"Intinya kamu di sana akan menghitung bukan? Cepat lakukan apa yang tadi saya katakan," desak Barack agar Yoona diam dan menurut apa yang dia perintahkan.
Barack sepertinya memang sengaja menahan dan mengurangi Yoona di ruangannya agar jejas kepemilikan Dante tidak dapat dilihat oleh siapapun. Buktinya bosnya ini bahkan tidak menginginkan Yoona untuk mengunjungi kubikelnya walau hanya untuk mengambil leptop. Padahal Yoona sudah sangat ingin mengadu pada kedua sahabatnya, Alandra dan Sarah.
Dengan hentakan kaki, Yoona berjalan ke arah menja tak jauh dari sofa tempat dimana dirinya bisa mengerjakan semua pekerjaan yang berikan oleh Barack
Tok! Tok! Mr, saya bawakan laptop Mrs Guillermo," ujar sekretaris Barack yang bernama Rangga.
"Masuk Rangga, dan berikan pada Yoona," sahut Barack dengan sesekali melirik kearah Yoona.
Bagi Barack, seperti ini saja sudah membuatnya bahagia. Tidak masalah Dante memiliki Yoona selama 15 jam saat malam hari
Ketiga pria itu memang berwajah Asia, mangkanya ketika Dion mengekorinya saat SMA dulu, Yoona sangat tidak peduli dengan keberadaan pemuda itu, mungkin karena mang wajahnya yang blasteran. "Makanlah Yoona nanti makananmu di—" Ucap Barack terhenti saat Yoona mengangkat tangannya di udara meminta untuk diam, menghentikan apapun yang akan diucapkan oleh Barack. "Ya Dante? Hemm … ini aku sedang makan siang." ujar Yoona menjawab pertanyaan suaminya. 'Sial, jadi Dante yang menelpon. Aku akan tetap menunggumu Yoona, sampai kamu benar-benar berpaling dari Dante." Barack terus memanjatkan permohonannya, walaupun mustahil. "Ya, tidak masalah. Bye, Dante. Hati-hati ...." Yoona menutup telponnya bertepatan dengan pelayan menghidangkan makanan. "Yoona, aku ingin Kamu lembur malam ini, ada tempat yang harus kita datangi. Bisa, kan?" "Kenapa Anda tidak mengalih jabatan saya saja? Meninjau dan mengunjungi lokasi bukanlah tugas saya, Mr M
"Yoona!" Teriak ketiga sahabat Yoona. Mereka bertiga bergerak ke arah Yoona, berusaha menolong sahabatnya. Tapi, mereka kalah cepat oleh tubuh kekar yang tadi menjotis Demian. Yoona membalik tubuh mencari sosok seseorang yang telah menolongnya agar tidak jatuh. "Da-Dante, Dante!" Yoona merangkulkan tangannya pada leher Dante, mencari kedamaian akan detak jantung yang menggila akibat ulah Demian. "Ayo kita pulang," ajak Dante pada Yoona. Kalian bawa mobil, kan?" tanyanya lagi pada ketiga sahabat Yoona. "Kami bawa mobil, bawa saja Yoona pulang, dan jangan biarkan pria kurang ajar ini mendekati Yoona lagi." Elsa menunjuk Demian yang kini sudah berdiri dengan tangan mengelap sudut bibirnya yang robek. "Dasar tidak tahu diri!" ucap Elsa pada Demian padangan berang. Jika Elsa tidak memikirkan karirnya sudah pasti dia patahkan kaki Demian. Elsa tahu selama ini Demian memang selalu mencari cara agar bisa mendapatkan Yoona. Tapi, Elsa tidak suka
"Untuk apa? Apa ada yang mendesak?" tanya Yoona bingung. Dante memarkirkan mobil di rest area, mencari tempat yang sedikit sepi depan sebuah restoran cepat saji berlogo ayam. "Ya aku sudah tidak bisa menahannya lagi." Dante melepas seat belt setelah menarik rem tanpa mematikan mesin mobil. Mengatur posisi nyaman agar mudah melakukan apa yang dia mau lakukan. "Aku tunggu disini saja, sepertinya disini am—emmpphh." Dante langsung menelan sisa kata-kata Yoona dengan bibirnya. Menikmati manisnya madu yang kini menjadi candu bagi Dante. Bibir Yoona memang sudah menguasai seluruh pikiran pria itu semenjak pertama kali merasakannya di Bandung. Manis dan nikmat. Dante sendiri tidak tahu bagaimana bisa dua benda lunak dan tipis namun kenyal depat memabukkannya sampai tidak sadarkan diri. Setiap melihat itu Dante selalu terbuai, Ingin rasanya segera membaringkan Yoona, mengungkung tubuhnya diantara dua paha dengan kejantanan yang siap dibena
Merasa sudah mendapatkan posisi yang pas Yoona menggesek-gesekan intinya maju mundur hingga lagi-lagi Dante mengerang nikmat, meracau tidak jelas dan meninggalkan bibirnya dan kini beralih pada dada Yoona yang sudah terbuka dengan dua bukit yang menyembul keluar. "Ouch ... good girl … ahhh …" Dante terus meracau tidak jelas ditelinga Yoona yang juga sedang dalam puncak gairahnya. "Emmm, Dante. Bo-boleh aku masukan se-sekarang?" tanya Yoona dengan suara terbata. Sungguh bukan hanya Dante yang hampir gila, bahkan dirinya mungkin lebih parah. Yoona terus menggesek benda kecil yang bersembunyi di antara lipatan bibir bawah pada batang Dante. Terus memaju-mundurkannya tanpa henti sambil menunggu persetujuan suaminya. "Ya, Honey. Kamu ingin melakukannya di sini hemm? Apa kamu siap beby?" tantang Dante yang sama tidak sabarnya ingin segera memperagakan gerakan baru. "Ya, bisakah?" tanya Yoona dengan tidak sabaran. Ya ampun Yoona, kenapa
"Abis di kecengin balik gak terima dia. Lagian minta di kenalin sama istri aku buat minta jadi yang kedua. Di kecengin balik malah gak terima. Dasar ABG." "Memeng lagi sering uring-uringan dia, Tahun depan harus kuliah di Jepang. Padahal masih betah disini," jelas Arya. "Loh, kenapa?" "Perusahaan Rinati pengen ahli warisnya siap dan benar-benar matang sebelum tahta turun ke Azka. Kamu tahulah, perusahaan itu perusahaan besar, dan Rinati butuh pendamping." "Ya … benar juga. Pantes tuh anak galau banget." Dante ingat saat Azka mengatakan ingin sekolah di Bandung setelah melihat keindahan kota itu. Dante menghabiskan sorenya di kediaman Arya Hermawan sebelum ke tempat mertuanya untuk makan malam dan menjemput istrinya disana. ** Malam harinya. Yoona berlari kencang menuruni anak tangga saat melihat mobil suaminya datang dari jendela kamarnya. Disana Yoona juga meliha
Kenyataan yang baru dia dengar begitu mengerikan. Bagaimana dia bisa menikah dengan mantan kekasih kakaknya. Atau lebih tepatnya kakaknya adalah wanita yang selama ini dicintai oleh suaminya. "Jadi selama ini aku bersaing dengan dia? Aku tidak sanggup Dante, aku lebih baik mundur. Aku tidak sanggup …." Yoona semakin mengarahkan ujung kepalanya tepat di bawah air. Membiarkan rasa sakit itu menerpa pori-pori kepalanya, mungkin membuatnya amnesia jauh lebih baik. Di rumah Dante masuk dari pintu belakang, berharap bertemu dengan seseorang untuk memberikannya handuk atau apapun agar tubuhnya kering. "Loh,. Dante, Kamu ngapain disitu? Kenapa semua orang suka main hujan, sihh?" tanya Sulis yang benar-benar bingung. "Kehujanan Bun. Tapi Dante gak tahu ini cheesecake-nya rusak atau gak, Kena hujan Bun!" Dante memberikan dua bungkus Cheesecake yang sudah basah oleh air hujan. Sulis menerima bungkusan itu dan melihatnya. "Cuma kardusnya. In
"Tadinya iya, aku mau mengajakmu mandi hujan. Tapi, kayaknya Kamu lagi sibuk sama Yoora." Deg. Dante menahan nafas untuk sesaat sebelum dia menariknya dalam. "Kenapa tidak bergabung? Kalian kakak beradik, bukan? Mungkin kalian bisa saling berbagi per—" Yoona langsung berdiri, menghentikan ucapan Dante dan apapun yang sedang dilakukan oleh pria itu. Sedikit terpancing oleh ucapan Dante yang hendak mengatakan berbagai perasaan. "Aku tidak suka berbagi apapun dengan siapapun, Dante. Terutama dengan Yoora." Yoona menatap netra Dante lekat, berusaha mencari sesuatu yang ingin diketahui. Tapi sayangnya, perisai Dante begitu kita. Yoona hanya dapat melihat warna hazel dengan kuning yang sangat pekat. "Aku lebih baik memberikan apapun yang dia mau dari pada berbagai dengannya." Yoona membalikkan tubuhnya, berjalan cepat menuju pintu dan sudah menggapainya saat Dante dengan cepat kembali menarik dirinya. "Apa maksud Kamu dengan memberikan apa yang Yoor
"Lo bisa ambil semuanya Yoora, gue gak butuh semua barang itu. Jika dengan ngambil semua perhatian mereka bisa buat Lo bahagia maka ambillah, gue rela asal Lo balik kayak dulu. Jadi kakak terbaik gue, tapi sayangnya Lo gak pernah puas. Lo jahat Yoora!" Yoona mendorong tubuh Yoora dengan kasar sampai keluar kamar dan membanting pintu setelahnya. "Apa Aku benar-benar anak pungut yang memang tidak pernah diinginkan oleh Bunda. Jika memang Bunda tidak menginginkanku untuk apa dia mengambil aku dari tempat itu?" Yoona benar-benar tidak tidak tahu kenapa semua bisa berubah. Sikap Yoora semakin menyebalkan, dan Bunda seolah percaya dengan ucapan Yoora, apapun itu. Sejak hari itu Yoona bertekad dalam hatinya untuk selalu membuat ulah dan membuat semua orang marah bahkan membenci dirinya agar Yoora tidak pernah mengganggunya lagi, dan itu berhasil. Ingatan Yoona di masa lalu mengalihkan semua pikirannya sampai dia tidak sadar telah menuangk