? Pria yang beberapa waktu lalu sudah merendahkanny
"Maaf... maafkan aku...." Azlan menurunkan kakinya dari pangkuan Nauma, dia memeluk tubuh istrinya dengan erat. Tidak ada pemberontakan dari Nauma. Justru Nauma membalas pelukan Azlan tak kalah erat. Mereka berdua menumpahkan kesedihan yang sedang mereka rasakan di dalam pelukan itu. Azlan mengusap rambut Nauma dan berulang kali mengecupi kening istrinya. "Maafkan aku... maafkan aku...." berulangkali Azlan memohon maaf kepada Nauma. Hanya permohonan maaflah yang keluar dari bibirnya. Nauma mengangguk dalam pelukan, siapa saja yang melihat mereka pasti ikut merasakan kepedihannya. Tanpa mereka sadari, ada seorang pria yang memperhatikan interaksi mereka. Pria itu adalah Fero, awalnya dia mengkhawatirkan Nauma dan kembali lagi ke apartemen untuk melihat keadaannya. Tetapi dia malah mendapatkan kabar dari salah satu penghuni apartemen, kalau Nauma sedang dilarikan ke rumah sakit. Dia tersenyum kecut melihat Azlan dan Nauma yang sedang berbagi kesedihan. "Hallo," sapa Fero. Dia memasuk
"Kamu istrirahatlah dulu, biar aku yang mengurus semuanya, jangan banyak berpikir," ucap Azlan. Dia menggendong istrinya dan merebahkannya di atas kasur. Meskipun Nauma sudah memaafkannya, tetapi sikap Nauma masih terlihat dingin. "Jalani saja kontrak itu, tidak usah memikirkanku. Lagian dari mana kita memiliki uang sebanyak itu untuk membayar denda?" ucap Nauma. Azlan terdiam, tidak ada kata yang bisa diungkapkan lagi, perkataan Nauma tidak ada yang salah. Mereka sudah terjebak di dalam kontrak itu. Mau tidak mau, Azlan harus menjalani semuanya hingga kontrak itu berakhir. "Hanya satu yang aku minta dari kamu, Kang. Bersikaplah biasa seperti dulu, dan jangan berbuat kasar padaku lagi apapun yang terjadi," pinta Nauma. Perlakuan Azlan menjadi pukulan berat dalam hidupnya, Nauma tidak menyangka jika pria yang selama ini dicintainya mampu berbuat kasar kepadanya, hanya karena alasan cemburu. Azlan menganggukkan kepalanya menjawab permintaan Nauma, dia juga merasa menyesal telah bers
"Pokoknya aku tidak suka kalau kamu bekerja, mencari nafkah adalah tanggung jawabku sebagai kepala keluarga, tidak ada penolakan," ucap Azlan. Dia masih kukuh tidak membolehkan Nauma bekerja, cukup dirinya saja yang bekerja. "Ayo pulang, aku sudah tidak betah berada di sini terlalu lama," balas Nauma tanpa melanjutkan pembicaraan mereka tadi. Azlan menghela napasnya, berusaha bersabar dengan sikap dingin yang Nauma berikan. Azlan membawa semua barang bawaannya, tas punggung sudah berada di pundaknya, tangan kiri memegang tas jinjing, sedangkan tangan satunya merangkul pundak Nauma. Mereka berjalan dengan santai, sampai tiba di depan lobi rumah sakit. Mereka menunggu taksi online yang sudah dipesan oleh Azlan, kali ini tidak ada kesulitan lagi seperti kemarin saat mencari taksi. Tidak ada percakapan di dalam perjalanan mereka, tetapi Azlan selalu menatap istrinya meski Nauma lebih memilih memandangi keadaan di luar jendela mobil. "Kamu kenapa? Apakah ada yang sakit?" tanya Azlan saa
"Ayo masuk." Azlan membawa Nauma masuk dan tidak melanjutkan percakapan mereka. Begitu masuk, Nauma melepaskan rangkulannya dan dia melangkahkan kakinya ke kamar yang ada di dekat pintu masuk, bukan kamar mereka. "Kok kamu ke kamar ini, sayang?" tanya Azlan bingung. "Mulai sekarang aku mau tidur di kamar ini, terserah Akang mau tidur denganku di sini atau di kamar itu, aku tidak akan pernah bisa tidur di kamar itu. Tolong pindahkan semua barangku ke kamar ini," balas Nauma, kakinya terus saja melangkah memasuki kamar yang ukurannya lebih kecil dari kamar sebelumnya. Azlan menghembuskan napasnya lagi. 'Pasti dia teringat kejadian waktu itu, makanya tidak mau tidur di kamar itu lagi,' ucapnya dalam hati. "Baiklah, mulai sekarang kita tidur di kamar ini," balasnya meski tidak didengar Nauma. Azlan merapikan barang bawaannya, pakaian kotor diletakkannya di mesin cuci. Kemudian dia menyiapkan makanan untuk Nauma, dia memasak sendiri bubur untuk istrinya dengan penuh rasa cinta. Rasa l
"Tampar lagi saja, lama-lama juga aku terbiasa menerima perlakuan kasarmu, Kang. Aku sudah tidak mengenal lagi siapa suamiku, kamu sudah berubah," ucap Nauma. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, matanya berkaca-kaca menyiratkan kepedihan yang teramat dalam. "Maaf... Maafkan aku," balas Azlan. Dia berlutut di kaki Nauma, tangannya masih saja menggenggam tangan Nauma yang mengepal. Wajahnya menunduk memohon ampunan pada istrinya. Dia sadar kalau dia tidak bisa mengontrol emosinya. Nauma menghapus air matanya dengan kasar, dihempaskannya tangan Azlan. "Maaf? Hanya kata itu yang bisa kamu ucapkan? Lalu apa lagi? Pasti kamu mengulanginya lagi. Ini sudah yang ke dua kalinya kamu bersikap kasar Kang, apakah seperti ini sikap seorang suami yang katanya mencintaiku? Cinta apa ini, Kang?" ucap Nauma dengan segala kepedihannya. Azlan mendongak melihat wajah istrinya, wajahnya terkena tetesan air mata Nauma yang terjatuh. Dia bangkit, berdiri menghadap istrinya. "Aku yang salah, tampar saja
"Berengsek!" Fero membalas pukulan Azlan. Perkelahian tidak terelakkan lagi, dua pria yang sama-sama sedang dibalut emosi mengeluarkan semua keahlian mereka. Berbagai pukulan dan tendangan sudah mereka berikan, keduanya sama-sama memiliki luka di wajah dan tubuh mereka. Hingga tiba asisten Fero menghentikan perkelahian mereka. "Berhenti! Apa-apaan kalian ini?!" bentak asisten Fero. Azlan masih saja memukuli Fero tanpa mendengarkan bentakan asisten Fero, para penjaga keamanan juga ikut melerai pertikaian mereka. Tubuh mereka ditarik menjauh oleh beberapa petugas keamanan, tetapi Azlan dan Fero tetap saja membrontak dan mengayuhkan kakinya ke udara. "Apa-apaan kalian ini?! Apa kalian tidak malu bertengkar di depan umum seperti ini? Bagaimana kalau ada media yang melihat kalian?" asisten Fero memarahi mereka berdua. Azlan menatap asisten Fero dengan tatapan tajamnya, dia masih kesal dengan apa yang dikatakan Fero. "Kamu pendatang baru jangan membuat ulah! Lihat hasil perbuatanmu, wa
"Itu Pak mobilnya, cepat hentikan Pak," pinta Azlan dengan tidak sabaran. Taksi yang Azlan tumpangi melaju dengan kecepatan penuh mengejar taksi yang ada di depannya. Begitu kedua mobil sudah mendekat, taksi yang Azlan tumpangi memotong laju mobil taksi yang ditumpangi Nauma. Azlan keluar dengan sangat tergesah-gesa lalu membuka pintu taksi yang ada di hadapannya. Begitu pintu terbuka, dia tidak mendapati Nauma, melainkan penumpang lainnya. "Mana wanita yang tadi kamu bawa?" tanya Azlan kepada pengemudi taksi. "Nona tadi sudah turun di persimpangan sana," balas supir taksi menunjuk tempat Nauma turun. Tanpa mengucapkan terima kasih Azlan langsung memasuki taksinya lagi, dan bergegas ke persimpangan yang ditunjukkan supir taksi tadi. Begitu sampai di persimpangan, dia langsung turun dari taksi dan membayarnya. Lalu dia mencari keberadaan istrinya yang entah ada di mana. Ternyata tidak jauh dari persimpangan itu ada sebuah taman yang sepi pengunjung. Azlan melangkah ke sembarang ar
"Kenapa saat hatiku sudah memilihmu jusrtu kau yang menghilang?" gumam Nauma sambil berjalan mencari taksi.Rumah Azlan yang ia datangi ternyata sudah dijual, tapi ia tak putus asa. Nauma mengunjungi Strar Entertaint, agensi tempat Azlan bekerja. Nauma pikir Azlan masih menjadi artis dan bekerja dengan Agnes."K-kamu Nauma?" tanya Fero yang tak sengaja melihat Nauma memasuki lobi kantornya."Ya, ini aku. Sudah lama kita tak bertemu," balas Nauma."Kau sudah berubah sekali, semakin cantik dan mempesona. Oh ya, untuk apa kau ke sini?" tanya Fero."Apakah Azlan ada di sini? Aku mencari ke rumahnya tapi ia tak tinggal di sana lagi, nomor ponselnya pun sudah tak aktif lagi," tanya Nauma.Fero mengembuskan napas saat mendengar pertanyaan Nauma. "Dia sudah tak bekerja di sini lagi, sekarang dia tak memiliki pekerjaan, semua harta yang diberikan Mr. Jhon pun sudah diambil dan dia sudah tak memiliki apapun. Tapi untuk apa kau mencarinya, bukankah kau sudah menikah dengan Mr. Jhon?" tanya Fero
"Kenapa Azlan, Nak?" tanya Ibu Tomi sambil berlari karena mendengar teriakan anaknya."Kak Azlan tak sadarkan diri, Bu. Lebih baik kita bawa ke rumah sakit sekarang," balas Tomi cemas.Tomi dan ibunya membawa Azlan ke rumah sakit terdekat, sepanjang perjalanan ia merasa cemas karena keadaan Azlan. Wajahnya sudah terlalu pucat, mata menghitam dan terlihat lebih kurus dari biasanya.Ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh tanpa memperdulikan makian pengguna jalan lainnya. Ibu Tomi pun merasa cemas karena tak biasa berada di jalan raya dengan kecepatan seperti ini."Hati-hati, Nak," ucap Ibu Tomi memperingati anaknya.Begitu sampai di rumah sakit mereka langsung melarikan Azlan ke ruang UGD. Dalam perjalanan menuju UGD mereka bertemu dengan Fero yang kebetulan sedang syuting di rumah sakit untuk film terbarunya. Fero pun membantu Tomi mendorong brangkar pasien."Apa yang terjadi? Mengapa ia jadi seperti ini?" tanya Fero."Nanti aku ceritakan, yang penting kondisi Kak Azlan membaik dulu
"Maaf Nyonya. Semua biaya atas nama Axcel sudah dilunasi," ucap petugas administrasi saat Nauma ingin membayar tagihan rumah sakit."Siapa yang telah membayarnya?" tanya Nauma penasaran."Pria yang mendonorkan mata untuk anak anda."Nauma terkejut dengan apa yang ia dengar. Azlan menjalankan peran sebagai Orangtua yang sesungguhnya dengan menjaga Axcel tanpa sepengetahuannya. Bahkan biaya operasi yang terbilang mahal pun Azlan lakukan. "Baiklah kalau begitu, terima kasih."Nauma pergi dengan tatapan kosong, ia masih memikirkan Azlan di hatinya. Nauma pun merogoh tas kecil yang ia bawa dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor Azlan hendak menelpon dan mengucapkan rasa terima kasihnya."Kenapa nomornya tidak aktif?" gumam Nauma.Nauma kembali menelpon Azlan dengan nomor yang dulu Azlan gunakan sebagai Mr. A, tapi tetap saja nomor itu tak aktif sama sepeti nomor sebleumnya. "Kenapa nomor ini juga tak aktif? Apakah ia mengganti nomornya?" gumam Nauma."Ada apa?" tanya Mr. Jhon menghamp
"Mengapa kau ada di sini?" tanya Nauma begitu seorang pria keluar dari kamar mandi.Azlan terkejut saat melihat kehadiran Nauma di ruang rawatnya, ia tak bisa menjawab pertanyaan Nauma. Nauma pun terlihat menahan kesedihannya sambil memandang wajah Azlan yang terdapat perban di bagian mata. "Apakah kau yang mendonorkan mata untuk Axcel?" tanya Nauma lagi.Azlan masih terdiam, ia tak tahu harus menjawab apa, rasanya percuma ia menyembunyikan identitasnya saat Nauma mengetahui apa yang ia lakukan.Azlan mengambil ponsel Nauma di lantai dan memberikannya. Ia pun tersenyum dan berkata. "Tenang saja, aku akan pulang begitu pengobatan ini selesai, aku pun janji akan menghilang dari hidup kalian," ucap Azlan menahan sesak di hati.Nauma tak menerima ponsel yang Azlan berikan, ia masih terpaku pada wajah Azlan yang berbalut perban. Tanpa ia sadari air mata sudah jatuh begitu saja membasahi pipi. Azlan pun panik dengan kesedihan yang Nauma tampakkan. Ingin sekali rasanya memeluk wanita yang
"Tentu saja bisa, tapi kau harus melewati serangkaian tes terlebih dulu untuk melihat kecocokan mata kalian," ucap sang dokter."Baiklah, aku akan melakukan tes itu sekarang juga," balas Azlan.Azlan menjalani pemerikasaan dan ia bersyukur karena matanya cook untuk didonorkan. Tomi merasa cemas dengan keputusan yang diambil Azlan. Sedangkan Azlan memantapkan hati untuk kesempurnaan anaknya. Ia tak akan tega melihat Axcel hidup dengan kekurangan."Apakah kau serius dengan keputusanmu, Kak?" tanya Tomi."Tentu saja, kau tenanglah, bukan hal buruk hidup dengan satu mata," balas Azlan.Dokter memberikan jadwal operasi pada Azlan, serangkaian tindakan pun telah Azlan lakukan. Hari demi hari ia tinggal di rumah sakit, dan mendapati kabar bahwa operasinya telah berhasil. Rasa syukur selalu ia ucapkan.Azlan pun melihat keadaan Axcel saat malam tiba, tentunya hanya dari luar jendela. Ia tak ingin Nauma mengetahui apa yang ia lakukan untuk anaknya."Syukurlah kalau kau sudah bisa melihat denga
"Tapi mobil itu adalah mobil kesayangamu, Kak," balas Tomi."Tak ada yang lebih penting dari keselamatan anakku, aku harus segera menemuinya. Hati ini tak akan tenang jika belum melihat keadaannya dengan mata kepalaku sendiri. Sekarang juga kau temani aku ke dealer mobil," ucap Azlan.Azlan berlari menuju kamarnya mengambil kunci mobil serta berkas yang dibutuhkan, kemudian ia dan Tomi langsung menuju dealer mobil tempatnya membeli dulu. Pekatnya malam membuat jalanan semakin lengang, hingga Tomi berpikir dealer yang mereka tuju pasti sudah tidak beroperasi."Sepertinya Dealer mobil sudah tutup di jam segini, Kak. Lebih baik besok saja kita ke sana," ucap Tomi."Semoga saja belum." Azlan mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, hingga Tomi berpegangan pada tali pengaman yang ada di tubuhnya.Harapan Azlan tak menjadi kenyataan, dealer mobil yang mereka tuju sudah tutup, tapi Azlan tak patah semangat. Ia mencari dealer mobil lainnya yang masih buka. Keberuntungan tak berpihak padanya
Nauma : Entahlah, aku pun tak tahu apa yang aku rasakan. Benar apa yang kau katakan, masih ada cinta untuknya. Tapi saat mengingat pengkhianatannya aku merasakan sesak yang sangat menyakitkan. Terlebih kemarin ada seorang pria yang melamarku, pria itu yang selama ini menjagaku dan anakku.Azlan tak langsung membalas pesan itu, ia sadar jika kesalahannya tak mungkin bisa dimaafkan begitu saja. Azlan pun yakin, pria yang dimaksud Nauma adalah Mr. Jhon. Senyum pahit terukir di wajahnya, merasa tak memiliki harapan sama sekali.Azlan : Ikutilah apa yang hatimu katakan, aku doakan kebahagiaan untukmu. Semoga kau mendapatkan cinta yang tulus dan tak tersakiti lagi.Nauma : Terima kasih kau sudah mau mendengarkanku, padahal kita tak pernah saling mengenal, tapi entah mengapa rasanya nyaman sekali berbicara denganmu.Azlan : Jangan berterima kasih karena aku tak melakukan apapun. Jika kau membutuhkan teman bercerita kau bisa menghubungiku. "Ya, lebih baik kau bersama dengan Mr. Jhon, pria it
"Kau yang siapa? Mengapa pintu rumahku tak bisa dibuka seperti ini?" tanya Azlan ksal."Ini adalah rumahku, sudah dua tahun aku membeli rumah ini dari Jenifer," balas pria paruh baya yang ada di hadapan Azlan."Kakak dan adik itu membuat hidupku menderita saja, seenaknya menjual rumahku," gumam Azlan."Aku tak pernah menjual rumah ini, dan aku tak pernah menandatangani surat jual beli rumah ini," ucap Azlan pada pemilik rumahnya."Tapi aku membelinya dengan resmi, apakah kau Tuan Azlan?""Ya, benar aku Azlan.""Masuklah Tuan, aku akan tunjukkan berkas pembelianku dulu, tanda tanganmu pun ada di berkas itu."Azlan memasuki rumah dan menunggu di ruang tamu, sudah banyak perubahan di rumah ini. Bahkan barang-barang yang dulu sudah di ganti oleh pemilik barunya. Azlan menaruh kesal di hati saat mengetahui rumahnya telah dijual oleh Jenifer."Sebelumnya perkenalkan, aku Ryan," ucap pemilik rumah memperkanalkan diri."Mana berkasnya?" tanya Azlan tak sabar.Ryan mengeluarkan surat perjanjia
Azlan : Aku berasal dari Indonesia.Nauma : Kebetulan, aku juga berasal dari Indonesia, senang berkenalan denganmu.Pesan demi pesan mereka balas hingga menjelang malam. Ketenangan hadir di hati saat bisa bertukar pesan dengan wanita yang dicintainya. Azlan tidur dengan nyenyak sambil memeluk ponselnya. Berbulan-bulan sudah ia tinggal di negara orang.Berkali-kali pula ia mencoba mendekati Nauma dan Axcel, tapi hanya penolakan yang ia terima. Tabungannya pun sudah hampir habis, pekerjaan di Jakarta pun sedang menunggunya. Azlan memutuskan untuk menemui Nauma dan Axcel, ia ingin sekali lagi memperjuangkan perasaannya."Ya, ini adalah yang terkahir, jika mereka masih menolakku, maka aku akan pulang ke Indonesia," gumamnya sambil mengenakan jaket.Azlan menuju apartemen Nauma menggunakan bus, sepanjang perjalanan ia berdoa agar Nauma mau menerimanya lagi. Hanya sekedar harapan dengan kemungkinan kecil, ia tak begitu yakin jika Nauma mau menerimanya lagi. Terlebih penolakan-penolakan yang