Beni mengikuti Alif masuk ke dalam ruang kerjanya, meninggalkan Lukas yang masih terlihat kesal menatap barang-barangnya di luar ruangan. Alif duduk di sofa ujung dekat jendela, menatap wajah om nya yang terlihat sedang tak baik-baik saja."Bagaimana kabar om selama aku pergi?" Alif bertanya pada Beni, lelaki bertubuh ideal itu duduk sembari membetulkan letak jasnya."Aku baik, bahkan bekerja dengan penuh tanggung jawab, kamu bisa lihat sendiri bagaimana perusahaan ini maju saat kamu tinggalkan. "Alif menaikkan kedua alisnya, mendengar kalimat jumawa om nya yang bahkan belum dia lihat sendiri hasilnya, membuat lelaki itu tertawa dengan dalam hati."Bagaimana kabarmu Aska, kemana saja kamu selama ini?" Beni bertanya dengan ramah, namun matanya seolah menelisik mencari tau kemana jalan pikiran lawan bicaranya."Aku baik om, aku memulai hidup baru yang bahagia dan jauh dari segala kemewahan.""Hahahaaa, Benarkah? Bahagia tanpa kemewahan?." Tawa Beni menggema di ruangan kerja Alif."Lucu
Mendapat pesan dari Deren, Alif segera meninggalkan kantornya, dia keluar menuju lantai satu dan berhenti di dekat tangga saat melihat Bram sedang berdiri sembari bicara di telepon dengan seseorang."Aku tak mau tau, tempatkan Lukas di pabrik lain yang jauh dari Aska!"Nampaknya Bram sedang berusaha melindungi putranya itu, dia berusaha menjauhkan Lukas dari Alif agar segala kebobrokan bocah itu tak terbongkar oleh Alif."Aku tak mau tau, segera urus kepindahan Lukas!" Suara kesal Bram terdengar sedikit menggema.Alif sengaja diam, memilih pergi dan tak lagi memikirkan polah om nya itu, dirinya punya urusan yang jauh lebih penting sekarang. Alif berjalan menuju ke tempat parkir, seluruh staf dan satpam sudah tau siapa dirinya sekarang, hingga sikap mereka semua berubah baik.Deren sudah menunggu di depan gedung, berjalan membukakan pintu untuk bos yang juga sahabatnya itu."Kau sudah menjalankan pesanku?" Alif bertanya memastikan."Sudah, mana berani aku mmmembantah tuan muda.""Henti
Sepanjang perjalanan pulang, Nadia masih tetap bersikukuh lelaki yang di lihatnya sangat mirip dengan sang ayah, Dewi yang tak tau lagi harus berkomentar apa hanya bisa meng_iya kan saja apa yang putrinya yakini. Motor kecil miliknya masuk ke pekarangan rumah, Nadia turun sembari menjinjing permen kapas yang di mintanya di kota tadi, hari sudah menjelang sore saat mereka sampai ke rumah.Klek! Klek!Dewi membuka pintu rumah dan membiarkan Nadia masuk lebih dulu, dirinya sedang mengambil tas kulit yang di letakkan nya di dalam jok motor."Ibuk, ini kotak apa?"Mendengar suara Nadia, Dewi baru teringat akan dua kardus besar yang di bawa orang-orang berbadan besar itu tadi siang."Sebentar sayang!" Ucapnya bergegas masuk dan menutup pintu dengan rapat."Kok di tutup?" Nadia bertanya heran."Ibuk mau istirahat, capek." Dewi mencari alasan yang mudah di terima putrinya.Nadia hanya mengangguk dan menarik tangan Dewi mendekati dua kardus seukuran mesin cuci di depan mereka."Nadia boleh buk
"Tunggu dulu!" Alif tiba-tiba saja teringat sesuatu, dia berjalan menuju meja di dekat jendela dan mengambil kalender yang berdiri di dekat vas bunga."Bukankah hari ini kami harus bayar kontrakan?' Alif teringat pada tanggal jatuh tempo pembayaran kontrakan mereka, Dewi bahkan tak tau tempat dirinya biasa menyisihkan uang kontrakan."Tapi Deren bilang sudah memberi Dewi uang." Tiba-tiba saja dia teringat kata Deren tadi siang."Tapi Dewi pasti tak akan pakai uang itu!" Alif yang begitu kenal watak istrinya merasa yakin Dewi bahkan tak menyentuh semua barang dan uang yang dia kirimkan."Tidak, ini tak benar, aku harus menghubungi Dewi sekarang!" Ucapnya lalu mengambil ponsel jadulnya dan menyalakannya segera.Banyaknya panggilan yang Dewi lakukan, membuat Alif sungguh merasa bersalah sekarang. Tangannya gemetar saat memencet tombol telpone di layarnya. Nada sambung terdengar pada ponselnya, membuat jantung lelaki berparas menawan itu bahkan. berdebar hebat."Mas Alif!" Suara kesal Dew
"Buk, kenapa tidur di sini?" Dewi mengerjapkan mata dan terduduk dengan mata berat, Nadia sudah berdiri di sampingnya menatap dengan binggung."Jam berapa ini sayang?" Dewi bertanya pada Nadia, namun matanya melihat sendiri jam yang ada di dinding ruang tengah."Ya Allah hampir setengah enam! ayo Nad, kamu mandi dulu, ibu mau solat subuh sebentar." Dewi berdiri dengan panik, mendorong putrinya ke kamar mandi belakang dan membawakan handuk ke pundak sang putri.Semalam ia bahkan tak tau tidur jam berapa, setelah membawa semua kardus itu ke kamar belakang dan saat bangun dia mendapati dirinya masih tertidur di ruang tengah, di atas kursi kayu yang di buat bapak dan suaminya dulu.Dewi mengikat asal rambut nya yang tergerai, segera mengambil wudhu dan menjalankan solat subuh. Pukul setengah enam saat dirinya selesai dan melipat kembali mukena ke tempatnya, dia lalu menyusul Nadia ke kamar mandi, memandikan gadis itu dengan cepat dan segera memakaikan seragam sekolahnya."Kita sarapan apa
Ratna kesal saat tiba di rumah, membanting sarapan yang dia beli di atas meja dan berteriak dengan kesal di dalam kamar."Ark!" Teriak nya kesal."Sialan itu si Dewi, bikin malu saja!" Umpat nya lagi meremas kesal uang dua ratus ribu yang di berikan Dewi pada nya tadi."Kenapa kamu teriak-teriak!" Hendra yang baru selesai mandi melihat istrinya terduduk dengan kesal di tepi ranjang."Tanya saja sama kakak iparmu itu, dia kasih aku uang ini di warung makan, dia beli semua lauk yang ingin aku beli, mas tau dia bilang apa saat memberiku uang ini, dia suruh aku beli ayam buat Juan, katanya kasihan sama Juan karena aku nggak bisa masak!" Ucap Ratna berapi-api.Hendra tersenyum simpul. "Jangan bercanda kamu, dari mana mbak Dewi punya uang buat beli banyak lauk dan kasih kamu juga?""Kamu nggak percaya sama aku mas? ibu-ibu di warung itu jadi saksi semua, mbak Dewi bayar sarapan mereka semua tadi, sudah gitu dia ungkit juga waktu aku ambil ayam Nadia." Ratna memayunkan bibirnya."Jangan kony
Sementara Hendra sangat marah saat tau kakaknya Dewi telah merendahkan Ratna istrinya di depan banyak orang, terlebih karena masalah itu dirinya jadi kehilanngan hari yang indah pagi tadi. Hendra memutuskan mampir ke rumah Dewi sebelum berangkat kerja, dan menatap Dewi dari dalam mobilnya."Itu dia orangnya!" Ucap Hendra saat melihat kakaknya.Dewi sedang memasukkan motor ke dalam teras rumah saat Hendra datang dan memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu halaman. Dewi baru saja pulang mengantarkan Nadia ke sekolah saat Hendra mendekat dengan wajah marah menatapnya."Tumben mampir?" Dewi langsung saja bicara saat adiknya itu berjalan masuk ke dalam teras rumahnya."Mau melihat kakak kandungku yang tega sekali mempermalukan adik iparnya di depan banyak orang!" Ucapnya tak lagi menunjukkan sikap baik."Oh, sudah dapat laporan apa kamu dari Ratna?" Dewi dengan santainya menjawab ucapan Hendra. "Maksud mbak Dewi apa ya? mbak Dewi iri dengan hidup kami atau bagaimana?"Dewi tersenyum mend
Matanya Alif lalu menatap ke arah Tri yang berdiri di barisan depan, sebab dia termasuk pemimpin di perusahaan ini. Tri tergagap saat matanya bertemu pandang dengan tatapan tajam Alif, wanita itu memilih pergi dengan segera meninggalkan aula lewat pintu belakang.Sementara Alif tersenyum kecut menikmati keterkejutan kakak iparnya itu. Dia lantas memberikan sambutannya dengan wibawa.Tri bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya, dirinya tak berhenti gemetar, sebab lelaki bernama Askara itu begitu mirip dengan Alif, bahkan sorot mata itu seolah ingin menerkamnya hidup-hidup.Apakah dia benar Alif? bagaimana bisa dua orang dengan identitas berbeda bisa memiliki wajah bak pinang di belah dua? bagaimana bisa?Tri terus bertanya sendiri, dia benar-benar takut jika Askara adalah Alif, mungkin saja dirinya akan terkena masalah setelah ini..Tri duduk diam di dalam ruangannya, dia ingin sekali memastikan lelaki itu bukanlah Alif yang dia kenal, tapi bagaimana dia bisa mencari tau itu, sementara
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in