Setelah penjelasan Arsen kemarin, aku jadi merasa sedikit lega. Setidaknya aku tau kalau dia tidak marah padaku. Selain itu, rasa cemburuku pada Dokter Siska juga sudah terpatahkan.
Kemarin, Arsen bilang, hari ini Bu Hanum akan pulang. Maka dari itu, aku sengaja bangun lebih awal untuk membuat aneka masakan guna menyambut kedatangan beliau.Setauku, Bu Hanum sangat suka makan pepes ikan dan juga ayam bakar. Maka, sejak pagi aku berkutat di dapur untuk menyediakan dua menu spesial itu.Namun, selain kedua menu tersebut. Aku juga menyiapkan menu lainnya seperti sayur, sambal, dan juga aneka lalapan. Pokoknya, untuk hari ini, meja makan penuh!"Kamu masak banyak, Ze?" tanya Arsen begitu ia masuk dapur."Iya dong! Untuk menyambut kedatang ibu!" sahutku antusias.Kulihat Arsen tersenyum. Tak lama kemudian dia menghampiriku dan memelukku dari belakang."Makasih, ya!" bisiknya."Kok, makasih?" tanyaku seraya mengernyitMalam ini juga aku dan Arsen langsung berangkat ke tempat yang sudah Tuan Gavin informasikan. Tak lupa, Arsen juga menyuruh anak buahnya agar pergi kesana.Beberapa obat-obatan Arsen bawa termasuk peralatan medis lainnya juga.Kali ini, Arsen memilih menyetir mobilnya sendiri meskipun kulihat ia begitu lelah."Apa gak sebaiknya minta orang lain saja untuk menyetir mobil?" tanyaku saat kulihat kondisi Arsen yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja."Kalau harus nunggu mereka dulu, itu akan memakan waktu yang lama. Sedangkan aku harus segera sampai kesana untuk memastikan kondisi ibu," sahut Arsen.Perjalanan malam ini kurasa begitu menegangkan karena Arsen menyetir dengan kondisi yang kalut. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, namun ia tak sadar bahwa dirinya kerap kali hampir saja ketiduran.Beberapa kali aku menegurnya saat Arsen mulai hilang fokus dan hampir saja menabrak. Seandainya aku bisa menyetir, mungkin akan a
Dengan sigap, Arsen langsung berlari ke arahku dan mengeluarkan pistol dari sakunya. Ia menyuruhku untuk berlindung dibelakang tubuhnya. Sedang ia sudah bersiaga dengan pistol ditangannya."Kalian berempat, merapat kesini! Lindungi tubuh Zea dan tetap waspada dengan senjata kalian!" titah Arsen pada anak buahnya yang kini turut mengeluarkan senjata yang sama.Aku yang belum pernah ada diposisi ini sebelumnya rasanya sangat takut. Degup jantung yang terus berpacu dengan cepat membuat tubuhku jadi gemetaran.Dor!Lagi, aku menjerit saat suara tembakan itu kembali terdengar.Salah satu anak buah Arsen yang tepat berdiri disampingku kembali tumbang karena peluru yang mengenai kepalanya.Dor! Dor! Dor!Arsen dan anak buahnya yang lain langsung menembak kearah datangnya peluru tersebut. Meski tak ada lagi serangan balik dari sana, namun ketiga anak buah Arsen terus menembak secara sembarang. Sedangkan Arsen sendiri langsung me
"Apa tuan pikir aku membawa kabur Zea?" tanya Arsen seraya mengangkat sebelah alisnya.Nampaknya Arsen masih berusaha untuk mengelak dan menutupi kesalahannya. Hal itu membuat Tuan Gavin melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar lalu menyunggingkan seulas senyum."Aku membawa Zea pergi atas persetujuan Pak Seno sendiri. Dia sendiri yang bilang kalau Zea ini merepotkan karena dia sering mengalami pendarahan!" sambung Arsen."Oh, jadi ... kamu menghamili istrimu terlebih dahulu, setelah itu menjualnya?" cibir Tuan Gavin kemudian tersenyum miring."Aku-"Arsen nampak tak mampu melanjutkan ucapannya. Hingga Tuan Gavin kembali menghampirinya dan menepuk-nepuk bahunya pelan."Oke, oke! Aku memakluminya! Kebetulan, tidak semua barang kamu perlakukan seperti itu. Hanya saja ... sepertinya kamu memang sengaja mengistimewakan dia!" ucap Tuan Gavin kemudian menunjukku."Apa aku harus kembali mengingatkan salah satu poin penting
Aku dan Arsen sama-sama terkejut saat melihat Bu Hanum yang ternyata sudah ada bersama Tuan Gavin.Kekhawatiran ku pada Bu Hanum karena kecelakaan pesawat itu sedikit berkurang saat melihat keadaan beliau nampak baik-baik saja.Meskipun saat ini Bu Hanum sedang berada dibawah ancaman Tuan Gavin, tapi setidaknya ada harapan untuk bisa menyelamatkan beliau."Lepaskan ibuku!" ucap Arsen penuh penekanan."Itu hal yang mudah, Arsen! Kamu tenang saja, aku akan melepaskan ibumu, tapi kamu ... kamu juga harus melepaskan Zea! Tepati perjanjian yang sudah kamu sepakati sebelumnya!" ujar Tuan Gavin.Kulihat Bu Hanum hanya diam, namun dari sorot matanya ia sangatlah tertekan. Ingin sekali rasanya aku berhambur dan menolong wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri itu. Namun, apalah daya, aku hanya seorang pecundang yang tak punya keberanian!"Kenapa kamu masih diam?" Tuan Gavin kembali bertanya saat Arsen masih bergeming.
"Radit, apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu juga yang mengadukan semuanya pada Tuan Gavin?" tanyaku saat kini hanya ada aku dan Radit saja dalam ruangan bernuansa krem ini."Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Radit membuatku sangat terkejut."Aku muak sama kamu, Ze! Kamu sadar gak, sih? Fara meninggal itu gara-gara kamu?! Dan kamu, sama aja kaya mereka! Saat aku dikurung dan disiksa oleh Arsen, kamu juga cuma bisa diam 'kan?" sambungnya."Aku gak bermaksud seperti itu, Dit!" gumamku."Lalu, bagaimana, hah?!" sentaknya."Seandainya saja aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri, mungkin aku juga sudah mati!" sambungnya."Sekarang, kamu juga harus rasain bagaimana rasanya terpisah dari orang yang dicintai. Dan jangan harap hidupmu akan tenang disini!" ancamnya.Radit berlalu dan membanting pintu cukup keras. Terdengar juga sepertinya ia mengunci pintunya. Aku hanya bisa menghela nafas berat. Orang yang kuanggap teman ki
"Disini hanya ada aku dan kamu! Pokonya aku gak mau tau, kamu habiskan semua masakanmu itu!"Kali ini aku yang membulatkan kedua mata saat mendengar ucapan Tuan Gavin barusan.Ingin sekali rasanya aku mengumpat.Sudah capek-capek buat makanan sebanyak itu, tapi nyatanya yang makan hanya dua orang saja.Lagian, siapa sangka coba, rumah sebesar ini hanya dihuni oleh satu orang?Namun, karena tak ingin berlarut-larut dalam perdebatan, kubiarkan saja Tuan Gavin menikmati makanannya. Masalah sisanya yang masih banyak nanti biar kupikirkan lagi saja baiknya aku apakan.Setelah selesai makan, aku lekas mengamankan sisa makanan yang tadi kubuat. Setelah itu bergegas menuju lantai atas untuk segera masuk kedalam kamarku.Kulihat, Tuan Gavin nampak heran melihat tingkahku, namun aku tidak peduli dan langsung mengunci kamarku dari dalam.Mengingat di rumah ini hanya ada aku dan dia saja, makanya aku harus waspada!
Hari telah berganti malam.Waktu yang ditunggu-tunggu sejak tadi oleh Tuan Gavin telah tiba. Satu persatu tamu Tuan Gavin mulai berdatangan ke rumahnya.Beberapa orang pria yang kutebak anak buah Tuan Gavin sudah siap sedari tadi dan berjaga di berbagai pintu. Kali ini mereka tidak memakai topeng seperti saat menangkap aku dan Arsen dulu, hingga aku bisa melihat wajah mereka secara langsung termasuk Radit."Layani semua tamu dengan baik dan jangan buat kekacauan!" ucap Tuan Gavin memperingatkan saat aku hendak membawa aneka minuman ke depan.Aku hanya mengangguk seperti biasanya lalu melanjutkan langkahku.Beberapa pasang mata di ruang luas yang sudah kutata sedemikian rupa kini tertuju padaku. Tak hanya laki-laki, bahkan wanita pun sama menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.Aku memindai pakaianku dari atas hingga bawah setelah menaruh nampan yang kubawa.Tak ada yang aneh!Aku berpakaian cukup sopan ma
Radit terus menarik paksa tubuhku, bahkan kini ada beberapa pria juga yang mulai membantunya. Tangan mereka mulai kurang ajar menyentuhku. Hal itu tentu saja membuatku sangat benci pada Radit yang menjadi awal dari ini semua."Lepaskan! Kalian semua bajingan!" umpatku. Namun nyatanya mereka semakin menjadi.Sreet!Dress yang kukenakan sobek saat seseorang menariknya dengan cukup keras. Aku bahkan hampir terjatuh karena ulahnya.Sebisa mungkin kedua tanganku mempertahankan dressku agar tidak jatuh.Kali ini aku sudah tidak bisa melawan lagi. Mungkin aku akan benar-benar mengalami apa yang dulu Fara alami."Hentikan!" teriak suara yang tak asing ditelingaku.Tak berselang lama, satu persatu pria yang mengelilingiku menjauh saat seseorang menarik paksa mereka dan menghajarnya satu persatu."Arsen?" gumamku.Arsen dan beberapa anak buahnya kini terlibat perkelahian dengan anak buah Tuan Gavin dan juga tamun
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma