“Sean.”“Hm.”“Apa kamu marah? Seharian ini kamu mendiamkan aku!” keluh Rhein dengan wajah cemberut.Keduanya kini sedang duduk di meja makan untuk menikmati makan malam yang sudah Sean masak. Seporsi Spageti Aglio Olio untuk Rhein dan seporsi nasi serta Ratatoulie untuk Sean yang sedang tidak ingin makan daging-dagingan. “Tidak. Kenapa aku harus marah?” sahut Sean acuh sembari menyantap sesendok demi sesendok makan malamnya.“Mungkin saja kamu marah karena aku memarahimu karena pulang terlambat kemarin!” cerocos Rhein dalam sekali helaan napas.“Tidak. Aku tidak marah.” “Tapi kamu ngambek!” tandas wanita yang kini lebih banyak bicara itu.Sean menarik salah satu sudut bibirnya dengan terpaksa. Ia meletakkan sendoknya di piring dan menatap Rhein dengan lekat. “Bukankah kamu memintaku untuk menjaga sikap? Aku sedang melakukan perintahmu saat ini. Menjaga sikapku ketika sedang berhadapan denganmu atau tidak,” terang Sean lugas.“Ck!” Rhein berdecak. “Rupanya kamu benar-benar pria ya
Meskipun terpaut usia 7 tahun, hubungan Dean dan Adena sangat dekat secara batin. Pun setelah kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika keduanya masih kecil, Dean semakin over protektif pada sang adik. Bahkan lalat yang menempel di makanan Dena, akan Dean habisi tanpa ampun sampai tujuh keturunannya. Sejak Angela meninggal, Adenalah yang selalu menemani Dean melalui masa-masa terpuruk yang mengharuskan pria itu rutin menemui psikiater. Selama kurun waktu dua tahun, Dena melihat perjuangan sang kakak untuk sembuh dari rasa trauma dan bersalah. Dan kini, setelah Dena mengetahui bila Dean mengubah identitasnya hanya demi menjadi suami sewaan seorang wanita yang sekilas mirip dengan mendiang Angela, hatinya ikut hancur dan remuk redam. Ibarat sudah berhasil melampaui 7 langkah, Dean kini malah mundur 9 langkah. Dena paham bila Dean ingin hubungan yang baru untuk menebus rasa bersalahnya pada Angela. Namun, melihat perjuangan sang kakak yang telah mati-matian ber
“Ivan!” Langkah tegap pria yang sedang sibuk mengecek data-data di layar tabletnya itu terhenti, ia menoleh pada seseorang yang baru saja memanggilnya. “Ya, Nona?” Adena menyodorkan sebuah pigura foto pada asisten sang kakak dan menunjuk lorong yang ada di sisi kanan tubuhnya. “Pasang ini di antara lukisan di sana!” perintahnya singkat, padat dan jelas. Ivan memperhatikan pigura foto yang kini berpindah di tangannya, ada foto masa kecil nona dan tuan mudanya di pigura ini. “Tapi Nona, ini, kan?” “Pasang saja, Ivan. Kak Dean tidak akan memperhatikannya!” tukas Adena memaksa. “Nyawa saya yang akan jadi taruhannya, Nona. Saya ...” “Akh, kamu cerewet sekali!” Dengan gesit, Adena merampas kembali pigura itu lantas membawanya ke lorong yang akan dilewati oleh sang kakak dan kakak iparnya nanti. “Nona, ini terlalu beresiko.” “Tidak akan! Kak Dean bukan tipe pria yang teliti pada sesuatu yang sudah ia hafal di luar kepala. Cepat, turunkan lukisan itu dan ganti dengan pigura ini!”
“Apa yang kau taruh di minumannya, Dena!” dengus Sean sembari menunjuk Rhein yang telah terkapar di kursi taman ditemani oleh sang nenek.Adena tak bisa menahan tawanya ketika melihat kakak iparnya sudah teler berat. “Bukankah itu kesempatan emas untukmu, Kak?”Dengan geram, Sean menghembuskan napasnya kasar. “Aku tidak pernah memanfaatkan kesempatan apapun meskipun aku bisa melakukannya kapan saja!”“Benarkah? Sayang sekali!” cibir Adena terkekeh.“Bukankah aku sudah bilang jangan dekati Rhein! Kamu bebal sekali!” Sean beringsut dan menghampiri Rhein yang sudah tidak sadarkan diri.“Aku hanya mau membantumu, Kak! Jangan salah paham dulu.”“Aku tidak butuh bantuan kalian!” hardik Sean sembari berbalik dan menatap adiknya dengan tajam.Nyonya Chevalier terkejut mendengar teriakan cucu lelakinya itu, ia lantas bangkit dan mendekat pada kedua cucunya yang saling mematung berhadapan itu.“Dean.”“Sean! Panggil aku Sean. Sudah kubilang Dean sudah mati!” potong Sean kesal.Tatapan Adena dan
Silau. Sinar matahari yang menerobos melalui celah vitrase membuat Rhein enggan membuka mata. Sambil mendengus, Rhein memaki dirinya sendiri yang lupa tak menutup tirai gorden semalam. Rasa pening yang berkelebat, membuatnya semakin malas untuk bangkit. Rhein mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya semalam, mengapa ia tidur dengan masih mengenakan gaun? Bahkan jam tangan dan perhiasan di telinganya masih lengkap.Semalam, ia dan Sean diundang makan malam oleh keluarga Chevalier. Mereka makan sambil mengobrol lantas minum-minum di bar dekat kolam renang. Lalu setelah itu ... Dengan gemas Rhein memukul kepalanya sendiri yang tak bisa mengingat apapun setelah menenggak segelas coctail itu. Bahkan percakapan terakhir dengan Nyonya Chevalier saja tak bisa ia ingat dan berlalu begitu saja bagai angin. Karena kesal sendiri, Rhein akhirnya bangkit dengan gontai. Masih tersisa hang over yang membuat kepala dan tubuhnya ringan seperti melayang. ‘Minuman sialan!’ gerutu Rhein dalam ha
Dua hari ini, Sean lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berolahraga. Menurut psikiater yang pernah menanganinya semasa di Prancis, cara terbaik untuk menyalurkan kegundahan hati adalah dengan melakukan hobi dan berolahraga. Hobi Sean memasak, dan dia masih kesal melihat Rhein yang selama weekend ini menghabiskan waktunya di rumah. Jadi, untuk menghindari ‘istrinya’ itu, Sean menyibukkan dirinya dengan berolahraga di luar. Tak sepantasnya Sean merasa kesal, ia sadar bila amarahnya adalah hal bodoh dan sia-sia. Namun, mengingat betapa Rhein merindukan sentuhan lelaki itu, hatinya terasa ngilu. Bila Rhein rindu, bukankah itu berarti mereka pernah melakukan hubungan terlarang itu? Seperti dirinya dan Angela dulu ...“Damn!” sungut Sean kesal. Pikiran-pikiran negatif menggerogoti dirinya yang tak siap menerima kenyataan bila Rhein masih mencintai pria itu. Membayangkan Rhein pernah seranjang dengan Harvey membuat perut Sean terasa mual. Sean tak rela, padahal ia sendiri adalah lela
Tak bisa tidur nyenyak selama tiga hari ini membuat Sean semakin senewen. Lingkaran hitam di kedua matanya seolah mempertegas keadaannya yang sedang tak baik-baik saja. Sean tersiksa sendiri dengan cinta yang ia pendam diam-diam. Sambil sesekali memperhatikan mata pandanya dari kaca spion, Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia baru saja mendapat pesan dari Adena bila adiknya itu menunggunya di sebuah cafe. Sean hanya memiliki waktu satu jam untuk datang tepat waktu atau Adena akan nekat menjemput ke apartemen Rhein. Panggilan telepon dari Ivan bahkan berdering sejak sepuluh menit yang lalu. Sean tak berniat untuk mengangkatnya karena panggilan itu pasti atas perintah Adena. Tiba di cafe yang di tuju, Sean lekas memarkir mobilnya dan melompat turun dengan tergesa-gesa. Ia tiba di 10 menit terakhir dari batas waktu yang diberikan Adena. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Sean meringsek masuk ketika seorang waitres membukakan pintu. Sepasang muda mudi yang sedang be
"Apa maksudmu dengan tidak mau putus!?" geram Sean kehilangan kesabaran.Saat ini Sean dan Adena telah berada di mansion. Sean sengaja tak pulang ke apartemen demi menunggu Adena dan menginterogasi adiknya itu. Di ruang keluarga, Sean mengunci pintu agar sang nenek tak mendengar perdebatan mereka. Marah adalah reaksi pertama Sean ketika Adena menolak untuk putus dengan Harvey. "Aku berhak pacaran dengan siapapun, Kak. Seperti kamu juga berhak menikah dengan Kak Rhein!" "Kasusku dan Rhein berbeda, Dena. Kami sudah sama-sama dewasa." Sean mulai memijat kepalanya yang berdenyut-denyut pening. "Aku juga sudah dewasa, Kak. Usiaku sudah 23 tahun. Kau melarangku memacari Ivan dan sekarang juga melarangku dekat dengan Harvey?" tampik Adena tak mau kalah."Kau ..." hardik Sean kehilangan kata-kata, ia berpaling setelah sekian menit tak lepas menatap sang adik dengan tatapan tajam. Atmosfir mencekam di ruangan itu begitu kentara hingga Ivan -yang sedang berdiri di luar- ikut bergidik dan m
Tiga hari pasca dirawat di rumah sakit, akhirnya Ivan diperbolehkan pulang dengan mengantongi sekeranjang obat-obatan dan vitamin. Dokter meminta Ivan untuk tidak memforsir tubuhnya, atau ia akan berakhir di rumah sakit lagi. Saat ini, Ivan tengah bersantai di kamar khusus yang ia tempati di resort paradiso. Sebastian Louis mengultimatum putranya untuk menghentikan aktifitasnya selama seminggu ini, alhasil Ivan yang terbiasa dengan berbagai kesibukan mulai merasa bosan. Hari ini, Sean dan keluarga besar Chevalier akan kembali ke Indonesia. Karena kesehatannya belum pulih, terpaksa Ivan mengantar kepergian mantan majikannya itu sampai di lobi. Hanya Adena yang tetap tinggal di Playa del Carmen. Dokter masih belum memperbolehkan ia terbang terlalu lama selama sebulanan ini. "Kau sudah makan?" Adena menoleh pada Ivan yang berdiri di sampingnya dan mengawasinya dengan serius. "Dokter bilang kau tak boleh telat makan!" Sambil tertawa, Ivan lantas merengkuh bahu Adena dan mengecup kening
Tidak ada rasa sakit yang lebih perih selain melihat orang yang kita sayangi terbujur lemah tak sadarkan diri. Di dalam ambulans yang membawa tubuh Adena menuju rumah sakit, Ivan menangis penuh penyesalan. Mobil ambulans yang melaju dengan kecepatan maksimum, serasa seperti siput bagi Ivan yang tak sabar untuk segera sampai di rumah sakit. "Tadi dia memaksaku untuk menceritakan tentang kisahnya bersama Harvey. Aku menunjukkan beberapa bukti yang aku miliki, dan tiba-tiba dia mengerang kesakitan lalu pingsan seperti sekarang," sesal Sean sembari mengawasi Adena yang masih terpejam. Rasa takut yang Ivan rasakan saat ini lebih besar dari apapun. Ia trauma melihat Adena terbujur kaku seperti ini, butuh waktu berbulan-bulan bagi Ivan untuk bangkit. Dan setelah gadis itu terbangun, permasalahan yang sama kembali muncul. "Cepatlah, Pak!" teriak Ivan pada sopir yang mengemudikan ambulan di depannya. "Kita harus cepat sampai!"Suara sirine yang silih berganti dengan teriakan-teriakan Ivan,
"Apa!?""Nona Adena baru saja terbang menuju Cancun, Tuan."Ivan menghembuskan napasnya geram. Ia meremas kertas kontrak yang baru saja ia tandatangani dan melempar kertas itu ke sembarang arah. "Brengsek!" pekiknya murka dengan bola mata melotot. "Siapkan pesawat, Gonz! Aku harus lebih dulu sampai sebelum dia landing." "Baik, Tuan." Laporan mengejutkan yang baru saja ia dengar dari Gonzales telah menghancurkan hari penuh semangat yang Ivan jalani. Tadinya, ia sudah merasa tenang ketika anak buah Gonzales melaporkan jika Adena sedang makan siang. Dan satu jam berikutnya, kabar lain datang dan menyatakan bila Adena telah terbang menuju Cancun bersama sang ayah, Sebastian Louis.Berulangkali Ivan mencoba menghubungi nomor ayahnya, tapi nihil dan tak sekalipun diangkat. Ivan tak habis pikir, apa yang hendak dilakukan oleh ayahnya terhadap Adena? Dengan kecepatan penuh, mobil yang Ivan tumpangi tiba di bandara Alberto Acuña Ongay. Ia bergegas terbang menuju bandara Cancun untuk menyus
Adena terhempas oleh gelombang kesedihan yang menghantamnya ketika ia mendapati kenyataan yang mengerikan, Ivan adalah pembunuh tunangannya. Dunianya runtuh. Luka di hatinya semakin dalam, bercampur dengan kekecewaan dan amarah. Air matanya tak henti mengalir selepas Ivan keluar dari kamarnya. Meskipun Adena tak bisa mengingat apapun tentang masa lalunya, akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan malam ini sungguh teramat perih. Siapa pria yang pernah menjadi tunangannya? Mengapa pria itu terbunuh? Benarkah yang dikatakan Ivan jika pria itu telah berniat jahat pada keluarganya? Siapa yang harus Adena percayai dalam situasi seperti ini? Benak Adena berkecamuk oleh ribuan pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya. Terjebak di mansion ini seakan membawanya ke dalam pusaran teka-teki penuh misteri. Terlalu lelah menangis, akhirnya Adena terlelap menjelang dini hari. Ia tak tahu jika beberapa blok ruangan dari kamarnya, Ivan masih terjaga dan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Mu
"Anda belum tidur, Tuan?" Suara berat yang berasal dari seseorang yang berada belakang tubuhnya, membuat Ivan menoleh dengan malas. Seperti biasa, Gonzales akan selalu memeriksa seluruh bagian ruang sebelum ia beristirahat di kamarnya sendiri. Pintu kamar Ivan yang tak tertutup dengan sempurna lantas membuat Gonzales penasaran, dan dugaannya benar, majikannya ternyata masih terjaga. "Aku tidak bisa tidur, Gonz." "Lagi? Tapi Anda bahkan hampir kolaps tadi siang!" keluh Gonzales cemas. "Istirahatlah, Tuan. Bukankah seharusnya tidur anda bisa lebih nyenyak setelah nona Adena sehat kembali seperti sekarang?" Ivan tersenyum kecut mendengar penuturan tangan kanannya itu. Ia menghirup udara hangat hingga memenuhi rongga dadanya lantas mengembuskan karbon dioksida itu dengan berat. "Justru setelah Adena terbangun dari komanya, aku jadi semakin takut kehilangan dia, Gonz. Dia bisa saja membenciku seandainya terbangun dengan ingatan yang masih utuh tentang status kami dulu.""Tuan, jangan
Sorotan matahari sore menyinari pasir putih, menciptakan kilauan emas di pantai. Dalam kehangatan sore yang syahdu, Ivan mengayuh sepedanya untuk menjelajahi keindahan alam bersama Adena. Angin sepoi-sepoi laut menyentuh kulit mereka, membuat perjalanan mereka semakin romantis. Mereka melintasi tepi pantai yang sepi, dengan ombak yang menggulung lembut di sebelah mereka. Suara burung camar menyambut mereka dengan nyanyian ceria. Saat matahari mulai turun di langit, Ivan semakin mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia harus tiba tepat waktu, ia harus menikmati sunset di tempat itu. Merasakan laju sepeda yang semakin cepat, Adena lantas mencengkeram T-shirt Ivan dengan panik. Ia berulang kali memekik takut ketika roda, yang bergesekan dengan pasir, beberapa kali tenggelam dan membuat sepeda mereka hampir tergelincir. "Sedikit lagi, Nona. Kita akan sampai!" teriak Ivan girang diantara hembusan napasnya yang mulai tak terkontrol. Ivan sempat lupa bila beberapa jam yang lalu, ia hampir p
Mengingat masa lalu yang menyakitkan, seakan membuka lembaran luka terdalam dalam dirinya. Kembali ke kenangan pahit itu, perasaan rasa sakit dan penyesalan, terasa menghantui. Detik-detik yang penuh dengan kehampaan dan penyesalan melintas dalam ingatan, menghasilkan ketidaknyamanan yang mendalam. Ivan tahu, ia akan tiba di momen ini. Saat di mana Adena akan bertanya banyak hal tentang masa lalunya dan masa lalu mereka berdua. Namun, Ivan tak ingin merusak hari-harinya ke depan jika ia menjelaskan kenangan pahit itu sekarang, sudah pasti Adena akan marah, bahkan mungkin membencinya jika ia menceritakan masa lalu mereka sekarang. "Saya berjanji akan menceritakannya nanti setelah kita kembali ke Playa del Carmen. Untuk beberapa hari ke depan, bisakah kita memulai lembaran baru untuk menciptakan kenangan yang indah di masa depan?" Kening Adena berkerut semakin dalam, memulai lembaran baru? Siapa sebenarnya Sebastian Ivanders ini!? "Saya berjanji, Nona. Saya akan menceritakan semua
Selama makan malam berlangsung, Ivan lebih banyak menyimak percakapan dan gurauan antara ketiga mantan majikannya. Hanya sesekali saja Ivan menimpali ketika Sean bertanya tentang resort atau hal-hal yang belum ia ketahui tentang Meksiko. Bukan tanpa alasan Ivan lebih banyak diam, ia justru sedang berusaha mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan keceriaan Adena. Melihat gadis yang ia sukai itu tersenyum, tertawa bahkan sesekali mendebat Sean, adalah momen yang sudah sangat lama Ivan rindukan. Masa itu seolah kembali, masa di mana Ivan setiap pagi melihat Adena mengomel dan bertengkar dengan Sean sebelum berangkat sekolah ketika mereka masih tinggal di Paris dulu kala. "Ivan, apa jadwalmu besok padat?" tanya Sean setelah mengusap bibirnya dengan selembar kain. Semua mata otomatis tertuju pada Ivan dan membuatnya gelagapan, entah mengapa ia masih merasa minder meskipun kini statusnya bukan lagi pekerja di keluarga Chevalier. "Besok siang saya harus terbang kembali ke Campeche un
Setelah melalui hari yang cukup melelahkan dan penuh kejutan, bertemu dengan pria yang dulu pernah menjadi majikannya seakan menjadi obat penyemangat bagi Ivan. Ia mendatangi resort yang ditempati oleh Sean dan Rhein. Seolah ingin melepas rindu dan beban berat yang selama ini ia tanggung, Ivan bahkan menangis sesenggukan ketika Sean memeluknya dengan sangat erat. Diantara rasa haru dan bahagia, Ivan lebih banyak bersyukur karena kini mantan majikannya yang manja dan troublemaker tersebut telah terbangun dari komanya."Mengapa anda tidak bilang jika sudah datang sejak kemarin, Tuan?" keluh Ivan memprotes. Keduanya saat ini tengah duduk bersantai di cafe Paradiso, sementara Rhein dan Levan kembali beristirahat di resort. "Aku ingin memberikan kejutan padamu, Ivan. Aku sangat bangga dan salut bisa melihatmu sehebat ini sekarang!" puji Sean berbinar dan mengangkat gelas coctail-nya ke arah Ivan.Sambil tersipu malu, Ivan ikut menyatukan gelasnya dan meminum segelas coctail itu hingga