"Hari ini juga, Mas?" tanya balik Maharani, saat Bayu meminta untuk secepatnya mereka berkunjung ke tempat kediaman Risma. "Jika Dek Rani tidak keberatan, lagi pula sepertinya tidak jauh dari sini 'kan?""Palingan sekitar 2 jam, Mas," jawab Maharani, mulai berdiri dari bale. "Bisa hari ini?""Bisa Mas, tetapi kemungkinan kita harus menginap di sana. Tidak apa sih, rumahnya cukup luas dan banyak kamar khusus untuk tamu.""Boleh apa jika saya menginap di sana?""Sepertinya boleh Mas, toh kita tidak tidur sekamar ini 'kan, lagi pula di sana banyak orang?""Lah, iya, kan kita belum mahram."Bayu tertawa, Maharani pun tertawa, dia semakin merasa nyaman dengan Bayu, yang bisa diajak bercanda dan membahas apa saja. "Kita bicara dengan ibu saja dulu, setelah itu kita langsung ke sana."Maharani mengangguk, berjalan beriringan masuk ke rumah untuk menemui Sarmila. Di dalam hatinya Maharani merasakan yakin, jika restu sudah dia dapatkan dari ibu calon mertuanya tersebut. ÷÷÷Sarmila terliha
231Ibu dari Sarmila hanya terdiam saat putrinya terus menangis di pangkuannya, minta tolong agar dia tidak diusir dari rumah ini. "Bu, tolong Mila Bu, Mila benar-benar tidak ingin keluar dari rumah ini. Mila takut, Bu ..."Hartini hanya bungkam. Hanya Air mata yang menetes dari pipinya. Pandangannya terlihat kosong, membocorkan ke arah pintu keluar kamar Sarmila. Perempuan paruh baya itu benar-benar tidak menyangka jika kejadian seperti ini menimpa keluarganya. "Sarmila minta ampun Bu, Sarmila mengaku salah. Tolong bilang sama bapak, Bu. Jangan usir Sarmila dari rumah ini. Mila harus pergi kemana Bu ... jangan usir Milah keluar dari rumah ini. Milah takut Bu, tolong Milah Ibu."Hartini masih diam mematung. Tangannya sama sekali tidak bergerak untuk mengusap atau memegang putrinya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Kain yang dipakainya sudah basah oleh airmata putrinya tersebut, yang masih menangis terisak-isak, Memohon-mohon agar mereka berdua tidak mengusirnya dari rumah ini.
Hampir setengah jam, adiknya meninggalkan lokasi. Sarmila masih belum tahu dia harus pergi kemana. Dia benar-benar bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Sarmila tidak menyalahkan Wahyu, Ibu dan adiknya yang lain di dalam keluarga karena tidak ikut membelanya. Karena dia tahu, keras dan tegas sang ayah di dalam mendidik dan menjaga mereka sebagai kepala rumah tangga. Kesalahan yang dia lakukan bersama Mukhtar Kusumateja, hal yang seharusnya tidak dia lakukan, selalu terjadi di waktu bekerja. Andai pun jika di luar jam kerja, selalu urusan dalam pekerjaan yang menjadi tujuan untuk bisa keluar dari rumah dan mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya.. Bukan hal yang sulit baginya, jika kawan-kawan yang lain bekerja seperti biasa, maka dengan kekuasaan yang ada pada Mukhtar, Sarmila bisa pergi di saat jam kerja, dan bahkan sering sekali hanya datang untuk absen kehadiran saja. Tidak ada yang berani menegur bahkan melarangnya, bahkan pimpinan tempat di mana dia bekerja sekali pun.
"Mi, Mami!"Sekali lagi terdengar suara panggilan dari luar kamar Sarmila. "Masuk, Mas," ujar Sarmila, sambil menghapus basahan air mata dari pipinya. Pintu kamar terbuka, Bayu langsung masuk ke dalam kamar dan duduk di samping sang mami. "Bayu minta maaf, Mih. Bayu tidak bermaksud melukai hati Mamih." ucap Bayu, sembari memegang jemari Sarmila. "Tidak apa-apa, Mas. Mungkin mamih saja yang lagi baperan, jadi mudah tersinggung.""Bayu tidak bermaksud untuk menyalahkan, Mamih. Bayu hanya tidak ingin, di hati Mamih masih menyimpan dendam kepada orang yang sudah tiada."Sarmila terdiam mendengar penjelasan dari putranya tersebut. "Hidup kita akan jauh lebih tenang jika mau mengikhlaskan semua yang terjadi, Mih. Perjalanan hidup kita, semua sudah digariskan oleh Allah, bahkan sebelum kita dilahirkan. Mengikhlaskan adalah salah satu cara kita menerima sebuah ketetapan yang tidak mungkin lagi bisa diubah, karena semuanya sudah terjadi, Mih"Bayu berucap dengan perlahan, sambil terus men
Bayu bisa ikut merasakan, kerinduan yang dirasakan oleh sang mamih. kerinduan yang membuat dilema, karena larangan untuk pulang jika ayahnya sang mamih yang juga kakeknya bila masih hidup. Kerinduan yang membuat jiwa dan hati mamihnya tertekan, di anggap sebagai anak yang terbuang. Tidak lagi diakui keberadaannya. Memang bagi sebagian orang. keyakinan, nama baik dan kehormatan, diatas segalanya. Sampai ada kisah seorang ayah di Afganistan, yang tega menembak mati kedua putrinya karena dianggap sudah mempermalukan keyakinan yang mereka anut dan mencoreng kehormatan keluarga hanya untuk beberapa potong pakaian. Sebegitu mulianya mereka menempatkan keyakinan, kehormatan, dan norma-norma kehidupan yang berlaku di masyarakat di atas segalanya. Bahkan, hubungan darah sekalipun tidak mampu menahannya. "Bayu akan mengantarkan Mamih untuk menemui keluarga kita sekarang. Bayu pun ingin bertemu dengan keluarga Mamih yang sesungguhnya," ujar Bayu, mengungkapkan dalam wajah Sarmila yang masih t
"Yuk Mih, kita turun sekarang?" ajak Bayu, mematikan mesin kendaraannya lalu menoleh ke belakang. Sarmila terdiam di kursi belakang kendaraan sedan yang dikemudikan Bayu, dan Maharani ada duduk di sampingnya. "Ma-mamih takut, Mas. Mamih takut keluarga akan mengusir mamih," peringatan beralasan, wajahnya terlihat pucat. Kepergiannya berpuluh-puluh tahun yang lalu dibuat menjadi gamang. keluarganya menganggap dirinya bagian dari mereka. "Mamih tidak usah takut. Ada Bayu yang akan selalu menemani, Mamih.""Ta-tapi, Mas. Tubuh mamih terasa lemas."Maharani yang sedari tadi hanya terdiam, lalu memberanikan diri untuk ikut bicara."Mas?""Iya, Dek." Bayu beralih membocorkan ke Arah Maharani. "Menurut Rani, sebaiknya Mas Bayu turun terlebih dahulu menemui mereka, untuk memastikan apakah rumah ini masih ada oleh keluarga besar mamih atau tidak."Bayu terdiam mendengar penjelasan calon istrinya tersebut. Dia berpikir jika apa yang dikatakan Maharani ada benarnya. Sebelum Bayu menjawab, Mah
Keterkejutan Halimah dengan suara terpekik, membuat putrinya Fitri kembali datang menghampiri dengan bergegas. Takut terjadi apa-apa dengan sang ibu yang sedang bersama pria asing, yang belum mereka kenal. "Ibu kenapa, Bu?" tanyanya cepat. Lalu melihat ke arah Bayu. "Tidak apa-apa, Fit. Ibu hanya kaget saja.""Kaget kenapa, Bu?" tanyanya lagi. "Mas ini ternyata keponakan Ibu. Kakak sepupu kamu--putra dari Uni Syarmila--kakak pertama ibu yang sudah lama menghilang."Fitri pun terganga, kembali melihat ke arah Bayu. Secara, dia pun teringat jika ibunya pernah bercerita kepadanya tentang kakak pertamanya tersebut. "Ibumu kenapa tidak ikut kemari?" tanya Halimah kepada Bayu. "Jadi benar, jika Uni Halimah adik dari ibu saya?" Bayu malah balik bertanya, dia benar-benar ingin memastikan kebenarannya. "Benar, Mas. Saya adik bungsunya beliau. Saat Uni Syarmila pergi dari rumah hampir 30 tahun yang lalu, saat itu usia saya baru 10 tahun," jelas Halimah. "Mana sekarang ibumu, Mas?""A-ada
237"Masuk dulu yuk, Un. Kita bicara di dalam," ajak adiknya Halimah. "Ayah, Bundo, ada di dalam 'kan?" tanya Syarmila lagi. Halimah tidak menjawab dan hanya tersenyum, lantas menggandeng tangan kakaknya tersebut ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah, ruang tamu keluarga, Syarmila berdiri terdiam memandangi sekeliling ruangan. Matanya berkaca-kaca. Setelah puluhan tahun kepergiannya, tidak ada sama sekali yang berubah bentuk dalam rumah tersebut, persis sama dengan di saat masa kecil dan remajanya dahulu. Selintas memori itu kembali terbayang. "Duduk dulu, Un," ucapan Halimah menyadarkannya. Tersenyum, lalu duduk di bangku mebel yang sama dengan yang dahulu. Bayu dan Maharani pun ikut duduk. Halimah lantas meminta putrinya, Fitri, untuk membuatkan minuman, dan dia sendiri langsung duduk di samping Syarmila. Tangan Halimah menggenggam erat kedua tangan kakaknya tersebut. "Kok rumahnya sepi. Keluarga kamu di mana,Imah? Ayah Bundo di mana?" tanya Syarmila lagi, terus bertanya
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti