Tiba di kamar emak, masih ada Bude Ajeng, Uni, dan Nengsih di sana. Risma benar-benar terlihat panik, hatinya di landa kekhawatiran. Dia sudah kehilangan ibu kandungnya, bapaknya, Risma tidak ingin saat ini kehilangan Emak Sawiyah, di saat dia merasa belum bisa memberikan kebahagiaan dan belum membalas semua jasa-jasanya.
"Emak kenapa Uni, Teh Nengsih. Emak baik-baik saja, kan Bude?" tanya Risma berdiri di samping tempat tidur Emak Sawiyah. Emak sudah berganti pakaian. Terlihat Bude Ajeng sedang mengusapi emak dengan minyak kayu putih pada bagian lehernya. Uni menyentuh bahu adik iparnya tersebut, mencoba untuk menenanginya.
"Nggak apa-apa, Bu, nenek hanya kecapean aja, " jawab Bude Ajeng, sembari kembali membaluri tubuh emak Sawiyah dan memijat-mijatnya.
"Memangnya emak kerja apa? Apa perlu saya panggil dokter?"
"Nggak perlu, Bu Risma. Sebentar lagi juga nenek sadar. Sepertinya beliau hanya lelah pikiran saja." Bude Ajeng terus mencoba
Keriuhan pemberitaan yang menyangkut tentang viralnya dokumen rahasia milik Subroto ditambah lagi laporan penganiayaan yang dilakukan olehnya terhadap Daniel dan Nathan menguasai pemberitaan di negeri ini.Kehebohan terjadi karena disinyalir melibatkan banyak-banyak tokoh penting di Republik ini. Hampir semua berita surat kabar, online, menjadikan peristiwa bocornya dokumen ini sebagai berita utama, begitupun dengan televisi berita. Group TV dan media online juga surat kabar milik subroto banyak menghadirkan nara sumber yang memang sudah dipersiapkan untuk mengcounter kebocoran tentang dokumen tersebut, namun publik lebih banyak yang percaya jika berita itu benar adanya.Orang-orang yang selama ini diam, padahal banyak tau tentang sepak terjang Subroto dan orang-orang yang disebutkan dalam dokumen tersebut mereka mulai berani bicara. Sebuah permainan kotor yang banyak melibatkan orang-orang penting dalam penegakkan hukum dan peradilan. Mafia hukum yang bisa
Riswan kenal dengan Subroto, hanya sebatas kenal. Memang Riswan mengakui beberapa kali perusahaan miliknya menolak untuk bekerja sama dengan perusahaan milik Subroto, karena secara diam-diam Riswan sudah mengetahui sepak terjang Subroto dalam dunia bisnis yang penuh dengan kecurangan dan permainan kotor."Sedikit banyak saya tau tentang Subroto dan sepak terjangnya. Saya minta saksi Susan agar dijaga keselamatannya karena hanya dia yang bisa membongkar permainan kotor ini."Siap Pak. Susan dan Maharani sudah kita amankan di rumah Pak Riswan yang di desa Cibungah. Team pengamanan di sana pun sudah ditambah. Bu Risma sendiri yang mengajak mereka untuk tinggal di sana.""Saya setuju mereka tinggal dulu di sana karena akan lebih mudah untuk hal keamanan. Mengingat hanya ada satu-satunya jalan masuk yang menuju rumah saya jadi akan lebih mudah untuk diawasi.""Pak Riswan, apa perlu kita lapor polisi untuk meminta perlindungan saksi?" Pak Kusuma kali ini
Subroto masih di dalam kamar tempat persembunyiannya saat handphone miliknya berbunyi. Langsung dia raih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja kerja, telpon dari kepala keamanan yang dia tugaskan di depan pintu masuk rumah persembunyiannya. "Robby mau bertemu, Bos." "Suruh langsung ke atas," jawab Subroto singkat, lalu langsung mematikan handphonenya. Robby, salah satu orang kepercayaan Subroto, salah satu dari segelintir orang kepercayaannya yang tau tempat persembunyiannya. Tidak beberapa lama, pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. "Masuk!" jawab Subroto keras, lalu menyalakan rokok putihnya, mengisapnya perlahan. Pintu terbuka, Robby terlihat menganggukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Kemudian mendekati Subroto yang mempersilahkan Robby untuk duduk di depannya, dibatasi dengan meja kerja Subroto. "Kamu yakin tidak ada yang mengikutimu kemari?" tanya Subroto menyelidik. Terlihat Subroto sangat hati-hati karena tidak
"Maaf Pak, kami hanya menjalankan perintah. Dan kami tidak peduli bapak ini siapa?Sekarang bapak ikut kami secara baik-baik, atau harus kami paksa," ucap sang komandan dengan nada tegas, karena dia sudah diberikan wewenang untuk menangkap Subroto."Tenang dulu, Pak, semua bisa dibicarakan baik-baik," kilah Subroto, sepertinya dia memiliki ide untuk memakai cara yang biasa sering dia gunakan kepada aparatur negara. Dan sejauh ini dia tidak pernah gagal ataupun ada yang menolak."Maksud anda apa, Pak?" tanya sang komandan yang bernama Heru kepada Subroto. Sementara itu Robby, orang kepercayaan Subroto bahkan sudah diborgol kedua tangannya oleh polisi yang di dalam ruangan tersebut. Sepertinya polisi datang dalam jumlah yang lumayan banyak untuk melakukan penggerebekan terhadap tempat persembunyian Subroto."Saya Akan berikan uang sebesar 500 juta kepada bapak, yang penting saya tidak ikut ditangkap, bilang saja saya tidak bisa diketemukan. Bagaimana ko
Langkah Risma sudah sampai di ruang tamu rumahnya, tetapi tidak dia lihat ada siapapun di sana. Menoleh ke arah Bude Ajeng yang ada di sebelahnya."Tamunya mana, Bude?""Masih di depan pos penjagaan Bu?"Risma sedikit melongo, kemudian tertawa. Dia pikir Bude Ajeng memanggilnya karena tamunya sudah berada di ruang tamu."Aduh, Bude. Saya kira tamunya sudah ada di ruang tamu?" Risma masih tertawa kecil. Kejadian kecil seperti ini justru mampu sedikit membantu Risma menghilangkan sementara keresahan dan kerinduan kepada suami tercinta. Bude Ajeng pun ikut tertawa, kembali berucap mengemukakan alasannya."Saya tidak berani menyuruh orang masuk ke dalam rumah yang belum dikenal tanpa persetujuan ibu?"Risma tersenyum mendengar alasan Bude Ajeng, kepala pelayan rumah tangga di rumah ini. Risma memahami jika ini cara si bude bersikap Hati-hati, mengingat beliau pun tahu jika ada Maharani dan Susan yang sed
"Mas sadar nggak sih? Jika selama ini kita tuh seperti parasit buat Mamih?""Maksudnya?" Pradipta masih belum paham juga tentang apa yang dimaksud istrinya. Kebiasaan membuat jadi terbiasa, dan jadi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah."Astaghfirullah Mas, hati dan pikiranmu terbuat dari apa sih? Masa kamu nggak sadar juga jika selama ini kita selalu menyusahkan Mamih? Berharap pada Mamih? Semuanya dari Mamih? Tanggung jawab Mas sebagai anak dan suami mana Mas?"Pradipta terlihat terkejut melihat sang istri bicara cepat. Istri yang selama ini selalu diam dan tidak banyak bicara."Mamih itu sudah tua Mas? Sudah masanya untuk istirahat. Sebagai anak, seharusnya Mas sudah harus mengambil alih kehidupan keluarga kita? Tetapi semua dibebankan ke Mamih. Dua lelaki di rumahnya, Mas dan Papih yang seharusnya bertanggung jawab justru malah terkesan memperbudak Mamih. Mau sampai kapan Mas kita menjadi parasit dalam kehidupan Mami!" Dhita su
"Bukan Mi, bukan mamih yang salah. Tapi semua salah Dipta. Waktu tidak bisa membuat Dipta berubah, selalu bergantung sama mamih. Padahal Dipta sudah bukan anak-anak lagi. Dipta sudah berkeluarga? Sudah punya kewajiban menafkahi, yang harus Dipta pertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti."Astaghfirullah aladzim ... maafkan Dipta, Mih."Lelaki itu lantas bersujud di kaki sang Mamih, mencium kakinya. Tante Sartika menangis terisak. Ini adalah untuk pertama kalinya putra pertamanya melakukan itu. Dhita pun ikut menangis, sesekali sembari menciumi pipi Atila yang memandang ke arah Nenek dan ayahnya. Sementara Risma matanya sudah berkaca-kaca, turut menyaksikan dengan penuh keharuan.Tante Sartika lantas meminta putranya untuk bangkit berdiri. Memeluk Pradipta sembari Bertangisan, kembali kata permohonan maaf terucap dari mulut anak yang dahulunya terlalu dimanjakan tersebut."Dipta janji akan berubah, Mih. Dipta janji," ucap Pradipta sembar
Risma, Maharani, dan Susan, mengantar kepulangan Tante Sartika sampai ke mobil pribadinya, sementara Emak Sawiyah sedang tertidur di kamarnya karena sedari pagi mengeluh sedang tidak enak badan. Kebersamaan mereka selama beberapa minggu di rumah Risma, menumbuhkan rasa persaudaraan dan kedekatan di antara mereka. Saling berdiskusi, mengaji, dan belajar ilmu agama adalah kegiatan mereka sehari-hari. Sengaja Risma meminta istri dari Ustazd Arief untuk mengajari mereka setiap harinya. Risma sudah persiapkan kendaraan untuk menjemput Umi Hasanah pulang pergi. Risma berpendapat jika mereka, terutama Susan, sangat butuh bimbingan agama yang intensif dan telaten. Karena jangan sampai imannya yang masih lemah karena baru berhijrah malah semakin lemah jika dibiarkan begitu saja tanpa bimbingan guru. Mereka saling berpelukan, sesaat sebelum Tante Sartika menaiki kendaraan pribadi miliknya bersama Dhita sang menantu dan Atila cucunya, sementara Pradipta deng
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti