Selesai mengobrol, kami bertiga kembali melakukan perjalanan. Kali ini, Arsen sama sekali tak menolak saat Bang Gavin mengajak kami ke rumahnya. Namun, disamping itu, justru akulah yang kini malah merasa was-was.
"Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?" tanyaku memecah keheningan."Gak ada, kok Ze! Kamu tenang saja, wajahnya gak usah tegang gitu!" sahut Arsen seraya meremas jemariku."Semarah apapun kalian pada Radit, aku minta kalian jangan sampai berbuat hal yang tidak manusiawi," pesanku membuat Bang Gavin dan Arsen terlihat saling melempar pandang."Terutama kamu, Arsen! Aku gak mau lihat kamu kembali menjadi seperti monster!" sambungku seraya menatap tajam padanya.Arsen hanya tersenyum tipis kemudian mencubit hidungku pelan."Enak aja, ganteng gini masa dibilang monster!" celetuknya."Kalau aku monster, lantas dia apa? Raja monster gitu?" sambungnya seraya menunjuk Bang Gavin."Intinya aku gak mau lihat ke"Bagaimana?""Sepertinya Zea hanya syok saja. Semoga, ia cepat sadar!"Samar kudengar percakapan diantara Bang Gavin dan juga Arsen.Kuraba kepalaku yang kini terasa berdenyut nyeri, seluruh tubuhku rasanya lemas. Hal itu membuat mataku rasanya sulit sekali untuk terbuka meski kedua telingaku kini sudah bisa mendengar dengan baik."Apa yang akan terjadi setelah ini?" Kudengar, Bang Gavin kembali berbicara."Argh, ini semua gara-gara si brengsek itu!" umpatnya lagi."Loh, kenapa jadi loe yang ketar ketir, sih?! Harusnya disini gue yang paling takut. Karena Zea itu istri gue!"Terdengar Arsen menimpali dengan sinis."Iya, Zea itu emang istri loe! Tapi dia, saudara satu-satunya yang gue punya dan mau akuin gue juga sebagai saudara," jelas Bang Gavin."Cih, kasihan banget, sih! Mau punya saudara aja kok, kesannya kaya maksain," cibir Arsen."Diem loe!""Jangan mentang-mentang loe suaminya
Sudah dua hari aku memutus hubungan dengan Arsen dan juga Bang Gavin. Aku sengaja memblokir nomor mereka agar mereka tak bisa menghubungiku lagi.Namun meski begitu, aku tetap bertukar kabar dengan Bu Hanum karena aku tak ingin membuat wanita itu khawatir. Apalagi, Bu Hanum juga terbilang masih dalam masa pemulihan.[Ze, tolong bilang sama ibu, kamu tinggal dimana sekarang? Jangan buat ibu khawatir!] pesannya saat aku bilang aku tak akan pulang dulu.Aku menceritakan semuanya pada Bu Hanum, tentang Arsen, Bang Gavin, dan juga Radit. Aku juga menjelaskan alasanku kenapa aku sampai memutuskan untuk menjauh dulu dari mereka.Beruntungnya, Bu Hanum mengerti dengan perasaanku. Ia sama sekali tak menentangku dan justru mendukungku.[Ibu janji gak akan kasih tau Arsen. Anak itu memang sepertinya perlu dikasih pelajaran biar kapok!]Aku tersenyum lega saat membaca pesan darinya.[Nanti ibu transfer uang buat keperluan kamu, ya!
TOK! TOK! TOK!"KELUAR KALIAN! KELUAR!""AYO CEPAT BUKA PINTUNYA ATAU KITA DOBRAK?!"Aku terlonjak saat mendengar keributan diluar sana. Tubuhku seketika reflek menempel pada tubuh Arsen saking kagetnya mendengar suara banyak orang yang sepertinya sedang sangat marah."Arsen ada apa ini?" gumamku seraya memeluknya dengan erat."Nggak tau, Ze! Ayo kita lihat!" ucapnya seraya melepas pelukanku."Pakai dulu bajunya!" titahnya seraya meraih bajuku.Dengan terburu-buru, aku dan Arsen merapikan diri dan segera membuka pintu."Nah, ketauan, 'kan?! Berani-beraninya kalian berbuat mesum di kost ini? Mau diarak keliling komplek, hah?!" sentak seorang ibu yang tak lain adalah tetangga kost aku dan Rani."Ka-kami gak mesum, kok!" sahutku cepat."Halah! Pakai ngelak segala! Itu buktinya apa?!" cercanya seraya menunjuk bagian leherku.Seketika wajahku memanas.Arsen segera menutup bagian leherku dengan rambutku yang masih terurai berantakan."Lagian, mana ada cewek cowok dalam satu kamar gak berbua
"Aku kesel tau dibohongin terus sama kamu! Disini aku berasa kaya anak kecil yang terus kamu tipu! Kalau gini terus aku jadi kehilangan kepercayaanku sama kamu! Yang ada aku malah parno, jangan-jangan kamu juga gak serius ya, sama aku?! Jangan-jangan, kamu juga main-main 'kan sama hubungan ini?! Jawab, Arsen, jawab!"Tak hentinya aku mengoceh setelah Arsen membawaku masuk kedalam kamar. Ucapan Bu Hanum barusan membuatku benar-benar kesal seribu persen pada pria bernama Arsenio Cleosa Raymond!Bisa-bisanya dia membajak ponsel Bu Hanum dan aku justru malah berbalas pesan dengannya!Berniat menghilang, tapi justru aku sendiri malah memberitaukan tempat tinggalku padanya.Menyebalkan bukan?"Ze, Ze, Ze! Please dong, jangan berpikiran seperti itu. Harusnya kamu tau, aku lakuin itu juga semata-mata hanya untuk mempertahankan kamu. Please, kamu ngerti, ya!" bujuknya."Au, ah! Intinya aku kesel sama kamu!" ketusku.Kujatuhkan tu
Pembicaraan tempo hari, kini terealisasi.Arsen menyebar undangan ke beberapa alumni kampusnya dan juga beberapa orang yang pernah menjadi rekan kerjanya saat ia bekerja di rumah sakit.Tak hanya itu, Bu Hanum juga turut mengundang beberapa orang yang pernah menjadi tetangganya saat masih tinggal satu komplek dengan Bu Rena.Sedangkan di komplek rumah yang kami tempati, jangan ditanya lagi. Semuanya diundang oleh Bu Hanum tanpa ada yang terlewat satupun."Loh, bukannya mereka udah nikah?" tanya salah satu ibu yang kini sedang berbelanja di toko Bu Salma."Ya ampun, Bu ... disana kan tertulis, re-sep-si, resepsi! Ibu ngerti gak sih?" celetuk Arsen.Bu Hanum dan aku sontak menyikut pinggang Arsen secara bersamaan karena ucapannya tadi terkesan tidak sopan. Sedangkan seseibu yang barusan bertanya kini malah bengong seraya menatap lekat wajah Arsen."Kok kaya beda, ya?" gumamnya."Iya, Arsen sekarang sepertinya lebih dewasa," timpal Bu Salma seraya menghampiri kami."What?!" Arsen membula
"Tiket ke Bali?" gumamku kala membuka isi amplop yang Bang Gavin berikan tadi sore."Yes! Liburan gratis!" sorak Arsen."Nanti disana kita buat program bikin sebelas anak! Pulang liburan, kita bisa bikin tim sepak bola," celetuknya."Gak lucu!" ketusku."Lagian aku juga bukan lagi ngelawak, kok! Anggap aja itu doa!" sahut Arsen seraya mencolek daguku."Idih, gak mau ah!" sahutku cepat."Dikira enak apa punya sebelas anak. Cukup dua aja. Cowok satu cewek satu. Kayaknya lebih pas deh!" sambungku."Tanggung banget, sih! Kalau bisa, mending bikin yang banyak. Kan ada pepatah tuh, banyak anak banyak rezeki," sela Arsen."Bikinnya sih enak, terus lahirinnya gimana? Ngurusnya gimana? Nggak, ah! Dua aja," aku tetap bersikeras.Arsen tertawa mendengar jawabanku barusan. Ia lantas mengacak rambutku dengan gemas."Iya, iya! Kamu serius banget, sih! Kita berdoa aja, minta yang terbaik dari Allah!" ucapnya kemudian.Aku tersenyum, memang seperti itu jalan ceritanya. Karena terlepas dari apapun yan
Hari yang ditunggu telah tiba.Aku menghampiri Arsen yang tengah berdiri menungguku di ruang tamu. Ia nampak gagah dengan busana pengantin khas suku Sunda. Jas putih dengan ikat pinggang senada dan juga kain rereng sebagai bawahannya membuat Arsen terlihat begitu pangling. Apalagi, ditambah dengan hiasan kepala yang berupa bendo dengan motif yang senada dengan bawahan yang ia gunakan membuat ia terlihat lebih tampan dari biasanya."Yuk!" ucapku membuatnya seketika menoleh.Arsen ternganga. Ia menatapku tanpa kedip. Hal itu tentunya membuatku berulangkali memanggilnya seraya melambaikan tanganku didepan wajahnya."Kamu cantik banget, Ze!" gumamnya membuatku tersipu."Kamu juga ganteng!" sahutku pelan."Apa? Aku gak denger," ucapnya seraya mendekatkan telinganya."Kamu juga ganteng!" ulangku."Hah? Coba-coba ulang, kurang jelas, Ze!" ucapnya lagi seraya lebih mendekatkan telinganya.Aku mendengus, namun tak urung aku juga lebih mendekatkan bibirku kearah telinganya untuk kembali membisi
Acara resepsi pernikahan kini bertambah dengan acara ulang tahun Arsen. Rupanya, diam-diam Bang Gavin sudah mempersiapkan semuanya dan sudah bekerja sama dengan MC hingga acaranya jadi tersusun sempurna dan tidak terkesan berantakan.Ditengah surprise ulang tahunnya, kami sengaja membuat foto khusus keluarga dengan pose yang seunik dan sekocak mungkin.Berhubung keluarga inti hanya ada Bu Hanum dan Bang Gavin saja, rasanya kurang rame jika di foto hanya ada empat orang saja. Makanya, Arsen sengaja mengajak Yanto untuk ikut serta, mengingat dia adalah satu-satunya anak buah Arsen yang paling dekat dengan keluarga ini.Tak cukup hanya Yanto, saat aku melihat Bu Rena yang tengah menikmati aneka kue, akupun langsung melambaikan tangan padanya dan memintanya untuk ikut berfoto bersama kami."Yah, padahal ibu lagi makan, Ze!" protesnya dengan mulut penuh."Makannya nanti lagi aja, Bu! Kita seru-seruan dulu, yuk!" bujukku.Bu Rena pun akhirnya mau naik ke pelaminan dan berfoto dengan gaya ko
Sudah genap satu bulan sejak kejadian mengerikan malam itu. Sejauh ini akhirnya aku dan Arsen bisa kembali bernafas lega. Menjalani hari dengan normal tanpa ada gangguan ataupun ancaman.Bang Gavin dan Keyla sendiri nampaknya juga sedang menikmati momen indah mereka sebagai pengantin baru. Ya, ternyata saran Arsen saat di rumah sakit disetujui oleh Bang Gavin. Mereka akhirnya pergi bulan madu tanpa harus membuat ulang pesta.Tadinya Arsen hendak membayarkan tiket untuk mereka sebagai hadiah, namun sepertinya Bang Gavin merasa kasihan pada kondisi keuangan kami yang sedang acak-acakan hingga ia menolaknya dengan halus."Ah, syukurlah, Ze! Akhirnya resto itu bisa kembali lagi ke tangan kita. Lusa, mungkin berkas-berkasnya sudah beres, jadi ... kita bisa kembali mengelolanya," ucap Arsen seraya duduk disampingku."Syukurlah. Semoga kali ini berjalan lancar," sahutku penuh harap.Aku baru saja hendak menyandarkan kepalaku di bahunya, akan tetapi dering ponsel justru membuat Arsen bangkit
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.