Kedua tangan Marsha menggenggam erat. Tatapan kesal yang ia lemparkan pada Derren terlihat meyakinkan. Di tambah sorot mata yang penuh dendam itu, Derren merasakan firasat uruk.
“Kamu tidak boleh bertindak gegabah.” Gama menyela.Kedua manik mata Marsha tertuju padanya dengan cepat. “Kenapa? Ia sudah membunuh anakku. Nyawa dengan nyawa. Itulah sepantasnya.”Gama menghela napas berat. Ia mengambil ponselnya dan kembali memutar videonya.“Jangan salah sasaran.” Gama menatap taja,. “Apa kamu yakin ia Lea? Bagiku sangat berbeda. Tinggi badan dan caranya berjalan. Mereka bukan orang yang sama.”“Kamu benar, Gama. Beberapa hari yang lalu aku sudah memastikan wanita itu tidak ada di kota sampai detik ini.” Derren menatap kedua lawan bicara yang menatap intens. “Aku mengirim seseorang untuk mengawasinya. Walau Lea terlihat berubah, tapi sikap sadis adalah sikap bawaan dari lahirnya. Aku tak bisa percaya dengannya begitu saja.”Derr“Marsha, jangan tinggalkan aku!” Derren berusaha mengejar langkah cepat istrinya memasuki kafe. Ia menghilang di telan banyaknya pelanggan yang antre di depan kasir untuk memesan minuman. Derren yang kehilangan wanita, segera menyisir setiap sudut ruangan dengan menggunakan penglihatannya. Karena ini tempat umum dan bukan hutan, ia tak mungkin berteriak seperti mencari orang hilang di sepanjang jalan, bukan? Satu-satunya yang bisa ia andalkan hanya penglihatannya yang ter-fokuskan. “Ke mana ia pergi?” Derren naik ke lantai dua. Sementara orang yang tengah ia cari malah berada di salah satu bangku bagian tengah kafe. Ia yang mengenakan pakaian tidur, harusnya menjadi clue yang mudah untuk Derren. Namun karena banyak pengunjung, mungkin tubuh Marsha tenggelam di antaranya. “Marsha? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Dena, menatap putri tunggal yang ia keluarkan dari rahimnya—menatap Dena dengan tatapan bengis. “Aku melihat Danie
“Derren.” Bima melambaikan tangan meminta menantu bungsunya mendekat. Derren yang baru keluar dari kamar Marsha setelah memindahkan istrinya ke tempat tidur, kini telah menyiapkan mental untuk di sidang Ayah Mertuanya. Ia duduk di samping Bima yang duduk di sofa ruang tengah sambil menatap ke arah taman samping yang di terangi lampu bulat berwarna kuning yang membuatnya terlihat menarik. “Apa yang di lakukan Marsha hari ini? Apa ada masalah yang bisa aku bantu untuknya?” Bima mengembuskan napas lembut. Kekhawatiran lelaki itu terlihat tulus. Wajahnya yang keriput sedikit memberengut saat tahu ia tak pernah membantu Marsha akhir-akhir ini. “Semakin bertambahnya usiaku, anak-anakku semakin tak mau menyulitkan Ayah dan Ibu mereka. Mereka berusaha menyelesaikan semua masalah mereka sendiri walau harus mematahkan mental dan hati mereka.” Bima kembali membuang napas lembut. “Aku yakin tak ada pikiran untuk meminta bantuan dariku.
Klap .... Bima meninggalkan rumah Marsha dengan di kawal lelaki yang tak pernah di tahu oleh Derren. Ini pertama kalinya ia melihat Bima di kawal oleh seseorang—terutama dengan sangat ketat. “Hati-hati di jalan, Ayah.” Derren melambai dan melihat mobil yang di tumpangi Bima meninggalkan tempat. Adri, lelaki berusia 35 tahun yang menjabat sebagai sekretaris Bima, menatap Tuannya dengan tatapan aneh. “Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Bima melihat wajah sekretarisnya yang gelisah. “Saya ingin bertanya, Tuan Besar.” Adri yang duduk di sebelah sopir menoleh pada Bima yang duduk tepat di belakangnya. “Apakah lelaki yang saya temui tadi adalah suami Nona Marsha?” Bima mengangguk kecil. “Kenapa? Kamu merasa mengenalnya?” Ia memalingkan wajah dan menatap keluar jendela dengan menopang dagu pada bingkai kaca. “Bukan hanya kamu, seluruh orang di negara ini pasti mengetahuinya.” Tampaknya hal yang di takutkan Ad
“Akh ... bisa gila kalau seperti ini terus.” Diana menatap Dean yang diam dengan tatapan pasrah. Mereka terkurung dalam satu kamar yang cukup besar dengan fasilitas yang nyaman. Namun keduanya tak bisa keluar sebab pintu keluar kamar tersebut di jaga oleh orang-orang yang entah dari pihak mana. “Bagaimana kalau kita kabur saja? Kita bisa menggunakan koneksi kita untuk keluar dari tempat ini, kan?” Diana menatap Dean. Tatapan tajam nan menusuk itu terlihat mulai putus asa. “Jangan bertindak gegabah. Kau kira keluarga istriku akan membiarkan kita pergi dari sini dengan selamat? Seandainya kita memang bisa keluar dar sini, itu bukan karena kita berhasil melarikan diri. Namun karena pihak mereka yang melepaskan kita,” papar Dean. Diana mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Kalau begitu lakukan sesuatu pada keluarga istrimu itu. Bukannya kamu orang yang cukup berpengaruh di ko—“ “Kamu kira aku apa?” Dean menatap tajam. Wanita yan
Marsha duduk diam di samping ranjang Derren. Ia menatap Gama yang terus mondar-mandir di sisi seberang dari Marsha duduk dengan wajah yang tak kalah resah. “Gama, tidak bisakah kamu diam? Aku pusing melihatmu seperti itu,” omel Marsha mengembuskan napas kasar berulang kali. “Ada orang yang mau membunuh suamimu. Dan kenapa kamu sangat tenang seakan sudah tahu siapa yang melakukannya?” sergah gama, mendekati Marsha dan meminta penjelasan. Wanita itu hanya menghela napas panjang dan mengacuhkan Gama yang terus menatapnya dengan tatapan menuntut. “Jangan begitu, gama.” Zahra masuk ke dalam ruangan dengan beberapa perawat. “Karena kamu, adikku yang belum sembuh jadi tidak nyaman, kan?!” Wanita berhijab itu menghela napas kasar. Sementara Gama yang mendengar omelan itu hanya memalingkan wajah dan memilih duduk di sofa—sekedar memberikan ruang untuk para perawat melakukan tugasnya. “Keadaannya sudah stabil.” Marsha menjelaskan den
Brak! Marsha menatap ke dalam ruangan. Ia melihat Diana tengah di tenangkan beberapa perawat. Sementara lelaki yang menerobos masuk dan melakukan tindakan tak senonoh sudah di amankan oleh pihak keamanan. “Marsha.” Diana menatap murka. Seakan ia sedang menuduh wanita itu telah melakukan tindakan keji. Namun Marsha yang melihat itu hanya mengerutkan kening dan mengalihkan tatapannya pada lelaki berusia 40 tahunan yang menjadi tersangka. “Bawa ia keluar dan panggil pihak berwajib untuk menanganinya.” Marsha memerintahkan. Pihak keamanan segera mengangguk dan melaksanakan perintah Marsha dengan patuh. “Baik, Diretur.” Marsha mendekati Dian adan menatapnya lekat. Ia memastikan apakah wanita itu memiliki luka atau tidak di tubuhnya. “Ia mengalami kedera d bagian belakang lehernya, Prof.” Valerie menjelaskan dengan cekatan. Marsha berjalan lebih dekat dengan Diana dan menarik bahu wanita itu agar ia
“Katakan!” Derren dan Gama menatap Marsha dengan tatapan intens. Mereka sudah menunggu lebih dari satu jam agar wanita itu berbicara tentang kebenaran yang membuat keduanya bisa mati penasaran. “Kalau sekarang kamu sudah boleh jujur, kan? Jam kontrol dokter sudah lewat 15 menit yang lalu. Sudah tidak ada orang yang akan datang ke tempat ini untuk menjenguk Derren. Tak akan ada orang yang bisa menguping pembicaraanmu,” ujar Gama cukup gemas melihat bungkamnya Marsha. Wanita itu melirik kedua lelaki yang ada di depannya dengan tatapan penuh kepuasan. “Pembunuh yang di samarkan. Aku melihat salah satu anak buah kalian yang menghilang dan di gantikan oleh orang lain.” “Daniel menemukan ini i gudang penyimpanan barang lantai satu.” Marsha menunjukkan sebuah foto seorang lelaki tanpa busana—hanya mengenakan pakaian dalam—sedang meringkuk kedinginan sambil memeluk dirinya. Derren menatap istrinya yang memperlihatkan foto tak senon
“Jadi mau bagaimana sekarang?” Marsha memandang Derren dan Gama yang berpikir keras untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa mereka dengan wajah yang sangat serius. Namun tampaknya kedua lelaki itu menunggu penyelesaian dari Marsha yang sudah sering mendalami permasalahan seperti ini. Ya, Marsha adalah orang yang tepat. Di bandingkan Derren yang notabenya seorang tentara yang lebih suka memenggal langsung kepala musuhnya atau Gama yang lebih suka menyiksa langsung anak buah musuhnya dan meledakkan markas mereka, Marsha adalah orang yang paling normal untuk menangkap penjahat agar tetap dalam kondisi hidup dan dapat di adili dengan baik di pengadilan. “Bagaimana kalau kamu memberikan kami saran, Marsha? Aku yakin kamu jauh lebih bijak dari kami berdua hehe ...,” cicit Gama. Marsha memutar bola matanya malas dan mengambil dokumen di dalam tasnya. “Aku masih memiliki banyak sekali pekerjaan karena libur 1 minggu dari rumah sakit. B
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat