Anita dan Ahmad tiba di rumah sakit pagi itu. Mereka langsung menuju kamar Nadya, yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajah Anita tegang, sementara Ahmad tampak mencoba menahan kekhawatirannya.“Bagaimana ini bisa terjadi, Nadya? Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” Suara Anita terdengar tajam, penuh kecemasan.Nadya menunduk. Suaranya hampir tak terdengar. “Bu... Aku... aku nggak tahu.”“Anita, jangan terlalu keras,” Ahmad menengahi, mencoba menenangkan suasana. “Ini sudah cukup berat buat Nadya.”“Saya nggak keras, Mas!” Anita menatap suaminya tajam. “Tapi saya nggak paham, kenapa anak kita bisa sampai seperti ini?”Nadya tetap diam, tangannya memegangi perutnya yang kosong. Matanya tertuju ke lantai, menghindari tatapan ibunya.Anita maju beberapa langkah, suaranya makin meninggi. “Nadya, jawab ibu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ceroboh begini? Seharusnya kamu jaga diri, jaga bayi itu!”“Bu, tolong...” Nadya akhirnya bersuara, suaranya pecah oleh tangis. “Ini salahku. S
Di ruangan rumah sakit yang hening, Nadya terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya tampak pucat, dengan mata yang sembab akibat tangis tiada henti. Pintu kamar diketuk perlahan.“Masuk,” suara Nadya terdengar serak, hampir tak terdengar.Citra dan Raka melangkah masuk. Nadya terkejut melihat mereka, terutama Citra.“Kalian…” ucap Nadya dengan nada bergetar.“Kami datang untuk memastikan kamu baik-baik saja,” kata Citra, mencoba tersenyum meski canggung.Raka berdiri beberapa langkah di belakang Citra, tatapannya dingin. “Dia baik-baik saja? Aku rasa kita sudah tahu jawabannya. Kenapa kita harus ke sini?”Citra melirik Raka sejenak, mengabaikan komentarnya. Ia mendekati ranjang Nadya. “Apa kamu butuh sesuatu? Mungkin air atau makanan?”Nadya menggeleng pelan. “Aku… tidak butuh apa-apa. Terima kasih sudah datang.”“Jangan terlalu cepat berterima kasih,” potong Raka tajam. “Kami di sini bukan untuk memberikan simpati tanpa alasan.”“Mas!” tegur Citra. “Dia baru saja kehilangan anaknya.
Di ruang tamu yang megah namun dingin, keluarga Bramantyo berkumpul. Bramantyo duduk di kursi paling ujung, memancarkan aura otoritas yang tidak bisa diganggu gugat.Andi duduk di sampingnya, dengan ekspresi tegas yang mencerminkan pendiriannya, dan Arga duduk di hadapan Andi dengan ekspresi sedih dan kebingungan di saat yang sama.Ahmad berdiri di hadapan mereka, terlihat gelisah namun tetap mencoba mempertahankan ketenangan. Anita, yang berdiri sedikit di belakang Ahmad, menyaksikan pertemuan ini dengan tatapan dingin.“Dia tidak punya tempat lagi di keluarga ini, Arga. Tidak peduli seberapa menderita dia sekarang,” suara Bramantyo menggema di ruangan, tegas dan penuh emosi.Arga mengangguk pelan. “Saya setuju, Kek. Nadya telah melampaui batas,” ucapnya pelan. “Perbuatannya terlalu kejam untuk dimaafkan. Bahkan setelah semua kesempatan yang kita berikan, dia tetap mengkhianati keluarga ini.”Ahmad menghela napas berat, lalu mencoba berbicara dengan nada lebih tenang. “Pak, saya meng
"Bu, tolong angkat telepon ini... aku tidak punya tempat lain untuk pergi," suara Nadya terdengar parau, hampir tertelan isak tangisnya. Ponsel di tangannya terus berdering tanpa jawaban. Untuk keempat kalinya ia mencoba, tetapi hasilnya tetap sama. Nadya memandang layar ponselnya yang redup, lalu dengan berat hati ia menyelipkannya kembali ke tas kecil yang sudah usang.Ia berdiri di depan rumah sakit dengan tubuh lemah, menggigit bibir untuk menahan tangis yang semakin mendesak keluar. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya, namun lebih menusuk lagi rasa kehilangan yang kini memenuhi dadanya.“Harus ke mana aku sekarang?” Nadya bergumam pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Ia mulai melangkah, tanpa arah, hanya mengikuti trotoar panjang yang dihiasi lampu jalan yang suram.Langkah kakinya membawanya ke sebuah taman kecil. Di sana, ia melihat sekelompok ibu-ibu yang tengah duduk bercengkerama di bangku taman. Nadya mengenali beberapa wajah mereka—orang-orang yang d
“Kenapa kamu terus-terusan bersikap seperti itu, Mas? Bukankah Nadya sudah minta maaf?” Citra duduk di sofa ruang tamu, tatapannya lurus ke arah suaminya yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi berlapis kain cokelat.Raka mendesah pelan, tetapi sorot matanya tajam. “Minta maaf? Citra, kamu benar-benar percaya permintaan maaf itu tulus? Kamu lupa apa saja yang dia lakukan selama ini?”Citra menggeleng lemah. “Aku tahu apa yang dia lakukan dulu, tapi kali ini... Aku benar-benar merasa dia tulus. Orang bisa berubah, Mas.”Raka terkekeh sarkastik, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. “Berubah? Orang seperti Nadya nggak akan pernah berubah. Dia cuma pintar memainkan perasaan orang. Sekarang dia datang dengan wajah sedih, bilang ‘maaf’, dan kamu langsung percaya?”Citra berdiri, mencoba mendekati Raka. “Bukan masalah percaya atau tidak, tapi aku yakin dia benar-benar menyesal. Kamu lihat sendiri, kan, dia nggak seperti Nadya yang dulu. Bahkan dia sampai kehilangan seg
"Kamu masih mau membelanya, Mas? Setelah semua ini?" suara Anita memecah keheningan di ruang makan kecil itu. Nada suaranya tajam, penuh dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Ahmad meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, mencoba menjaga ketenangan meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Anita, aku hanya mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lebih adil. Nadya sudah cukup menderita. Apa salahnya kita beri dia sedikit ruang untuk memperbaiki semuanya?"Anita tertawa pendek, hampir sinis. "Adil? Kamu benar-benar berpikir dia pantas mendapatkan keadilan setelah apa yang dia lakukan? Dia bahkan menghancurkan hubungan dengan keluarga Bramantyo."Ahmad menggeleng, mencoba tetap tenang. "Dia butuh bantuan, Anita. Apa salahnya kalau kita mencoba membantu? Bagaimanapun juga, dia anak kita."Anita memutar matanya dengan kesal. "Bagian keluarga? Jangan mulai, Mas. Dia sudah kehilangan hak itu sejak dia nggak mau menuruti perintahku. Dan jujur saja, aku muak melihat kamu terus-terus
“Oh, Arga … kamu hebat sekali.”Citra tercengang manakala ia mendengar suara seorang wanita mendesahkan nama tunangannya dari dalam kamar hotel. “Ya, Sayang! Seperti itu … ah!”Suara pergumulan itu semakin keras begitu pintu hotel Citra buka tanpa dua orang di dalam sadari.Selagi memberanikan diri, Citra mengintip dari celah pintu untuk memastikan apa yang terjadi di dalam sana. Dan seketika, dia pun membeku dengan tangan menutup mulut.Di dalam ruangan, Citra mendapati Arga, tunangannya, tengah bergumul dengan seorang wanita yang tidak lain adalah kakak tiri Citra sendiri, Nadya!‘Oh, Tuhan!’ batin Citra dengan tubuh bergetar dan mata berkaca-kaca.Hari itu, Citra diminta Wedding Organizer untuk memeriksa sejumlah hal, termasuk kamar hotel yang akan menjadi tempat dirinya dan sang calon suami menghabiskan malam pertama mereka beberapa hari lagi. Akan tetapi, siapa yang menyangka dirinya malah berakhir menangkap perselingkuhan pria itu dengan kakak tirinya sendiri?!Dengan tangan
Ucapan Nadya membuat seisi ruangan menegang. Bukan hanya Bramantyo yang tampak terkejut dengan pernyataan Nadya, tapi ayah Citra sendiri juga. Karena satu pernyataan putri tirinya itu, terbukti bahwa pernyataannya mengenai Arga tidak akan berselingkuh lagi setelah menikah dengan Citra sama saja dengan omong kosong belaka! Buktinya, mereka sudah melakukannya berulang kali!Bramantyo menatap cucunya dengan tatapan dingin, penuh kekecewaan. “Memalukan! Kamu telah mempermalukan keluarga kita dan mengkhianati Citra yang tulus!”“Ini salah kalian karena terlalu memanjakannya,” seru Bramantyo yang kini menatap kedua orang tua Arga yang juga hanya dapat menundukan kepala mereka. “Kamu benar-benar adalah aib bagi keluarga Bramantyo!” Bramantyo menunjuk-nunjuk wajah Arga dengan penuh emosi, sehingga membuat nafasnya menjadi tersengal-sengal. “Kakek,” Citra kemudian memegang lengan Bramantyo dan menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Bramantyo memejamkan matanya berusaha menahan rasa amarah
"Kamu masih mau membelanya, Mas? Setelah semua ini?" suara Anita memecah keheningan di ruang makan kecil itu. Nada suaranya tajam, penuh dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Ahmad meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, mencoba menjaga ketenangan meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Anita, aku hanya mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lebih adil. Nadya sudah cukup menderita. Apa salahnya kita beri dia sedikit ruang untuk memperbaiki semuanya?"Anita tertawa pendek, hampir sinis. "Adil? Kamu benar-benar berpikir dia pantas mendapatkan keadilan setelah apa yang dia lakukan? Dia bahkan menghancurkan hubungan dengan keluarga Bramantyo."Ahmad menggeleng, mencoba tetap tenang. "Dia butuh bantuan, Anita. Apa salahnya kalau kita mencoba membantu? Bagaimanapun juga, dia anak kita."Anita memutar matanya dengan kesal. "Bagian keluarga? Jangan mulai, Mas. Dia sudah kehilangan hak itu sejak dia nggak mau menuruti perintahku. Dan jujur saja, aku muak melihat kamu terus-terus
“Kenapa kamu terus-terusan bersikap seperti itu, Mas? Bukankah Nadya sudah minta maaf?” Citra duduk di sofa ruang tamu, tatapannya lurus ke arah suaminya yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi berlapis kain cokelat.Raka mendesah pelan, tetapi sorot matanya tajam. “Minta maaf? Citra, kamu benar-benar percaya permintaan maaf itu tulus? Kamu lupa apa saja yang dia lakukan selama ini?”Citra menggeleng lemah. “Aku tahu apa yang dia lakukan dulu, tapi kali ini... Aku benar-benar merasa dia tulus. Orang bisa berubah, Mas.”Raka terkekeh sarkastik, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. “Berubah? Orang seperti Nadya nggak akan pernah berubah. Dia cuma pintar memainkan perasaan orang. Sekarang dia datang dengan wajah sedih, bilang ‘maaf’, dan kamu langsung percaya?”Citra berdiri, mencoba mendekati Raka. “Bukan masalah percaya atau tidak, tapi aku yakin dia benar-benar menyesal. Kamu lihat sendiri, kan, dia nggak seperti Nadya yang dulu. Bahkan dia sampai kehilangan seg
"Bu, tolong angkat telepon ini... aku tidak punya tempat lain untuk pergi," suara Nadya terdengar parau, hampir tertelan isak tangisnya. Ponsel di tangannya terus berdering tanpa jawaban. Untuk keempat kalinya ia mencoba, tetapi hasilnya tetap sama. Nadya memandang layar ponselnya yang redup, lalu dengan berat hati ia menyelipkannya kembali ke tas kecil yang sudah usang.Ia berdiri di depan rumah sakit dengan tubuh lemah, menggigit bibir untuk menahan tangis yang semakin mendesak keluar. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya, namun lebih menusuk lagi rasa kehilangan yang kini memenuhi dadanya.“Harus ke mana aku sekarang?” Nadya bergumam pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Ia mulai melangkah, tanpa arah, hanya mengikuti trotoar panjang yang dihiasi lampu jalan yang suram.Langkah kakinya membawanya ke sebuah taman kecil. Di sana, ia melihat sekelompok ibu-ibu yang tengah duduk bercengkerama di bangku taman. Nadya mengenali beberapa wajah mereka—orang-orang yang d
Di ruang tamu yang megah namun dingin, keluarga Bramantyo berkumpul. Bramantyo duduk di kursi paling ujung, memancarkan aura otoritas yang tidak bisa diganggu gugat.Andi duduk di sampingnya, dengan ekspresi tegas yang mencerminkan pendiriannya, dan Arga duduk di hadapan Andi dengan ekspresi sedih dan kebingungan di saat yang sama.Ahmad berdiri di hadapan mereka, terlihat gelisah namun tetap mencoba mempertahankan ketenangan. Anita, yang berdiri sedikit di belakang Ahmad, menyaksikan pertemuan ini dengan tatapan dingin.“Dia tidak punya tempat lagi di keluarga ini, Arga. Tidak peduli seberapa menderita dia sekarang,” suara Bramantyo menggema di ruangan, tegas dan penuh emosi.Arga mengangguk pelan. “Saya setuju, Kek. Nadya telah melampaui batas,” ucapnya pelan. “Perbuatannya terlalu kejam untuk dimaafkan. Bahkan setelah semua kesempatan yang kita berikan, dia tetap mengkhianati keluarga ini.”Ahmad menghela napas berat, lalu mencoba berbicara dengan nada lebih tenang. “Pak, saya meng
Di ruangan rumah sakit yang hening, Nadya terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya tampak pucat, dengan mata yang sembab akibat tangis tiada henti. Pintu kamar diketuk perlahan.“Masuk,” suara Nadya terdengar serak, hampir tak terdengar.Citra dan Raka melangkah masuk. Nadya terkejut melihat mereka, terutama Citra.“Kalian…” ucap Nadya dengan nada bergetar.“Kami datang untuk memastikan kamu baik-baik saja,” kata Citra, mencoba tersenyum meski canggung.Raka berdiri beberapa langkah di belakang Citra, tatapannya dingin. “Dia baik-baik saja? Aku rasa kita sudah tahu jawabannya. Kenapa kita harus ke sini?”Citra melirik Raka sejenak, mengabaikan komentarnya. Ia mendekati ranjang Nadya. “Apa kamu butuh sesuatu? Mungkin air atau makanan?”Nadya menggeleng pelan. “Aku… tidak butuh apa-apa. Terima kasih sudah datang.”“Jangan terlalu cepat berterima kasih,” potong Raka tajam. “Kami di sini bukan untuk memberikan simpati tanpa alasan.”“Mas!” tegur Citra. “Dia baru saja kehilangan anaknya.
Anita dan Ahmad tiba di rumah sakit pagi itu. Mereka langsung menuju kamar Nadya, yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajah Anita tegang, sementara Ahmad tampak mencoba menahan kekhawatirannya.“Bagaimana ini bisa terjadi, Nadya? Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” Suara Anita terdengar tajam, penuh kecemasan.Nadya menunduk. Suaranya hampir tak terdengar. “Bu... Aku... aku nggak tahu.”“Anita, jangan terlalu keras,” Ahmad menengahi, mencoba menenangkan suasana. “Ini sudah cukup berat buat Nadya.”“Saya nggak keras, Mas!” Anita menatap suaminya tajam. “Tapi saya nggak paham, kenapa anak kita bisa sampai seperti ini?”Nadya tetap diam, tangannya memegangi perutnya yang kosong. Matanya tertuju ke lantai, menghindari tatapan ibunya.Anita maju beberapa langkah, suaranya makin meninggi. “Nadya, jawab ibu! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu ceroboh begini? Seharusnya kamu jaga diri, jaga bayi itu!”“Bu, tolong...” Nadya akhirnya bersuara, suaranya pecah oleh tangis. “Ini salahku. S
Nadya terbangun di ranjang rumah sakit, rasa sakit menjalari tubuhnya. Kepalanya berat, matanya bengkak akibat tangisan semalam. Pintu kamar terbuka, seorang dokter masuk dengan wajah penuh empati.“Bu Nadya,” panggil dokter itu pelan, duduk di sisi ranjang. “Kami perlu bicara.”Nadya berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Apa yang terjadi, Dok?” tanyanya dengan suara parau.Dokter menatapnya sejenak, ragu untuk berbicara. “Kami sudah melakukan semua yang kami bisa, tapi ... bayi Anda tidak bisa diselamatkan.”Wajah Nadya pucat. Tatapan dan pikirannya mendadak kosong. Saat ini Nadya tidak dapat merasakan apa-apa. Namun, air mata tiba-tiba saja mengalir di pelupuk matanya.Apakah ini adalah karma yang harus ia terima? Tetapi, mengapa Tuhan harus mengambil calon bayinya yang tidak berdosa? Mengapa Tuhan tidak mengambil dirinya saja?Melihat pasiennya menangis, sang dokter menundukkan kepala. “Saya turut berduka. Ini bukan kesalahan Anda, tapi kondisi Anda memang terlalu berat u
"Arga, tolong aku. Aku butuh bantuanmu kali ini," ujar Nadya dengan suara memelas. Ia memegang ponsel dengan tangan gemetar, berharap ada sedikit empati dari orang yang masih berstatus suaminya itu.Namun, suara di ujung telepon terdengar dingin. "Nadya, aku sudah bilang, aku tidak mau terlibat lagi denganmu. Aku punya keluarga dan reputasi yang harus aku jaga. Jangan cari aku lagi.""Arga, tunggu! Aku benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi!" teriak Nadya dengan putus asa, tetapi telepon sudah terputus. Ia menatap layar ponselnya yang gelap dengan tatapan kosong.*Tak mau menyerah, Nadya mencoba menghubungi Rama, mantan kekasihnya yang dulu selalu mendukungnya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara Rama terdengar."Nadya? Ada apa?" tanyanya dengan nada waspada."Rama, aku butuh bantuanmu. Aku benar-benar terpojok sekarang. Semua orang meninggalkanku, dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi," kata Nadya dengan suara serak, matanya mulai basah oleh air mata.Rama terdiam sejenak
“Kamu bilang akan membantuku, tapi kenapa ini terasa seperti jebakan?” Nadya berbicara dengan nada kesal, namun ada ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan.Di depannya, pria misterius itu duduk dengan santai di kursi, senyumnya tipis dan penuh makna. “Jebakan? Nadya, aku hanya memberikan apa yang kau minta. Kau ingin kembali mendapatkan segalanya, bukan? Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ada harga yang harus kau bayar.”Nadya mengepalkan tangannya di bawah meja. “Harga? Apa lagi yang kau mau dariku? Aku sudah melakukan semua yang kau perintahkan!”Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang Nadya dengan tatapan tajam. “Belum semuanya, Nadya. Aku butuh kau menyerahkan satu hal terakhir. Informasi.”“Informasi?” Nadya menatapnya bingung. “Informasi tentang apa?”“Semua hal tentang keluarga Bramantyo. Detail yang mungkin terlihat sepele bagimu, tapi penting bagi kami,” jawab pria itu, sambil menyipitkan matanya.Nadya mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres.