Green saat ini berada di sebuah ruangan terkunci yang hanya berisi sebuah ranjang dan sebuah meja. Di ruangan itu, juga terdapat toilet. Seluruh memar dan luka di tubuh dan wajahnya sudah diobati, dia juga diberi makan. Pengawal-pengawal itu memperlakukan dia dengan baik. Tetapi Green saat ini sedang gusar. Walaupun gadis itu berkata bahwa dia tidak kekurangan satu hal pun dari tubuhnya, tetap saja Green memiliki keraguan tersendiri. Itu semua karena dia dan gadis itu hanya menyisakan pakaian dalam di tubuh mereka. Green masih berupaya keras mengingat kejadian tadi malam. Tetapi semakin dia mencoba untuk mengingatnya, semakin sakitlah kepalanya.
Dengan sebelah tangan, dia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Yang dia ingat cuma adegan ciuman saja, setelah itu dia tidak ingat apa pun. Bagaimana seluruh bajunya terbuka dan hanya menyisakan pakaian dalam, dia juga tidak ingat sama sekali. Apa benar dia telah berbuat tak senonoh dengan gadis itu? Green saat ini merasa sangat berdosa. Dia takut jika dia telah merusak seorang gadis. Padahal gadis itu yang telah berupaya menolongnya agar tidak bunuh diri. Sekarang keadaan malah semakin kacau.
Kalau sudah seperti ini, apa nanti dia akan dimasukkan ke penjara? Green menggeleng. Tidak mungkin. Bukankah kejadian ini terjadi akibat teman Hana yang menaruh sesuatu di dalam makanan itu? Jadi tidak mungkin dia dimasukkan ke penjara. Ini bukan kesalahannya. Atau jangan-jangan ia akan dituntut untuk bertanggungjawab dengan menikahinya? Apa mungkin seperti itu? Green menghela nafas berat. Bukannya dia tidak mau bertanggungjawab. Masalahnya dia merasa tidak mampu untuk menjadi seorang suami. Melindungi diri sendiri saja dia tidak mampu, apalagi melindungi Hana dan mungkin nanti...calon anaknya.
Tetapi..tetapi, bisa saja kan bahwa tadi malam sebenarnya tidak terjadi apa-apa? Mudah-mudahan saja memang seperti itu! Green memeriksa kembali tubuhnya dan pakaian dalamnya yang terasa lembab. Dia mendesah kasar. Dia benar-benar tidak tahu kebenarannya! Sungguh bodoh!
Baru saja dia merasa galau luar biasa, dua orang pengawal berbadan tegap memasuki ruangan itu. Green langsung turun dari ranjang dan menatap mereka dengan rasa ingin tahu. Salah seorang pengawal maju selangkah berdiri di hadapannya. Dia sedikit merendahkan kepalanya ketika berbicara sebagai tanda respek terhadap Green.
"Tuan Green Assa, sore ini juga Anda harus melangsungkan upacara pernikahan dengan Nona Hana Winata di tempat ibadah yang sudah ditentukan. Kami akan membantu Anda bersiap-siap. Green terbengong. Jadi benarkah mereka telah melakukannya? Kalau tidak, mana mungkin ia disuruh untuk menikahi Hana? Mungkin Hana telah menjalani visum dan akhirnya bisa dipastikan bahwa mereka memang telah melakukannya. Green menghela nafas. Rasa bersalah seketika kembali menggelayuti hatinya. Tetapi sore ini? Bukankah ini terlalu sangat buru-buru? Green tidak bisa menahan mulutnya untuk bertanya.
"Tunggu sebentar, Tuan. Benarkah saya akan menikah dengan Hana sore ini juga? Bagaimana bisa? Um, maksudnya, bukankah harusnya ada pembicaraan di antara kami terlebih dahulu?"
Kening Green semakin mengerut dalam ketika ia memikirkan penyakitnya, penyakit yang membuatnya dianggap rendah. Jika Hana dan keluarganya tahu, pasti mereka tidak akan sudi menikahkan Hana padanya. Bagaimana bisa seorang gadis cantik jelita seperti Hana bersedia menikah dengannya? Green benar-benar berada di posisi yang sangat sulit. Di satu sisi dia harus bertanggungjawab, tapi di sisi lain dia merasa terlalu ambil untung akan pernikahan ini. Sepertinya dia harus memberitahu Hana secara langsung tentang penyakitnya. Jika Hana bersedia, dia juga akan bersedia.
"Tuan, waktunya sudah sangat sempit. Sebaiknya kami membantu Anda untuk bersiap-siap terlebih dahulu."
Setelah beberapa waktu, Green sudah memakai setelan jas elegan berwarna hitam. Dia tampak lebih tampan. Tapi jantungnya berdebar, dia benar-benar dipenuhi oleh beban mental yang sangat berat saat ini.
"Silahkan ikuti kami, Tuan Green. Pengacara dari Tuan Winata baru saja tiba. Dia sedang menunggu Anda di ruang depan," ucap pengawal tersebut. Green mengerutkan kening tapi ia tetap mengikuti mereka.
•
Setelah memperkenalkan diri dan memberitahu tujuan kedatangannya, pengacara itu menyodorkan kepada Green sebuah map berisi surat perjanjian pernikahan.
"Silahkan Anda baca baik-baik, Tuan Assa. Dan tanda tangani di sebelah sini." Pengacara itu berbicara dengan tenang dan santun. Green pun segera membaca surat tersebut.
Di dalam surat itu dijelaskan bahwa pernikahannya dengan Hana hanyalah sementara dan rahasia. Green, sebagai pihak kedua, tidak boleh menuntut untuk berhubungan intim dengan Hana, sebagai pihak pertama. Dan kapan pun Hana meminta untuk bercerai, Green harus siap melepasnya. Jika Green melanggar isi surat perjanjian, maka pihak keluarga Winata akan menuntutnya. Green akan dijebloskan ke dalam penjara . Bukan hanya Green tetapi seluruh keluarganya juga yaitu keluarga Assa.
"Ini?" Kening Green mengerut. Dia mendadak takut. Keluarga Winata menyelidikinya dan dengan cepat mendapat informasi tentang keluarga pengasuhnya itu.
"Tuan, tolong jangan libatkan mereka. Mereka bukan keluarga kandungku. Aku hanyalah anak yang dipungut," ucap Green memelas. Kenapa keluarga Assa harus terlibat?
"Maaf, Tuan. Anda tidak berhak membuat aturan. Anda harus menandatangani surat perjanjian ini sekarang. Jika tidak, keluarga Winata akan menjebloskan Anda dan keluarga Anda sekarang juga ke penjara," ucap pengacara itu secara gamblang.
Green kembali membaca surat perjanjian itu. Isi perjanjian itu memang tidak adil, membuat status Green menjadi gantung dan tidak pasti. Kapan saja ia bisa dibuang oleh Hana. Padahal Green tidak punya kesalahan apa-apa. Tetapi walaupun demikian, Green tidak terlalu mempermasalahkan itu. Dia bukanlah orang penting. Hanya saja ia tidak menyangka bahwa Hana yang baik hati ternyata memiliki keluarga berkuasa yang arogan. Semalam Hana ingin bunuh diri pasti kemungkinan besar karena tidak tahan menghadapi sikap keluarganya itu! Begitulah pemikiran Green.
Green memutuskan untuk tidak repot-repot memberitahu penyakitnya itu. Toh pernikahan ini hanyalah pernikahan palsu. Seperti yang dikatakan pengacara itu, bahwa pernikahan ini hanya untuk membungkam skandal yang mungkin muncul karena mereka bermalam berdua di apartemen yang sama. Demi nama baik Hana, Green pun menandatangani suratnya. Dia memiliki kepercayaan diri dalam hal bahwa ia tidak akan mungkin melanggar isi surat perjanjian itu. Itu berarti keluarga Assa akan baik-baik saja. Green juga berpikir, bahwa dengan menandatangani surat itu, ia telah menunjukkan niat baiknya pada Hana dan keluarga Winata bahwa sebenarnya dia siap untuk bertanggung-jawab. Terserah jika mereka mau membuangnya kemudian, Green sudah ikhlas. Biar bagaimanapun sedikit banyak dialah yang membuat Hana berada dalam situasi seperti ini.
***
Green dikawal oleh dua pengawal untuk memasuki wilayah tempat ibadah yang sudah ditentukan. Kawasan tempat itu dijaga dengan ketat dan tampak sangat tertutup. Sementara di dalam ruangan, suara piano terdengar mengalun lembut menenangkan. Di sana tidak begitu ramai, tetapi semua mata tertuju padanya. Mereka sejenak terpukau ketika mendapati bahwa pengantin pria tenyata sangat tampan. Bahkan timbul keraguan apa jangan-jangan itu bukan gosip belaka tetapi justru kenyataan bahwa Hana tertarik pada lelaki ini dan menghabiskan malam bersamanya di apartemen.
Sebagian besar dari hadirin adalah kerabat keluarga Winata, dan sebagian lainnya adalah keluarga besar Winata sendiri. Dua di antaranya adalah sepupu Hana yang bernama Ferdinand Winata dan Shila Winata. Mereka kakak beradik dan akan menyapa Green. Mereka sebenarnya sangat terkejut atas berita pernikahan ini dan alasan sepupu mereka itu menikah yaitu untuk mencegah skandal, bukankah amat disayangkan? Bagaimana dengan Marcell, si ikan besar? Andai Shila secantik Hana, Shila pasti akan penuh percaya diri menggantikan Hana untuk menggaet Marcell.
Selain mereka, di sana juga hadir Tuan Alex Milan, lalu istrinya, Evelyn Milan, dan putri mereka, Veronika.
"Aku sempat berpikir dia Marcell, Pa," celetuk Veronika dengan suara pelan. Matanya masih tak lepas mengawasi sosok pengantin laki-laki yang saat ini tampak kikuk ketika orang-orang menyambutnya. Rasa iri kembali menggelayuti hati Veronika. Mungkin karena calon suami Hana sangat tampan.
"Iya. Papa juga hampir terkejut. Di foto wajahnya tidak begitu jelas. Tetapi saat ini dia memang terlihat sedikit mirip. Tapi perlu kamu tahu, Sayang, dia hanyalah anak yatim piatu dan sangat miskin. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Marcell, " ucap Alex pada putrinya yang sangat ia sayangi itu. Tetapi kata-kata Alex sama sekali tidak bisa menghibur Veronika.
"Di saat seperti ini, Hana tetap saja beruntung," gumam Veronika. Suaranya memang rendah tetapi sebenarnya rasa kesal sudah meletup-letup di hatinya. Sepertinya rasa iri sudah bercokol kuat, tertanam di jiwanya, sehingga sedikit hal baik yang didapat Hana sudah langsung merusak suasana hatinya yang tadinya sangat baik.
Ferdinand dan Shila melangkah, hendak menghampiri Green, tetapi di saat itu juga pengantin wanita sudah tiba. Green dituntun untuk menyambut Hana yang akan keluar dari mobil.
Deg!
Wajah Green berubah menjadi bodoh ketika melihat pengantinnya sangatlah cantik dengan balutan gaun selayar pengantin berwarna putih. Dandanan Hana cukup sederhana tetapi terlihat sangat indah, membuat jantung Green berdebar tak karuan.
Bersambung..
Hana menatap Green dengan wajah sendu membuat Green semakin kaku. Terlihat bahwa Hana terpaksa melakukan pernikahan ini. Tetapi walaupun demikian, Hana tetap menautkan tangannya ke lengan Green. Dengan iringan musik, Green dan Hana melangkah memasuki tempat ibadah. Hana mengedarkan pandangannya sekejap, tetapi tidak melihat tanda-tanda kehadiran neneknya, Nyonya Besar Erina Winata. Hana mendesah, dia bisa menebak bahwa neneknya itu pasti marah sekali mendengar pernikahan dadakan ini. "Hana, kamu tidak apa-apa?" Terdengar suara setengah berbisik. Hana mendongak menatap Green. "Tidak begitu baik. Kamu sendiri tidak apa-apa?" Hana balik bertanya. "Aku tidak tahu," jawab Green. Dia sendiri merasa takut memikirkan apa yang terjadi di masa depan. Sebagai suami, apakah dia dituntut harus memiliki tanggung jawab? Jika ia dituntut, apakah ia akan mampu? Tetapi, bukankah ini adalah pernikahan pura-pura
Wajah Anton dan Jihan merah padam melihat Green yang sedang kejang-kejang terkapar di lantai. Mereka syok dan sangat malu, hingga mulut mereja bergetar emosi tetapi tidak tahu harus berkata apa. Hana yang juga sempat terkejut, dengan ragu mencoba mendekat dan berjongkok di dekat Green. Sementara orang-orang mulai sibuk mengeluarkan ponsel untuk merekam videonya. Bagi para kerabat keluarga Winata, ini adalah lelucon yang tak diduga-duga. Menikahnya Hana saja sudah menjadi tanda tanya besar, apalagi melihat pasangan Hana yang ternyata hanyalah sosok yang seperti ini!Di antara para kerabat, keluarga Winatalah yang paling menonjol. Nyonya besar Erina Winata telah berhasil membawa nama baik Winata menjadi lebih terhormat hingga masa kini. Dia juga telah berhasil mendidik keempat anaknya menjadi sukses. Kecerdasan keluarga Winata juga tidak perlu dipertanyakan karena begitu menonjol. PT Andalan Winata adalah bukti konkrit yang tak terbantahkan.T
Green Williams terkena epilepsi ketika ia masih bayi. Waktu itu, ibu tirinya, Nyonya Sally Williams, tidak sengaja menjatuhkannya ke lantai dan jatuhnya cukup keras. Sejak itu, Green sering mengalami kejang. Albert, ayah dari Green, sudah membawa Green untuk melakukan pengobatan hingga ke luar negeri, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti akan penyakit Green. Green tetap saja mengalami kejang di waktu yang tak menentu. Tiga tahun kemudian, Green memiliki adik laki-laki yang bernama Marcell Williams. Sejak itu, Green diperlakukan dengan cara yang berbeda. Green tidak dianggap anak lagi. Mereka malu memiliki anak seperti Green. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menitipkan Green pada pengasuhnya. Tetapi di keluarga Williams sendiri, Albert mengumumkan bahwa putranya, Green Williams, telah meninggal pada saat melakukan pengobatan di luar negeri. Kabar ini tentu sangat mengejutkan bagi Tuan besar Reyhans. Berita itu ia dengar tepat saat ia sedang
"Aku belum siap ketemu nenek, Pa. Lebih baik Papa dan Mama saja yang menemui nenek malam ini." Hana menolak dengan wajah sendu. Dia masih belum siap melihat wajah kecewa neneknya. Wajah sendu Hana, membuat Anton tampak berpikir kembali."Tapi Mama juga tidak setuju kamu dan dia menginap di apartemen berdua. Ingat, Hana, pernikahanmu ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya sementara." Jihan menyela sambil melotot pada Green. Rasanya Jihan masih tidak percaya bahwa sekarang dia mempunyai menantu dengan penyakit yang menjijikkan seperti Green. Untuk sekali lagi menghadapi keluarga dan para kerabat Winata, rasanya benar-benar sudah tidak ada muka.Hana menatap ibunya dengan tatapan datar. "Apanya yang bukan sungguhan? Bahkan kami menikah di hadapan Tuhan," jawab Hana dengan suara lemah. Mendengar kalimat itu, Green menoleh pelan padanya."Hana, kita sudah membicarakan hal ini dengan jelas sebelumnya. Harusnya kamu pa
"Kita hanya berdua di kamar ini, tetapi kamu menutup pintunya. Jika Tuan dan Nyonya Winata tahu, kita akan dimarahi." Green mengingatkan dengan wajah polos. Memang apa yang dikatakannya mungkin benar, tetapi Hana punya pemikiran yang berbeda tentang itu. Bagi Hana, karena mereka sudah menikah, itu bukan menjadi masalah walaupun orang tuanya akan marah. Bagi Hana, berdua dengan Green di satu kamar bukan satu kesalahan. Hana memang seperti itu. Asalkan dia paham apa yang akan diperbuatnya tidak salah, dia tidak akan takut untuk melakukannya. "Tidak apa-apa, Green. Ada yang mau kubicarakan padamu." Hana melangkah dan duduk di tepi ranjang king size miliknya. "Ayo duduk di sini," ajaknya sambil menepuk sisi ranjang di sampingnya. Green pun mendekat dan duduk di samping Hana dengan kikuk karena posisi mereka saat ini berada di ranjang dan hanya berdua. Sementara itu, Hana mulai memasang wajah serius, ia tampak berpikir, ingin menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan
"Kenapa aku tidak jijik?" Hana mengulang pertanyaan Green karena sedikit heran. Dia menurunkan tangannya dari tubuh lelaki itu dan menatap wajahnya. Dengan wajah menunduk Green kembali membuka suaranya, "Bukannya seharusnya jijik ya? Soalnya orang-orang yang sudah pernah melihatku kambuh, hampir semuanya memberikan pandangan jijik padaku. Kecuali keluarga yang sudah mengasuhku. Mereka merawatku sejak kecil, dan mungkin karena itu mereka sudah terbiasa dan tidak jijik. Tapi kamu?" Green memberi jeda lalu menoleh menatap wajah Hana. "Kita bahkan baru bertemu tadi malam," ucapnya kemudian. "Aku tidak jijik karena jijik terhadap orang yang sedang sakit bukanlah sifat yang terpuji. Sebaliknya daripada merasa jijik, bukankah harusnya kasihan? Aku yakin sekali selain aku dan keluarga pengasuhmu, masih ada orang-orang lain yang tidak jijik pada penderita epilepsi, dan jumlahnya tentu tidak sedikit. Bahkan mungkin mereka bersimpati pada kalian. H
"Tidur bersama?" Lidah Green mendadak kelu. Bingung atas apa yang dia hadapi saat ini.Hana mendesah. "Tidur bersama di kamar ini. Bukan tidur bersama di ranjang, Green. Kamu akan tidur di sofa itu." Hana menunjuk sofa besar dan lebar di sudut kamarnya. Sofa itu tampak sangat nyaman. Hana juga sering tertidur di sofa itu karena benar-benar nyaman. Green menoleh pada sofa itu."Oh begitu. Tapi, apa kita harus sekamar? Aku sungguh takut sama orang tuamu," jawab Green dengan jujur. Hana meletakkan ponselnya di atas nakas dan beranjak berdiri dari ranjang menghampiri Green yang masih berdiri di tempat."Sudahlah, jangan banyak tanya. Kita sekamar supaya aku bisa mengawasimu. Bagaimana kalau penyakitmu kambuh?" Hana bertolak pinggang, mendongak menatap Green."Tapi..""Tidak ada tapi, tapi, ayo mandi sana!" Hana mendorong Green, menggiringnya menuju toilet. Tetapi ia berhenti begitu s
"Ferrari Pininfarina Sergio," gumam seseorang tak dikenal dengan wajah terpelongok ketika menatap sebuah mobil merah tua melaju melewatinya dengan kecepatan tinggi. Harga mobil itu berkisar dua hingga tiga juta dolar! Pengemudinya tak lain adalah Marcell Williams, seorang pemuda tampan berusia 18 tahun. Dia bukanlah anak orang kaya biasa, dia dikenal sebagai cucu satu-satunya pemilik perusahaan besar dan ternama, Williams Global Corporation, Reyhans Williams. Begitu sampai di lokasi balap mobil, sekelompok orang langsung menyambut Marcell dengan penuh semangat. Balapan mobil adalah salah satu hobi yang paling digemari Marcell. Sayangnya Reyhans dan kedua orang tuanya, Sally dan Albert, tidak menyukai hobinya itu. Alasannya sederhana, karena balap mobil bisa membahayakan nyawa Marcell. Marcell adalah penerus satu-satunya perusahaan Keluarga Williams di masa depan. Jika terjadi sesuatu pada Marcell, apa gunanya kekayaan yang begitu berlimpah ini? Tetapi Marcell
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be