"Kinanti bukan orang seperti itu!" geramku pada Bang Panji. Ia mencibir tanpa menjawab ku.Pak RW memandang Kinanti dan Siska bergantian. Kedua wanita itu masih menangis. Siska terlihat sangat pandai berakting, aku menggelengkan kepala atas kelakuannya.Pak RW seperti terlihat bingung, akhirnya ia berucap, "Kita punya bukti, juga kemungkinan motif yang membuat Mbak Kinan melakukan hal itu terhadap Siska. Tapi maaf, saya tidak dapat menemukan motif Siska memfitnah Kinan! Karena mereka bukan saingan bisnis atau yang lainnya.""Iya, Pak! Saya sependapat dengan, Bapak!" potong Bang Panji. "Lagian mana mungkin seorang gadis rela menyakiti tangannya sendiri. Itu sungguh di luar nalar, Pak!" tambahnya."Betul," sorak warga dari depan pintu. "Usir saja mereka!"Kinanti tampak lemah, bagaimana pun ia menyangkal tetap saja tidak ada yang percaya padanya, selain aku dan anak-anak. Ya Allah lindungilah buah hati kami. Pikiranku tertuju pada si sholeh yang masih sangat lemah untuk menanggung ini s
Aku masih sangat ingin membela isteriku, rasanya inginku mengajak mereka melakukan sumpah pocong untuk membuktikan isteriku tidak bersalah. Tapi itu mustahil karena aku sendiri takut jatuh pada perbuatan syirik."Sekali lagi maaf, Mas Al! Saya tidak bisa membantu banyak. Saya pamit dulu, semoga Mbak Kinan baik-baik saja." Pak RW keluar dari rumahku, tanpa bisa aku cegah lagi.Hari sudah hampir maghrib, sekarang aku menemui Kinanti di dalam kamar. Ia masih termenung, Mixi dan Yura memijit kakinya di sebelah kiri dan Kak Emi di sebelah kanan. Pandangannya terlihat menerawang jauh ke atas."Bisa kalian tinggalkan Ayah dulu! Ayah mau bicara dengan ibu," ucapku pada anak-anak. Mereka pun keluar dari dalam kamar."Kak, tolong jaga mereka, ya!" pintaku pada Kak Emi.Untuk pertama kalinya aku tidak risih dengan kehadiran orang lain di rumah ini. Aku benar-benar merasakan ketulusannya Kak Emi membantu kami."Sayang!" Aku langsung memeluk isteriku."Bang! Mungkin ini teguran dari Allah, atas ke
Aku kembali ke ruang UGD.Kak Emi tidak bisa lagi menemani kami, karena dia juga punya keluarga dan anak yang membutuhkannya di rumah. "Kakak pamit dulu ya, Al! Anak Kak yang kecil nggak bisa tidur jika Kak tidak di rumah!" paparnya.Aku sangat mengerti alasan Kak Emi, hanya ucapan terima kasih yang bisa aku ucapkan, "Terima kasih ya Kak, aku tidak tahu bagaimana tadi jika, Kak Emi, tidak membantuku!""Sudah kewajiban kita saling membantu. Kamu yang kuat, ya!" imbuhnya. Ia memegang kepala Mixi dan Yura, membelai rambut mereka dengan lembut. "Kalian berdua juga, yang kuat ya anak pintar!""Tapi aku nggak bisa mengantar Kak pulang!" sesalku.Kak Emi sudah sangat baik pada kami hari ini, tapi untuk mengantarnya pulang sungguh aku juga tidak bisa. Tidak mungkin meninggalkan Kinanti dan anak-anak di sini."Tenang saja, Al! Suami Kak sudah di perjalanan, sebentar lagi dia sampai."Benar saja, baru sebentar Kak Emi mengatakan itu, suaminya sudah sampai dan langsung menyapaku, "Al, Abang turu
Aku kembali memanggil dokter untuk memberitahu ke adaan Kinanti yang mengeluh pusing, dengan cepat dokter menghampiri dan memeriksa isteriku."Bagaimana, Bu?" tanyaku dengan tidak sabar."Ke adaan pasien baik, Pak! Mungkin karena belum makan! Ibu makan dulu, ya! Kasihan dedek bayi kalau ibunya sakit. Pikiran Ibu juga harus dijaga! Jangan terlalu banyak pikiran ya, Bu," jelas dokter, setelah berbincang beberapa saat dokter itu izin keluar dari ruangan UGD.Aku lega mendengar penjelasan dokter, syukurlah pusing yang dikeluhkan Kinanti bukanlah hal yang buruk."Abang, belikan makanan dulu, ya!" izinku."Aku mau minum aja, Bang. Belum selera makan. Nanti saja kalau kita sudah pindah ke ruang rawat!""Kalau begitu, Abang minta Teh Yusri yang temani kamu, ya! Nanti dia yang kasih minum. Abang urus administrasi sebentar!"Kulihat isteriku mengangguk setuju. Aku bahkan tidak punya air, tapi aku ingat, Teh Yusri punya minum sisa kami makan tadi.Kutinggalkan Kinan dengan Teh Yusri di dalam rua
Aku menatapnya sendu, masih menunggu ia melanjutkan ceritanya."Dulu ketika aku baru tamat SMA, abak memintaku bekerja. Ia minta tolong dengan sangat, agar aku bisa membantu biaya sekolah adikku yang masih tinggal dua tahun lagi. Aku pun mencari pekerjaan!" Ia menjeda ucapannya sambil menghapus air mata."Terus apa kamu dapat pekerjaan?" tanyaku masih menyimak ceritanya."Aku kerja menunggu toko grosir makanan. Gajinya lumayan besar waktu itu. Semenjak bekerja aku membantu biaya sekolah adikku, abak pun bisa berobat." Ia tersenyum, mungkin membayangkan masa itu.Syukurlah, tadinya kukira karena tidak dapat pekerjaan Kinanti merasa gagal, tapi aku salah. Ia dapat pekerjaan dengan gaji yang lumayan."Abak sakit? Sakit apa?""Abak sakit gula, Bang! Ia sering merasa lelah. Namun demi aku bisa menamatkan SMA, ia tetap memaksakan diri bekerja sebagai tukang bangunan."Aku pun merasa kasihan, membayangkan ayahnya Kinanti yang tetap bekerja dalam keadaan sakit. Aku jadi dapat merasakan lelahn
Apa-apaan adikku ini. Bukankah tadi sudah aku bilang jangan sampai kinanti tahu.Aku langsung melotot ke arah Neysa. Lalu ku alihkan pandangan ke isteriku, ia terlihat melebarkan mata. Aku harus segera mengalihkan pikirannya."Ah, Neysa sok tahu! Siapa bilang janinnya lemah, anaknya ayah Alfa ini. Pasti kuatlah seperti bapaknya," kelakarku yang mencoba meyakinkan Kinanti.Aku pun mendekati ranjang isteriku."Ahh iya, ini, kan, keponakan aunty Neysa yang cantik, pasti kuat! Maaf kak Kinan tadi aku asal ngomong saja," imbuh Neysa akhirnya.Namun senyum di wajah isteriku tidak juga kunjung terbit, aku jadi mengkhawatirkannya. Pandangannya memang sering menerawang akhir-akhir ini."Bang, jadi karena itu perutku sering terasa ngilu? Karena si sholeh lemah?" Air matanya menetes. Ia bicara tanpa melihat ke padaku.Aku duduk di ranjang samping Kinanti, kuambil sebelah tangannya untuk kucium."Bukan, Sayang! Dokter nggak bilang begitu, kok!" ucapku sambil menampilkan senyum terbaik, aku pun be
Pagi ini lumayan cerah, kami semua sudah bangun. Aku membuka semua jendela dan juga pintu belakang, agar udara segar masuk dalam ruangan ini. Sudah berhari-hari di sini rasanya sudah sangat lelah, padahal tidak ada hal berat yang aku lakukan.Aku pun segera mandi karena ada tugas lain yang sudah menunggu. Setelah selesai, aku mengambil uang dalam dompet. Yura yang sedang duduk di depan jendela langsung memanggilku, "Ayah, nanti beliin susu kemasan yang pink, ya," pinta Yura.Aku mengangguk lalu memandang Mixi."Aku beliin teh aja, Yah!" Hanya memandangnya saja, Mixi mengerti aku sedang bertanya apa yang ia mau."Baik," jawabku singkatSekarang rasanya aku sudah lebih dekat dengan anak-anak, mereka juga sudah tidak segan lagi meminta sesuatu padaku.Aku mendekati isteriku. "Sholeh pesan apa?" tanyaku lembut sambil meraba perutnya yang masih rata."Sholeh mau pepaya sama melon, Ayah!" jawab isteriku seperti suara anak-anak. Kami terkekeh mendengar suara Kinanti seperti itu. Aku pun terba
Aku memperhatikan sekitar, dalam hati aku bertanya, "Adakah di antara mereka yang memiliki masalah lebih berat dariku?"Tidak lama seorang nenek lewat di depanku, ia terlihat berjalan dengan kakinya yang pincang. Ia terus mendorong kursi roda suaminya dengan pelan. Pakaian mereka sangat lusuh, aku terus melihat mereka karena menarik perhatianku.Nenek itu duduk sejenak di bangku panjang yang tidak jauh dariku, kudengar ia berkata, "Kita berhenti dulu ya, Bang! Kakiku sudah terasa keram."Seketika aku merasa cobaan nenek itu pasti juga berat, kakinya sendiri sakit, tapi masih harus mengurus suaminya yang sakit. Aku lihat mereka asik bercerita dan sesekali tertawa, hingga aku simpulkan nenek itu ikhlas dan sabar menjalani cobaannya.Mereka yang sudah renta saja masih kuat menjalani cobaan, apalagi aku yang masih muda. Sekarang aku menata hatiku kembali agar lebih ikhlas lagi menjalani cobaan ini. Aku sadari satu hal, Allah SWT sedang mengujiku untuk mengangkat derajatku.Aku menarik naf
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa