"Masuk!" titah Dokter yang sedang berbicara dengan Kaira.Tak lama masuk seorang perawat yang memberitahukan jika ada pasien baru dari tower yang sama. Dia katanya pingsan saat di depan pintu lift. Hal ini membuat Kaira langsung teringat akan kondisinya tadi.“Siapa memangnya, Sus? Banyak sekali orang pingsan depan lift,” gumam Dokter itu sambil berjalan keluar untuk memeriksa pasien lainnya.“Pak Dipta dari unit atas,” jawab Perawat itu dengan nada suara pelan tapi masih bisa didengar jelas oleh Kaira.Mendengar nama suaminya yang disebut, Kaira mencoba bangun dari posisi tidurannya. Ia turun dan berjalan ke arah luar ruangan.Saat baru menekan handle pintu, Kaira kaget ketika daun pintu itu sudah ditarik dari arah luar.“Mas Dipta,” gumamnya lirih.Dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan itu sambil mendorong brankar. Tubuh Dipta dipindahkan ke brankar sebelah Kaira.“Dok, Mas Dipta kenapa?” tanya Kaira yang merasa khawatir dengan suaminya. “Apa dia baik-baik saja?” Kaira sedikit m
“Maksudnya, Ma?” tanya Dipta mencoba memastikan karena takut salah mendengar telinganya.“Mama akan jadi Nenek, dan kamu akan jadi Ayah!” seru Vania sambil menangis terharu. Tidak menyangka keinginan dan cita-citanya akan segera terwujud.Dipta yang mendengar penuturan ini merasa syok sendiri. Mulutnya melongo, tubuhnya membeku untuk beberapa saat, sampai akhirnya suara muntahan Kaira kembali menyadarkannya.Dilihat tubuh istrinya yang semakin kurus dengan tatapan sedih. Ada rasa kasihan sekaligus menyesal karena menyeret Kaira ke dalam masalah kantornya.Tahu begini, Dipta akan membiarkan Kaira istirahat di rumah saja. Apalagi istrinya pernah mengalami riwayat hamil di luar kandungan, dan hal ini membuat Dipta takut sekaligus trauma.“Sayang, aku akan jadi Ayah,” lapor Dipta dengan kedua netra mata yang berkaca-kaca menatap wajah sayu istrinya.“Hah!? Maksudnya?” tanya Kaira tidak paham karena dari tadi fokus muntah-muntah, dan tidak terlalu mendengarkan obrolan di sekitarnya.“Kamu
“Mulai besok kamu boleh bekerja bantu aku, tapi dengan catatan tidak boleh lembur, tidak boleh ngoyo, dan tidak boleh banyak-banyak. Pokoknya kamu kerja secukupnya saja,” jawab Dipta dengan tegas.“Ta—““Dan, untuk Mama, Dipta minta bantuan untuk selalu menemani dan mengantar Kaira ke tempat senam hamil atau apapun itu yang membuat kondisi Ibu dan janinnya bisa selalu mendapatkan mood baik,” potong Dipta cepat saat Kaira ingin memprotes.“Mama akan selalu siap. Pokoknya kamu tenang aja, Dip,” balas Vania sambil mengacungkan jempol ke arah Dipta.“Apa Papa tidak mendapatkan tugas?” usul Wisnu yang tidak mendapat kebagian tugas dari putranya.“Papa kalau mau bantu Dipta di kantor. Dipta merasa keteteran saat ini apalagi perusahaan lagi mengalami penurunan yang signifikan. Terlebih Om Endru dan penanam saham lain sekarang menentang Dipta secara terang-terangan. Rasanya capek banget nyari klien buat mau menanam saham ke perusahaan kita,” curhat Dipta soal suka dukanya menjadi pemimpin saa
“Ulu-ulu masa ngancamnya gitu?” goda Dipta yang justru semakin meledek istrinya hingga kian makin cemberut.Sebal karena diledek terus menerus membuat Kaira mengambek, enggan berbicara dengan Dipta sampai ke tempat tujuan, rumah utama keluarga Kertakusuma.“Masih ngambek terus, eh?” tanya Dipta sambil menjawil dagu milik Kaira. “Kalau ngambek terus aku cium nanti,” tambah Dipta yang justru membuat Kaira semakin kesal.Marah dengan ucapan Dipta membuat Kaira memukuli suaminya sedikit brutal. Akan tetapi Dipta membalas dengan pelukan.Kaira yang dipeluk dari belakang langsung tersipu malu. Pipinya mendadak merah seperti kepiting rebus.Tahu kalau istrinya sudah mulai blusing, Dipta mencium pipi milik Kaira dengan gemas. Mengajak Kaira masuk ke dalam rumah.“Mobil kamu yang warna putih ke mana? Kok nggak pernah kelihatan di mana-mana?” tanya Kaira yang merasa tak pernah melihat mobil putih milik suaminya lagi.“Rusak, terus udah aku jual, sayang. Kenapa? Kamu kepengen mobil kayak gitu la
“Kotak hitam apa itu?” lirih Kaira bermonolog sendiri. Netra cokelatnya menatap ke arah benda berwarna hitam yang terjatuh.Mengingat tujuannya mencari map berwarna kuning, Kaira kembali melanjutkan tujuannya. Ternyata saat sudah dicari-cari tidak ada di dalam jejeran rak buku.Alhasil Kaira memilih buru-buru turun dari atas kursi putar karena takut terjatuh. Kaira mendorong kursi putar itu ke tempat semula, di belakang meja kerja.Netra matanya kembali melihat ke arah kotak hitam yang terjatuh. Dilihatnya lekat-lekat oleh Kaira. Saat baru mengambil dan akan membuka kotak hitam itu, telinganya mendengar suara deritan pintu terbuka.Cklek!“Kaira?”“Eh, Papa,” balas Kaira merasa gugup sendiri. Ekspresi wajahnya pun sangat terlihat tegang ketika Wisnu berjalan masuk mendekat ke arahnya.Sebelah alis milik Wisnu terangkat sebelah ketika melihat kotak hitam itu berada di tangan Kaira. Wisnu tersenyum tipis, penuh makna tersirat.“Kamu sudah buka kotak itu?” tanya Wisnu menunjuk ke arah ko
“Ya, Kaira, ada apa?” tanya Wisnu di seberang telepon.“Pa, Kaira boleh pinjam laptop atau komputer Papa di ruang kerja nggak? Soalnya Kaira mau bantu-bantu dikit pekerjaan Mas Dipta,” jelas Kaira soal tujuannya ingin meminjam laptop milik mertuanya.“Oh, tentu saja boleh sayang. Kamu pakai aja laptop Papa sesuka hati kamu, ya. Kamu juga boleh pakai ruangan itu untuk bekerja kok.”Kaira tersenyum lebar saat mendengar Papa mertuanya yang justru membebaskan dirinya menggunakan ruang kerja pribadinya itu.Tak lupa Kaira mengucapkan makasih kepada Papa Wisnu. Bibirnya bahkan mesam-mesem sendiri saat mendengar ucapan Papa mertuanya yang penuh perhatian kepadanya.Sudah mendapatkan izin dari orang yang bersangkutan, Kaira buru-buru berjalan menuju ke ruang kerja itu kembali. Membuka pintu itu dengan kunci yang dimilikinya.Klek!Wanita itu mendorong masuk daun pintu ke dalam. Tujuan pertama Kaira, membuka seluruh hordeng agar terasa terang. Tak lupa menyalakan AC agar tak merasa gerah.Seme
“A-a-apa maksud dari semua ini? Kenapa foto keluargaku ada di dalam liontin kalung milik Papa Wisnu? Terus kenapa desainnya juga sama dengan punyaku? Apa jangan-jangan ini kalung Mama yang hilang saat kecelakaan?”Rasanya Kaira tidak mengerti dengan keadaan yang dialaminya saat ini. Apalagi jika disebut sebuah kebetulan rasanya sangat mustahil.Lagipula mana ada kebetulan buat perhiasan dengan foto keluarganya? Kenapa tidak dengan foto keluarga Papa Wisnu saja?Pusing memikirkan ini membuat tubuh Kaira hampir limbung. Untung saja ia berpegangan kuat ke tiang rak buku.Perutnya bahkan mendadak mual, yang membuat Kaira buru-buru pergi dari dalam ruang kerja pribadi mertuanya. Kaira berjalan cepat menuju ke kamar mandi yang berada di lantai bawah.Hoek! Hoek!Makanan yang sudah dimakan tadi, semuanya keluar. Tubuh Kaira langsung lemas tak bertenaga. Kepalanya juga pusing, pandangan matanya mulai menguning hingga lama-kelamaan gelap.Bruk!Tubuhnya yang limbung pingsan di dekat lantai was
“Kamu ngomong apa, sih, sayang? Kamu tadi nggak kejedot benda tajam, ‘kan?”Dipta memegang dahi milik Kaira dengan punggung telapak tangannya. Memastikan suhu tubuh istrinya, takutnya panas hingga berbicara ngelantur.Sebal karena Dipta menganggap ucapannya hanya haluan saja, Kaira menyingkirkan telapak tangan milik Dipta dengan cepat.“Aku baik-baik aja,” dengkus Kaira menatap jutek ke arah Dipta.Tahu jika istrinya mengambek, Dipta mencoba merayu Kaira dengan memegang kedua telapak tangannya.“Lagian kamu kenapa tiba-tiba tanya begini, sih?” Dipta kini bertanya dengan nada suara yang begitu lembut. Dan, benar saja reaksi Kaira langsung berubah, meski ekspresi wajahnya masih saja jutek.“Lagian aku cuma andai-andai,” ujar Kaira masih dengan suara sedikit ngegas. “Kalau itu terjadi gimana? Berarti kita … sudahlah!” Kaira tak melanjutkan ucapannya karena sudah terlanjur keburu badmood.“Kalau kita saudara ya bagus dong. Tali darah kita nggak akan pernah terputus.”“Dih! Tapi ini calon