Ada Tante Sartika, tante dari Riswan, Pak Kusuma, pengacara perusahaan dan keluarga, di antara rombongan tersebut. Risma langsung berdiri saat Tante Sartika mulai semakin mendekat, dan mereka pun berpelukan sesaat, sembari menempelkan pipi masing-masing.
"Kalian jangan pergi kemana-mana dulu, duduk lagi di tempat semula!" bentak suara Pak Kusuma, saat sekelompok orang yang tadi duduk di belakangnya ingin membubarkan diri.
"Tolong jaga dan amankan mereka, Pak. Agar tidak meloloskan diri," titah Pak Kusuma lagi kepada empat orang team pengaman.
"A-ada apa ini, Pak. Mengapa kami ditahan seperti ini, alasannya apa?" tanya dari sang kordinator. wajah ke empat orang tersebut terlihat pucat pasi.
"Sudah! Kalian tenang-tenang saja di situ, tidak usah banyak bicara!" sentak Pak Kusuma lagi, sembari menunjuk ke wajah sang kordinator yang tadi memprotes.
Risma lantas menyerahkan salah satu handphone-nya kepada Pak Kusuma. Dan sepertinya Pak Kusuma sudah
"Baik, Buk, mari ikuti saya."Mereka pun segera mengikuti langkah Toni yang ternyata menuju basemen. Kantor team pengaman gedung ini. Tidak jauh sebenarnya, hanya tinggal turun satu lantai saja.Sekelompok penjual rahasia perusahaan itu satu pun tidak ada yang berani menengadahkan wajah, semuanya tertunduk layu, bahkan satu-satunya wanita masih menangis saja. Kumintakan semua atasan pelaku untuk dipanggil, guna menyaksikan kelakuan bawahannya.Masing-masing dari para pelaku tersebut mengakui kesalahannya, dan juga meminta maaf kepada atasan mereka. Berarti bisa dianggap jika bahwa perbuatan mereka tanpa sepengetahuan ataupun sepertujuan atasan. Tetapi semua akan dicari tahu lewat interogasi intern ini, mengapa mereka bisa begitu mudah mendapatkan dokumen-dokumen penting tersebut. Dan Toni sibuk mendokumentasikannya, untuk dijadikan bukti di kemudian hari.Ruangan kantor team pengaman cukup luas ternyata. Dan mereka didudukan berbaris, dengan kursi m
Sebelum mereka Risma kumpulkan di kantor security basemen, istri dari Riswan tersebut sudah merancang sebuah rencana, yang dia harapkan sesuai dengan keinginannya.Risma pun yakin, sepertinya suatu hal yang akan sulit dilakukan para "tikus-tikus" tersebut menjalankan aksinya, jika tidak ada orang kuat di kantor ini yang memudahkan jalan bagi mereka.Saat mereka dikumpulkan, Risma sudah mencatat pertanyaan-pertanyaan yang akan dia berikan kepada Umar jika terhubung via handphone dengan Daniel. Dan sekarang waktunya Risma untuk menjalankan rencananya, juga untuk membuktikan jika kecurigaannya kepada salah seorang petinggi yang ikut terlibat dalam konspirasi ini, itu benar adanya.Secarik kertas catatan yang dibuat Risma, dia letakkan tepat di depan Umar, yang duduk di kursi besi dengan tatakan papan. Beberapa staf pengaman dia tugaskan untuk menjaga pintu keluar, sekaligus memperhatikan, jika ada salah satu dari mereka menggunakan handphone-nya secara diam-diam. D
Keempat tersangka tersebut terlihat kaget. Tadinya, mereka semua berpikir jika Risma akan membebaskan mereka tanpa syarat apapun."Ta-tapi Buk." Umar mencoba ingin bicara, begitupun dengan yang lainnya, tetapi Risma memotong cepat."Maaf saja, kami tidak mau menyimpan benalu di perusahaan ini. Yang menolak keputusan saya, silahkan berurusan dengan Pak Kusuma, yang akan meneruskan kasus kalian ke jalur hukum. Saya persilahkan kalian untuk berkemas dan pergi meninggalkan kantor ini."Mereka semua, para tersangka tersebut terlihat pasrah dengan keputusan yang Risma ambil. Yang tadinya mereka akan mengajukan keberatan, akhirnya mereka batalkan. Dan sebelum Risma meninggalkan kantor security, dia mendekati pemilik handphone yang dihubungi oleh Daniel. Berucap pelan kepada orang tersebut."Saya tunggu di ruang kerja suami saya." Orang yang Risma ajak bicara terdiam. Rahasia besarnya terbongkar oleh seorang wanita kampung yang hanya berpendidikan sekolah m
Tante Sartika kembali mengusap air matanya terlebih dahulu. Tante Sartika, perempuan paruh baya yang tegar menutupi jati dirinya. Selalu terlihat baik-baik saja, padahal ada beban bathin dan tanggung jawab yang diembannya saat ini."Sudah berpuluh tahun, Tante menjadi tulang punggung keluarga, Ris. Semuanya Tante yang menanggung. Suami Tante memang pernah bekerja, dan berwiraswasta, tetapi tidak pernah bertahan lama. Dia pikir karena Tante punya penghasilan yang lumayan, jadinya malas-malasan. Sudah hampir lima tahun terakhir ini tidak punya kegiatan apa-apa. Pergi memancing kemana-mana. Gak mau usaha. Apa-apa serba minta." Tante Sartika terjeda sejenak, lalu kembali melanjutkan bicara."Anak Tante dua orang Ris, anak kedua perempuan. Tinggal di Batam, bersama suaminya. Alhamdulillah, tidak bermasalah, kehidupannya pun sudah cukup layak, suaminya pun baik. Yang pertama laki-laki. Dari remaja sampai berkeluarga anak satu, hidupnya selalu menyusahkan tante. Pengang
Selepas perbincangan dengan Tante Sartika, dan sembari menunggu waktu pertemuan dengan Daniel malam nanti. Risma mempergunakan waktunya untuk berkeliling kantor dan memperkenalkan diri, full dari lantai 1 hingga lantai 15, dimana memang ditempati oleh khusus pemilik gedung ini. Group Niskala.Risma memang pandai menempatkan diri, di pergaulan mana saja. Dahulu, sebelum mengenal dan menikah dengan Riswan. Dia memang kurang memiliki rasa percaya diri. Tertekan, karena almarhum Juragan Hasyim yang selalu mengekang dan membatasi dirinya. Tetapi Riswan lah yang menumbuhkan rasa percaya diri itu. Semua berawal saat perkenalan siapa diri Riswan sebenarnya, di pabrik teh tempat mereka tinggal.Riswan sangat menghormati, dan menghargai Risma sebagai seorang pendamping. Dan Risma harus menunjukkan jika penilaian sang suami tercinta terhadapnya tidaklah salah.Satu persatu perwakilan karyawan perbagian, Risma tanyakan apa yang mereka inginkan. Apa yang mereka butuhkan. Ris
"Maaf, jika Mas Daniel tersinggung, tetapi memang lucu, pertanyaan Mas Daniel tersebut.""Di mana letak lucunya? Memang itu kebenarannya. Si Riswan sialan itu sudah menghancurkan kehormatan orang tua kami!" Daniel mulai bicara menyentak. Terlihat Toni mulai bersiap, mulai berdiri dari kursinya. Risma adalah tanggung jawabnya, nyawanya sebagai taruhannya. Risma melihat hal itu, lantas meminta Toni untuk duduk kembali.Risma kembali bicara."Coba Mas Daniel berpikir yang jernih. Bukan Bang Riswan yang sudah merusak dan menghancurkan nama baik Papah Mas Daniel. Beliau sendiri yang sudah merusak dan mempermalukan dirinya sendiri. Penggelapan dan korupsi itu perbuatan melanggar hukum Mas? Terkecuali, jika apa yang dilakukan Bang Riswan itu hanya fitnah dan dugaan tak berdasar. Bukti-bukti sudah jelas Mas, mampu meyakinkan hakim jika Om Alex itu bersalah. Kenapa terus Bang Riswan yang disalahkan?""Karena memang suamimu itu salah!" Daniel mulai bicara mennyentak,
"Tetapi Nengsih baik, Bu. Pernah nolong Hesti juga saat butuh pinjaman dulu. Nggak enak, Bu?" keluh Hesti, dia sudah mulai bimbang setelah berbincang dengan ibunya."Lebih tidak enak lagi, jika rumah tanggamu berantakan," kecam si Ibu. Kembali berucap."Kamu akan malu dan repot sendiri, jika para penagih online itu tahu keberadaan Nengsih di rumah ini. Sudahlah Hesti, percaya sama ucapan ibu. Ibu begini karena kasihan sama kamu dan keluargamu. Jika ibu tidak kasihan, pasti akan ibu biarkan," hasut sang Ibu lagi.Hesti bukannya tidak tahu, jika Nengsih memang banyak berhutang dimana-mana. Di group alumni SMP pun, Nengsih banyak berhutang. Sampai Nengsih keluar dari group, dan memblokir nomor-nomor teman yang dia hutangi.Sebenarnya mereka mulai dekat kembali baru dalam beberapa bulan ini saja, setelah Nengsih beserta keluarganya pindah kembali ke ibukota setelah rumah tangganya bermasalah dengan Amran.Sang Ibu sendiri tinggal tidak jauh dari rumah
Nengsih berjalan gontai meninggalkan rumah Hesti di pagi menjelang siang. Wajah dan tubuhnya sudah penuh dengan keringat. Serupiah pun tidak ada di dalam isi dompetnya. Menumpang di rumah Hesti adalah caranya, untuk mendapatkan makan dan tidur sementara dalam masa persembunyiannya.Berjalan menangis menyesali diri. Merutuk diri sendiri karena akibat dari perbuatannya, keluarganya berantakan. Bahkan sampai tega meninggalkan kedua anaknya di rumah kontrakan tanpa menyiapkan perbekalan. Dalam kesusahan hidup yang dia rasakan saat ini, baru timbul kesadaran jika dia telah salah langkah selama ini.Keluarganya hancur, hidup terpisah dari anak, terusir dari orangtuanya sendiri, karena membuat malu dan menyusahkan. Dihina dan dicaci-maki, direndahkan, dilecehkan harga dirinya. Sampai sesak Nengsih menangisi nasibnya saat ini.Melewati jalan-jalan kampung guna kembali ke rumah, butuh waktu hampir empat jam untuk tiba. Berkali-kali beristirahat, mampir sebentar ke bebera
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti