“Hari ini kita sekolah?”
Yana dan Naya terdiam kaget dengan kedua mata membulat lebar.“Sungguh?” Derren berseru.Ia tak kalah terkejut dengan kedua adik perempuannya.Marsha mengangguk.“Seragam kalian ada di dalam lemari. Setelah sarapan, kalian bisa mandi dan langsung bersiap.”Marsha tersenyum lembut melihat wajah semringah Yana dan Naya.“Kami akan mengantar kalian.”Dengan cepat Naya dan Yana menyelesaikan sarapannya dan segera berlari ke dalam kamar mereka–bersiap pergi ke sekolah.Derren menatap lurus ke arah Marsha. Hanya diam, tak mengucapkan sepatah kata pun sampai Marsha sadar dengan pandangan itu.“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Marsha.“Kamu baru keluar dari rumah sakit. Apa tidak masalah pergi ke luar? Kepalamu pasti masih pusing, kan?”Derren mencoba bersikap perhatian. Walau semua sikap itu terasa sangat sulit ia lakukan karena sikap alaminya“Suamimu sangat perhatian.” “Ya, Bu Marsha. Kamu pasti bahagia hidup dengannya.” Marsha menggelengkan kepalanya. Mencoba menghapus semua pemikiran itu dari kepalanya. Setelah memberikan bekal buatan Derren pada rekan kerjanya, mereka semua tak berhenti menyanjung Derren di depannya. Membuatnya pening seharian. “Kenapa kamu?” tanya Derren, melihat tingkah aneh Marsha. Marsha segera sadar dari lamunannya. Ia menatap Derren yang duduk di sampingnya–join nonton TV. “Kapan kamu pulang?” ucapnya, sedikit terkejut. “Baru saja. Sudah makan malam?” Marsha melihat ke arah jarum jam sebelum ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak makan malam.” Derren menatapnya tajam. “Kamu lupa kata Dokter Tomo?" Marsha melirik ambigu dan menggeleng. “Tidak. Tapi tadi sore aku sudah makan beberapa potong roti isi. Sekarang aku kenyang.” Derren mengangguk. Ia tak lagi mempermasalahkannya dan melihat pon
Derren terdiam. Bima dapat melihat kegugupan mulai menyerang pemuda itu. “Tidak sopan. Aku bertanya padamu.” Bima berjalan mendekat. “Kamu tidak mendengarnya?” “Maaf Tuan Bima. Saya mendengarnya.” “Lalu, apa jawabannya?” Derren melirik dua sepeda yang masih di bungkus rapi, di samping Bima. Bima mengikuti pandangan itu. “Itu milikmu?” Derren mengangguk pelan. “Marsha membelinya untuk kedua adik perempuan saya. Mereka baru masuk sekolah hari ini.” Derren menatap sungkan. “Dan Marsha salah memberikan alamat pengirimannya. Jadi saya datang untuk mengambilnya agar mereka bisa menggunakannya berangkat sekolah hari ini.” “Kamu akan membawanya sendiri? Di mana Marsha?" Bima terus bertanya dengan nada ketus. Tapi tampaknya ia tak berniat untuk mengusirnya. “Marsha masih tidur, Tuan. Ia begadang semalaman karena pekerjaan.” Bima mempersilahkan Derren mengambil sepeda itu. “
”Ayah kan bucin!” Bima membulatkan matanya. Ia menatap tajam putri bungsunya. “Marsha, jangan kurang ajar!” Marsha memutar bola matanya malas–tak menanggapi. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mengambil barang-barangnya sebelum kembali berjalan keluar. Ia menyalami tangan Bima dan izin berangkat kerja. “Aku berangkat.” “Bukannya kamu masuk siang?” “Aku tukar shift dengan teman. Aku akan pulang sore agar bisa menemani Ayah dan anak-anak nanti.” Bima mengangguk paham. “Berhati-hatilah ketika mengemudi.” Marsha hanya melambaikan tangannya dan meninggalkan Bima. Ia menatap Ayahnya yang berdiri di teras dengan tatapan menyelidik. “Ia pasti memiliki rencana.” Marsha tersenyum pada Bima sebelum ia masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah. Bima menghela napas penat. Senyuman manisnya hilang dalam sekejap. “Mereka sangat gaduh,” cemoohnya. Bima berjalan masuk ke dalam rumah dan membongkar tasnya. Ia mengeluarkan perkakas. Banyak kamera kecil yang telah ia siapkan. “Cari
Pak Hans bangun dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah belati dari dalam jas kemejanya. Ia menodongkan ujung belatinya pada Anis. "Padahal tadinya saya berniat melepaskan Anda jika Anda pura-pura bodoh." Anis mempertajam penglihatannya. Ia pun telah menodongkan pistol pada Pak Hans. "Namun tampaknya, kita tidak bisa mempertahankan tali persaudaraan ini, ya?!" Anis tersenyum miring dan .... DOR! Derren terdiam. Baru 5 menit sejak ia keluar dari lift, suara tembakan tiba-tiba berseru di seluruh gedung. "Apa yang terjadi?" Banyak orang berlalu lalang di sekitar Derren dengan wajah panik. "Anda tidak perlu menghiraukan masalah ini, Tuan. Kita serahkan pada tim keamanan sekolah saja." Seorang lelaki muda yang kemarin ia temui, kini telah berdiri di depannya dengan tatapan dingin. Derren memicingkan matanya. "Jangan menyembunyikan rasa gugupmu di depan orang yang mudah peka. Kamu akan terlihat seperti orang bodoh, Nak!" Marco menatapnya dengan gusar. Kini ia tak lagi menyembuny
Marsha menatap lurus pada Derren beberapa saat. "Kamu tidak percaya padaku?" Derren berpikir sejenak sebelum ia menggeleng pelan. Marsha berbalik dan melanjutkan langkahnya. "Aku tidak menerima pasien atas namanya. Kamu bisa mencari di mana ia, kan?" Marsha melirik suaminya tajam. "Meja resepsionis terbuka untuk umum!" Setelah mengatakan hal tersebut, Marsha meninggalkan Derren. Menghela napas kasar, Derren segera mengejar istrinya. "Tunggu aku. Kita pulang bersama agar Ayah Mertua tidak curiga." Marsha menoleh. Ia melihat Derren yang berjalan di sampingnya. "Curiga tentang apa?" "Pernikahan kita?" Derren menjawab dengan wajah ambigu. Wanita muda itu tersenyum simpul. “Ayahku bukan orang bodoh. Kita memang berhasil menikah kontrak, tapi hal itu tak akan bisa mengelabuinya." Derren mengerutkan keningnya tak paham. "Lalu alasanmu menikah denganku?"
Bima makan dengan tenang. Ia duduk di sebelah Marsha, sementara Derren duduk di depannya. "Kenapa makananku tidak pedas?" Marsha menatap Derren dengan tatapan kecewa. "Katamu, Tuan Bima tidak bisa makan pedas! Ya sudah, aku tidak menambahkan cabai di dalamnya," jawab Derren, santai. Walau tidak terlalu senang karena makanannya tidak pedas, namun ia tetap makan dengan lahap. Masakan Derren memang pantas untuk di akui. Tak heran ia menjadi kepala koki dari Hotel Bintang 5 yang ternama. "Kamu sangat pandai memasak." Bima mengelap mulutnya dengan tisu dan menatap Derren dengan pandangan sengit. "Kamu bekerja di warung makan mana?" ucapnya, sedikit mencemooh. Derren melirik Marsha. Ia melihat wanita itu berhenti makan dan menatap Ayahnya dengan tatapan tak kalah sengit. "Apa maksud Ayah?" Marsha terlihat tak senang. Bima menoleh padanya dan memelototkan mata. "Telan dul
"Bisakah kamu bersikap lebih normal?" Rama–Dokter Spesialis Dalam–menatap Marsha yang tak henti-hentinya tersenyum dengan pandangan aneh. "Hentikan tawa aneh itu, Marsha! Kita sedang dalam operasi penting! Jangan melakukan kesalahan karena kamu membawa masalah luar, ke dalam ruang operasi!" Namun yang di tegur tak kunjung peka. Ia terus tersenyum malu-malu dan melakukan pekerjaannya tanpa terganggu. Suster Senior–Valerie, Lintang dan Bagas yang mendampingi operasi mereka hanya menggelengkan kepalanya ampun melihat keduanya bertengkar. "Anda tidak perlu mempermasalahkan hal itu, Dokter Rama. Bu Marsha melakukan operasinya dengan baik walau wajahnya begitu," ucap Jia–Dokter Anestesi. Rama membuang napas kasar dan kembali melihat organ dalam yang harus segera ia jahit. Sayangnya, ia melewatkan detik bagiannya dan Marsha telah mengerjakannya tanpa banyak berbicara. "Pasienmu bisa meninggal walau kita hanya k
"Apa yang kamu bicarakan?" Zahra menatap Tomo dengan tatapan sengit. Beberapa perawat yang melihatnya hanya terdiam dengan tatapan takut. Keduanya memang tidak akrab, karena Tomo sering memancing emosi Zahra. "Sekali lagi aku dengar kamu berbicara seperti itu tentang jabatan! Aku akan benar-benar mengeluarkan–“ "Mama." Zahra menoleh dan melihat seorang anak perempuan berusia 4 tahun, berlari ke arahnya dengan senyuman lebar. Amarah Zahra langsung luntur. Ia segera bangun dari duduknya dan memeluk putri kecilnya. "Kamu datang bersama siapa, Tiya?" Gadis kecil itu menunjuk ke arah seorang lelaki tampan bersetelan jas hitam, berjalan mendekati mereka dengan wibawa yang kuat. "Tiya, Ayah sudah bilang, kan! Jangan lari-lari di tempat ramai. Bagaimana kalau Ayah kehilanganmu?" Dean–lelaki berusia 28 tahun yang menyandang status suami Zahra–tampak marah dengan cara yang menggemaska
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat