Rhein melarikan diri dari penthouse mewah -yang pernah dia anggap sebagai rumah bersama Sean, karena pria itu telah mengkhianatinya. Setelah menemukan bekas lipstik di pakaian Sean hari itu, Rhein merasa hati dan kepercayaannya telah hancur. Dalam keputusasaan, dia meninggalkan penthouse, meninggalkan semua kenangan dan kemewahan yang pernah dia nikmati bersama Sean.Hari itu setelah Sean berangkat ke kantor, Rhein bergegas mengemasi pakaiannya dan pergi. Ia terombang-ambing di jalan-jalan kota, berusaha untuk mengatasi perasaan campur aduknya. Kepergiannya dari penthouse adalah langkah pertama menuju kebebasan dari hubungan yang merusaknya, meskipun dia tahu bahwa pelariannya kali ini akan menjadi sulit dan berliku.Saat tengah bimbang, Rhein hanya teringat pada satu nama yang pasti bisa membantunya. Ralp. Ia segera menghubungi sahabat baiknya itu dan akhirnya mereka pun bertemu disebuah cafe. "Kamu yakin akan pergi dengan cara seperti ini?" Ralp mengawasi wajah sahabatnya yang kac
Sesuai permintaan Sean, Ivan pulang malam itu juga demi bisa sampai di Indonesia secepatnya. Menunggu hingga besok tak akan membuat Ivan semakin tenang, ia justru akan semakin frustasi jika tak segera bertemu dengan Sean yang terdengar sangat depresi di telepon tadi.Tiba di bandara setelah hampir sehari semalam berada di atas udara membuat Ivan akhirnya bisa menarik napas lega. Ia tiba pukul 4 subuh di mana lalu lintas jalanan masih lengang. Gonzales yang ikut serta menemani sang majikan, segera menghubungi rekan kerjanya untuk menjemput Ivan menuju penthouse Sean. "Tunggu di sini, Gonz! Jangan masuk sebelum aku memerintah!" mandat Ivan sebelum akhirnya memencet kode di pintu penthouse. Setelah pintu terbuka, dengan sangat hati-hati Ivan masuk ke dalam. Ruang tamu yang gelap hingga ke dapur membuat Ivan harus ekstra menajamkan penglihatannya dalam mencari sosok Sean. Saat tak menemukan Sean di sofa, Ivan beringsut mencari ke kamar. Karena gelap dan tak bisa melihat apapun, Ivan m
Di apartemen Rex yang mewah, Rhein terkadang masih terbawa dengan suasana penthouse milik Sean. Beberapa sudut di apartemen ini tak jauh berbeda dengan di penthouse. Sehingga alih-alih bisa melupakan Sean untuk sementara waktu, Rhein malah semakin teringat pada suaminya itu. Pagi itu, Rhein baru saja menyelesaikan sarapannya ketika bel di pintu berdenting berulang kali. Sambil membawa gelas yang baru saja ia teguk isinya, Rhein akhirnya berjalan cepat menuju ruang tamu untuk mengintip siapa yang datang. "Harvey?" desis Rhein bingung ketika seraut wajah yang muncul di door screen adalah wajah milik mantan kekasihnya. Masih dengan benak yang bertanya-tanya, Rhein akhirnya membuka pintu dan menyambut kedatangan tamunya dengan senyuman. "Harvey, bagaimana kamu bisa tahu aku berada di sini?" cerca Rhein ketika pria itu nyelonong masuk begitu saja. Sambil terkekeh, Harvey mengangkat tangan kanannya yang tengah menenteng tas plastik. "Aku tahu dari Ralp! Dia bilang kamu menenangkan dir
Rhein merasakan dunianya runtuh. Air mata mengalir deras saat ia mendengar kabar yang baru saja ia dengar itu. Rhein menutup telepon dengan gemetar, jatuh berlutut di lantai. Tangisannya tak terbendung, dan ia merasakan rasa sesal yang mendalam."Sean," desisnya tercekat.Seketika itu napas Rhein terasa sesak, ulu hatinya terasa nyeri. Apa yang telah terjadi pada suaminya? Harvey yang melihat sikap Rhein yang mendadak histeris, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia mendekat dan berjongkok di depan mantan kekasihnya itu dengan cemas. "Rhein, ada apa?" Harvey menahan bahu Rhein yang bergerak naik turun karena isak tangis. "Katakan ada apa!?""Sean ..." Rhein tak bisa melanjutkan kata-katanya karena dadanya telah di penuhi oleh berbagai rasa. "Ada apa dengan Dean?" desak Harvey memaksa. "Sean. Kritis." Usai mengucapkan dua kata itu, Rhein tak ingin membuang waktu lagi, ia bergegas bangkit dan berlari menyambar tasnya yang ia letakkan di kamar tamu. Rhein tak peduli pada ras
Cinta Sean pada Rhein, istrinya, adalah sumber kekuatan yang tiada bandingan dalam hidupnya. Baginya, Rhein adalah sumber kebahagiaan dan belahan jiwa. Mereka telah menjalani perjalanan hidup bersama, menghadapi suka dan duka dengan penuh cinta. Bagi Sean, hidup tanpa Rhein akan terasa hampa, seperti sungai yang kehilangan airnya. Mereka telah menjadi satu, melewati segala liku kehidupan bersama-sama. Cinta mereka adalah fondasi yang kokoh dalam setiap aspek kehidupan Sean, membuatnya merasa lengkap dan berarti. Rhein adalah cinta sejati dan cahaya dalam hidupnya. Malam itu, ketika Sean tak lagi menemukan Rhein di rumah mereka, dunia Sean jungkir balik detik itu juga. Ia tak sanggup bila harus kehilangan wanita yang ia cintai, Sean merasa traumanya kembali datang menghantui. Dan, setelah dua malam ia lalui dengan penuh duka dan depresi, kini Sean seolah mendapatkan cahaya di kegelapan dunianya ketika sosok Rhein berdiri tepat di samping ranjangnya, tersenyum dengan buliran air mat
Setelah puas mengobrol dengan kakaknya, Adena memutuskan untuk pulang. Rhein yang tak kunjung kembali membuat Adena mulai mencurigai gelagat sang kakak ipar. Pikiran buruk selalu membayanginya setelah mengetahui siapa Harvey sebenarnya. Mungkin saja Rhein terlibat dalam aksi balas dendam keluarga Peters, bukankah Rhein dan mendiang Angela bersaudara? Kabar mengejutkan itu telah sampai di telinga Adena semalam. Meskipun Sean menutupi fakta itu di depan neneknya dan Dena, akan tetapi orang suruhan Nyonya Chevalier telah menjelaskan silsilah keluarga Clayton yang cukup rumit. Saat mendapat kabar tentang keadaan Sean yang ditemukan tak berdaya seorang diri di penthousenya, juga kabar bila Rhein sempat bertemu Harvey disaat Sean terbujur di rumah sakit, kecurigaan Adena semakin menjadi-jadi. Ia tak bisa lagi menatap Rhein dengan hangat. Hampir saja Adena membuka pintu mobilnya ketika tanpa sengaja tatapannya menangkap sosok Rhein yang tengah duduk sendirian di taman. Tak ingin membuang wa
Kehilangan seseorang yang kita cintai adalah pengalaman yang sarat dengan kepedihan yang mendalam dan emosi yang rumit. Saat kita kehilangan orang tersebut, rasanya seperti sebongkah hati kita telah dicabut secara paksa. Setiap hari terasa seperti perjuangan penuh luka untuk menjalani kehidupan tanpanya. Siapapun tak ingin kehilangan, meskipun takdir pada akhirnya akan menuntun kita menuju pada rasa itu. Dan takdir itu sekarang tengah terjadi, di depan mata kepalanya sendiri, Ivan melihat sebuah mobil telah ringsek dengan pecahan kaca di mana-mana. Asap putih mengepul dari kap mesin, sementara teriakan demi teriakan menggema memekakkan telinga. Ivan terkejut ketika dia ternyata sangat mengenal mobil itu, mobil milik Adena, wanita yang sangat ia cintai. Moncong mobil sedan tersebut telah ringsek dan hancur setelah menghalau mobil seseorang yang hendak menabrak Sean dan Rhein. Detik-detik kejutan yang mengerikan melanda Ivan. Hatinya seketika terasa berat dan hancur saat puing-puing
Berlarian dari halaman parkir menuju lobi rumah sakit dengan membawa tubuh perempuan yang telah tak berdaya dan berada di ambang kematian, bukanlah hal yang mudah bagi seorang Ivan. Ia harus menahan berbagai macam rasa yang berkecamuk hebat di dalam dadanya. Ivan bahkan tak peduli pada darah Adena yang telah membasahi jas mahalnya. Ia terus berlari meskipun beberapa detik yang lalu seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertulang akibat rasa kaget. "Nona, tolong bertahanlah. Jangan pergi, Nona," bisik Ivan di antara isak tangisnya yang tak sanggup lagi ia tahan. Darah yang mengucur dari kepala Adena, juga sebagian tubuh bagian kanannya yang sempat tergencet pintu mobil, membuat kondisinya semakin memburuk ketika dokter akhirnya memeriksa luka-lukanya. "Silahkan tunggu di luar!" Perawat memaksa Ivan untuk mundur dan keluar dari ruang IGD. Gonzales yang melihat hal itu, sontak menarik Ivan agar para dokter bisa cepat bergerak menangani Adena. Tepat ketika pintu baru saja di tutup, Se
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga