Susan masih terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan Sarah. Dia merasa malu, untuk meminta kepada keluarga Risma mau memaafkan perbuatan Subroto. Karena tidak ada hubungan resmi di antara dirinya dan pria itu. Walaupun Susan sudah menerima lamaran dari Subroto. "Saya malu Teh Sarah. Keluarga Mas Riswan dan Teh Risma sangat baik terhadap saya. Masa saya meminta mereka untuk mencabut tuntutan kepada orang yang jahat kepada mereka?"Susan sedang ada dalam kebimbangan. Pada dasarnya dia pun sangat ingin membantu calon suaminya tersebut, tetapi di sisi lain, dia pun tidak ingin jika keluarga besar Risma salah paham terhadapnya. Apalagi jika nantinya akan marah kepadanya. "Mbak Susan sangat mengenal keluarga korban, atau hanya sekedar kenal saja?" tanya Sarah menyelidik. "Sangat mengenal sekali, Teh. Walaupun awalnya dikenalkan dulu oleh Mbak Maharani. Tapi memang pada dasarnya mereka adalah orang-orang baik. Kesalahan memang ada pada Mas Subroto.""Mbak Susan juga berhak berbahagia.
Sarah meletakkan tas dan barang bawaan perempuan muda itu di lantai teras rumahnya, lantas kembali menghampiri. Dan ibu muda itu masih berdiri di samping kursi tempat dia dan Susan duduk tadi. "Sebaiknya, putri Mbak ditidurkan dulu di dalam. Kasihan, tubuhnya pasti pegal. Mbak pun pasti capek sekali," ucap Sarah, meminta ibu muda itu untuk meniduri anaknya di dalam ruang tamu rumahnya saja. "Ti-tidak usah, Mbak. Biar saya gendong saja," jawabnya. Sepertinya dia merasa sungkan."Sudah, Mbak, nggak usah sungkan. Biar Mbak lempengin pinggang dulu. Pasti pegal kan?" ujar Sarah, sambil merengkuh bahu ibu muda tersebut, dan kembali dia meringis seperti merasakan kesakitan. Sarah pun langsung melepaskan tangannya, sama seperti Susan tadi. "Mbak kenapa, kok seperti kesakitan?" tanya Sarah dengan rasa khawatir. Hal sama seperti yang dirasakan oleh Susan. "Nggak Mbak, nggak ada apa-apa," jawabnya sambil tersenyum. Sarah melihat ke arah Susan yang berdiri di belakang perempuan muda tersebut,
Pov Minarsih"Malam ini, kamu melayani Mas Heru, setelah itu dilanjut dengan Denny."Suamiku, Mas Burhan, sembari asyik mengisap rokoknya, bersandar pada sebuah kursi kayu dengan sebelah kaki tertekuk di atas dudukannya enak saja memberikan perintah. Ditemani segelas kopi hitam yang sudah dingin di atas meja, tepat samping tempat duduknya. Sementara hari sudah menjelang fajar, selepas kubaru pulang setelah menemani tamu, dan langsung mengambil anakku di tempat mana dia dititipkan."Aku sedang tidak enak badan, Mas. Biarkan aku tidak melakukannya dulu," jawabku menolak perintahnya, sembari merebahkan tubuh sejenak setelah menyusui Tasya, putriku, yang baru berusia dua tahun kurang."Aduuhhh, sakit, Mass...." Mas Burhan langsung bangun dan menjenggut rambutku dari belakang, menarik tubuhku dari atas dipan hingga terjatuh di lantai, lalu tangannya mencengkram dagu dan pipiku, keras sekali, sakit rasanya wajah ini."Sakit, Mas, ampunnn...." Mengiba. Suami sial*n itu malah semakin mencengk
Penderitaan, kepedihan, juga kesedihan yang kini sedang kurasakan itu semua memang salahku sendiri, yang dahulu tidak pernah mau mendengarkan nasihat kedua orangtua. Aku terlalu keras kepala, merasa yakin dan percaya dengan apa yang kupilih. Walaupun bapak dan ibu sering kali mengingatkan dan memarahi, tetapi tak kuambil peduli. Bahkan, aku memutuskan untuk kabur dari rumah demi sebuah keyakinan atas lelaki pilihanku sendiri, Mas Burhan. Jika dia adalah pria yang baik dan bertanggungjawab. Laki-laki yang dulu kuanggap sangat lembut, sabar, dan pengertian, ternyata aku tertipu oleh topeng kepalsuan. Mas Burhan adalah setan yang berwujud manusia, mungkin lebih kejam dari itu, karena setan tidak melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga. Dia mem*kuliku, seperti layaknya me*ukuli seorang pencuri yang tertangkap basah. Tidak ada belas kasihan sama sekali. Aku bergegas menuju dapur untuk membuat sedikit air panas buat menyeduh susu sacetan dan sepotong roti eceran untukku membuat sar
Tangis anakku Tasya semakin kencang, terdengar dia memanggil kata "Mamah-mamah," Dan aku, si mamah yang dia maksud, sedang dalam keadaan terluka. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya. Luka yang paling menimbulkan rasa sakit. Karena terlalu sakit, hingga sanggup merubah rasa cinta, kesetiaan, pengorbanan, dan pengabdian, menjadi dendam yang terus tersimpan. Terbungkus dari sebuah rasa ketakutan, hingga pada akhirnya aku harus melakukan perlawanan.Kuhantamkan potongan kayu kaso itu tepat di arah tengkuknya, sekencang-kencangnya, hingga duit simpananku yang ada digenggaman tangannya terlepas berhamburan. Tidak, tidak hanya sekali, potongan kayu itu terus menimpa tubuh bagian kepalanya, bahkan berkali-kali, sekenanya saja. Si bajingan laknat itu berteriak kesakitan, berusaha menutupi kepala dan tubuhnya dari pukulan dan hantaman yang kulakukan terus menerus. Rasa sakit dan penderitaan yang selama ini, aku dan Tasya alami membuatku menjadi raja tega. Tubuhku sudah tidak bisa diken
Apa lebih baik kuhabisi saja nyawanya.' Seperti ada yang berbisik di telingaku, layaknya bisikan gaib. Dan kupikir, memang itu yang ingin kulakukan. Namun, kupikir lagi, terlalu enak rasanya jika si Burhan ini langsung mati dan tidak lagi merasakan penderitaan dan rasa sakit sebagaimana yang sudah dia lakukan terhadapku selama bertahun-tahun.Akan kubalik keadaannya sekarang. Aku yang dulu lemah, tidak ada daya. Ingin pergi tidak tahu mau kemana, sanak saudara pun tidak punya, uang pun tidak pernah kupegang. Makanya, sedikit demi sedikit aku mulai mengumpulkan uang secara diam-diam, untuk persiapan jika aku akan pergi nanti. Akan tetapi, ternyata si biadab Burhan ini berniat ingin merampas semuanya tadi. Aku pernah melaporkan kepada pengurus warga, tetapi hanya berakhir dengan musyawarah perdamaian. Bahkan ada yang bilang, ribut-ribut hanya bikin malu keluarga sendiri. Lagipula, jika hal seperti ini dilaporkan tidak bakal ditanggapi kata para tetanggaku. Aku hanyalah perempuan bodo
Benar-benar kubuat habis separuh air di dalam ember, kumasukkan paksa ke dalam mulutnya, sama persis dengan yang pernah dia lakukan terhadapku, sudah tidak ada lagi rasa iba di hatiku terhadapnya.Wajahnya terlihat memerah, matanya melotot menahan sakit, seluruh isi makanan di dalam perutnya keluar semua, sedang muntah-muntah, sembari terbatuk-batuk Mas Burhan sekarang ini, sesekali tubuhnya mengejang, masih dengan tangan dan kaki yang terikat. Berkali-kali air seninya keluar, dan sudah kuantisipasi dengan meletakkan semua pakaian miliknya di bawah tubuhnya."Ampuni aku, Minarsih," rintihnya, sembari terus terbatuk-batuk. Aku hanya menatapnya dingin, tanpa ekspresi. Kuhampiri dan kudekati dia, sembari menunjukkan kon*om yang kutemukan di dalam dompetnya."Dengan siapa kau kenakan Kon*om ini, bajingan." Wajahnya berpaling menengadah kepadaku, mukanya sudah penuh dengan tempelan muntahannya sendiri, lalu kembali dia terbatuk-batuk."Kau jual tubuhku, kau peras hasil keringatku, lalu has
Tubuh kurus dan wajah tirus Tasya, putriku satu-satunya mendekap erat badanku. Kain batik lusuh milik ibu, yang kubawa saat kabur dari rumah dulu, itu yang kupakai untuk mengendongnya.Bukannya aku tidak ingin membahagiakan atau pun menyenangkan hati Tasya, tetapi, sikap keji suamiku Burhan terhadap kami berdua, membuatku tidak mampu berbuat apa-apa.Hari ini, pasar tradisional yang tidak terlalu jauh dari tempat kontrakan, menjadi tujuanku untuk menyenangkan hati Tasya. Aku ajak dia pergi membeli ayam goreng tepung kesukaannya, es cream, boneka panda, dan segala macam makanan ringan, susu, juga minuman yang ditunjuknya. Semuanya kubelikan, satu pun tidak ada yang terlewatkan.Kuajak dia menaiki permainan yang dia suka. Kuda-kudaan, mobil-mobilan, balon karakter, apa saja yang dia ingin, hari ini, aku penuhi keinginannya.Aku menangis bahagia melihat putriku tertawa ceria. Air mataku terus mengalir, saat kedua tangannya menggenggam makanan, yang dulu hanya bisa dia rintihkan.Si lakn*
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti