"Untuk dua hari ini kita menginap di sini sampai Papa menemukan rumah yang tepat untuk kita tinggali," ucap Albert. Wajahnya terlihat sangat lelah dan ia langsung menghempaskan tubuhnya di sofa kamar hotel itu. Mereka memesan dua kamar, tetapi saat ini Marcell berada di kamar orang tuanya untuk berdiskusi.
Sebenarnya Marcell malas berada di ruangan ini bersama kedua orang tuanya. Itu karena dia sangat kecewa dan membenci perbuatan Sally dan Albert. Tetapi walaupun perbuatan orang tuanya sangat tercela, mereka tetap adalah orang tua yang sangat baik dalam memperlakukan Marcell. Mereka selalu memberikan kasih sayang dan cinta yang melimpah ruah untuk Marcell. Mereka mendukung dan memanjakannya. Hati Marcell sama sekali tidak bisa menyingkirkan fakta itu. Itu sebabnya dia mau duduk di situ dan membahas masa depan bersama mereka.
Sally menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan memijat kedua pelipisnya. Tidak lama setelah itu, ia kembali menatap
Marcell segera berdiri dan menghampiri papanya. "Pa, tenangkan dirimu," ucapnya sambil memegang kedua bahu papanya. "Bagaimana....bagaimana bisa aku tenang!" teriak Albert. Tangannya gemetar menunjuk ke arah Sally. "Gara-gara dia....gara-gara dia, aku membuang anak kandungku sendiri. Dan gara-gara dia, papa kandungku jadi membenciku. Sekarang, untuk mencoba bangkit pun dia juga yang langsung menghancurkan. Aku tidak mengerti...aku sungguh tidak mengerti pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku mencintai wanita iblis seperti dia?" Tangis Sally mengeras mendengar ucapan Albert. Sally tahu Albert pasti membencinya saat ini. Marcell mengatupkan mulutnya. Ingin sekali dia berkata bahwa papanya juga berhati iblis. Kalau tidak, mana mungkin bisa terpengaruh oleh keinginan jahat mamanya. Tetapi keadaan tentu akan semakin kacau jika dia berkata seperti itu sekarang. Marcell sungguh stres menghadapi semua ini. Dia juga ingin
16+ "Aku ingin segera ke kamarku, tapi ada yang ingin kutanyakan pada Papa dan Mama," ucap Marcell setelah mereka selesai berembuk tentang rencana ke depannya "Tanyakanlah," sahut Albert. "Apa yang membuat Papa tega membuang Green padahal dia adalah darah daging Papa sendiri?" tanya Marcell. Albert mendesah. "Ini karena pengaruh mamamu. Berawal dari mamamu yang sangat kesal dan cemburu karena kakekmu terlihat lebih sayang pada Green daripada kamu." "Tapi ini bukan sekedar karena pengaruh Mama, Marcell," sela Sally. "Sewaktu Green masih balita, dia bukan hanya sering kejang, tetapi dia juga terlihat bodoh, apalagi saat dia menatap, terlihat sekali bodohnya. Papamu merasa malu terhadapnya, itu sebabnya dia setuju dengan Mama untuk menyingkirkannya." Sally menjelaskan apa adanya. Dia tidak mau jika hanya dirinya saja yang dinilai buruk oleh putranya.
Budianto Assa dan Mirna Wati bersama putra mereka Rafa saat ini berada di mobil dalam perjalanan menuju ibukota. Tadi mereka dijemput dan diminta mengemas semua barang-barang mereka yang berharga. "Yeeeeeeiiii! Akhirnya aku akan bertemu Kak Green. Aku kangen banget sama Kak Green!" Rafa tampak riang gembira. Budi dan Mirna tersenyum melihat putra mereka yang begitu bersemangat. "Benarkah kita akan menetap di ibukota, Bu?" tanya Rafa menatap ibunya dengan tatapan berbinar. Tentu saja dia berharap jawabannya adalah iya. "Iya, sepertinya begitu," jawab Mirna. Mereka diminta mengemas barang, apa lagi kalau bukan akan menetap di ibukota? Mata Rafa melebar. "Ayah! Kalau kita pindah ke sana, berarti ayah tidak bekerja lagi dong?" Rafa tampak agak cemas. "Sepertinya ayah akan mencari pekerjaan yang baru nanti." "Ayah minta pekerjaan
Seperti biasa setiap pagi sambil menunggu Evelyn menyajikan sarapan, Alex menonton berita di televisi. Mata Alex melebar saat dia melihat berita yang cukup menggemparkan. "Apa ini?" gumamnya heran. "Ada apa, Pa?" tanya Veronika yang sedang santai menuruni tangga. Dia sudah bersiap-siap, tinggal sarapan lalu berangkat ke kampus. Alex tidak menjawab pertanyaan putrinya, sebaliknya mata dan telinganya tampak berfokus pada berita yang disajikan. Veronika penasaran. Dia menghampiri papanya dan ikut menonton. Seketika matanya melebar melihat berita tak terduga itu. Tanpa sadar tangannya menutup ke arah mulut. "Bagaimana bisa tiba-tiba begitu? Apa yang terjadi, Pa?" tanya Veronika heran. Evelyn menghampiri mereka. "Ada apa? Serius banget? Ayo sarapan dulu." Veronika menyahut, "Ini, Ma. Beritanya, Tuan Albert Williams, papanya Marcell, tidak lagi menjadi CEO di Williams Global
Marcell melangkah gontai menuruni tangga rumah baru mereka. Dua hari lalu mereka sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru. Sangat repot dan melelahkan. Alisnya sedikit menaik saat melihat ibunya sedang mengumpat duduk di sudut sofa lantai bawah. Dia pun menghampiri Sally."Ada apa, Ma?" tanyanya walau dia sudah bisa menebak apa yang membuat ibunya itu marah."Marcell, kamu baru saja berhasil menjual mobilmu, dan setengah hari setelahnya, berita tentangmu yang telah menjual mobil pribadi tersiar dengan cepat hingga ke luar negeri. Semua orang menjadi riuh. Banyak sekali hinaan yang dilontarkan publik pada kita. Lihatlah ini!" Mata Sally yang semula marah kini menjadi berkaca-kaca saat ia mengulurkan ponselnya pada Marcell.Marcell menerima ponsel ibunya dan mulai membaca beberapa komentar netizen terhadap mereka."Kok jual mobil? Apa sudah nggak bisa makan?""Ya begitulah akhir dari manusia bejat dan serakah. Hahahaha! 😂😂😂""Padahal mer
Mirna Wati merasa tidak nyaman akan sikap Sally. Dia tahu bahwa Sally pasti merasa harga dirinya jatuh lantaran mereka bertetangga sekarang. Mirna sendiri tidak menyangka akan hal ini."Ini sungguh kebetulan, Nyonya Sally," tanggap Mirna dengan rendah hati. "Anda hendak ke mana? Mungkin kita satu arah. Kami bisa mengantar anda sekalian.""Tidak perlu," ketus Sally. "Aku yakin pasti kalian kan yang membocorkan masalah Green pada papa mertuaku? Itu sebabnya sekarang kalian bisa hidup enak. Sungguh licik!"Kening Mirna mengerut. "Tidak. Kami sama sekali tidak melakukan itu. Kalau kami ingin melakukannya, pasti sudah dari dulu kami lakukan. Kami tidak memiliki keberanian sebesar itu, Nyonya Sally.""Bulls**t!" umpat Sally.Mirna mendesah. "Baiklah kalau anda menolak tumpangan dari kami, Nyonya Sally. Kami permisi." Mirna lalu masuk ke dalam mobil dan mobil itu melaju pelan meninggalkan Sally yang berdiri tegang penuh emosi. Rasanya Sally ingin segera p
"Marcell!" Veronika memberanikan diri memanggil Marcell dan langsung menghalangi jalannya. Dia mendongak menatap Marcell. Mereka saling menatap dalam diam."Apa?" Akhirnya Marcell yang duluan membuka mulut."Aku tidak tahu apa gosip itu benar atau tidak. Tapi kalaupun orang tuamu memang bersalah, aku merasa itu tidak adil jika orang-orang ikut menghinamu. Itu sebabnya aku tidak bisa menahan diri untuk memarahi mereka.""Oh. Tapi berhentilah ikut campur masalahku," ucap Marcell melangkahkan kakinya, tetapi lagi-lagi Veronika menghalangi."Kenapa sih kamu bersikap dingin begini, padahal aku kan bermaksud baik?" ucap Veronika dengan raut sedih."Kenapa memangnya kalau aku bersikap dingin? Kamu mau mengatakan bahwa aku adalah orang sombong seperti kata mereka semua?" Marcell bersedekap."Tentu saja tidak," sangkal Veronika cepat. Dia terlihat tampak ragu tapi kemudian dia bertanya, "Apa....kamu masih membenciku karena persoalan Hana waktu itu? Persoalan ancaman skandal yang kutujukan padan
Tepat memasuki jalanan yang sepi, suara sebuah mobil dan deru motor yang tidak tahu berapa jumlahnya terdengar bising melomba mereka."Lihat!" seru Hana dengan kening mengerut dalam ketika terus mengamati jalan belakang."Jack, mereka ada banyak," lapor Julia dengan nada ringan."Siapa pun mereka, mereka jelas bermaksud jahat. Percepat laju mobil, kalau tidak kita akan terkejar, Jack!" seru Hana kembali dengan panik."Tidak sempat," ucap Julia."Bukan tidak sempat," ucap Jack saat sebuah mobil telah berhasil memblokir jalan mereka. "Hanya saja, bukankah tadi Nyonya Muda penasaran siapa mereka? Akan kucari tahu sekarang," sambungnya lagi.Hana terperangah mendengarnya. Dia memang sempat bertanya siapa mereka, tetapi bukankah tentu lebih aman jika mereka segera melarikan diri dari mereka?Suara deru motor yang begitu bising cukup mengganggu telinga mereka. Motor-motor itu segera mengepung mobil Jack."Mereka benar-benar banyak," gumam Green dengan kening mengerut.Tiga orang keluar dar
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be