“Minta uang, Mas,” ucap Alda pada suaminya Arzan yang baru saja pulang. Lelaki penyabar itu menghela napas sesaat. Baru saja ia duduk, bukannya disuguhi air putih tapi malah penagihan lagi yang ia dapat. Arzan—ia berusia 30 tahun sedang merogoh dompet di kantong celananya. Namun, belum sempat ia membukanya, benda berwarna hitam lusuh telah dirampas oleh Alda. “Cuman segini?” Tatapan Alda tajam pada Arzan sambil memegang lembaran biru. “Dapatnya hanya segitu, karena tidak sesuai target.” Arzan lekas berlalu. Ia meletakkan sepatunya di belakang yang menyatu dengan dapur. Haus, sales rumah itu membuka kulkas dan mencari air dingin. Sejenak panas di tubuhnya mereda, tetapi hanya beberapa saat saja. “Mas, aku mau bayar utang kita di warung dan bayar SPP TK Sasi. Segini ya nombokin, donk.” Alda merengut. Wanita berusia 25 tahun itu tak terima, sebab Arzan berjanji membawa uang lebih hari ini. “Tahu, bayar yang penting-penting saja dulu, ya, Dek. Besok, Mas, usahakan bawa uang lagi.
Beruntung Pak RT lewat di depan rumah Arzan tepat waktu, debt collector itu pun mundur ketika hampir tinjunya mengenai wajah pemilik rumah. Mereka pulang tetapi sebelumnya meninggalkan pesan untuk lelaki itu. “Tiga hari lagi, duitnya harus ada kalau nggak anak lu dua-duanya gue jual sama germo biar jadi pelacur.” Setelahnya mereka benar-benar pergi.Arzan menahan sesak di dadanya. Ia menutup pintu rumah dengan rapat dan tubuhnya luruh di lantai. Dari mana ia harus mencari uang angsuran senilai pokok ditambah denda yang hampir menembus angka dua juta rupiah. Dirinya masih kesulitan menjual rumah. “Alda, sebenarnya uang itu untuk apa?” Arzan menyugar rambutnya yang kering. Setelah mengunci pintu lelaki itu mandi dan mengguyur diri dengan air dingin sebanyak-banyaknya. Hal demikian penting agar saat Alda pulang nanti ia tak melayangkan tangan dengan mudah. Meski selama menikah ia tak pernah melakukan kekerasan apalagi bentakan pada tiga perempuan yang menghiasi hidupnya. Hari sudah m
“Umur kamu berapa?” tanya Violetta. “30 tahun Mbak.”“Saya 42 tahun, bebas panggil aja Vio sama seperti yang lain, ya.” Perempuan itu tersenyum lagi. “Oh, gitu, saya panggil Tante Vio aja kalau gitu.” “Ketuaan, Mas, saya belum keriput dan ubanan, saya nggak kalah cantik sama ABG zaman sekarang.” Vio tak suka disebut tua karena ia rajin perawatan. “Maaf, kalau begitu, saya panggil Mbak Vio aja. Ehm, jadi kita ke kantor sekarang, Mbak, untuk lihat rumah tipe 100, kantor teman saya maksudnya.”“Boleh, Mas.” “Panggil nama aja, Mbak, saya lebih muda.”Keduanya menuruni eskalator yang sama. Violet yang menggunakan heels agak takut hingga memegang tangan Arzan agar tak jatuh. Lelaki itu risih tapi tak bisa menghindar, ia butuh uang andai kata deal antara Violet dan temannya jadi. “Mbak, saya pakai motor, Mbak bisa pakai mobil dan ikuti saya dari belakang aja,” ujar Arzan ketika turun dari eskalator. “Saya nggak bawa mobil. Supir saya kayaknya lagi service di bengkel dan baliknya bebe
“Dari mana, Dek?” tanya Arzan ketika Alda baru pulang. “Biasa, Mas, cuci setrika di rumah orang,” jawab Alda tanpa rasa bersalah. Setelah ia tinggalkan dua anaknya tanpa pengawasan. “Mending nggak usah kerja daripada anak kita terlantar. Kamu tahu Rere makan beras mentah di rumah.” “Ya, kalau aku nggak ikutan kerja, gimana kita mau dapat uang, Mas. Kecuali kamu bisa kasih aku minimal 15 juta tiap bulan. Aku jamin ada di rumah buat melayani kamu 24 jam dan anak-anak. Aku juga nggak harus capek-capek jadi babu di luar.” Alda membuka jaket yang menutupi tubuhnya. Di dalam jaket ia kenakan baju u can see dan jens ketat. Arzan tak mudah dibohongi begitu saja. Sebab pada umumnya orang mencuci baju akan menggunakan daster.“Jujur kamu sama, Mas, dari mana? Baju kamu itu bukan tanda kamu habis cuci setrika. Nggak ada aroma sabun sama sekali.” “Yah, Mas, jangan asal ngomong. Emang mau kamu orang menilai jadi suami gak becus gara-gara istrinya dasteran terus. Kalau aku cantik gini orang ju
Alda mengompres wajah Arzan yang lebam dengan air hangat. Tidak hanya itu saja, perut suaminya juga kebiruan kearena bekas tendangan. Sakit. Tepatnya di bagian hati terdalam lelaki dua anak tersebut. Istrinya tidak bisa menjaga pesan dengan baik. Bukan mudah mencari uang dua juta dalam waktu singkat. “Mas, kita ke bidan terdekat, ya, aku takut lihat kamu begini,” ucap Alda. Ada rasa sesal di dalam hatinya. Uang dua juta itu juga ia gunakan untuk hal mendesak juga. Arzan tidak menjawab, ia bangkit bahkan menepis pertolongan istrinya. Lelaki itu masih marah, tapi tak bisa berbicara. Sakit di urat perut menjalar sampai ke bibir. Ketika minum air putih saja terasa sekali pedihnya. “Mas, maafin, aku, ya. Uangnya aku pakai buat kirim ke orang tua di kampung.” Alda menundukkan kepala. Arzan menggeleng. Kepercayaannya sudah dikhianati. Apakah istrinya tak bisa berdiskusi dulu padanya. Dia masihlah kepala keluarga walau tidak kaya. Lelaki yang mencintai Alda tanpa pamrih itu masuk ke kam
“Saya harus pulang, Mbak, anak sama istri saya menunggu di rumah.” Arzan menjauh sejenak. Tak baik di rumah berdua saja dengan perempuan yang tidak ada ikatan apa-apa dengannya. Takut terjerumus dalam hubungan terlarang. “Tunggu. Aku agak trauma hampir jatuh tadi. Bentar aja, please,” ucap Vio sambil memelas. “Ya sudah saya tunggu di luar saja.” Baru saja Arzan akan beranjak, Vio malah menjatuhkan kepala ke bahu lelaki tersebut. Entah apa rencana wanita licik itu kali ini. “Mbak,” ujar Arzan perlahan. Ia memikirkan Sasi dan Rere di rumah. “Aku capek, mungkin karena kurang istirahat. Tolong kalau kamu pulang kunci pintu aja dari luar dan bawa. Besok agak siang aja ke sini, aku ada rapat penting sama klien.” Dengan agak berat Vio mengangkat kepala. Kemudian ia berbaring di ranjang miliknya. Handuk yang menutupi tubuhnya agak tersingkap. Arzan pun lekas berpaling. “Mbak nggak apa-apa ditinggal sendirian?” Arzan yang sedang sakit pun tak tega melihat Vio sendirian. Tak menjawab, per
Alda menatap kepergian Arzan dengan lesu. Ia sadar selama ini sudah terlalu keras dengan suaminya. Namun, wanita dengan kulit putih tak sehat itu terpaksa melakukannya. Ia juga lelah mencari uang akhir-akhir ini. Selain untuk menutupi kebutuhan keluarga juga demi membayar utang-utangnya. Memang kebutuhan rumah tangga bukanlah tanggung jawab Alda. Tapi ia tak tega melihat dua anaknya merengek terus minta jajan. Dahulu kehidupan mereka sangat berkecukupan sampai hantaman ekonomi ditambah resesi datang tak ada habisnya. Dahulu Alda bersediah dinikahi Arzan karena lelaki itu berjanji akan bertanggung jawab penuh dengan semua kebutuhannya. Memang ditepati dan suaminya sosok sangat sempurna di matanya. Hanya saja bagi Alda, Arzan bukanlah cinta pertamanya. Terdengar munafik tapi memang demikian adanya. Alda bersedia dinikahi oleh Arzan karena tidak adanya kepastian dari bekas pacarnya dulu. Lebih parahnya lagi saat sudah menikah mantan pacarnya justru datang memberikan angin surga dan te
Arzan menyetir mobil milik Vio. Sedangkan perempaun itu duduk di kursi belakang sambil memeriksa beberapa berkas. Hotel yang mereka tuju merupakan hotel bintang lima dengan layanan luxury dan bisa diprivat. Tentu saja yang datang rapat adalah orang-orang Vio. Sedan putih itu memasuki arena parkir mobil. Vio turun di bagian depan hotel dan pintu tergeser sendiri lalu ia berjalan masuk menuju lobi. Di sana ia duduk sebentar dan tak lama kemudian Nada datang menghampirinya. “Baru ini kita rapat di hotel mewah, Bu, biasanya juga di ruangan sendiri,” ucap Nada dengan pakaian cerah hari ini. “Demi totalitas dalam sandiwara kita. Modelan lelaki seperti Arzan itu susah sadar karena bucin dan dia harus kapok duluan. Sudah kamu cari tahu tentang istrinya itu. Saya, kok, nggak yakin ya dia perempuan baik-baik.” Vio melipat dua tangannya di dada. Sebelah kakinya bergerak-gerak menunggu kedatangan Arzan. “Sedang kami cari tahu, Bu, dan kalau informasinya sudah valid 1000% akan saya beritahu s
Bagian 28 Usai mandi dan tanpa berganti baju mereka semua dibawa oleh Vio ke satu tempat yang belum ia sebutkan sama sekali. Ide itu cukup gila tapi Vio yakin bisa menyelamatkan Sasi dan Rere dari tangan Alda juga Thomas. Daripada terlambat. “Panti asuhan?” gumam Arzan ketika mobil berhenti di satu tempat. Tak pernah terpikirkan olehnya sampai sejauh ini. “Hmm, gak terlalu buruk,” ucap Vio juga sebenarnya ragu. “Tapi mereka masih kecil.” “Yang di dalam panti asuhan anak kecil, kalau orang tua ya di panti jompo.” “Ya, saya tahu.” “Terus?” “Nggak bisa, orang tua mereka masih ada. Alda harus bertanggung jawab.”“Kamu mau Alda kasih makan mereka dari uang hasil jual diri?” “Apa bedanya sama saya yang dibesarkan sama orang tua pakai uang hasil penjualan ilegal.” “Iya, juga sih.” Vio mengetuk-ngetuk stir mobil dan diam sesaat. “Tapi beda, uang dari hasil melacur itu panasnya bukan main. Makanya aku nggak pernah ambil bagian dalam urusan jual beli manusia.” “Jadi papi benar-benar a
Arzan tak sudi lagi rasanya melihat Alda yang bugil demi lelaki lain. Semurahan itu ternyata wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Lelaki itu kemudian keluar dari rumah dan membawa serta Sasi serta Rere. Tak tega ia melihat dua anak kecil tanpa dosa hidup dengan seorang ular betina berkepala dua pula. “Arzan!” panggil Vio ketika ia membawa anak-anak itu ke dalam mobil. “Saya tahu, Mbak, kita bicarakan ini di dalam mobil,” ujar Arzan ketika membuka pintu. “Enak aja!” Vio menutup paksa pintu hingga suaranya berdentum. “Mbak, kita pergi dulu dari sini. Sebentar lagi tetangga pada datang dan kita bisa jadi bulan-bulanan masa. Ingat kita tinggal di Indonesia yang orangnya masih suka main hakim sendiri.” Vio diam sejenak dan akhirnya ia pun duduk lagi di kursi kemudi. Dengan cepat perempuan itu menyetir dan memutar mobil serta membawa semua yang ada di dalam menjauh dari perumahan sederhana itu. “Oke, begini. Pertama aku udah cukup lelah jadi baby sitter kamu dan sekarang ka
Air shower mengguyur tubuh Vio dalam waktu yang lama. Perempuan itu lekas kembali ke apartemen dan tanpa basa-basi langsung membersihkan diri. Sialnya semakin air dingin mengguyur tubuhnya semakin ia ingat apa yang telah terjadi semalam. Obat itu tidak membuatnya lupa sama sekali. Hanya memberikan sensasi panas dari ujung rambut sampai kaki. Thomas benar-benar memanfaatkan kesempatan yang langka. “Sialan!” maki Vio entah yang keberapa kali. Ia sudah selesai mandi dan walau bagaiamanapun ia mengelak, kejadi tadi malam tidak akan bisa dibantah. “Semoga tidak ada yang bermain perasaan di antara kami berdua,” ucapnya ketika memilih baju tidur. Iya, mafia tersebut sedang tidak ingin pergi ke mana-mana. Tubuhnya lelah dan sisa-sisa obat masih terasa di dalam aliran darahnya. Vio bahkan tak mau tahu Arzan sedang melakukan apa. Yang kini ia lakukan hanya memandang foto Reza di kamar sampai matanya terpejam kembali. Ketukan di pintu kamar membuat Vio terbangun. Ia melirik jam di dinding d
Vio benar-benar sengaja membuat dirinya mabuk. Meski sudah dilarang minum oleh Arzan juga Thomas. Sedangkan Karel sudah pulang terlebih dahulu ketika acara puncak pembukaan bar dimulai. Seorang penyanyi jazz kenamaan Indonesia yang sedang hits mengisi acara bersama seorang DJ professional. Malam semakin larut tetapi semangat para tamu di dalam bar tak juga berhenti. Hentakan musik membuat orang-orang berjoget di lantai dansa walau tanpa saling mengenal. “Nggak mau ke sana?” tanya Thomas yang melirik arlojinya. “Nggak minat. Saya bukan ABG lagi disuruh joged-joged,” sahut Vio sambil cegukan. “Kamu Arzan, kenapa tidak coba menikmati hidup setelah capek ngojek demi makan keluarga.” Pertanyaan Thomas terkesan mencemooh. “Ah, ha ha, saya dari dulu tidak suka dengan musik seperti ini. Terlalu kencang dan membuat jantung berdebar.” “Ya, terus kenapa kamu mau datang?” Vio mulai mengerjapkan mata. Pandangannya mulai kabur. “Menemani Mbak, takut kalau perempuan datang sendiri ke bar.” “
Vio sedang mengemas diri di dalam kamar. Ia menepati janji untuk datang ke sebuah acara pembukaan bar bersama Arzan. Perempuan yang baru saja mengikalkan rambutnya itu sudah selesai dan terlihat cantik, terlepas dari profesinya sebagai mafia. Vio menggunakan parfum yang wanginya awet dan tahan lama. Selesai, kemudian ia berkaca sekali lagi memastika penampilannya memukau. Sebelum keluar kamar ia memandang foto dirinya dan Reza yang tersenyum cerah tanpa beban. “Gak terasa, aku udah lama tanpa kamu, Sayang. Aku kangen sama kamu.” Vio mengusap wajah Reza. Cinta pertama memang sulit untuk dilupakan, entah sampai kapan perempuan itu akan mencoba move on. Di dalam kamarnya Arzan juga sedang merapikan diri. Kemarin setelah pulang dari butiq ia langsung dibawa ke barber shop untuk menata diri sebagai pribadi yang baru. Hasilnya Vio memilihkan model rambut yang membuatnya terlihat sebagai anak orang kaya. “You ready?” Vio mengetuk kamar Arzan walau pintu terbuka lebar. “Iya, sudah.” Aga
“Kenapa harus ke sana lagi?” tanya Vio sambil menyetir. “Rindu sama anak-anak,” jawab Arzan sekenanya saja. “Anakmu itu bukan anakmu. Mereka, terutama Alda harus tahu diri.” Vio menekankan demikian. “Mereka masih anak kecil.” “Justru karena masih kecil harus diberi tahu secepatnya. Entar udah keburu besar masih panggil Papa, kan susah.” Arzan diam saja mendengar kata-kata Violetta. Benar memang, tapi rasanya ada hati kecilnya yang belum tega untuk melepaskan Sasi dan Rere. “Kenal Pak Thomas?” Arzan menoleh ketika Vio bertanya demikian. Bagaimana ia tak kenal, dari kecil selalu bertemu. “Kenal. Mbak kenal?” “Yap, aku salah satu orangnya.” “Berarti Mbak salah satu orang suruhan Papi?” “Tepat sekali, sudahlah lebih baik aku jujur aja daripada ditutup-tutupi.” Lega sudah, hilang beban di hati Vio. “Jadi semua ini rencana Papi?” “Hmm, biar kamu gak terus-terusan hidup miskin. Emang enak jadi orang miskin? Kok bisa, kok, bisa, sih? Ya, walau kita nggak pernah ketemu dulu, tapi
Pagi hari menjelma, atau tepatnya hari hampir siang baru Vio bangun. Sedangkan Arzan tidak ada di apartemen. “Ke mana dia,” gumam Vio sambil menguap. Dapur sudah bersih dari sisa makanan dan baju kotor juga sudah tercuci dengan baik. “Kabur? Mau kabur ke mana, aku kejar sampai ke ujung dunia. Ah, anak papi itu bikin pusing aja.” Vio mengambil ponsel dan mendial nomor lelaki itu. Tersambung tapi tidak diangkat.“Terserah deh, udah tua juga, ngapain harus dijagain 24 jam. Punya akal ya harusnya dipakai mikir.” Wanita dengan rambut pendek sebahu tersebut kemudian mandi dan membersihkan diri, tak lupa memesan makanan siap saji. Seharian ini ia istirahat di apartemen saja. Vio tak ke mana-mana sebab tubuhnya perlu istirahat. Termasuk ia tak ingin diganggu oleh Nada yang kemarin dikirimnya kembali ke Italia. “Tapi ke mana, kamu, kan, nggak punya uang. Nanti malah ngemis lagi di jalan atau jadi ojeg online. Nggak, nggak, Bos Baron bisa marah sama aku.” Vio mengigit ponselnya. Lekas saja
Vio terus menyetir mobil dan kali ini mereka berdua tidak menuju rumah yang dibeli tempo hari dan sudah Arzan ketahui. Namun, wanita dengan rambut hitam legam itu menuju apartement di tengah kota. Iya, Vio mengerti lingkungan di Indonesia tidak akan menolerir tinggal serumah tanpa menikah. “Kamu udah makan?” tanya Vio ketika Arzan melihat ke pinggir jalan terus-terusan. “Sudah,” jawab Arzan singkat. “Makan angin atau makan hati?” “Keduanya.” “Oke, kita makan di rumah aja, aku lagi malas mampir ke mana-mana.” Perempuan dengan mata tajam itu terus berkendara hingga memasuki lingkungan apartement elit dengan harga hunian yang fantastis.“Kita ke mana?” “Ke tempat yang aman, tanpa campur tangan warga. Di sini nggak ada RT RW atau kepala desa, siapa lo siapa gue.” Untuk mencari parkiran butuh waktu sekitar 15 menit dan setelahnya mereka keluar bersama, lalu menaiki lift dan menuju lantai di mana unit Vio berada. “Kamu nggak terlihat canggung dengan semua ini.” Sengaja Vio memancing
Urusan Vio dan Alda telah selesai. Hampir sehari semalam mereka ada di tempat khusus itu dengan pengawalan Thomas sebagai tangan kanan Tuan Baron. Keduanya terlihat letih usai mengurus urusan yang dilimpahkan secara mendadak. “Pulang dulu, Nad, saya capek, suruh antar anak buah Thomas saja.” Vio menguap. Ia luput dari tidur bahkan istirahat sejenak. “Baik, Bu, tapi urusan Pak Arzan gimana. Pasti mereka sudah …” Nada menjeda ucapannya. “Ya ampun, iya, ya. Kira-kira anak itu di mana sekarang?” Vio masuk dalam sebuah mobil yang disetir oleh anak buah Thomas, Alda turut duduk di sebelahnya. “Saya telpon orang saya dulu.” Nada pun tak tahan lagi untuk menguap cukup besar. Ia pun mendengar penjelasan dari orang yang ia pinta untuk mengawasi Arzan serta Alda. Setelah jawaban didapat panggilan ditutup. “Pak Arzan keluar dari rumah sakit lebih dari 24 jam lalu dan belum kembali sampai sekarang. Alda panik nggak tahu harus apa dan mungkin beliau kembali ke rumah yang kecil mungil dan sempi