"Raf? Maksud kamu Rafly?"Adara merutuki dirinya sendiri. Dalam hati dia jelas mengumpat memarahi bibirnya yang sial justru menyebut Rafly. Padahal sudah jelas jika yang sedang bersamanya adalah Danendra."Dan ... aku." Adara kehabisan kata-kata, tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semuanya karena kini Danendra pasti kecewa. Dia pasti marah.Tentu saja. Tidak ada pria yang tak akan marah ketika di tengah kegiatan 'intim' yang sedang dilakukannya bersama sang istri, ada nama pria lain yang digumamkan.Danendra tersenyum. "Masih ingat Rafly ya, Ra?" tanyanya. Tak terlihat emosi, Danendra bersikap begitu tenang di depan Adara—sementara tubuhnya kini masih berada di atas Adara, mengungkung istrinya dengan kedua tangan yang ada di sisi kanan dan kiri Adara."Dan, maaf. Aku enggak senga-""Its okay," jawab Danendra dengan segera—bahkan sengaja memotong ucapan Adara. Beringsut, Danendra menyingkir dari atas tubuh Adara lalu duduk di pinggir kasur, dan Adara yang kini hanya memakai kaos ta
***"Dan."Adara bergumam pelan tepat setelah dirinya membuka mata. Meraba-raba kasur, keningnya langsung berkerut ketika tangannya tak menemukan sosok Danendra di kasur.Beringsut, Adara duduk bersila dan mengerjapkan mata beberapa kali. Danendra benar-benar tak ada di kasur."Udah bangun apa ya?"Adara mengedarkan pandangan lalu sekali lagi dia memanggil nama Danendra. Namun, tetap tak ada sautan. Terdiam sejenak, ingatan Adara kembali terlempar ke kejadian semalam ketika dirinya dan Danendra hampir saja melakukan 'sesuatu'"Dia beneran marah kayanya," gumam Adara pelan.Semalam Danendra memang tak menunjukkan amarah atau bahkan kekecewaannya di depan Adara. Namun, dari gerak-gerik pun Adara merasa Danendra berbeda.Danendra yang biasanya mengajak ngobrol Adara sebelum tidur, semalam tak melakukannya—bahkan Danendra tidur tanpa memeluk Adara. Padahal biasanya laki-laki itu selalu melakukannya.Pagi ini pun Danendra berbeda. Tak membangunkan Adara, pria itu meninggalkan apartemen beg
***"Udah beres semuanya, Dan?"Danendra yang baru saja kembali, menganggukkan kepalanya ketika pertanyaan itu dilontarkan Teresa yang sejak tadi menunggu bersama Felicya yang kini sudah duduk di kursi roda—bersiap-siap untuk pulang."Udah," jawab Danendra. Dia kemudian menunjukkan kresek putih berisi obat yang baru saja ditebusnya. "Nih obat juga udah ditebus. Tinggal pulang.""Makasih, Dan," ucap Felicya sambil mengukir senyuman semanis mungkin karena dia bahagia..Tahu salah satu followers akun instagramnya karyawan di perusahaa Ginanjar, Felicya sengaja memposting beberapa foto Danendra di feed maupun instastory dengan harapan Adara melihatnya.Felicya ingin menunjukkan pada Adara, jika dirinya di mata Danendra masih penting. Sekali pun dia dan Danendra tak terikat lagi dalam sebuah hubungan, Felicya berjanji akan membuat Danendra lebih memedulikan juga mementingkan dirinya daripada Adara.Ah, meskipun rasanya menyebalkan karena tak bisa berjalan, Felicya cukup merasa bersyukur de
***"Dia maunya apa sih?!"Setelah sejak tadi berusaha tenang dan tak terpancing emosi, Adara kesal juga. Menyimpan dengan kasar ponselnya di atas meja, Adara memundurkan kursi kerjanya lalu bersandar.Menyugar rambutnya ke belakang, Adara menghembuskan napas kasar setelah beberapa menit lalu sebuah pesan menyebalkan masuk ke ponselnya.Dan pengirim pesan tersebut tentu saja Felicya. Bukan hanya sekadar kata-kata, pesan yang dikirimkan mantan Danendra itu adalah sebuah foto dirinya dan Danendra yang tengah berpelukan di mobil.Sungguh demi apapun Adara tak mengerti dengan cara pikir Felicya. Adara tahu dia salah karena menjadi penyebab kandasnya hubungan Felicya dan Danendra, tapi apakah harus sampai seperti ini?Adara pikir apa yang dilakukan Felicya sekarang cukup keterlaluan dan terlalu blak-blakan. Adara memang merebut Danendra agar menikahinya, tapi apakah harus seterang-terangan ini Felicya memeluk suaminya?"Aish, Danendra juga! Dia itu gimana sih?! Bilang sayang sama aku tapi
"Ja-jadi, kamu ma-masih sayang sama Feli?"Adara menatap Danendra dengan seksama—berharap jika apa yang dikatakan suaminya itu adalah sebuah kebohongan. Namun, sial. Danendra justru mengangguk pelan."Bukan masih, tapi aku emang sayang sama dia.""Dan."Setelah mengucapkan hal itu—bukannya merasa bersalah, Danendra justru terkekeh melihat raut wajah Adara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya."Kok ketawa?""Kamu percaya?" tanya Danendra."Maksudnya?""Aku emang sayang sama Feli, Ra, tapi sayangku sama Feli beda sama sayangku ke kamu," ungkap Danendra."Apanya yang beda?"Danendra tersenyum lalu mengulurkan tangannya—mengusap lembut rambut Adara yang menyeruakkan wangi menyegarkan dari shampo yang dia pakai."Sayangku ke kamu itu sayangnya seorang laki-laki ke perempuan dalam artian, di dalam sayang aku ke kamu itu terdapat cinta di dalamnya," ungkap Adara."Ke Feli?""Aku sayang dia sebagai sahabat," ucap Danendra. "Dia selalu ada buat aku. Semenjak kita kenalan, Feli selalu b
***"Ra, udah selesai?"Adara yang masih merapikan bajunya menoleh pada Danendra yang kini menyembulkan kepala di pintu kamar.Setelah kejadian tak mengenakkan di warung bakso, Adara dan Danendra memutuskan untuk pulang ke apartemen karena kebetulan jarak apartemen Danendra dari warung tempat mereka makan tadi tak terlalu jauh.Tak hanya mengganti atasannya yang basah, Adara mengganti semua pakaiannya. Tak lagi memakai celana katun, Adara kini memutuskan untuk memakai rok yang dipadupadankan dengan kemeja putih juga cardigan senada.Rambutnya yang masih sedikit basah pun digerai. "Udah, sebentar ya, sisir rambut dulu.""Oke."Kembali berdiri seperti semula, Danendra memutuskan untuk menunggu di ruang tamu dan tak berselang lama Felicya datang dari dapur."Dan, aku buat makanan," kata Felicya. Menyimpan kotak makan di pangkuannya, dia memutar roda kursi mendekati Danendra lalu memberikan kotak makan tersebut pada pria yang dia cintai itu.Mbak Siti—asisten rumah tangga Felicya datang,
***"Kok diem aja daritadi? Kenapa?"Adara yang sejak tadi duduk sambil memeluk kedua tangannya di dada hanya menoleh sekilas, ketika pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Danendra setelah keduanya menempuh perjalanan selama lima belas menit dari apartemen."Enggak apa-apa," jawab Adara singkat."Enggak apa-apa, tapi mukanya kaya gitu," ucap Danendra. "Kaya lagi bete.""Emang bete," jawab Adara apa adanya."Bete kenapa? Sini bilang sama aku," pinta Danendra yang membuat Adara kini sedikit memiringkan posisi duduknya."Bete kerena suami aku dibekelin makanan sama perempuan lain," ucap Adara. "Mana perempuan itu mantannya lagi eh ... enggak tau mantan apa masih pacaran sih."Alih-alih tersinggung, marah, atau sebagainya. Danendra justru menanggapi ucapan Adara dengan tenang lalu memberanikan diri untuk bertanya."Kamu cemburu?" "Cemburu?" tanya Adara. Dia menatap Danendra dari samping. Orang bilang, cemburu adalah tanda cinta. Jika seseorang cemburu itu berarti dia mencintai orang ya
***"Percobaan pertama, berhasil."Felicya tersenyum sambil memandangi sebuah buku catatan kecil yang dia pegang. Bukan sembarang buku catatan, buku kecil dengan jilid berwarna coklat tersebut berisi sesuatu yang sangat penting bagi Felicya.Dunia berpihak padanya, beberapa menit setelah Danendra dan Adara pergi, Felicya mendapat telepon dari salah satu temannya yang menjadi pegawai di salah satu apartemen. Bukan perempuan, teman Felicya tersebut bernama Edgar.Berawal dari curhatan Edgar yang katanya diminta membersihkan sebuah unit apartemen yang ditinggal pemiliknya, Felicya seolah diberi jalan karena secara kebetulan unit apartemen yang dibersihkan Edgar adalah milik Rafly Sanjaya—tunangan Adara yang sudah dinyatakan meninggal seminggu lalu.Meminta Edgar untuk mencari benda penting di unit apartemen Rafly, Felicya akhirnya mendapatkan sebuah notebook alias buku catatan kecil yang ternyata berisi tulisan tangan Rafly.Di dalam buku catatan tersebut terdapat berbagai macam kesukaan
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat