"Nggak! Abang tahu kau wanita yang mandiri," aku menjeda ucapanku. "Tapi untuk ke depannya kau jangan lupa sudah memiliki sandaran!"
Aku memperingatinya dengan serius, aku mau dia membutuhkan aku dalam setiap situasi. Bukan bermaksud menginginkannya menjadi wanita manja, aku hanya ingin lebih berguna sebagai suami."Iya, Bang! Kau sandaranku dan anak-anak sekarang," balasnya menatapku. Terlihat harapan yang besar di sana.Setelah satu jam, kami berdua selesai membereskan barang yang berserakan di rumah. Mulai dari dapur, ruang tengah dan ruang tamu sampai ke teras. Semua sudah kami pel dengan bersih, perabot pun sudah kembali ketempat semula.Baru saja aku mau mengantarkan alat pel ke belakang, tangis Yura terdengar."Ibu ... hiks! Ibu di mana?" rengeknya terdengar kencang dari dalam kamar. Semakin lama semakin kencang saja suaranya memanggil ibunya.Kinanti segera berlari mengejar Yura hendak menenangkan bocah itu, tanpa peduli padaku. "Ibu di sini, Ra!" teriaknya.Ia berlari secepat kilat, aku yang sudah memutar badan bahkan tidak melihat punggungnya lagi. Sudah hilang ditelan daun pintu. Aku menggelengkan kepala dan melanjutkan langkah mengantar alat pel ke belakang."Sudah selesai," gumamku sambil berlalu menuju kamarku kembali. Saat di ruang tengah aku berpapasan dengan ibu, wajahnya terlihat sangat tidak baik."Itu anak tirimu kenapa? Ganggu orang istirahat saja!" sarkasnya."Maaf ibu! Sekarang Yura sudah tidak menangis lagi, ibu bisa tidur kembali," bujukku pada wanita yang telah melahirkan aku itu.Tangis Yura sudah tidak terdengar, pasti Kinanti sudah berhasil menenangkannya."Sudah hilang kantuk Ibu!" Suaranya terdengar marah. Ia berjalan menuju dapur, mungkin ingin membuat minuman, entahlah aku hanya menebak.Aku menahan agar tidak berkata kasar pada ibu. Aku pun melanjutkan berjalan menuju kamarku, baru sampai di depan kamar aku berpapasan dengan Kinanti. Ia terlihat tergesa-gesa."Abang! Aku mau ambil minum, Yura haus katanya," jelas Kinanti sebelum aku bertanya.Ia hendak melangkah, namun aku menghentikannya. "Biar Abang saja yang ambilkan."Aku teringat keberadaan ibu di dapur, lebih baik aku yang mengambilkan air dari pada ibu bicara yang tidak-tidak pada isteriku. "Kau kembali ke kamar, ya!"Kinanti mengangguk lalu kembali ke kamar, aku pun berbalik ke arah dapur. Sampai di dapur aku melihat ibu sedang duduk di meja makan dengan segelas teh di depannya. Aku mendekati rak gelas dan mengambil satu.Ibu menyadari kehadiranku, ia menatapku sambil menyerngitkan dahi. "Punya isteri kok pemalas sekali! Tidak mau melayani suami!"Aku merasa heran dengan ucapan ibu. Kinanti sudah membersihkan rumah sampai berkilat, kenapa masih di bilang pemalas. Aku membalas tatapan ibu dengan tatapan heran."Maksud, Ibu?" salakku, suaraku mulai meninggi. Dari tadi aku melihat wajah jutek ibu, hilang juga kesabaranku."Ya ... itu, mau minum saja kau harus ambil sendiri. Apa salahnya si Kinanti itu yang mengambilkan kau minum?" Ibu memonyongkan bibir ke arah gelas yang aku pegang.Rupanya ibu mengira aku mengambil minum untuk diriku sendiri. Ia tidak tahu aku mau ambilkan minum untuk Yura, tapi ini lebih baik, dari pada ibu semakin banyak omong."Aku sudah di luar juga, Bu! Lagian ke dapur cuma beberapa langkah, aku tidak keberatan," jawabku mulai melunak. Berharap tidak ada lagi yang ibu permasalahkan.Ibu berdiri lalu melangkah, ia menatapku serius. "Jangan sampai anak Kinanti mengganggu tidur Ibu lagi," ia memperingati ku.Mungkin ibu lelah setelah seharian ada hajatan di rumah, setahuku ibu biasa tidur pukul sebelas dan sekarang baru pukul sembilan. Ayah dan adikku yang bernama Neysa juga sudah tidur, sepertinya mereka semua kelelahan mengurus hajatan pernikahanku seharian ini.Semenjak bekerja di bengkel Mang Ardhan aku memang jarang pulang, aku sungguh tidak menyangka sejauh ini ibu berubah padaku. Mungkin ia merasa Kinanti saingannya sekarang. Padahal ia ibuku, tidak akan aku sandingkan posisinya dengan wanita mana pun di hatiku.Aku menarik nafas dalam, belum apa-apa cobaan sudah menghampiri rumah tangga kami. Tapi aku tidak akan biarkan Kinanti menjadi pemeran utama di senetron ikan terbang. Sebisanya aku akan melindunginya dari siapa pun yang berniat menyakiti isteriku itu.Aku kembali ke kamar, membawa segelas air untuk Yura. Aku memberikannya pada Kinanti bukan pada anak itu langsung. "Makasih ya, Bang!""Makasih ya, Ayah!" ucap Yura dengan senyum mengembang. setelah minum, anak itu kembali tertidur di pangkuan Kinanti."Iya!" jawabku singkat."Bagaimana sekarang, Bang? Apa kita langsung pulang?" tanya Kinanti sambil melihat jam di ponselnya.Aku pun melihat jam di ponselku, baru menunjukkan pukul sembilan. Perjalanan ke kampung Kinanti bisa dua jam, untuk anak-anak angin malam tidak baik. Aku mutuskan mengubah rencana awal."Kita pulang besok pagi aja, kasihan kamu kalau harus kelelahan. Lagian kita hanya pulang dengan motor, pasti sempit banget nanti," jawabku setelah memikirkannya."Iya, Bang! Besok pagi aja," balasnya."Besok kita sewa ojek untuk anak-anak, biar tidak terlalu sempit. Kita beriringan di jalan," putusku setelah sejenak memikirkannya.Kinanti ikut saja dengan perkataanku, sama sekali tidak ada bantahan dari wanitaku itu. Biarlah malam ini senjataku menganggur dulu. Aku bisa menahannya.Sekarang aku juga ingin merebahkan badanku, tapi dimana? Kasur sudah dipenuhi oleh Mixi dan Yura, bahkan Kinanti saja hanya muat untuk duduk sambil membelai kepala Yura di pahanya. Di lantai tidak ada tikar, pasti dingin sekali. Aku pun berpikir apakah aku alas dengan selimut saja atau aku gelar tikar yang tadi kami bereskan? mana yang lebih hangat?Ternyata Kinanti menyadari kegelisahan ku, ia pun bertanya, "Abang mau tidur? Biar aku pindahkan Mixi dan Yura ke bawah, Bang!" ucapnya sambil berbisik, mungkin ia tidak ingin Yura terbangun kembali."Abang cuma lagi mikirin tikar, tadi kita letakkan di mana ya?""Rasanya di gudang belakang, Bang!" jawabnya spontan.Sebenarnya bukan letak tikar yang aku pikirkan, tapi ibu yang pagi nanti bisa ngomel karena tikarnya dipakai. Ia memang sudah dari awal tidak suka Kinanti dan anak-anak, rasanya aku tidak ingin memakai barang itu. Mungkin aku yang terlalu berperasangka buruk pada ibuku sendiri. Ya Allah maafkan hamba.Aku memeriksa lemari, aku ingat masih ada seprei yang bisa aku gunakan sebagai alas. Dari pada memakai tikar ibu, lebih baik aku memakai barang pribadiku saja. Aku pun dengan santai membentangkannya di lantai."Abang, serius pakai seperei itu saja? Apa nggak dingin?""Kan ada kamu yang menghangatkan, sini tidur di bawah," ajakku pada bidadariku.Aku tidak ingin dia tidur duduk seperti itu. Yura sudah terlelap lebih baik tidur di bawah berbantalkan lenganku saja.Kinanti pun meletakkan kepala Yura dengan hati-hati, ia turun ke lantai dan tidur berbantalkan lenganku, sedangkan aku sendiri berbantalkan kain yang aku gulung."Nggak apa-apakan begini, Sayang?" bisikku dengan genit tepat di telinganya, "Kalau mau apa-apa besok ya!"Aku terbangun mendengar kehebohan di luar kamar. Aku terkejut karena ada rambut panjang tepat di depan wajahku. Aku mencium aromanya yang wangi. Seketika ingatanku tentang pernikahan kemaren muncul."Oh ... iya! Inikan, Kinanti, isteriku," aku membatin merasa lucu, baru bangun masih linglung dengan statusku sendiri.Suara gaduh di luar memaksaku segera bangun dari tidurku. Aku juga membangunkan isteriku."Yang, sayang! Bangun!" Mungkin tidur berbantal lenganku terlalu nyaman, hingga aku sulit membangunkannya. Beberapa kali aku harus menggoyang bahu Kinanti. "Sepertinya di luar, Mixi sama Yura dimarahi ibu," aduku pada isteriku yang masih terlelap."Kenapa, Bang?" tanyanya masih setengah tidur. Namun sudah berusaha untuk bangun. Rupanya Kinanti tidak bingung dengan statusnya sekarang. Berbeda denganku, ia tidak linglung dengan kehadiranku di sisinya."Mixi dan Yura, mereka sudah ke luar!" jawabku.Kinanti segera berdiri, ia juga mendengar suara kencang ibu. Aku juga berdiri dan segera
Setelah selesai berpamitan, kami pun keluar dari rumah itu. Tidak ada satu kado pun yang kami bawa dari hajatan kemaren, padahal teman-teman sepermainanku dulu, turut hadir dan membawakan aku kado. Tapi tidak satu pun yang aku buka, apa lagi aku bawa. Biarlah menjadi milik bapak dan ibu.Aku telah selesai memanaskan mesin motor maticku, lalu mengeluarkannya dari teras rumah. Pangkalan ojek beberapa meter dari rumahku. Aku rasa lebih baik berbonceng empat dari pada mereka berjalan kaki."Yura bisa di depan!" titahku. Anak itu nurut, ia naik di depan dan Mixi di belakang. Sempit sekali motor ini. Aku bahkan mepet ke depan. "Semoga suatu saat bisa beli mobil," batinku.Sampai di pangkalan ojek, sudah ada seorang tukang ojek, langsung saja aku merentalnya untuk dua jam perjalanan. Mixi dan Yura berboncengan dengan tukang ojek, aku mengiringi mereka tepat di belakang hanya berbonceng dengan Kinanti."Yang! Pegangan. Nanti jatuh!" Aku menarik tangannya agar melingkar di pinggangku. Sebelum
Kami sampai di rumah, Kinanti menyiapkan piring untuk kami sarapan. Setelah sarapan, aku pamit mau ke bengkel Mang Ardhan untuk mengambil pakaianku. Selama ini aku tinggal di bengkel, aku dan Mang Ardhan selalu bekerja bersama."Yang, Abang ambil baju di bengkel ya," teriakku. Kinanti sudah berada di dapur setelah membereskan piring kami tadi. Mungkin ia mau bersih-bersih rumah dulu setelah ini, biarlah aku pergi sendiri, jaraknya juga tidak terlalu jauh."I-iya, Bang!" sahutnya yang juga berteriak.Aku mengendarai motor dengan pelan, di perjalanan aku ingin membeli rokok. Aku pun mengarahkan motor ke sebuah warung di pinggir jalan. Aku tadi tidak tahu di situ ada Bang Panji, andai aku tahu tak akan aku mampir di sini. Bang Panji terlihat sedang ngobrol dengan teman-temannya. Begitu aku turun dari motor, aku merasa mereka semua melihat sinis padaku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.Aku tidak ingin peduli dengan tatapan mereka, mungkin itu hanya perasaan aku saja. Ya sudah, aku
"Eh ... kalian sudah pulang? Ibu baru mau ke pasar beli ayam buat kalian!" sambut Kinanti dengan lembut. Sangat lembut ia bicara pada anak-anak, jiwa keibuannya begitu kental terlihat.Ia melirik ke arahku, aku mengalihkan pandangan. Kepalaku terasa berat saat sudah di ujung begini. Arghh ... ini bocah berdua menggangguku saja."Kalian tunggu di luar ya, Ibu membereskan ini dulu," sambung Kinanti sambil menunjuk kantong kresek yang tadi aku bawa. Ia meminta anaknya ke luar."Baik, Bu!" Mereka keluar begitu saja tanpa menyapaku, mungkin mereka dapat melihat wajahku yang sedang kesal."Jangan ganggu Ibu dulu ya!" teriaknya setelah Mixi dan Yura berlalu dari kamar.Kinanti melihatku kembali lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf ya, Bang! Biar aku kunci dulu pintunya."Ia pasti tahu hukumnya melayani suami. Hanya saja hasratku sudah hilang untuk saat ini. Aku menetralkan perasaanku, rasanya aku ingin marah pada dua bocah ajaib yang tiba-tiba datang mengganggu. Aku mulai kesal, tapi tetap aka
Lidahku kelu, aku tak kunjung menjawab. Pelayan muda itu kembali bicara padaku, "Silahkan lihat-lihat dulu, Mas!"Ada beberapa ibu-ibu, semua melihat ke arahku. Rasanya aku ingin mundur saja, tapi barang yang aku cari tersusun indah di patung bagian atas. Sedikit lagi aku akan mendapatkannya. Aku putuskan untuk menegakkan kepala berjalan santai mendekati patung, tidak aku hiraukan lagi tatapan aneh mereka."Mbak! Aku mau yang ungu sama merah!" putusku.Gadis itu pun langsung menurunkan patung dan melepasnya di depanku. Aku segera berbalik badan, seketika aku teringat dengan warna ungu. Entah mengapa warna ungu identik dengan status janda. Rasanya tidak pantas aku membelikan Kinanti warna ungu, nanti ia berpikiran lain."Mbak, yang ungu ganti warna lain aja," ucapku sambil terus berjalan ke kasir tanpa memastikan barang yang ia ganti.Aku menunggu beberapa saat pesanan ku selesai dibungkus."Berapa, Mbak?" Aku menerima kantong kresek dan mengeluarkan dompetku."Seratus enam puluh ribu,
Aku melotot, melihat Kinanti masih memakai pakaian yang tadi, sedangkan ia juga melotot dan langsung menyalakku, "Maksud Abang apa? Kenapa belinya warna ungu?"Aku spontan melihat ke tangannya, ia memegang dua buah pakaian dinas dengan warna ungu. Aku menepuk dahiku, merutuki kebodohan gadis yang membantuku di toko tadi. Tapi sudah terjadi, Kinanti sudah terlanjur melihatnya, aku harus membujuk wanitaku, jangan sampai malam ini gagal lagi.Aku segera berjalan ke arahnya. Kugenggam kedua tangan isteriku sambil duduk di lantai sedangkan ia duduk di atas ranjang. Aku pun coba meyakinnya, "Maaf, Sayang! Ini sebuah kesalahan! Tadi Abang pilih merah dan hitam."Ia masih melotot ke arahku, mungkin ia merasa aku sengaja membelikannya warna ungu, karena statusnya yang seorang janda. Padahal tadi aku sudah minta ganti sama penjualnya, eh ... malah di ganti jadi ungu semua. "Masih muda sudah budek," gerutuku dalam hati untuk gadis tadi."Yang merah dan hitam itu kreseknya, Bang! Nih lihat!" Ia m
"Sudah! Cepat kalian berwudhu, ini handuknya." Kinanti datang memotong pertanyaan Yura dengan membawakan mereka handuk.Aku pergi ke kamar terlebih dahulu, ini lebih baik dari pada anak-anak itu bertanya lagi. Sampai di kamar aku menunggu isteriku untuk sholat berjamaah. Sekitar lima belas menit ia datang sudah lengkap dengan mukena."Ibu, kok subuh sudah mandi? Apa nggak dingin?" godaku menirukan suara Yura."Iya, Bang! Dingin banget! Makanya aku langsung pakai mukena, supaya anak-anak tidak bertanya," ia mengaku.Kami pun sholat berjamaah, setelah selesai aku teringat dengan perkataan Mang Ardhan kemaren tentang gajiku. Aku harus mendiskusikannya dengan Kinanti.Aku menariknya agar bersandar di bahuku, lalu ku genggam tangannya yang masih dalam mukena."Yang! Gimana, ya, pekerjaan Abang di bengkel? Gaji segitu ... cukup nggak buat kebutuhan kita? Atau Abang cari pekerjaan lain aja?" Aku serius meminta pendapatnya."Cukup, Bang! Kalau kita pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan
Enam bulan berlalu, sekarang usaha laundry kami semakin berkembang."Alhamdulillah, ya, Sayang! Ibu-ibu sudah semakin malas nyeterika baju." Aku terkekeh sambil menyelipkan sejumlah uang untuk ditabung ke bank besok hari."Sudah berapa sih tabungan kita, Bang?" Ia menarik lembut buku tabung yang ada di tanganku untuk melihat nominalnya."Alhamdulillah sudah banyak," jawabku. Jujur saja tabungan kami sudah cukup untuk membeli lima ekor sapi bujang.Semenjak kami membuka usaha laundry, Kinanti tidak pernah lagi berjualan. Ia di rumah mengurus usaha laundry bersama seorang karyawan yang bernama Kak Emi. Mereka yang mengerjakan semuanya, aku yang bertugas antar jemput orderan.Biasanya orderan cukup aku bawa dengan motor matic biasa, sekarang aku sudah merubah motorku menjadi becak motor karena orderan sudah semakin banyak.Uang hasil usaha laundry kami tabung seutuhnya, sedangkan kebutuhan dapur aku penuhi dengan bekerja di bengkel, rasanya masih enggan meninggalkan Mang Ardhan. Seperti
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa