Ryana terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan suaminya. Memang benar kejanggalan demi kejanggalan yang diucapkan oleh ibunya, kini semakin lama semakin nampak.Begitu repot sang ibu menyembunyikan makanan yang baru Ryana masak di lemari agar tidak dimakan Hasfi. Padahal Hasfi dan Ryana juga tidak masalah seandainya makanan tersebut dimakan oleh mereka bertiga. Toh, uang Hasfi juga cukup bahkan sangat cukup kalau hanya untuk membeli makanan di luar. "Sudahlah, Sayang. Kamu enggak sedih lagi. Aku enggak masalah kok. Makanya aku ngajak kamu ngontrak," balas Hasfi mencoba menghibur istrinya yang sedang murung memikirkan orangtuanya yang sedang bertengkar. Ryana mengangguk pelan. Sebagai seorang istri memang seharusnya ia patuh kepada suami. Apalagi suaminya selalu mengajaknya pada kebaikan. Hasfi tau kalau hati Ryana sedang gundah gulana. Ia pun mencoba menenangkan hatinya. Apalagi hari ini ini Ryana tidak bisa menghindar dari Ibu dan Bapaknya karena akan ada rapat di sekola
Hari ini Ryana mengajak jalan-jalan di sebuah Mall dan makan di resto. Selain makan siang bersama. Ryana juga mengajak kedua sobatnya itu belanja ke Butik. "Lho kamu aja yang ke butik, Ry. Aku kan lagi bokek. Masa nanti pas aku ngiler pengen beli baju, bayarnya pake daun atau kartu kredit gitu? Kartunya doang sih. Isinya enggak ada," celetuk Sofi sambil berkelakar. Ryana dan Gladis tertawa cekikikan mendengar celetukan Sofi. Sofi memang suka bercanda. Namun bukan berarti ia ingin memanfaatkan kedua temannya yang memang saat ini sudah lebih mapan darinya. Ia bahkan kadang merasa malu dan minder karena belum mapan seperti kedua sahabatnya. "Sudahlah enggak usah kalian pikirkan. Biar aku yang bayar semua. Gladis juga ayo, kalian pilih," sahut Ryana tersenyum. "Beneran, Ry?" tanya Sofi dan Gladis hampir serempak."Iya beneran lah. Ngapain juga bohong." "Nanti kalau duitmu abis buat beliin kami baju gimana?" Gladis begitu khawatir. "Ah, enggak papa. Sekali-kali menyenangkan sahabat t
Awalnya memang berat bagi Ryana untuk melepaskan cinta lamanya yang telah mengisi hatinya bertahun-tahun. Namun biar bagaimanapun sakitnya hati karena dikhianati sang kekasih, Ryana perlahan mencoba untuk bangkit dan menyadari kalau lelaki yang menikahinya ini adalah lelaki sejati yang selalu ingin membahagiakan dan setia pada dirinya. Aldi merasa apa yang diucapkan Ryana klise dan terlalu mengada-ada. Ia mengira kalau sekarang Ryana layaknya orang yang terpaksa menikah dan harus menjalani kehidupan rumah tangga tanpa cinta. Tanpa Ryana dan Aldi sadari, dari jauh ada yang memotret dan memvideo mereka berdua. Ya, orang tersebut memang berniat jahat kepada Ryana. Ia ingin sekali menghancurkan rumah tangga Ryana dengan Hasfi. "Huh, enggak usah basa-basi bilang enggak ada urusan. Ya jelas dong ada! Kamu tanpa izin aku nikah dengan anak kecil itu. Emangnya kamu bisa hidup dengan anak kuliahan yang kere dan enggak punya duit itu," sahut Aldi tidak mau kalah. Ryana malah tertawa dengan
Menjalankan sebuah biduk rumah tangga bukanlah hal yang mudah. Butuh komitmen yang kuat antara kedua belah pihak. Kedua belah pihak yang dimaksud di sini adalah suami istri. Saling menghargai dan mengasihi adalah dua pondasi utama agar rumah tangga harmonis. * * Hasfi baru berada di teras ketika mendengar Ryana dimarahi Bu Erin. Seketika pria itu mengernyitkan keningnya. Wajar kalau mereka pulang sendiri-sendiri. Pasalnya Ryana dan Hasfi mempunyai keperluan masing-masing. Tidak mungkin Ryana ikut dengan Hasfi yang sedang kuliah dan membuat konten untuk menambah penghasilannya. Sedangkan Ryana saja tadi ada rapat di sekolah. Hasfi masih berdiri di teras, tepatnya di depan pintu. Bu Erin maupun Ryana tidak ada yang menyadari kedatangannya. Pria itu hanya bisa mengelus dada. Ia yakin pasti akan selalu ada konflik kalau ia tidak segera membawa Ryana pergi dari rumah orangtuanya. 'Ya Allah, kenapa Ryana-ku selalu saja jadi bulan-bulanan ibunya? Ya, mungkin karena aku selama ini dikira
Tinggal seatap dengan mertua atau orangtua sebenarnya bukanlah pilihan yang tepat bagi pasangan suami istri yang baru menjalani kehidupan berumah tangga. Kecuali memang salah satu orangtua mereka ada yang telah berusia lanjut dan tidak mampu bekerja lagi. Orangtua Ryana maupun Hasfi sama-sama belum terlalu tua dan masih kuat bekerja mencari nafkah. Apalagi Ryana juga mempunyai adik laki-laki yang selalu bisa diandalkan untuk menjaga kedua orangtua mereka. Begitu juga dengan Bu Hasna--ibunda Hasfi. Walau dia kini sudah lama menjanda, bukan alasan baginya untuk tidak mencari nafkah. Bu Hasna masih kuat bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan keponakannya, tanpa meminta dari Hasfi.Walau begitu Hasfi adalah anak yang berbakti dan tau diri. Kini orangtuanya hanya tinggal ibunya. Sejak perceraian orangtuanya, Ayahnya menikah lagi dengan sang pelakor yang merusak rumah tangga mereka.* *Ryana mandi dan berwudhu. Begitu juga Hasfi yang sudah selesai mandi dan berwudhu juga. Mereka mel
Hasfi mengira kalau Bapak mertuanya akan memarahinya. Namun tak ia sangka, Pak Iman begitu bijak menanggapi usulannya. Pria muda itu jadi terharu. "Enggak papa, Fi. Bapak setuju dan bangga dengan kamu. Bapak rasa, itu sudah jadi keputusanmu dengan Ryana. Kalian sudah berumah tangga, kalian sudah dewasa. Artinya kalian sudah bisa memikirkan baik buruknya beserta konsekuensi atas keputusan yang kalian ambil. Bukankah istri yang baik adalah yang patuh dengan suami? Asal suaminya sholeh dan bisa membimbing," jawab Pak Iman dengan bangga. Kedua mata Hasfi pun berkaca-kaca. Tak ia sangka sebelumnya kalau Bapak mertua akan mendukung niat baiknya. Bukan berarti ia ingin memisahkan Ryana dengan orangtuanya. Hanya saja, Hasfi ingin mereka hidup mandiri dan Ryana terbebas dari ibunya yang sudah memiliki bibit toxic. "Ma-makasih, Pak. Makasih sudah mengizinkan Hasfi untuk membangun rumah tangga mandiri." Hasfi menghapus air matanya yang terjatuh. Seumur-umur pemuda itu memang jarang menangis.
Mempunyai orangtua yang baik dan masih perhatian walau kita sudah menikah adalah sebuah anugerah yang harus selalu disyukuri. Seperti halnya yang kini dirasakan oleh Hasfi. Sejak perceraian ibu dan ayahnya ketika ia masih kecil. Saat itu memang ia belum terlalu mengerti makna sebuah perceraian. Yang ia tau mengapa ibu dana ayahnya tidak tinggal bersama lagi. Bu Hasna yang banting tulang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya anaknya sekolah. Waktu itu ayahnya Hasfi yang bernama Pak Alfian itu hanya enam bulan saja memberikan uang nafkah kepada Hasfi. Karena Pak Alfian menikah lagi dengan sang pelakor perusak rumah tangganya, otomatis nafkah untuk Hasfi pun juga di stop oleh ibu tirinya. Mau tak mau, sebagai single parent. Bu Hasna tidak mau merepotkan kedua orangtuanya yang sudah tua renta. Biar bagaimana pun Hasfi adalah anak semata wayangnya dan menjadi tanggungannya. Bu Hasna tidak berpangku tangan dan tidak menyerah begitu saja. Ia pun sebisa mungkin berusaha agar kebut
Sebagai ibu kandung, Bu Hasna pasti mengerti dengan perasaan yang kini dirasakan oleh putra tunggalnya tercinta. Resah yang Hasfi rasakan memang sudah mengguncang perasaannya. Ia mengerti bagaimana perasaan besannya ketika putrinya dinikahi oleh seorang pria muda yang berstatus masih menjadi mahasiswa dan belum mempunyai 'penghasilan tetap'. Namun namanya sesuatu yang sudah terlanjur dan belum waktu yang seharusnya Hasfi menikah. Bu Hasna mencoba sabar dan legowo. Biar bagaimana pun, walau status Hasfi masih menjadi mahasiswa. Bukan berarti ia melalaikan kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga. Dari bujangan, ia gigih berusaha. Waktu itu bayarannya paling tidak sabun, sampo, minyak goreng, skincare, pakaian, dan kebutuhan rumah tangga gratis. Sampai-sampai Bu Hasna tidak perlu lagi membelinya di luar. Bahkan ada yang tidak memberikan upah kepada Hasfi, hanya gratis produk saja yang dikirimkan oleh perusahaan yang ia iklankan. Namun Bu Hasna selalu menyemangati agar anak lelakin
Pedih bagai tersayat-sayat yang dirasakan oleh Bu Hasna. Pak Alfian serasa kembali mengoyak luka lamanya yang perlahan sudah mulai sembuh. Padahal sebelumnya Bu Hasna berharap tidak akan pernah bertemu dengan mantan suaminya. Memang hanya sekali saja ia bertemu dengan suaminya setelah resmi palu perceraian itu terjadi. Ya, waktu itu ketika Hasfi dan dirinya melihat Pak Alfian membelikan mainan untuk ketiga anak tirinya. "Hasna! Tunggu, Hasna! Aku mohon jangan pergi," pekik Pak Alfian sambil mengejar Bu Hasna yang berjalan meninggalkannya. Lia merasa situasi saat ini sedang tidak kondusif. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia meninggalkan Tantenya dalam situasi sulit seperti ini. Ia pun bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bu Hasna. Ya, menjadi single parent bagi seorang Bu Hasna bukanlah hal yang mudah. Walau ia hanya punya anak tunggal. Bukan berarti ia bisa dengan mudah menjalani semua ini.Bu Hasna terus melajukan jalannya. Begitu juga Lia yang berada di
Ya, malam ini Hasfi tidak bisa tertidur. Pikirannya berkelana kemana-mana. Terutama pikirannya tertuju pada masa lalunya yang kelam. Hidup beranjak dewasa tanpa didampingi dan mendapat kasih sayang dari sang ayah memanglah berat buat Hasfi. Tetapi sang ibunda terus menguatkannya dan memberikan semangat. Bahwa hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa ayah di sisinya. Mulanya Hasfi meratapi nasibnya. Nasibnya memang berbeda dengan anak-anak di sekitarnya. Perlahan ia mencoba menerima. Waktu bermainnya otomatis berkurang karena harus membantu ibunya mencari uang. 'Ya Allah, begitu pelik rasanya kehidupanku di masa lampau. Tidak menyangka kalau kehidupanku saat ini berubah total. Yang asalnya tidak punya apa-apa, sekarang malah berlebih. Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas semua karunia yang Engkau berikan,' gumam Hasfi dalam hati. Pria muda itu melirik istrinya yang tertidur di sebelahnya. Wajah ayu Ryana terlihat teduh. Tak salah memang sejak lama ia mengagumi sosok Ryana. Y
Ryana sebenarnya senang saja karena akan pindah dari kontrakan ini. Apalagi kata Hasfi rumah yang akan mereka tinggali itu adalah rumah milik Ayahnya. Hanya saja mereka baru beberapa hari pindah ke rumah ini, masa baru pindah lagi? Ibarat kata, rasa lelah karena pindahan belum sepenuhnya hilang. Ryana terdiam beberapa menit. Begitu pun Hasfi. Makanan yang tadi dibawakan Hasfi dari rumah Ayahnya juga tidak ada mereka sentuh. Hasfi masih agak kenyang. Begitu pula dengan Ryana yang tadi siang makan di sekolah. Sampai-sampai Hasfi melupakan rasa sakitnya akibat jatuh dari sepeda motornya."Besok kamu pijat refleksi aja, Bang. Mana habis jatuh gitu," celetuk Ryana memecah keheningan di antara mereka. "Ah, iya. Boleh juga, Yang. Kamu juga ikut pijat ya, nemenin aku," balas Hasfi langsung menyetujui. "Oke. Ya sudah. Kita pindah aja lagi, Bang. Tapi jangan besok juga. Kan aku mesti ngajar, kamu juga harus kuliah. Belum lagi malam hari kita kudu pijat. Hari Minggu nanti aja kalo mau pindaha
"Kalau begitu Hasfi pulang dulu, Yah," kata Hasfi ingin berpamitan kepada Ayahnya. Ia merasa tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan kepada Ayahnya. "Lho kok pulang sekarang? Apa kaki dan tanganmu udah enggak sakit lagi? Biar Agus dan Budi aja nanti yang nganterin kamu pulang," jawab Pak Alfian terkejut karena Hasfi ingin pulang. Agus dan Budi adalah supir dan ART di rumah Pak Alfian. "Tapi Hasfi belum membuat video konten untuk pekerjaan, Yah." "Oh gitu ya sudah tidak apa-apa. Tunggu sebentar." Pak Alfian membuka tas kerjanya. Ia mengeluarkan uang sejumlah sepuluh juta dari dompet besarnya, lalu memberikan uang itu kepada putra sulungnya itu."Ini uang yang Ayah janjikan tadi. Terimalah. Anggap saja sebagai ganti bayar uang sewa dan hadiah pernikahanmu. Oh iya, nanti kalau sudah tiga bulan di kontrakan. Kamu sebaiknya pindah ke rumah Ayah. Cukup dekat dari sini. Hanya berbeda blok saja. Kalau rencanamu ingin membangun rumah, sebaiknya diurungkan saja rencanamu. Lebih baik uang
Hasfi kecewa dengan sikap sang Ayah yang tidak mempercayainya. Di sisi lain ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan sudah mempertemukan kembali dirinya dengan ayah kandungnya sendiri. Dari kata-kata Pak Alfian memang sudah terdengar jelas bagi siapa saja yang mendengarnya seperti sedang meremehkan anaknya sendiri. Padahal kualitas Hasfi jauh sekali di atas anak-anak Tania yang ia rawat bertahun-tahun. Tetapi mental mereka mental kerupuk. Tidak tahan banting. Jauh berbeda dengan Hasfi yang mentalnya sudah kuat, tidak lapuk karena badai kehidupan yang menghantam. "Apa tujuan kalau Hasfi berbohong dengan Ayah? Adakah Hasfi terlihat sebagai anak yang pembohong? Untuk apa juga Hasfi sombong berkata kepada Ayah kalau penghasilan Hasfi memang adanya begitu. Hasfi hanya ingin membuktikan kepada Ayah. Kalau anak yang dulu Ayah telantarkan demi wanita lain, malah lebih sukses dengan kaki dan tangan sendiri. Oh, tentunya juga dengan bimbingan dan kasih sayang Ibu yang tidak kenal lelah mendidik
Pak Alfian malah semakin tertawa dengan pertanyaan Hasfi. Ya, ia baru tau Hasfi pernah menyambangi rumahnya ketika SMP dari Satpam Komplek. Itupun ketika sebulan sesudah kejadian. Waktu itu memang istri keduanya sedang hamil. Pak Alfian memarahi istrinya yang tidak memberitahukan kalau anaknya kemari. Tania pun berbohong dan berkata kalau Hasfi kemari karena ingin minta uang. Tania juga bilang ia langsung saja memberikan uang yang diminta Hasfi. Padahal Hasfi tidak ada menerima uang sepeser pun dari Ibu tirinya itu. Sebagai seorang suami yang baik. Pak Alfian percaya saja dengan kata-kata istrinya. Tentu saja Tania berusaha merayu dan menangis tersedu-sedu dengan air mata buayanya. Pria itu lama-lama luluh juga dengan tangisan istrinya. "Sudah Ayah usir dari rumah ini. Ketiga anak itu memang anak Tania. Sekalian juga Ayah usir, biarkan saja mereka ikut Mamanya," jawab Pak Alfian dengan santai."Bu-bukankah waktu Hasfi kemari, Bu Tania sedang mengandung?" tanya Hasfi dengan suara be
Hasfi dan pria tua itu saling bertatapan mata. Pria tua itu merasa sangat mengenal Hasfi. Begitu juga dengan Hasfi. Mereka berdua terkejut dan terperangah melihat satu sama lain. "A-ayah," gumam Hasfi lirih ketika menoleh ke pria itu. Kata-kata yang baru saja diucapkan Hasfi itu meluncur begitu saja, seolah tanpa ia sadari.Begitupun dengan pria tua itu. Sejak pertama kali pria tua itu sudah curiga kalau yang ia lihat itu adalah anaknya. Belasan tahun ia tidak melihat putranya. Ketika dulu ditinggalkan, Hasfi masih duduk di bangku SD. Kini Hasfi sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang berwajah tampan dan gagah. Tetapi garis wajah Hasfi tetap diingat oleh si pria itu. Hubungan darah sampai bagaimana pun tetaplah kental dan tidak akan pernah terputus sampai kapanpun. Begitu juga dengan Hasfi dan Pak Alfian. Keduanya saling mengenal. Hasfi juga tidak bisa menghindar. "Iya, Nak. Kamu Hasfi kan? Alhamdulillah, kamu masih ingat Ayah." Pak Alfian terharu. Matanya berkaca-kaca.Hasfi se
Hasfi mengira keadaan akan baik-baik saja setelah dia pindah dari rumah mertuanya. Ia bahkan sempat berpesan kepada Pak Iman agar jangan memberi tau siapa pun dimana alamat rumah kontrakannya. Namun ia sendiri juga tak menyangka kalau ibu mertuanya akan nekat kemari. Tetapi ia yakin kalau yang memberikan alamat rumah kontrakannya pasti Bapak mertuanya itu. Hasfi mencoba untuk bersikap tenang. Baginya sudah biasa dan bahkan makanan sehari-hari dicibir hanya mahasiswa namun berani menikahi seorang gadis adalah hal yang biasa ia terima. Sekarang ia sudah terbiasa menikmati cibiran tersebut. Justru dengan cibiran tersebut bisa menjadi cambukan agar kehidupannya lebih baik. Hasfi tersenyum. Begitulah jawaban yang akan ia berikan kepada lontaran hinaan yang ditujukan pada dirinya. Terang saja hal tersebut malah membuat Bu Erin makin berang. "Ditanyain orangtua kok malah senyum-senyum? Emangnya kamu senang ya aku bilang pengangguran. Emang dasarnya kayaknya kamu pengangguran deh. Bohong
Begitu lah kehidupan. Kadang kita dihadapkan dengan orang-orang yang menghalangi jalan kita. Namun sebisa mungkin tetaplah kita teguh pada pendirian kira. Jangan sampai larut terhadap arus orang-orang yang tidak menyukai kita. * * Ezra terkejut bukan main karena bertemu dengan Ryana di sini. Sungguh ini adalah pertemuan yang tidak ia sangka sama sekali. "Lho jadi kalian saling kenal?" tanya Lia kebingungan. "Enggak kok. Ya, maksudnya cuma kenal gitu doang," jawab Ezra dengan cepat berkelit. Ryana tersenyum tipis. Ia mengajak Hasfi masuk. Ia paham maksudnya Lia tidak ingin diganggu oleh kehadiran mereka. "Ya Allah. Syukurlah kamu pulang, Lia. Tadi Hasfi menghubungi kamu, katanya nomor kamu enggak aktif. Kamu kemana aja sih?" celetuk Bu Hasna yang langsung memecah ketegangan di antara mereka. "Ma-maaf, Tante. Habisnya Lia tadi sibuk jalan sama temen. Maaf ya, kita tadi ada urusan penting," jawab Lia mencoba berkelit. "Oh iya, enggak papa. Suruh temannya masuk. Udah magrib, engga