Hana bisa merasakan genggaman tangan Green yang semula hangat berubah menjadi sedingin es dan bergetar. Dia langsung mendongak menatap Green yang sudah memucat. Matanya melebar melihat wajah suaminya itu dan dengan cepat ia beralih menatap Baron dan kedua temanya.
Kening Hana mengerut. "Kenapa mereka bertiga membuat Green setakut ini? Padahal kami sedang berada di tempat umum. Apa jangan-jangan laki-laki yang bernama Baron ini adalah tipe orang yang nekat?"
Apa yang dipikirkan Hana tepat sekali. Baron memang orang yang nekat. Dia memiliki jiwa psikopat di dalam dirinya, syukurnya tidak begitu kental. Kalau tidak, mungkin dia sudah menjadi pembunuh.
"Kalian mau apa?" tanya Green dengan suara tercekat menatap Baron. Dengan cepat dia menarik Hana, menyembunyikan istrinya itu ke belakang tubuhnya.
Hana tercengang, jelas-jelas Green sangat ketakutan tetapi suaminya itu tidak lupa untuk tetap melin
Maaf karena telat update. ʕ´• ᴥ•̥`ʔ Selamat membaca! ༼ つ ◕‿◕ ༽つ
Alasan Jack mengawal Green dari tempat tersembunyi, tidak lain karena Jack tidak ingin kehadirannya mengganggu momen kebersamaan tuan muda dengan nyonya mudanya.Itu sebabnya saat Baron menyerang Green secara tidak terduga, Jack dengan sigap menggunakan pistol mininya. Dia tahu betul bahwa dia tidak akan sempat melesat ke sana untuk menghentikan Baron, si bocah bodoh itu. Sekalian saja dia juga menembak betis dua bocah lainnya. Menurut Jack, ketiga bocah bodoh itu memang pantas mendapat tembakan darinya, bahkan lebih dari pantas. Seandainya bos Jack adalah seorang mafia, Jack pasti sudah meledakkan kepala mereka bertiga.Di lapangan kampus kemarin, saat Jack melihat Green memucat dengan tubuh gemetar melihat Baron, Jack langsung menyuruh anak buahnya untuk menyelidiki siapa Baron. Ternyata dari semua pembully yang pernah membully Green di masa sekolah, Baronlah yang paling kejam dalam menyiksa Green! Disiksa terus-menerus oleh ketiga orang i
"Kamu harus memberi tahuku sebenarnya dia siapa?" Hana bertanya kembali. "Aku tidak yakin kalau dia hanyalah anak dari tukang kebun Julia. Pasti itu bohong juga, kan?" Wajah Green semakin muram. "Soal Jack, apa itu penting?" "Tentu saja. Bukankah dia sudah menolong kita? Dia pahlawan kita, Green! Kalau tadi Jack tidak sedang berada di sana, aku yakin pria gila itu sudah membuat kita berdarah-darah! Aku sangat bersyukur karena dia ada di sana?" Hana sedikit melompat seperti penggemar baru. Green menelan ludahnya. Dia tidak senang mendapati Hana seperti itu, mengagumi pria lain. "Apa kamu tidak berpikir kenapa dia ada di sana?" "Bukankah kamu bilang kebetulan?" Walaupun menurut Hana itu kecil kemungkinannya tetapi bisa saja itu memang kebetulan. "Kapan aku bilang bahwa itu kebetulan?" Suara Green tampak sedikit tidak sabar. "Memang tidak ada. Tapi t
Menjelang malam, Albert menelepon pihak yang ia suruh untuk menculik Green. "Kenapa kalian tidak memberikan laporan apa pun padaku?" tanyanya dengan kening mengerut. "Maafkan kami, Tuan. Tuan Muda Green memiliki pengawalan yang ketat. Kami sulit untuk bergerak." Pengawalan? "Apa maksudmu?" "Tuan Muda Green memiliki pengawal yang licin, dan.... dan... banyak, tidak hanya satu.. Mereka melumpuhkan kami satu per satu, Tuan," ucap pria itu dengan suara tercekat. "Apa kau tahu siapa mereka, siapa di balik semua ini?" tanya Albert tak sabar. Dia sungguh terkejut mendengar hal itu. "Kami tidak tahu, Tuan. Maafkan kami karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik." "Dasar bodoh!" umpat Albert. Setelah selesai melakukan panggilan, dia memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia merasa ini s
Kemarin malam, Hana meminta Green menunjukkan uang yang ia miliki tetapi Green mengatakan, "Percaya padaku, Hana." Hana hanya bisa mengatupkan mulutnya. Dia tidak mau membuat Green tersinggung jika ia lebih mendesaknya. Kesannya dia sama sekali tidak percaya pada Green. Padahal Hana meminta seperti itu agar dia merasa lega. Alhasil, hingga siang ini rasa tidak tenang terus mengganggunya. Bahkan saat ini jantung Hana sudah berdebar dengan kencang dengan pikiran bercampur aduk. "Kami berdua benar-benar ada di sini sekarang! Uang itu, uang itu pasti ada!" seru Hana dalam hati meyakinkan dirinya sendiri. Dia menoleh menatap Green yang tampak tenang. Dia juga melirik Jack yang berdiri di belakang mereka. "Ini...Ini tidak akan menjadi lelucon yang memalukan, kan? Tidak mungkin! Green begitu yakin. Uang itu pasti ada! Iya uang itu pasti ada! Tidak mungkin tidak ada! Kami bahkan sudah melangkah kemari dengan pasti! Tapi jika uang itu memang ada,
Semua menatap Erina. Lalu Rudy dan Gerry ikut-ikutan melihat layar perangkat Erina. Benarkah nama Green yang tertera di sana? Benarkah Green sendiri yang membayarnya?"Bukankah.....namamu Green Assa? Kenapa....di sini bernama.....Green Williams?" tanya Erina dengan rasa bingung. Tetapi tetap kebingungan utamanya adalah dari mana Green mendapat uang sebanyak itu?"Mungkin Nenek salah baca," ucap Marcell. "Setahuku namanya memang Green Assa.""Tidak, Nenek tidak salah baca, Marcell," jawab Erina.Marcell diam. Walaupun sedikit tidak enak mendengar nama yang sama yaitu Williams. Marcell hanya berpikir bisa saja itu hanya kebetulan sama. Yang ia pertanyakan kenapa namanya berubah? Atau memang nama asli Green adalah Green Williams?"Di sini tertera Green Williams. Siapa sebenarnya nama kamu?" tanya Rudy pada Green. Kali ini dia berbicara tanpa nada membentak.Gree
Tanpa berkata-kata Marcell langsung berdiri dan keluar dari ruangan itu. Baginya tidak ada seorang pun yang perlu dihormati di ruangan itu. Jadi untuk apa dia berbasa-basi permisi pada mereka? "Marcell?" Ketiga orang tersebut terkejut melihat Marcell pergi begitu saja tanpa pamit. "Rudy, susul dia!" seru Erina. Rudy segera menyusul keluar. "Nak Marcell. Kenapa kamu langsung keluar tanpa berucap apa pun? Maafkan jika suasana membuatmu tidak nyaman. Hal ini sungguh tidak terduga," ucap Rudy begitu dia mencegat Marcell. "Dasar penjilat," gumam Marcell tetapi mampu didengar oleh Rudy. "Apa?" ucap Rudy terkejut. Marcell tidak berkata apa-apa lagi. Dia langsung meninggalkan Rudy di sana. Rudy sungguh tidak nyaman mendengarnya. Tetapi kemudian ia segera masuk ke dalam ruangan. Dia mendengar Green sedang berbicara. "Kalian memang ke
"Green Williams," gumam Hana dengan mata terpejam saat ia merendam tubuhnya di bathtub yang berisi air hangat bercampur dengan minyak esensial murni.Beberapa hari ini adalah hari yang luar biasa bagi Hana. Dimulai dari hari ketika ia bertemu dengan Green yang ternyata masih hidup dan dalam keadaan sehat. Dan hari ini, dia adalah pemilik sah dari PT. Andalan Winata. Hana tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.Namun yang mengganggu pikiran Hana saat ini adalah nama asli Green yang sekarang adalah Green Williams. Karena nama itu, Hana tidak bisa mencegah pikirannya untuk tidak mengaitkan Green dengan Marcell."Apa mereka memiliki hubungan? Pertama, wajah mereka begitu mirip. Kedua, Green mampu membeli perusahaan besar seolah itu bukan apa-apa.""Tetapi sikap Marcell sendiri seolah dia tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Green.""Hufft...membingungkan!" Hana menghela n
"Jadi, kamu masih memiliki keluarga kandung?" tanya Anton. "Iya, Pa." "Jadi, di mana mereka sekarang? Papa ingin bertemu secepatnya dengan keluargamu!" sahut Anton kembali. Keluarga Green pastilah orang hebat, itu sebabnya Green bebas menggunakan uang dengan jumlah yang besar! "Iya, Mama juga ingin bertemu langsung dengan mereka, Green. Pertemukanlah kami dengan mereka," timpal Jihan tak kalah bersemangat dari suaminya. "Baiklah, Pa, Ma. Kebetulan keluargaku akan datang dari luar negeri malam ini, jadi besok aku bisa mempertemukan kalian," ucap Green. Tadi Reyhans memang sudah mengabari Green bahwa dia akan datang ke negeri ini malam ini juga. Dan Reyhans meminta Green untuk membawa kepadanya cucu menantu perempuannya itu besok. Mulut Hana terbuka mendengarnya. Ternyata lebih cepat dari yang ia bayangkan! Hana mendadak gugup.