Suara Kinanti yang terdengar cemas membuat aku juga ikutan cemas. "Iya, Abang segera pulang!" jawabku di telepon."Bang! Beliin obat penurun panas aja dulu!" ucapnya lagi di seberang sana.Oh ... iya, pertolongan pertama. Aku pun pamit pada Mang Ardhan dan Ongki untuk pulang, aku berteriak pamit juga Teh Yusri, "Teh, aku pulang dulu!"Langsung saja aku gas becak motorku cukup kencang. Aku singgah di toko obat dan membeli sirup penurun panas untuk anak-anak.Sampai di rumah, aku langsung disambut Kinanti. "Obatnya ada, Bang?""Ada! Nih!" Aku menyerahkan obat dalam kantong kresek padanya.Ia pun bergegas, setengah berlari menuju kamar Mixi. "Jangan berlari!!!" teriakku menegurnya.Kinanti langsung terhenti di tempat, lalu berjalan pelan. "Ya ... ampun mentang-mentang sudah merasa kuat, seenaknya saja berlari," desisku yang mungkin tidak terdengar lagi olehnya. Aku tidak akan biarkan si Sholeh kenapa-napa lagi.Seharian ini kubiarkan Kinanti merawat Mixi. Karena sudah sore, aku sendiri m
Tatapannya yang aneh itu lama dan panjang sekali kepadaku, aku pun melakukan hal yang sama. Setelah cukup lama kami bertatapan dan hanya membisu, ia kembali mengetuk pintu dan mengucapkan salam, "Assalamualaikum!""Apa-apaan pria ini? Kenapa terus mengetuk pintu dan mengucapkan salam, padahal aku di depannya," batinku.Aku kembali menegurnya, "Cari siapa, Bang?""Cari isteriku!" jawabnya singkat. Ia melihat ke becakku yang berisi beberapa kantong pakaian besar. "Kau mau jemput pakaian, ya?"Ternyata dia mengira aku mau jemput pakaian ke rumah ini, pantas saja ia terus-menerus mengetuk pintu dan tidak menghiraukanku.Aku tersenyum menanggapinya, "Maaf! Apa isteri Abang main di rumah saya?" tanyaku, kurasa ia menjemput isterinya, barang kali tadi saat aku di luar ada tamu Kinanti yang datang.Pria itu terlihat semakin mengerutkan dahinya, mungkin ia bingung dengan pertanyaanku. Kami kembali saling pandang, aku mulai curiga sepertinya ada yang salah."Apa Abang salah rumah?""Nggak!" jaw
Pria bodoh itu hanya terdiam mendengarkan aku yang berkali-kali bertanya dan menyudutkannya. Ia sama sekali tidak membela diri."Kinanti tidak perlu kata talak darimu!" Aku menegaskannya sekali lagi.Thomas nampak geram beberapa kali ia menarik nafas kasar. Heran kenapa semenjak tadi dia datang sampai saat ini tidak sekata pun ia menanyakan tentang anak-anaknya. Mungkin dia benar-benar lupa pernah membuat mereka.Aku semakin ilfil dengan Thomas, sungguh ia pria yang buruk menurutku ditambah lagi dengan tidak bertanggung jawab sedikit pun selama ini.Rumah ini tidak besar, ruang tamu, kamar ku dan kamar anak-anak masih satu ruangan lepas. Kalau dapur baru memiliki sekat. Tidak sengaja aku melihat ke pintu kamar anak-anak, aku melihat Mixi mengintip di balik gorden pintu."Mixi!!!" batinku.Sesaat Mixi juga melihat kepadaku, tatapan kami bertemu sekian detik. Ia langsung masuk kembali ke dalam kamar. Kasihan sekali anak i
"Benarkah? Tapi aku sudah tidak peduli lagi sekarang," jawab Kinanti kembali.Aku dan ketiga warga menjadi penonton drama mantan suami istri ini. Sebaiknya aku memang tidak perlu ikut berbicara dulu biarkan mereka menyelesaikan masalah beberapa tahun yang lalu.Aku tidak ingin jika nanti masih ada perasaan belum puas di hati mereka masing-masing. Kalaupun memang ada kesalah pahaman, biarkan mereka menyelesaikannya sekarang.Kinanti memandang padaku, aku pun memandangnya. Aku tersenyun simpul dan berkata, "Tidak apa-apa kau selesaikanlah dulu!"Aku mengerti arti tatapan istriku itu. Ia sedang bertanya pendapatku, aku sengaja mengatakan dirinya harus menyelesaikan masalahnya dulu, tidak perlu terbebani dengan kehadiranku di sini. Aku percaya seratus persen hatinya sudah milikku dunia dan akhirat."Terimakasih, Bang!" Ia membalas tersenyum padaku.Tatapanku beralih pada ketiga warga yang masih berada di rumahku. Aku rasa ini sudah ranah pribadi kami, sebaiknya mereka sudah tidak di sini
"Kenapa tidak menungguku pulang dulu, Ayah? Aku ingin melihat wajah ayah aku ingin memeluk ayah sekali saja." Tangisan bocah itu begitu memilukan, tangisan pilu penuh rindu seorang anak yang ditinggalkan ayahnya semenjak usia dua tahun.Ya Allah panjangkanlah umurku, agar si Sholeh bisa merasakan kasih sayangku nantinya. Aku diam, masih terus memperhatikan punggung mungil yang bergetar karena menangis."Aku tidak tahu wajah Ayah aku ingin melihatmu, Ayah!" Ia menekankan setiap kata-kata yang terucap.Kubiarkan ia menumpahkan rasa sesak di dadanya, tak terasa air mataku ikut menetes begitu saja saat mendengarnya. Aku jadi merindukan ayah, ibu dan juga adikku di kampung.Sudah tengah hari, cuaca begitu terik. Aku sudah merasa kepanasan, sedangkan anak itu masih bertahan dengan tangisnya. Akhirnya aku pilih menutupi Yura dengan bayanganku agar ia tidak lagi kepanasan.Aku bergeser dari tempat berdiri semula, sekarang bayanganku sudah membuatnya berteduh. Meskipun aku cukup dekat tapi ia
Hari ini berlalu begitu saja, sore harinya aku kembali menjalankan aktivitasku seperti biasa. Menjemput pakaian tetangga yang sudah mengirim pesan padaku tadi.Aku menghampiri Kinanti sedang berada di dapur, ia berkacak pinggang sambil menggoreng kerupuk. Aku mendekat lalu memeluk pinggangnya dari belakang. "Sayang, Abang pergi ambil orderan dulu!"Berniat bersikap romantis setelah melalui badai yang dibuat Thomas tadi pagi. Aku bahagia dia memilihku, sama sekali tidak terpengaruh dengan mobil mewah yang dibawa sang mantan suami."Iya, Bang!" Ia melepas tanganku di pinggangnya. "Lepas, ih!!!"Tentu saja ia merasa risih gara-gara tanganku gerakannya jadi tidak bebas. Aku tidak terima tanganku dilepaskan begitu saja, sengaja kupeluk pinggangnya semakin erat dan kusandarkan daguku di bahunya."Abang, nanti kerupuknya hangus!" Ia berteriak dan menampar tanganku.Perlakuan romantis yang aku berikan tidak berjalan dengan mulus, aku malah dapat tamparan dari isteriku tersayang."Udah ah! Gal
"Nggak! Bukan begitu," sanggahku. "dia hanya bilang belum menyampaikan talak secara lisan, itu aja!"Semoga gosip tentang Thomas yang masih menganggap Kinanti isterinya tadi tidak tersebar lebih jauh lagi. Takutnya orang akan berkomentar lain tentang pernikahan kami, aku tidak ingin ada masalah lagi.Aku menyalakan becakku dan mulai memutar gasnya, aku mulai berbelok hendak pergi. Biarlah terserah mereka saja, jika aku ladeni bisa sampai tengah malam. Aku teringat masih ada beberapa pakaian yang harus kujemput. "Aku pergi dulu ya, Bu ibu!""Tunggu sebentar, Mas Al!" Seorang di antaranya malah menahan aku di sini.Aku usahakan tetap bersikap ramah karena mereka smua adalah pelanggan ku, aku tidak ingin mereka tersinggung dan memilih menyeterika pakaian sendiri. Akan berdampak buruk pada usahaku.Agaknya mereka belum puas dengan pernyataanku, entah bagian mana yang kurang yang masih ingin mereka ketahui. Mereka masih melanjutkan menginterogasiku."Yang aku tahu, waktu itu Thomas pergi ke
Neysa menjeda ucapannya sejenak. "Mungkin karena Abang nikahin janda, Bang! Anaknya dua lagi!" sambungnya.Apa yang salah dengan janda beranak dua? Yang salah itu nyinyiran para penggunjing."Loh ... yang nikahin janda siapa? Abang 'kan? Kalau ayah yang nikah baru ibu boleh tidak setuju!" ketusku.Aku sudah muak dengan alasan itu. Memang waktu itu Neysa pernah cerita, katanya setelah pesta pernikahanku, ibu diledekin sama saudara-saudaranya karena aku tidak pandai memilih jodoh. Aku yang masih perjaka malah nikah sama janda beranak dua, itu yang menjadi bahan gunjingan, hingga ibu semakin tidak mau menerima Kinanti."Iya juga ya, Bang! Status janda atau duda bukan aib loh! Ya udah, kalau begitu Abang nggak usah pulang, kita lihat aja sampai di mana ego ibu sama ayah!" sungut Neysa yang sekarang malah mendukungku."Emangnya sepenting apa ucapan orang-orang di banding kebahagiaan anaknya? Begitu kan, Bang?" sambungnya seperti meminta pendapatku.Aku jadi ingin tertawa dapat dukungan dar
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa