Pagi itu, aku berdiri di depan Mal Srikandi dengan seragam kerjaku yang sederhana. Mal ini adalah tempatku bekerja sebagai penjaga toko kecil di lantai dua. Bangunan ini megah, penuh dengan toko-toko mewah dan orang-orang berpakaian rapi.Aku memandang ke arah Andi, yang tengah membawa kotak-kotak besar ke dalam gudang. Dia tampak biasa saja, seperti pekerja kasar lainnya, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini dia sembunyikan dariku.“Andi, aku masuk dulu ya,” ucapku sambil melambaikan tangan.Dia tersenyum dan mengangguk. “Iya, Git. Semangat kerjanya.”Aku berjalan melewati pintu kaca besar mal, merasakan pendingin udara yang langsung menyapu wajahku. Saat aku melewati toko-toko dengan etalase penuh barang mahal, aku bertanya-tanya bagaimana hidup kami akan berubah jika Andi memang benar-benar bekerja untuk seseorang yang berkuasa seperti bosnya.“Pagi, Inggit!” seru Rani, rekan kerjaku di toko.“Pagi, Rani,” balasku dengan senyum tipis. Aku mele
Malam itu, di rumah baru kami yang mewah, aku berdiri di dapur, menyiapkan makan malam sederhana. Tapi pikiranku terus melayang ke peristiwa tadi siang di Mal Srikandi. Suara pria itu, amplop besar yang diserahkan ke Andi dan cara mereka berbicara, semuanya terasa janggal.Aku menatap Andi yang sedang duduk di ruang tamu, membaca sesuatu di ponselnya. Dia terlihat tenang, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.“Mas, aku mau tanya,” ucapku sambil membawa dua piring nasi ke meja makan.Andi menoleh, lalu tersenyum. “Tanya apa, Git?”Aku meletakkan piring di hadapannya, lalu duduk di seberangnya. “Tadi siang, aku lihat kamu di gudang. Kamu lagi ngobrol sama seseorang. Dia ngasih amplop ke kamu. Itu tentang apa, Mas?”Wajah Andi sedikit berubah, tapi dia cepat-cepat menutupi reaksinya dengan tersenyum. “Oh, itu? Itu cuma laporan stok barang, Git. Biasa, urusan kerja.”Aku mengerutkan kening. “Tapi kenapa dia manggil kamu kaya
Langkah kakiku terasa berat saat berjalan kembali ke toko. Pikiranku penuh dengan adegan yang baru saja kulihat. Mas Andi berbicara dengan pria berpakaian rapi yang menyerahkan amplop tebal kepadanya. Kata-kata mereka masih terngiang-ngiang di telingaku.“Ini laporan yang perlu di cek.”Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Bagaimana mungkin suamiku, yang selama ini kusebut buruh serabutan, memiliki tanggung jawab sebesar itu?Setelah menyelesaikan tugas di toko, aku tidak tahan lagi untuk menyimpan rasa penasaranku. Aku mengambil keberanian dan memutuskan untuk menemuinya di gudang tempat dia biasa bekerja.“Mas Andi!” panggilku saat melihatnya tengah memindahkan kotak-kotak.Dia menoleh dengan senyum yang biasa dia tunjukkan, seolah tidak ada yang salah. “Git, ada apa? Kamu sudah selesai kerja?”Aku mengangguk, tapi pandanganku tajam menatapnya. “Mas, aku mau bicara. Sekarang.”Wajahnya sedikit berubah, tapi dia tetap tenang. “Oke. Kita ke luar saja.”Kami berjalan menuju sudut belakan
Pagi itu, aku berdiri di balkon rumah baru kami, memandangi taman kecil di depan. Andi sudah berangkat lebih awal ke Mal Srikandi, meninggalkanku dengan janji bahwa dia akan menjelaskan semuanya kepada keluarga besar Wicaksono suatu saat nanti. Aku tidak bisa memaksa, meskipun aku tahu itu akan sulit.Bel pintu berbunyi, membuatku tersentak dari lamunan. Aku bergegas membukanya dan menemukan Vanya, adikku, berdiri di depan pintu dengan senyum sinisnya yang biasa.“Inggit, apa kabar?” tanyanya sambil melangkah masuk tanpa diundang.“Aku baik, Van. Ada apa?” tanyaku hati-hati, karena aku tahu kunjungannya tidak pernah sederhana.“Aku cuma ingin lihat bagaimana hidupmu sekarang setelah ‘keluar’ dari rumah. Sebenarnya, aku khawatir, sih. Apa Andi bisa memenuhi kebutuhanmu di tempat ini?” ucapnya, matanya memindai setiap sudut rumah dengan tatapan merendahkan.Aku menahan napas, mencoba menenangkan diri. “Kami baik-baik saja, Van. Rumah ini cukup nyaman untuk kami.”Dia tertawa kecil, lalu
Pagi itu, matahari masuk dengan lembut melalui celah gorden kamar. Aku terbangun lebih awal dari biasanya, namun rasa berat di dadaku membuatku enggan beranjak dari tempat tidur. Pikiranku masih penuh dengan bayangan Andi dan Rere di Mal Srikandi kemarin. Bahkan ketika aku mencoba mengalihkan pikiran, perasaan cemburu dan ragu terus menghantuiku.”Tapi kenapa mereka sangat mirip, seperti kembar?” tanyaku pada diri sendiri lirih.Andi masih tertidur di sebelahku. Wajahnya terlihat damai, seakan tidak ada beban yang ia pikul. Namun, di mataku, wajah itu kini menyimpan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapa sebenarnya Rere baginya? Apakah aku terlalu naif mempercayainya tanpa syarat?Perlahan, aku bangkit dan menuju dapur. Aku memutuskan membuat sarapan sederhana, teh hangat dan roti panggang. Tapi tangan ini gemetar saat memegang pisau. Pikiranku melayang pada kata-kata Vanya. Kepercayaan itu bisa jadi senjata makan tuan. Apa mungkin aku salah menaruh kepercayaan pada Andi?“Git, k
Tangan ini gemetar saat memegang ponsel. Pesan dari Vanya terpampang jelas di layar, membuat pikiranku bimbang. Apa benar aku harus melihat bukti yang ia tawarkan? Atau mungkin ini hanya cara lain Vanya untuk memecah belah aku dan Andi?Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku. Tapi rasa penasaran itu terlalu kuat untuk diabaikan. Aku mengetik balasan singkat: “Kirim saja.”Beberapa detik kemudian, sebuah foto masuk. Dalam foto itu, Andi terlihat berdiri di depan Mal Srikandi, berbicara dengan Rere. Mereka tampak serius, tapi ada sesuatu di ekspresi Andi yang membuatku bertanya-tanya. Dia tidak terlihat seperti pria yang sedang berselingkuh. Meski begitu, kedekatan mereka jelas terlihat, dan itu cukup untuk membuat hatiku terasa diremas.Pesan lain masuk dari Vanya: “Aku nggak tahu apa maksud pertemuan mereka, Kak. Tapi aku pikir kamu berhak tahu. Jangan sampai kamu dibohongi.”Aku mengepalkan tangan. Satu sisi diriku ingin langsung menghadapi Andi, tapi sisi lain takut kalau ak
Rasa bingung dan curiga membawaku kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Apa mungkin Rere benar-benar tidak mengenal Andi? Tapi foto itu jelas menunjukkan mereka berbicara. Wajah Andi tampak jelas dalam foto itu, berdiri di depan Mal Srikandi, berbicara dengan Rere. Aku mencoba mengingat setiap kata yang keluar dari mulutnya, mencoba mencari celah yang bisa memberiku jawaban.Sore itu, aku duduk di ruang tamu, memainkan ponselku dengan gugup. Perasaan gelisah ini semakin menjadi-jadi. Di satu sisi, aku ingin mempercayai Andi, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang terus membisikkanku bahwa aku harus mencari tahu lebih jauh.Pintu depan terbuka, dan Andi masuk dengan langkah lelah. Kemejanya basah oleh keringat, dan kantung belanja ada di tangannya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini tampak lebih serius, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.“Mas,” panggilku pelan.Dia menoleh, memberikan senyum tipis. “Ada apa, Git?”Aku berdiri, ragu-ragu untuk langsung mengungkap
”Siapa yang mengirim pesan itu, aku coba hubungi Wibunya tidak ada respon,” gumamku sepanjang jalan kembali.Aku melamun hingga sampai di rumah, bahkan ada pesan masuk dari Ibu. Menginggatkan acara pertemuan kasta. Lokasinya tidak jadi di rumah. Kakek memindahkan tempatnya. Hanya seperti angin lalu. Sampai aku sudah berada di dalam kamar.Aku terdiam tepat di depan kaca, sambil menatap wajahku dan beberapa susunan make up. Tidak lama pintu kamar terbuka mas Andi menghampiriku.Di belakangku, mas Andi berdiri dengan sabar. Sosoknya yang tinggi dan tenang tampak bertolak belakang dengan kekhawatiranku.“Aku nggak mau pergi, Mas,” gumamku akhirnya. Aku menatap Andi lewat pantulan cermin, sorot mataku penuh beban. “Apa gunanya? Nanti kita cuma dihina lagi. Aku capek jadi bahan lelucon mereka.”Seolah perseteruan kami tentang Rere teralihkan begitu saja, masalah yang menjadi pikiranku kali ini terfokus pada acara kasta yang harus aku hadiri.Andi melangkah mendekat dan berhenti tepat di bel
“Apa aku terlalu keras tadi?” bisik Laras, sembari menyesap air mineral dari gelasnya.Aku menggeleng kecil. “Tidak, kamu melakukan hal yang benar. Mereka butuh mendengar itu, terutama Gunawan.”Walau sebenarnya aku tahu, pasti mereka akan melakukan segala cara untuk membuat mas Andi dan aku malu nantinya. Hanya sampai saat ini kakek Wicaksono masih belum terlihat.Laras tersenyum tipis, seolah lega. “Kadang, aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak melewati batas.”“Kalau pun iya,” balasku sambil menatapnya, “itu batas yang memang sudah seharusnya dilanggar.”Laras tertawa kecil, melonggarkan suasana yang sempat tegang beberapa saat sebelumnya. Namun, sebelum percakapan kami berlanjut, aku menangkap tatapan samar seseorang yang duduk tidak jauh dari kami.Dia terlihat sibuk berbicara dengan orang di sebelahnya, tapi aku tahu dia mendengar. Cara dia melirik sesekali, dengan sudut senyumnya yang tipis, sudah cukup memberi tanda bahwa dia tahu ada sesuatu yang terjadi di meja ini.“Si
Makan malam itu seperti dirancang untuk menjadi panggung drama penuh jebakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gunawan terasa seperti pisau, tepat mengincar titik paling rentanku. Sejujurnya, aku merasa seperti sedang ditonton dalam acara yang sengaja dibuat untuk membuatku tak nyaman.Gunawan, dengan senyum sinisnya yang seperti trademark, memulai. "Andi, sekarang kerja apa? Masih buruh serabutan?"Aku menahan napas. Rasanya semua orang di meja ini sedang menatap kami, menunggu reaksiku. Tapi Andi, seperti biasa, tetap tenang. Bahkan dia tersenyum, senyum tipis yang jelas-jelas adalah bentuk kontrol diri."Sekarang jadi kurir, Mas," jawabnya santai. "Lumayan, kerja sambil olahraga."Aku bisa merasakan suasana di meja berubah. Udara jadi lebih kaku. Aku tahu Gunawan belum selesai.Gunawan tertawa keras, seperti sengaja menarik perhatian semua orang. "Kurir? Wah, cocok banget sama kamu! Pantesan si Inggit kelihatan makin kurus, ya. Pengaruh dari suami kayaknya."Kalimat itu menghanta
Di tengah acara yang semakin terasa menegangkan, aku merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah drama yang tak berujung. Setiap kata yang terucap di antara kami seakan berisi lapisan-lapisan ketegangan, semua berkutat pada bisnis keluarga dan tradisi yang berat. Pandanganku menyapu ruangan, dan aku merasa semakin terperangkap dalam atmosfer yang penuh dengan ketidaknyamanan.”Aku ngak nyaman, sesak di sini,”gumamku lirih mengeluh.Andi duduk di sampingku, senyumannya lelah, mencoba untuk mengerti situasi, meskipun jelas raut cemas mulai terlihat di wajahnya. Aku bisa merasakannya, betapa beratnya bagi dia untuk berada di sini, di tengah keluarga yang penuh dengan tatapan sinis dan kata-kata tajam yang seolah tak pernah berhenti mengarah padaku.”Sabar, ada kejutan nantinya,” ujarnya tetap berusaha terlihat nyaman.”Kamu sok nyaman mas, padahal kamu juga bosan,” protesku yang di balas senyuman dan tatapan tajamnya.Namun, tiba-tiba, di tengah obrolan yang semakin panas, seseorang muncul d
Setibanya di acara pertemuan kasta keluarga Wicaksono, kemewahan langsung menyambut kami. Karpet merah terbentang megah, chandelier kristal menggantung anggun di langit-langit, dan orkestra memainkan musik klasik yang semakin mempertegas suasana eksklusif ini. Aku menggenggam lengan Andi lebih erat, mencoba mengumpulkan keberanian. Namun, kegelisahan dalam hatiku sulit sekali untuk diabaikan.“Mas, aku merasa seperti alien di sini,” bisikku pelan sambil mencuri pandang ke para tamu yang berpakaian mewah. Gaun biru mudaku terasa begitu sederhana dibandingkan dengan gaun-gaun berkilau para wanita di sekitar kami.Andi tersenyum dan menoleh padaku. “Kalau kamu alien, berarti aku ini apa? Astronot yang mau nemenin kamu keliling galaksi?” katanya dengan nada bercanda, membuatku tertawa kecil meski rasa canggung tetap menyelimuti.Baru saja kami melangkah masuk, suara tajam yang sangat aku kenal menghentikan langkah kami. Ibu, Ana, mendekati kami dengan senyuman sinis yang langsung membuat t
”Siapa yang mengirim pesan itu, aku coba hubungi Wibunya tidak ada respon,” gumamku sepanjang jalan kembali.Aku melamun hingga sampai di rumah, bahkan ada pesan masuk dari Ibu. Menginggatkan acara pertemuan kasta. Lokasinya tidak jadi di rumah. Kakek memindahkan tempatnya. Hanya seperti angin lalu. Sampai aku sudah berada di dalam kamar.Aku terdiam tepat di depan kaca, sambil menatap wajahku dan beberapa susunan make up. Tidak lama pintu kamar terbuka mas Andi menghampiriku.Di belakangku, mas Andi berdiri dengan sabar. Sosoknya yang tinggi dan tenang tampak bertolak belakang dengan kekhawatiranku.“Aku nggak mau pergi, Mas,” gumamku akhirnya. Aku menatap Andi lewat pantulan cermin, sorot mataku penuh beban. “Apa gunanya? Nanti kita cuma dihina lagi. Aku capek jadi bahan lelucon mereka.”Seolah perseteruan kami tentang Rere teralihkan begitu saja, masalah yang menjadi pikiranku kali ini terfokus pada acara kasta yang harus aku hadiri.Andi melangkah mendekat dan berhenti tepat di bel
Rasa bingung dan curiga membawaku kembali ke rumah dengan kepala penuh pertanyaan. Apa mungkin Rere benar-benar tidak mengenal Andi? Tapi foto itu jelas menunjukkan mereka berbicara. Wajah Andi tampak jelas dalam foto itu, berdiri di depan Mal Srikandi, berbicara dengan Rere. Aku mencoba mengingat setiap kata yang keluar dari mulutnya, mencoba mencari celah yang bisa memberiku jawaban.Sore itu, aku duduk di ruang tamu, memainkan ponselku dengan gugup. Perasaan gelisah ini semakin menjadi-jadi. Di satu sisi, aku ingin mempercayai Andi, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang terus membisikkanku bahwa aku harus mencari tahu lebih jauh.Pintu depan terbuka, dan Andi masuk dengan langkah lelah. Kemejanya basah oleh keringat, dan kantung belanja ada di tangannya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini tampak lebih serius, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.“Mas,” panggilku pelan.Dia menoleh, memberikan senyum tipis. “Ada apa, Git?”Aku berdiri, ragu-ragu untuk langsung mengungkap
Tangan ini gemetar saat memegang ponsel. Pesan dari Vanya terpampang jelas di layar, membuat pikiranku bimbang. Apa benar aku harus melihat bukti yang ia tawarkan? Atau mungkin ini hanya cara lain Vanya untuk memecah belah aku dan Andi?Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku. Tapi rasa penasaran itu terlalu kuat untuk diabaikan. Aku mengetik balasan singkat: “Kirim saja.”Beberapa detik kemudian, sebuah foto masuk. Dalam foto itu, Andi terlihat berdiri di depan Mal Srikandi, berbicara dengan Rere. Mereka tampak serius, tapi ada sesuatu di ekspresi Andi yang membuatku bertanya-tanya. Dia tidak terlihat seperti pria yang sedang berselingkuh. Meski begitu, kedekatan mereka jelas terlihat, dan itu cukup untuk membuat hatiku terasa diremas.Pesan lain masuk dari Vanya: “Aku nggak tahu apa maksud pertemuan mereka, Kak. Tapi aku pikir kamu berhak tahu. Jangan sampai kamu dibohongi.”Aku mengepalkan tangan. Satu sisi diriku ingin langsung menghadapi Andi, tapi sisi lain takut kalau ak
Pagi itu, matahari masuk dengan lembut melalui celah gorden kamar. Aku terbangun lebih awal dari biasanya, namun rasa berat di dadaku membuatku enggan beranjak dari tempat tidur. Pikiranku masih penuh dengan bayangan Andi dan Rere di Mal Srikandi kemarin. Bahkan ketika aku mencoba mengalihkan pikiran, perasaan cemburu dan ragu terus menghantuiku.”Tapi kenapa mereka sangat mirip, seperti kembar?” tanyaku pada diri sendiri lirih.Andi masih tertidur di sebelahku. Wajahnya terlihat damai, seakan tidak ada beban yang ia pikul. Namun, di mataku, wajah itu kini menyimpan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapa sebenarnya Rere baginya? Apakah aku terlalu naif mempercayainya tanpa syarat?Perlahan, aku bangkit dan menuju dapur. Aku memutuskan membuat sarapan sederhana, teh hangat dan roti panggang. Tapi tangan ini gemetar saat memegang pisau. Pikiranku melayang pada kata-kata Vanya. Kepercayaan itu bisa jadi senjata makan tuan. Apa mungkin aku salah menaruh kepercayaan pada Andi?“Git, k
Pagi itu, aku berdiri di balkon rumah baru kami, memandangi taman kecil di depan. Andi sudah berangkat lebih awal ke Mal Srikandi, meninggalkanku dengan janji bahwa dia akan menjelaskan semuanya kepada keluarga besar Wicaksono suatu saat nanti. Aku tidak bisa memaksa, meskipun aku tahu itu akan sulit.Bel pintu berbunyi, membuatku tersentak dari lamunan. Aku bergegas membukanya dan menemukan Vanya, adikku, berdiri di depan pintu dengan senyum sinisnya yang biasa.“Inggit, apa kabar?” tanyanya sambil melangkah masuk tanpa diundang.“Aku baik, Van. Ada apa?” tanyaku hati-hati, karena aku tahu kunjungannya tidak pernah sederhana.“Aku cuma ingin lihat bagaimana hidupmu sekarang setelah ‘keluar’ dari rumah. Sebenarnya, aku khawatir, sih. Apa Andi bisa memenuhi kebutuhanmu di tempat ini?” ucapnya, matanya memindai setiap sudut rumah dengan tatapan merendahkan.Aku menahan napas, mencoba menenangkan diri. “Kami baik-baik saja, Van. Rumah ini cukup nyaman untuk kami.”Dia tertawa kecil, lalu