***"Copet! Hey, berhenti kamu!"Sambil berlari, teriakan tersebut terus terlontar dari mulut Clarissa yang kini masih berusaha mengejar jambret.Tak membawa mobil, Clarissa memutuskan untuk memakai bus agar dia bisa pulang ke Majalengka. Namun, sial. Ketika dia baru saja berniat membeli tiket bus, kemalangan kembali menimpanya.Tanpa dia sadari, seorang pria mengikutinya sejak turun dari taksi lalu setelah itu, tas yang dibawa Clarissa—berisi uang dan yang lainnya direbut paksa.Dibantu orang-orang sekitar, Clarissa terus mengejar jambret tersebut. Namun, karena kepintarannya berlari, Clarissa hampir kewalahan."Copet!" teriak Clarissa lagi. "Berhenti kamu, cop-"Clarissa membulatkan matanya ketika sebuah motor trail tiba-tiba saja datang lalu sengaja menabrak copet yang baru saja mengambil tasnya itu hingga terjatuh.Di detik berikutnya, orang-orang yang mengejar berhasil mengamankan copet tersebut lalu tas yang sejak tadi Clarissa kejar kini kembali ke sang pemilik."Makasih, Mas .
***"Akhirnya tidur juga kamu, El."Adara menghela napas lega ketika putrinya kembali terlelap setelah beberapa jam rewel. Pulang jam delapan dari rumah sakit, Adara disambut Elara yang rewel digendongan Monica.Padahal, Sang Oma sudah memandikan balita mungil itu bahkan mendandaninya secantik mungkin. Namun, tentunya ikatan batin anak dan orang tua memang cukup kuat.Seolah tahu kedua orang tuanya sedang bermasalah juga sang papa yang kini terbaring di rumah sakit, Elara tak hentinya menangis sekalipun Adara sudah menyusuinya.Dan sekarang—setelah puas menangis, tepat pukul sebelas siang, Elara bisa terlelap dengan tenang."Tidur enggak, Ra?" tanya Monica—membuat Adara yang baru saja menidurkan Elara di box, menoleh. "Kalau enggak tidur coba kita bawa ke dokter anak, kali aja enggak enak badan.""Tidur," kata Adara pelan—nyaris tak bersuara. Tak mau mengganggu sang putri, dia menghampiri sang mama yang berdiri di dekat pintu. "Baru aja tidur barusan.""Syukurlah," kata Monica. "Sekar
***"Mama pulang dulu ya, kamu jaga makan. Jangan terlalu stress. Mama yakin, saat sadar nanti Danendra akan percaya sama kamu.""Iya, Ma. Makasih banyak udah mau percaya sama Dara.""Mama tau kamu, Ra. Mama yakin kamu enggak akan kaya gitu."Adara tersenyum lalu di detik berikutnya dia merentangkan tangan dan meraih tubuh Monica ke dalam pelukannya. Meskipun, punya Papa yang tempramental, setidaknya Adara bersyukur karena memiliki Mama sebaik Monica yang selalu mengerti dan memercayainya.Di saat semua orang menyalahkan Adara, Monica tetep memberika kepercayaan pada putrinya tanpa sedikit pun merasa ragu."Dara sayang Mama," ucap Adara pelan. "Makasih buat semuanya, Ma."Monica tersenyum sambil mengelus punggung Adara dengan lembut. "Sama-sama, Sayang. Jangan sedih terus ya, kasian nanti pengaruh ke asi kamu," ucapnya."Iya, Ma."Beberapa menit saling memeluk, Adara dan Monica melepaskan rengkuhan mereka lalu setelahnya Monica benar-benar berpamitan pada Adara setelah seharian memb
***"Dia mau Mamanya.""Kasihin lagi aja ke Mamanya, Ma. Kasihan."Teresa yang sejak tadi berusaha menenangkan Elara, mendelik ke arah dua pria yang saat ini tengah duduk bersandar pada sofa ruang tengah."Bisa diem enggak?" ketus Teresa sensitif. "Kalau enggak mau bantu, jangan banyak ngomong.""Yeeee, orang dibilangin juga. Lagian kenapa pake diambil dari Mamanya sih, Ma?""Ya karena Adara itu enggak pantas rawat El," kata Teresa tanpa menghentikan kegiatannya menenangkan Elara yang sejak tadi rewel—bahkan tak mau meminum susu yang dia buat.Padahal, Teresa membeli susu formula dengan kualitas terbaik.Dua pria itu saling melempar tatapan setelah mendengar jawaban sang mama. Mendapat telepon tentang Danendra yang mengalami kecelakaan, keduanya memang langsung bergegas datang ke Jakarta.Setelah melihat keadaan Danendra, mereka memutuskan untuk pulang dan menginap di rumah Teresa dan dua pria itu adalah; Aksa juga Danish. Kakak dan adik Danendra si anak tengah."Sekarang Adaranya di
"Kamu siapa?"Rafly mengerutkan keningnya sambil menatap pria bermanik abu yang kini berdiri sambil menghalangi Adara. Selama ini, dia memang tak terlalu tahu silsilah keluarga Danendra.Yang Rafly tahu, Danendra memiliki saudara kembar bernama Danishwara. Dia tak tahu jika pria yang dianggapnya merebut Adara itu punya kakak satu ayah bernama Aksara."Seharusnya saya yang tanya, kamu siapa?" tanya Rafly tanpa rasa takut. "Kenapa ada di apartemen Dara?""Lah, kamu ngapain ke apartemen Dara?" tanya Aksa tak mau kalah, sementara tangannya ke belakang seolah sedang melindungi Adara dari Rafly. "Tahu kan, Adara punya suami? Ngapain ke sini.""Ck."Rafly memandang Aksa meremehkan lalu di detik berikutnya dia dibuat terkejut karena pintu apartemen yang semula terbuka sebagian, kini sepenuhnya terbuka setelah Danish menarik daun pintu yang semula dipegang Aksa."Hai, Raf," sapa Danish. "Apa kabar? Waras?""Danish," kata Rafly."Masih kenal ternyata," kata Danish pada Rafly."Kalian berdua ng
***"Ayo turun."Mobil sedan hitam Aksa baru saja berhenti, Adara langsung membuka pintu mobil lalu lekas turun untuk segera menemui Danendra."Mau ke mana?" tanya Danish."Nemuin Danendra, Nish," kata Adara yang saat ini sudah berdiri di dekat mobil."Tahu kamar rawatnya di mana?" tanya Aksa.Raut wajah Adara berubah cengo lalu di detik berikutnya dia menggeleng. Tadi pagi saat Teresa mengusirnya, Danendra masih di IGD. Itu berarti—otomatis Adara belum tahu di mana suaminya dirawat, sekarang."Enggak," kata Adara singkat."Makanya sabar," ucap Aksa yang langsung membuka pintu mobil lalu menghampiri Adara bersama Danish.Setelahnya, mereka bergegas menuju lobil. Seperti dikawal bodyguard, Adara berjalan di tengah sementara Danish di samping kiri lalu Aksa di samping kanan.Dan tentu saja kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang di rumah sakit yang cukup mengagumi ketampanan Danish juga Aksa yang sama-sama memiliki manik abu—berbeda dengan Danendra yang mempunyai manik mata berw
***"Habis ini kamu pulang dulu aja."Adara yang sedang menyiapkan sarapan, seketika mendongak—menatap Danendra ketika suaminya itu mengucapkan kalimat tersebut."Kamu ngusir aku?"Setelah kedatangannya semalam, Adara memutuskan untuk bermalam di rumah sakit, menemani Danendra bersama Danish, sementara Aksa juga Adam pulang.Tentu, keberadaannya di rumah sakit dirahasiakan semua orang dari Teresa karena jika perempuan itu tahu, bukan tak mungkin Adara akan diusir.Teresa sebenarnya orang yang baik, hanya saja dia terlalu mudah terdistraksi—apalagi itu menyangkut Danendra. Bukan pilih kasih terhadap putra-putranya, Teresa lebih protektif jika itu menyangkut Danendra karena memang sejak kecil, Danendra adalah anak yang baik—dalam artian, jarang membuat masalah seperti yang sering dilakukan Danish.Itulah yang membuat Teresa selalu menginginkan yang terbaik dari yang paling baik untuk putranya itu termasuk pendamping."Bukan ngusir, Sayang," kata Danendra. "Aku nyuruh pulang karena mung
"Kenapa ada perempuan itu di sini?"Perempuan yang semula berdiri di ambang pintu itu akhirnya melangkah masuk lalu berdiri di samping ranjang Danendra.Memandang sang putra juga Adara, perempuan tersebut jelas tak suka dengan kehadiran Adara di sisi Danendra."Ngapain kamu ke sini? Masih punya malu, kamu?""Ma."Adara terlihat cukup tegang—bahkan ketakutan melihat Teresa memasang raut wajah tak ramah."Dia ada di sini jelas mau nemenin suaminya." Danendra buka suara—membuat perhatian Teresa yang semula tertuju pada sang menantu kini beralih padanya."Suami?" tanya Teresa. "Setelah semua yang terjadi, apa masih pantas dia anggap kamu suami, Dan?""Jelas pantas, Ma," kata Danendra menegaskan. "Baik secara hukum maupun agama, Adara masih istri aku.""Sebentar lagi enggak," kata Teresa. "Mama mau kamu ceraikan Adara.""Kalau Danendra bilang enggak mau, gimana?" tanya Danendra."Dan.""Semuanya salah paham, Ma," kata Danendra. "Adara enggak ngelakuin apa-apa sama Rafly. Dia cuman dijebak.
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat