Part 9
Jalan utama kampung yang dekat dari rumah Emak terlihat ramai sekali, tidak seperti biasanya, karena ujung jalan ini ada di atas bukit milik perkebunan swasta yang tidak ada apa pun di sana. Terlihat mobil-mobil truck berukuran besar lalu lalang melewati jalan dengan membawa barang-barang material, seperti hendak membuat sebuah bangunan besar.
Bukit di ujung jalan desa ini mempunyai pemandangan yang sangat indah. Berhadapan langsung dengan gunung, hamparan bukit teh, dan lembah hijau di bawahnya. Dari rumah Emak pun bukit itu terlihat sangat jelas, dengan banyak orang terlihat kecil dan kendaraan beragam macam. Entah, sedang dibangun apa di sana, berniat menanyakan nanti dengan Emak.
Aku datang bersamaan dengan kedatangan dua orang pembawa sembako suruhanku. Emak terlihat terkejut dengan apa yang kubawa. Ini memang boleh dibilang pertama kalinya aku bisa memberikan sesuatu buat beliau. Seandainya saja hidupku lebih mampu, pasti aku akan sering-sering memberikan apa pun buat Emak.
"Assalamualaikum, Mak." Sembari mencium tangan Emak, dan menurunkan si bungsu Neti di lantai teras rumah untuk bermain bersama Yuli kakaknya, dengan masing-masing membawa Sebungkus Chiki ukuran besar.
"Waalaikum salam ... Ya Allah, ini apa, Ris? Banyak sekali, kamu dapat dari mana?" tanya Emak, sambil melihat-lihat kebutuhan pokok apa saja yang aku berikan. Aku lantas menceritakan tentang kedatangan orang-orang kantor ke rumahku sembari mengantarkan sembako.
"Ini beneran, Ris, orang-orang kantor yang berseragam itu yang datang dan memberikan?"
"Beneran, Mak. Risma saja sampai bingung," jawabku, sembari membuka sebungkus snack kentang dan memakannya bersama Emak.
"Ini sembako sebanyak ini. Ada beras, minyak sayur, kecap, mie instan, buat keluargamu ada tidak?" tanya Emak lagi sembari memperlihatkan barang-barang pemberianku satu-persatu.
"Alhamdulillah, sudah lebih dari cukup, Mak." Sambil menyodorkan sebungkus snack sama Emak.
"Mereka salah kasih nggak, Ris?"
"Itulah, Mak, saat Risma tanyakan kepada orang-orang kantor itu, mereka bilang memang untuk Risma."
"Aneh juga ya, Ris. Padahal kamu, 'kan nggak ada yang kenal dengan orang kantor. Suami Ela dan Samsiah pun hanya mandor lapangan tidak berseragam," ujar Emak, masih menerka-nerka.
"Mak, itu mobil-mobil besar bolak-balik bawa bahan bangunan ke ujung bukit buat apa, Mak?" tanyaku, mencoba mencari tahu.
"Nggak tahu juga, Ris, bangun pabrik kali, sudah dari dua hari kemarin. Malah yang emak dengar pekerjaannya dibuat 24 jam."
"Ngomong-ngomong, Bapak kemana, Mak?"
"Nggak tahu, Ris, semalam pun tidak pulang."
"Emak, nggak nanya?" Emak hanya menggeleng saja.
"Ada yang ingin Risma ceritakan sama Emak," ucapku pelan.
"Cerita apa, Ris?"
"Tetapi Emak jangan cerita sama Bapak, ya, Mak?" Beliau hanya mengangguk.
"Bang Riswan, dari semenjak pamit pulang saat ada Kang Darman, sampai sekarang nggak pulang ke rumah, Mak," jelasku.
"Ya, Allah ... itu, 'kan sekitar empat hari yang lalu, Ris?" Aku mengangguk.
"Risma bingung, Mak, juga khawatir. Takut kenapa-kenapa dengan suami Risma. Apalagi semua pakaiannya tidak ada yang dibawa," jelasku, mataku mulai mengembang.
"Sudah nyoba nyari, Ris?"
"Mau nyari ke mana, Mak. Risma sama sekali tidak tahu teman-teman Bang Riswan," keluhku pada Emak.
"Risma harus bagaimana, ya, Mak?" Aku benar-benar kebingungan, tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
"Nggak tahu, Ris, emak juga ikut bing--"
"Wihh, ini sembako banyak amat," celetuk Samsiah, entah dari mana datangnya, memotong pembicaraan Emak. Samsiah lalu seperti mengetik sesuatu pada handphone-nya, kemudian tanpa malu-malu membuka-buka isi kantong kresek berukuran besar berisi kebutuhan dapur yang sengaja kuberikan untuk Emak.
"Ada minyak sayur nih. Kebetulan di rumah sudah habis, aku minta ya, Mak," ucapnya enteng saja.
"Aku minta gula pasirnya!" Ela, adiku satunya lagi tiba-tiba datang. Sepertinya Samsiah tadi yang mengirimkan pesan buatnya. Dia pun langsung mencari apa yang dia mau.
"Mie instannya minta juga ya, Mak, buat anak," ujar Ela, sembari menarik lakban perekat kardus mie tersebut. Samsiah pun ikut sibuk mengambil beberapa bungkus mie.
"Hei! Dasar tidak punya malu! Bukannya ngasih orang tua, yang ada malah selalu ngambilin barang-barang milik Emak!" sentakku kesal, ditambah emak suka mengeluh jika Ela dan Samsiah sering sekali mengambil atau pun meminta keperluan dapur sama Emak.
"Teh Risma jika mau ikut minta, ya, minta aja. Nggak usah juga ikut larang-larang," sindir Samsiah.
"Ini sembako pemberian dari Risma untuk emak," jelas Emak.
"Hadehh, mana mungkin, Mak. Punya uang dari mana, Teh Risma," jawab Ela, merendahkan.
"Semua sembako ini memang punyaku untuk Emak, taruh lagi nggak!" sentakku lagi.
"Tapi, 'kan sudah dikasih buat Emak, jadi sudah milik Emak, dong," elak Samsiah, tidak punya malu. Seandainya saja mereka mau baik dan tidak memusuhiku, pasti mereka pun akan kukasih sedikit sarang sedikit.
'persiapkan dirimu untuk berlaku tega nanti' Teringat kata-kata Bang Riswan yang dia bisikkan waktu itu.
"Iya, kalian tidak punya malu saja mengaku-ngaku kaya tetapi sering minta sama orang tua. Hanya pengemis yang suka minta-minta," sindirku pedas. Sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah. Sudah sedari lama mereka berdua ingin memulai peperangan. Selama ini aku hanya diam, dan masa-masa itu sudah harus berakhir.
"Teh Risma ngomong jangan sembarangan, ya," ucap Samsiah bernada mengancam. Ela pun melotot ke arahku.
"Jika aku sembarangan, kalian mau apa!" jawabku tegas, langsung berdiri dari bale. Aku tahu adik-adikku, mereka berdua itu penakut, tidak punya nyali, hanya berani jika ada Kang Amran dan Bapak saja.
"Sudah Risma, jangan." Emak sedikit menarik bajuku. Dua adikku itu mulai terlihat mengkerut. Mereka sangat mengenalku. Kakak yang selalu membela saat dulu selepas di-bully teman-temannya, atau kakak kelas mereka. Setiap kali Ela atau Samsiah mengadu sembari menangis, pasti saja orang yang membuat mereka bersedih dan ketakutan akan aku ajak berkelahi, bahkan pria sekalipun.
"Sudah ambil saja, Ela, Samsiah," ujar Emak, dan dengan tidak ada malunya, mereka benar-benar mengambil apa yang sudah kuberikan untuk Emak, sembari melangkah pulang tanpa pamit lagi, bahkan berterima kasih pun tidak.
"Jangan begitu ah, Risma, dengan adik-adikmu," tegur Emak.
"Tetapi mereka benar-benar sudah kelewatan, Mak," sanggahku dengan nada pelan.
"Walau bagaimanapun mereka tetap adik-adikmu, Ris."
"Mak ... sampai kapan pun mereka tetap adik-adik Risma, tetapi terkadang kita juga perlu tegas, Mak, agar mereka tidak lagi sembarangan," jelasku sama Emak. Ibu kandungku itu terdiam sebentar, lalu berbicara pelan.
"Mungkin karena emaknya yang lembek, dan tidak bisa bersikap tegas," keluhnya pada diri sendiri.
"Tidak lah Mak, mungkin karena Emak terlalu baik dan tulus, jadi mudah untuk dimanfaatkan," kataku, membesarkan hati Emak.
"Jika begitu, aku pamit pulang dulu, ya, Mak?" Aku Ingin mencari-cari petunjuk di lemari pakaian Bang Riswan. Siapa tahu aku bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan suamiku.
Sesampainya di rumah yang luasnya tidak seberapa. Kucari-cari benda apa pun yang berhubungan dengan Bang Riswan. Semua pakaiannya di lemari baju kuturunkan dan kuperiksa satu-persatu. Bufet kecil, laci dipan tempat tidur, seluruh sudut ruangan, tetapi tidak aku temukan satu petunjuk pun.
Bang Riswan memang seperti sengaja menyembunyikan masa lalunya. Tidak pernah bercerita apa pun. Setiap kali kutanyakan atau meminta dia untuk menceritakan, suamiku selalu bilang, "Masa lalu bukan untuk dikenang ataupun di ingat-ingat kembali." Sembari tersenyum, walaupun aku tahu itu sebuah senyum keterpaksaan.
Bang Riswan seperti menyimpan kepedihan, kisah pahit yang berhubungan dengan masa lalunya.
"Mata itu ada di depan, Neng, bukan di belakang" Dia pun bilang seperti itu, dan entah apa maksudnya. Aku pun sebenarnya tidak mempermasalahkan mengapa suamiku ingin menyimpan masa lalunya. Karena terkadang, ada orang yang memang ingin menyimpan rahasia pribadinya tanpa ingin diketahui oleh siapa pun sampai akhir hayatnya, dan tentu saja setiap orang pasti punya alasan tersendiri untuk itu.
Terduduk dengan pandangan kosong ke arah hamparan kebun teh dari depan rumah.
Kamu ada di mana, Bang? Anak-anak rindu, begitupun aku. Air mata khawatir dan kerinduan perlahan mulai membasahi pipi.PART 10Sudah hampir berjalan dua bulan, belum juga kuketahui keberadaan Bang Riswan. Segala doa kupanjatkan kepada Pemilik Kehidupan, untuk meminta perlindungan dan keselamatan di manapun suamiku berada. Menangis di sepertiga malam. Pagi dan petang, berharap semoga suamiku baik-baik saja di manapun dia berada.Sebenarnya, selama tidak ada Bang Riswan aku tidak ada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua bulan ini saja orang-orang kantor dari perkebunan sudah tiga kali datang membawa paket sembako dalam jumlah yang sama seperti saat pertama kali memberi. Dua kali dari orang kantor yang sama, memberikan uang tunai dalam amplop dengan jumlah yang cukup besar, yang aku sendiri belum pernah memegang uang dalam jumlah sebanyak itu.Aku berusaha untuk menolak pemberian uang tersebut dan tidak mau menerima, tetapi orang-orang kantor yg dikirim itu memohon-mohon agar aku mau mengambilnya, takut mereka dipecat jika aku menolaknya.Setiap kali kut
PART 11Kedua putriku Yuli dan Neti sudah terlihat cantik dan lucu. Memakai baju muslim dengan warna yang senada, hijab motif bunga-bunga macam princess muslimah.Gamis terusan berbahan halus berwarna coklat muda dengan ujung lengan melebar, juga hijab hijau tua dari kain yang ku-kreasikan sendiri menjadi pakaian yang kupilih untuk memenuhi undangan dari pabrik pengolahan teh tersebut.Dari dalam jendela rumah sudah terlihat para tetangga dengan pakaian rapih dan bagus mulai berangkat menuju tempat yang sama.Undangan pabrik besar tersebut menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam dua hari terakhir, karena hal ini belum pernah terjadi selama pabrik mulai berdiri di desa ini.Tertulis juga di situ jika setiap kepala keluarga yang hadir akan menerima paket sembako lengkap dan uang akomodasi dari pihak perusahaan. Juga ada sedikit rasa penasaran dari warga yang ingin mengetahui seperti apa dalam pabrik tersebut."sudah siap buat jalan-ja
Part 12"Sebentar lagi ya, Neng," jawab Bang Riswan, saat aku ingin mengajaknya pulang."Tapi, Bang.""Sudah, Neng, abaikan saja."Lampu ruangan seluruh aula lantas dimatikan. Semua lampu lantas menyorot ke atas panggung megah tersebut. Beberapa pria berpakaian seragam safari hitam berbaris dari pintu samping aula hingga sampai ke atas panggung. Pembawa acara mempersilahkan semua undangan yang hadir untuk berdiri. Sepertinya tamu agung yang ditunggu-tunggu sudah hadir di tempat ini.Seperti sebuah pertunjukan besar, lampu utama hanya menyorot ke arah panggung. Sinar handphone yang dinyalakan oleh para tamu undangan macam cahaya ribuan kunang-kunang yang berterbangan.Aku dan Bang Riswan hanya terdiam menyaksikan, kedua anakku menoleh kesana-kemari dengan penuh kekaguman."Hanya orang penghuni hutan, di jaman sekarang yang tidak punya handphone."Walaupun gelap, aku tahu jika itu suara Ela."Kasihan deh, gue." Suara Samsiah
Part 13 "Abang rela kehilangan segalanya, asal abang jangan kehilangan Eneng." Senyum dan tatapan matanya penuh dengan kelembutan. Pria tertampan di muka bumi. "Juga anak-anak kita, kalian bertiga adalah harta abang yang paling berharga," ucapnya lagi, melanjutkan. Anak-anakku, kedua permata hati, hanya memandang sekeliling dengan penuh keheranan. Menyaksikan jika semua pasang mata menatap ke satu arah yang sama, orang yang paling mereka rindukan dan nantikan kehadirannya. Ayah mereka yang berpenampilan sederhana. Awalnya direndahkan dan dihinakan karena apa yang dikenakan, tetapi sekarang semua mata memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Bang Riswan kembali maju ke depan mikrofon. Tatapannya mengelilingi seluruh isi gedung aula. Semua diam, terasa hening, menantikan isi pidatonya lalu suamiku memulai bicara.
POV RISWANPart 14"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu, Emak," ucap istriku Risma yang biasa kupanggil dengan sebutan Eneng sembari mengusap air matanya. Kemudian berbalik meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam.Kesedihan terlihat jelas dari tatap matanya hanya karena membela aku, suami miskinnya.Apakah salah aku memilih diam? Apakah juga salah jika aku terus mengalah? Apakah itu menandakan jika aku sudah tidak lagi memiliki harga diri."Jika semuanya habis mereka injak-injak, apalagi yang harus eneng banggakan sama suami sendiri, Bang."Sembari menemani kedua putriku Yuli dan Neti, memetik cabai dan tomat di depan pekarangan rumah, ucapan istriku selalu terngiang-ngiang.Istriku memang tidak pernah mengeluh tentang kemiskinan kami, hampir selama enam tahun kami membina rumah tangga."Tidak apa-apa eneng dibilang miskin. Tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri!"Menemani kedua ana
Part 15Dengan menaiki ojek motor, aku langsung menuju ke pabrik pengolahan teh, berhenti tepat di depan gerbang pabrik tanpa sempat pulang terlebih dahulu untuk berganti baju. Kemeja pendek berwarna oranye pudar, celana bahan, dan sandal jepit, aku langsung menuju ke pos satpam yang terletak di balik pintu gerbang."Permisi Pak, selamat siang, saya ingin bertemu dengan Pak Julius?" tanyaku, kepada dua petugas security berseragam yang berjaga. Seseorang yang usianya sudah cukup umur, dan seorang pemuda yang sepertinya baru lulus sekolah dua atau tiga tahun sebelumnya. Bapak tua itu sepertinya sedang sibuk membuat laporan, dan security yang berusia lebih muda menanggapi pertanyaanku seperti acuh, setelah sebelumnya memperhatikan penampilanku dari wajah hingga sandal jepit yang kupakai."Buat apa?" Tidak menjawab pertanyaanku dan malah balik bertanya, tanpa memandang ke arahku sama sekali sembari asyik dengan handphone-nya."Ingin bertemu, Pak. Penting," ja
Part 16Tujuh Tahun Sebelumnya.Dering suara handphone yang kuletakkan di atas meja ruang meeting berbunyi, di saat aku sedang memimpin rapat dengan para petinggi di kantor pusat Niskala group, bilangan Sudirman Jakarta Selatan. Biasanya jika sedang rapat penting seperti ini aku tidak pernah ingin diganggu, tetapi melihat jika nomor berasal dari handphone Mamah, maka langsung kuterima.--Haloo, Mah?--Ris, ini Tante Else, Mamahmu kena serangan jantung di rumah Tante, sekarang sudah ada di rumah sakit.--Rumah sakit mana, Tan?--Siloam Semanggi--Baik Tante, saya langsung ke sana.Segera mematikan handphone."Rapat hari ini kita cukupkan dulu sampai di sini, saya harus segera ke rumah sakit," ucapku, tanpa meminta persetujuan dari peserta rapat, yang sebagian besar adalah pimpinan usaha di bawah group Niskala. langsung bergegas keluar dari ruangan pertemuan.Tony--sopir pribadi yang merangkap juga sebagai pengawal
PART 12Mamah tergeletak pingsan di lantai. Penyakit jantung yang dideritanya, sepertinya kumat. Aku segera menelepon Toni yang menunggu di bawah untuk segera naik ke tempatku berada, guna membantu untuk meng-evakuasi Mamah.Kedua orang " penghianat" itu terlihat sibuk mencari-cari bajunya yang berserakan di lantai, dan terlihat terburu-buru saat memakainya.Si wanita, Maharani, yang terlihat dan berkelakuan seperti wanita lugu, baik, perduli, hanya menangis ketakutan. Sementara si pria yang setiap bertemu kupanggil Papah, sok-sokan terlihat panik. Aku benci dengan kedua manusia bejat tersebut.Sang pria selesai memakai baju secara asal lantas berniat ingin membantu, kucegah langkahnya."Jangan coba-coba kau berani sentuh mamahku!" sentakku geram, sembari menunjuk ke wajah Papah. Pria paruh baya itu terdiam, tidak berani mendekat."Ta-tapi, Ris," sanggahnya terbata, sembari mencoba lagi untuk mendekat."Aku bilang jangan sentuh mamahku!
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti