Kedatangan Risma dengan Emak dan kedua adiknya, disambut oleh Bik Junah. Orang yang selama ini selalu mengurus ibu kandungnya, dan diberi tanggung jawab untuk mengurus rumah ini. Sementara Ustaz Arief memilih untuk pulang ke pesantrennya, selesai urusan dengan mertua Ela.
Sebelum Ustaz Arief pulang, disempatkan oleh Risma untuk berbicara empat mata sebelum masuk ke dalam kendaraan. Risma hanya meminta tolong kepada sang ustaz, untuk membantu mengawasi perkembangan pembangunan masjid dan pesantren yang digagas oleh Riswan. Proyek itu masih berlangsung, sedang dikerjakan oleh pemenang tender. Ustaz Arief dianggap sebagai perwakilan keluarga Riswan dan Risma, dan beliau langsung setuju. Pimpinan proyek pun sudah sangat mengenal sang ustaz lewat Riswan.
"Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ustaz, karena bersedia membantu. Menggantikan Bang Riswan, yang sedang ada urusan penting di Jakarta."
"Sama-sama, Neng Risma. Terima kasih sudah menganggap saya dan istri s
Risma terlihat kaget, mendengar Emak Sawiyah berbicara seperti itu. Apa maksudnya?"Emak kok bicara seperti itu?" tanya Risma heran."Jika Risma masih menganggap emak, ceritakan sama emak, sebenarnya ada apa?"Risma tidak langsung menjawab, dia malah memeluk tubuh Emak Sawiyah erat, dan kembali menangis. Sopir pribadi yang menemani hanya terdiam saja.Cukup lama juga Risma menangis, dan Emak membiarkan saja, sembari sesekali menghibur dan menguatkan mental putri sambungnya tersebut, yang dia anggap sudah seperti putri yang terlahir dari rahimnya sendiri.Setelah agak tenang, Risma mulai melepaskan pelukannya terhadap Emak. Berucap pelan."Bang Riswan sudah ditetapkan sebagai tersangka, Mak. Dan sudah ditahan," jelas Risma, dengan sedikit menahan Isak."Astagfirullah aladzim, beneran Ris?" tanya Emak, masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sang sopir pun terdengar mengucap istighfar."Benar Mak. Risma dapat kabar langsu
"Iya, Kang. Risma hanya ingin, apa yang sudah dibangun keluarga Bang Riswan tidak hancur begitu saja. Apalagi ini menyangkut hajat hidup orang banyak, yang bergantung pendapatan dari perusahaan milik Abang." Risma terdiam sejenak, kemudian kembali bicara."Risma akan lakukan apa saja untuk keberlangsungan usaha yang sudah dirintis oleh kakeknya Abang. Risma minta tolong sama Kang Darman, Uni, dan Toni, orang kepercayaan Bang Riswan. Untuk mau membantu, membereskan kekacauan yang terjadi, karena ulah orang-orang yang tidak suka dengan kesuksesan Abang."Uni mendekatkan tubuhnya ke arah Risma."Bisnis itu sama dengan politik. Banyak permainan kotor di dalamnya. Kamu harus siap mental, Risma. Berani bertindak tegas jika yakin itu yang terbaik untuk masa depan usaha yang kita jalani. Jangan ragu-ragu dalam memutuskan kebijakan." Uni Aminah memberikan masukan terhadap Risma. Karena Uni juga adalah pebisnis juga, walaupun dalam skala yang jauh lebih kecil.
"Apa Uni mau ikut juga?" tanya Risma, menawarkan kepada Darman dan istrinya, jika ingin ikut ke kantor pusat Sudirman. Hal yang sebenarnya belum pernah Risma lakukan. Bahkan, bentuk gedung kantornya seperti apa pun Risma belum tahu.Darman menoleh ke arah istrinya yang duduk di sampingnya, memberi kode apakah ingin ikut Risma atau tidak."Kemu sudah pernah ke sana, Ris?" tanya Uni Aminah. Risma menggeleng."Belum, Uni. Selama ini, Risma tidak pernah ikut tahu ataupun ikut campur dalam urusan bisnis perusahaan. Bukan Abang yang melarang, hanya Risma saja yang ingin kami sejalan di tempat kami masing-masing.""Jika begitu tidak usah, Pak. Biarkan Risma datang seperti orang yang tidak dikenal. Jadi akan lebih mudah bagi Risma untuk menilai para petinggi dan pekerja di sana," jawab Uni Aminah."Maksudnya, Uni?""Begini loh Ris, jika kita datang serombongan, para staf di sana pasti akan tahu dan curiga. Sedangkan jika kamu yang datang sendiri, mu
Darman baru saja memarkirkan kendaraannya ke dalam rumah sakit Tarakan, karena terlalu beresiko jika memarkir di sisi jalan yang padat seperti ini. Letak Gang Mangga tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Hanya tinggal menyebrangi jalan utama, dan berjalan sedikit ke kanan. Gapura penanda pun sudah terlihat dari depan rumah sakit.Gang Mangga, sama seperti gang-gang pada umumnya di Jakarta. Jalan yang hanya seukuran dua meter, dengan rumah-rumah yang berhimpitan super padat. Mayoritas berbentuk tingkat seadanya, dan berukuran kecil-kecil. Benar-benar terlihat sesak.Darman yang sudah puluhan tahun di kota ini, suah sangat paham dengan kondisi kota ini secara detail. Terutama di kawasan gang ini, yang sering terjadi tawuran antar warga hanya karena masalah sepele. Sepertinya sudah dendam turun temurun. Masing-masing kawan, ataupun keluarga yang pernah menjadi korban, mewarisi kemarahan dan kebencian kepada generasi berikutnya. Dan musuh bebuyutan dari Gang Mangga ini adal
"Setiap hari, ada saja yang datang ke rumah kontrakan kami untuk menagih hutang. Kakek dan Nenek sudah merasa cape melihat kelakuan Ibu. Mereka sudah tidak sanggup lagi jika harus membayarkan hutang-hutang Ibu. Sehari setelah mengusir kami, mereka berdua pindah entah kemana.""Kamu dan Bayu sampai nggak makan dua hari, ibumu kemana?""Sudah dua hari ibu tidak pulang, Wa. Di tempat kontrakan ini pun sering didatangi orang yang hendak menagih hutang. Ibu sepertinya bersembunyi, tetapi saya dan Bayu tidak diberitahu kemana," jawab ical, sembari membersihkan pakaiannya.Sementara Darman meminta kepada pelayan untuk membungkuskan nasi, seperti yang dipinta Ical. Sembari meminta total pembayaran."Berarti adikmu ditinggalkan sendirian di rumah?" Ical mengangguk."Bayu sedang sakit, Wa. Badannya panas sekali. Makanya Ical mencuri roti untuk makan Bayu." Ical mulai ingin menangis."Astagfirullah ... ayuk sekarang kita jemput adikmu. Jauh tidak dari
Mobil yang membawa Risma mulai memasuki area di mana gedung Niskala berada. Kawasan pusat bisnis yang terkenal di kota Jakarta. Jalan yang membentang, dari pusat sampai ke selatan adalah jalan termahal di ibukota negara ini.Gedung Niskala Tower termasuk salah satu gedung tertinggi di kawasan ini. Dengan logo raksasa di atas tower-nya. Keseluruhan gedung ini sebenarnya bukan hanya ditempati oleh group Niskala saja, tetapi juga disewakan ke perusahaan-perusahan lain.Mobil Risma berhenti tepat di depan lobby gedung. Tanpa menunggu dibukakan pintu, Risma turun dengan sendirinya. Cukup terpana juga Risma, setelah mengetahui jika perusahaan milik suaminya adalah pemilik gedung megah yang super tinggi ini.Lewat sang sopir pribadinya, yang dulunya pernah bertugas di kantor pusat ini, Risma banyak tahu tentang selak beluk gedung ini. Tentang Group Niskala yang hanya menempati gedung dari lantai dasar hingga lantai 15. Juga tentang adanya masjid di lantai paling
Ada Tante Sartika, tante dari Riswan, Pak Kusuma, pengacara perusahaan dan keluarga, di antara rombongan tersebut. Risma langsung berdiri saat Tante Sartika mulai semakin mendekat, dan mereka pun berpelukan sesaat, sembari menempelkan pipi masing-masing."Kalian jangan pergi kemana-mana dulu, duduk lagi di tempat semula!" bentak suara Pak Kusuma, saat sekelompok orang yang tadi duduk di belakangnya ingin membubarkan diri."Tolong jaga dan amankan mereka, Pak. Agar tidak meloloskan diri," titah Pak Kusuma lagi kepada empat orang team pengaman."A-ada apa ini, Pak. Mengapa kami ditahan seperti ini, alasannya apa?" tanya dari sang kordinator. wajah ke empat orang tersebut terlihat pucat pasi."Sudah! Kalian tenang-tenang saja di situ, tidak usah banyak bicara!" sentak Pak Kusuma lagi, sembari menunjuk ke wajah sang kordinator yang tadi memprotes.Risma lantas menyerahkan salah satu handphone-nya kepada Pak Kusuma. Dan sepertinya Pak Kusuma sudah
"Baik, Buk, mari ikuti saya."Mereka pun segera mengikuti langkah Toni yang ternyata menuju basemen. Kantor team pengaman gedung ini. Tidak jauh sebenarnya, hanya tinggal turun satu lantai saja.Sekelompok penjual rahasia perusahaan itu satu pun tidak ada yang berani menengadahkan wajah, semuanya tertunduk layu, bahkan satu-satunya wanita masih menangis saja. Kumintakan semua atasan pelaku untuk dipanggil, guna menyaksikan kelakuan bawahannya.Masing-masing dari para pelaku tersebut mengakui kesalahannya, dan juga meminta maaf kepada atasan mereka. Berarti bisa dianggap jika bahwa perbuatan mereka tanpa sepengetahuan ataupun sepertujuan atasan. Tetapi semua akan dicari tahu lewat interogasi intern ini, mengapa mereka bisa begitu mudah mendapatkan dokumen-dokumen penting tersebut. Dan Toni sibuk mendokumentasikannya, untuk dijadikan bukti di kemudian hari.Ruangan kantor team pengaman cukup luas ternyata. Dan mereka didudukan berbaris, dengan kursi m
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti