"Sekilas info! Baru saja terjadi kebakaran di sebuah kantor polisi yang mengakibatkan 30 orang meninggal dunia. Dua belas diantaranya adalah seorang tahanan dan sisanya adalah polisi. Menurut keterangan warga sekitar, sempat terdengar suara ledakan yang sangat keras sekitar pukul empat dini hari lalu tiba-tiba saja api langsung membesar dari dalam kantor polisi tersebut. Penyebab pastinya sampai kini masih dalam penyelidikan."
Aku menutup mulutku saat mendengar berita tersebut.Baru saja tadi malam aku mendengar berita tentang tertangkapnya pengedar narkoba, namun pagi ini justru pemuda itu ikut tewas dalam peristiwa kebakaran tersebut.Entah mengapa, aku jadi teringat pada almarhum bapak, kejadian ini sama persis dengan apa yang bapak alami dulu.Tak terasa air mataku menetes, antara sedih dan kesal menjadi satu.Padahal, status orang tersebut masih tersangka, sama seperti bapakku dulu.Sidang belum dilakukan dan penyelidikan masih tetap berlanjut, belum tentu juga kan dia sepenuhnya bersalah?Bisa jadi dia hanya menjadi kambing hitam dari kesalahan orang lain. Tapi sayangnya musibah seperti ini malah terjadi!"Arsen, hari ini kamu di rumah saja sama Zea, ya! Ibu cuma keluar sebentar, kok!" ucap Bu Hanum yang baru saja keluar dari kamarnya bersama Arsen membuatku langsung menoleh pada mereka.Aku hanya tersenyum saat melihat tingkah Arsen yang sepertinya sangat keberatan saat Bu Hanum melarang ikut dengannya."Tapi janji, ya Bu! Jangan lama!" ucap Arsen setelah sekian lama ia merengek."Iya. Nanti ibu belikan kamu dan Zea es krim!" sahut Bu Hanum seraya beralih menatapku. Aku hanya tersenyum seraya menghampiri mereka."Kalau untukku ...- oekh!"Aku segera berlari menuju kamar mandi karena tiba-tiba saja perutku merasa mual. Entah mengapa tiba-tiba saja aroma parfum yang digunakan Arsen membuatku merasa mual hingga muntah sejadi-jadinya."Zea, kamu kenapa, nak?" terdengar suara Bu Hanum dari balik pintu."Ze?!""Iya, Bu," sahutku setelah merasa agak baikan. Aku segera keluar dari kamar mandi."Kamu kenapa? Kok muntah-muntah?" tanya Bu Hanum seraya memegang dahiku. Terlihat jelas raut kecemasan dari wajahnya."Gak tau, Bu. Tiba-tiba saja merasa mual," sahutku."Badan kamu juga gak panas, kok. Apa mungkin masuk angin kali, ya?" gumam Bu Hanum.Mungkin benar apa yang dibilang Bu Hanum. Bagaimana tidak mau masuk angin, sedangkan sudah hampir enam bulan ini setiap malam aku harus tidur di lantai yang dingin?Karpet saja tidak cukup untuk membuat tidurku lebih hangat dan nyaman.Ah, sungguh sial memang, menikah dengan pria kaya tapi hidup tetap nelangsa seperti ini."Tapi, wajah kamu sampai pucat gitu, apa kita ke dokter saja, ya?" sambung Bu Hanum lagi."Ah, tidak usah, Bu! Palingan kalau cuma masuk angin minum obat masuk angin juga langsung sembuh," tolakku."Ya, sudah. Berhubung ibu buru-buru, kamu istirahat di rumah, ya! Ibu pergi dulu!" ucapnya seraya mengusap-usap bahuku."Arsen! Kamu jangan nakal, ya!" serunya pada Arsen yang kini nampak fokus menonton televisi.Setelah Bu Hanum pergi, aku langsung menuju dapur, membuka kotak P3K lalu mengambil minyak kayu putih dan membalurnya pada perut juga kepala, karena selain mual kini aku juga mulai merasa pusing."Ze, aku haus!" teriak Arsen yang masih setia duduk di sofa depan tv."Arsen, kamu bisa ambil sendiri. Kepalaku lagi pusing," sahutku yang kini sudah duduk di depan meja makan seraya mengurut-urut keningku."Oekhh!"Tiba-tiba rasa mual itu kembali saat Arsen mulai mendekat dan aroma parfum yang digunakannya tercium oleh hidungku."Zea gak sopan. Masa aku lewat langsung muntah?!" protes Arsen kemudian gegas ke kamar mandi.Sebenarnya aku merasa sangat bersalah karena sudah membuat baju Arsen jadi kotor karena muntahanku.Tapi untuk pergi menghampiri Arsen dan minta maaf padanya, rasanya aku tidak sanggup.Entahlah, perutku rasanya tidak bisa diajak kompromi saat mencium bau Arsen….***Tok! Tok! Tok!Entah sudah berapa kali Arsen mengetuk pintu kamar, yang pasti aku masih tetap setia berbaring di atas ranjang sambil menghirup aroma minyak kayu putih yang sedari tadi kupegang."Aku kesel sama kamu!" teriak Arsen."Arsen maaf, aku benar-benar mual saat mencium aroma parfum yang kamu pakai. Malam ini kamu tidur di kamar lain saja, ya!" seruku tanpa mau membuka pintu.Tak kudengar lagi suara dari luar sana, akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mata hingga akhirnya terlelap.Namun, entah berapa lama kemudian aku kembali terjaga saat kurasa tenggorokanku kering.Dengan malas, aku keluar dari kamar.Namun, langkahku tiba-tiba terhenti saat melihat Bu Hanum dan Arsen sedang berbicara di meja makan.Sepertinya mereka terlihat begitu serius, dan lagi aku melihat kejanggalan diwajah Arsen?"Kenapa kamu ceroboh sekali? Bagaimana kalau dugaan ibu benar?!" ucap Bu Hanum penuh penekanan."CK! Walau bagaimanapun aku ini pria normal, bu. Harusnya ibu mengerti," sahut Arsen, membuatku langsung membekap mulut tak percaya dengan apa yang barusan kudengar."Lebih baik, kamu cari pela-cur dari pada kamu malah menyentuh dia!"Lagi, ucapan Bu Hanum sukses membuatku terkejut.Bu Hanum yang selama ini kukenal baik dan alim baru saja menyuruh Arsen untuk mencari pela-cur?Apa aku sedang mimpi?Dan, apa benar suamiku normal?Kuberanikan diri untuk kembali mengintip mereka, aku sangat penasaran dengan semua ini."Ibu sudah memungutnya. Sayang juga kalau aku sia-siakan begitu saja," ucap Arsen disusul tawanya."Pokoknya, sebelum dugaan ibu terbukti benar, kamu harus segera dapatkan pembeli yang cocok untuk membeli Zea. Terlalu lama memeliharanya disini juga mengancam posisi kita. Ingat, jangan lakukan kecerobohan lagi!" ucap Bu Hanum dengan penuh penekanan.Jujur, aku tidak mengerti dengan semua ini. Hanya saja, ada perasaan sakit kala mendengarnya.Dan aku … merasa takut dengan sosok Bu Hanum yang kulihat malam ini.Dengan perlahan, aku memutar tubuhku dan berjalan pelan menuju kamarku.Kuraba perutku yang rata, terngiang ucapan Arsen yang mengaku dirinya pria normal.Apa mungkin yang dimaksud dugaan Bu Hanum adalah kehamilan?Tapi, kapan Arsen melakukannya? Kenapa aku tidak ingat?Kuraih kalender kecil yang kusimpan di laci nakas, aku bahkan tidak sadar kalau aku ternyata sudah telat datang bulan.Kubuka laci kedua, jatah pembalut yang sering dibelikan oleh Bu Hanum juga masih utuh. Itu artinya aku memang tidak datang bulan beberapa bulan ini.“Apa yang harus kulakukan?” batinku panik.Mengingat pembicaraan antara Arsen dan Bu Hanum tadi malam, aku langsung memesan alat tes kehamilan malam tadi via online. Beruntungnya hari ini alat tersebut datang tepat waktu, yaitu disaat Bu Hanum dan Arsen sudah keluar. Aku kembali mengingat kapan terakhir kali aku haid, dan benar saja sepertinya aku memang benar-benar telat haid.“Argh!”Lagi, aku mengacak rambutku kasar. Kalau sampai benar aku hamil, itu tandanya Arsen dan Bu Hanum sudah menipuku, jadi ... ucapan Bu Hanum yang mengatakan akan menjual akupun sudah pasti kebenarannya. Segera aku membuka testpack yang kupegang dan gegas ke kamar mandi untuk mencobanya.Dengan dada berdebar aku menunggu hasilnya, debaran ini sungguh jauh lebih menegangkan dibanding debaran dadaku saat pertama kali satu kamar bersama Arsen, pria idiot yang bergelar suami itu. Tunggu! Jika hasilnya positif berarti Arsen bukan pria idiot seperti yang aku pikir.Dan ...Dua garis!Lututku seketika melemas!"Tuhan ... apa yang harus kulakukan?" guma
Astaga!Lututku seketika gemetar mendengar rencana mereka. Ternyata selama ini aku benar-benar telah salah menilai Bu Hanum dan juga Arsen. Gegas aku melangkah menuju kamar ku, mengambil tas yang tadi sempat kusembunyikan lalu segera mengendap menuju pintu keluar. Sepertinya aku tidak boleh mengundur waktu lagi, apa yang barusan Arsen bilang sungguh terdengar mengerikan.Jangan sampai aku celaka untuk yang kedua kalinya!Dengan sangat perlahan aku memutar gagang pintu agar tidak menimbulkan bunyi lalu segera berlari setelah berhasil keluar."Hei, Zea?!" sayup kudengar seseorang memanggilku, namun aku tetap berlari."Hei, kamu beneran Zea, kan? Tunggu, hei!""Sial! Pake ngejar segala, lagi!" umpatku dalam hati saat kusadari seseorang mengejarku dibelakang."Zeaaa?!!"Teriakannya yang melengking memekakkan telinga akhirnya membuatku berhenti berlari.Dengan panik aku berjalan cepat menghampirinya seraya menaruh telunjuk dimulutku berharap dia mau berhenti berteriak."Sstt! Tolong, bu.
Hari sudah semakin sore, namun aku lega karena di depan sana akhirnya aku melihat jalanan besar seperti apa yang pertama kali kulihat saat menginjakkan kaki di kota ini.Pikirku, langkah selanjutnya mungkin aku hanya tinggal mencari terminal, pergi ke sana untuk pulang ke kampung halaman.Ya, walau sepertinya aku tidak akan mendapat sambutan baik dari keluargaku, tapi ... tak apalah, setidaknya aku jangan sampai bernasib lebih malang di perantauan ini.Kuperbaiki letak tas yang kini terasa semakin berat lalu kembali melangkah sebelum akhirnya aku jatuh tersungkur saat seseorang yang mengendarai motor menarik paksa tasku."Tolong ...! Jambret! Tolong ... ada jambret!" teriakku seraya menatap nanar pada dua orang pengendara motor yang telah berhasil membawa paksa tas ku.Arggh!Aku memukul diudara untuk melampiaskan kekesalan ku. Uang jajan yang selama ini Bu Hanum berikan padaku ada di dalam tas tersebut. Lalu, bagaimana aku bisa pulang jika saat ini aku tidak punya uang untuk ongkos?
"Ze, kamu lagi ngapain?" tanya Bu Hanum membuatku sedikit terkejut hingga tak sengaja tespack yang aku pegang kini terjatuh.Dengan perlahan Bu Hanum mengambil tespack tersebut, ia menatapnya agak lama kemudian beralih menatapku dengan penuh tanya."Apa ini penyebabnya, Ze?" tanyanya pelan, sedang aku hanya diam karena bingung harus berkata apa."Iya, Bu. Tolong jelaskan maksud dari semua ini!" pintaku akhirnya dengan menekan rasa takut dalam hati.Pikirku, aku tidak boleh terus mengulur waktu, jika memang mereka orang jahat, maka aku harus segera bisa melepaskan diri dari mereka."Kamu ingin punya anak? Apa selama ini Arsen memperlakukan mu seperti istri yang sesungguhnya?" Bu Hanum malah balik bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya."Apa kamu sedang berharap ada dua garis merah dalam benda tersebut?" lagi Bu Hanum membuat pikiranku untuk berterus terang kalau aku tau semuanya mulai goyah."Cukup, Bu! Siang tadi tespack ini memang menunjukan hasil positif. Harusnya aku yang berta
Aku mengerjapkan mataku berulang saat kudengar suara serine di luar sana.Rupanya, hari telah berganti malam, entah berapa lama aku ketiduran, bahkan keadaan kamar kini begitu gelap.Gegas aku turun dari ranjang dan meraba-raba saklar lampu, setelah ketemu segera kutekan hingga ruangan kini berubah terang.Otakku terus menebak-nebak kiranya siapa yang sedang berurusan dengan polisi di luar sana.Namun, refleks aku hampir saja menjerit saat kusadar bahwa kini aku tak memakai pakaian barang sehelaipun.Suara tawa tiba-tiba saja terdengar dari arah kamar mandi, gegas aku berlari menuju tempat tidur dan meraih selimut untuk menutupi tubuh.Arsen muncul dari balik pintu dengan seringai yang menakutkan, sebuah ponsel yang tak lain adalah milikku sedang ia mainkan dengan sebelah tangannya."Tetap disini dan jadilah wanita penurut, jika kamu tak mau mempermalukan dirimu sendiri!" ucapnya seraya mendekat.Kutepis tangannya yang tiba-tiba saja memegang daguku, sebuah senyum sinis ia sunggingkan
"Arggh! Ibu ini kenapa sih?" protes Arsen seraya melonggarkan kungkungannya."Kita harus segera pergi dari sini sebelum lebih banyak lagi orang yang ikut campur. Ingat itu!" sentak Bu Hanum dengan raut kesal di wajahnya."Iya, iya, iya!" Arsen bangkit dan menghampiri Bu Hanum, sedangkan wanita itu sendiri malah memalingkan wajahnya dan terlihat geli pada Arsen yang melenggang dengan santai tanpa sehelai benang."Tunggu setengah jam saja!" bisik Arsen seraya tersenyum kemudian menutup pintu dan menguncinya."Dasar keras kepala!" umpat Bu Hanum disusul langkahnya yang terdengar kian menjauh."Apa kamu mau merasakan surga dunia, Ze?" tanya Arsen seraya kembali mengunci pintu.Aku menggeleng cepat seraya mempererat pelukan tanganku pada kedua lutut. Saat ini duduk seraya memeluk lutut adalah satu satunya hal yang bisa kulakukan untuk menutupi diri ini.Malu, marah, sedih dan kesal juga takut kini bercampur dalam hatiku. Aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi
Perjalanan yang kami lalu terasa amat membosankan karena tak ada satupun yang bersuara diantara kami bertiga.Malam pun semakin larut hingga aku tak lagi mampu menahan kantuk.Entah berapa lama aku terlelap, hingga kurasakan sebuah tepukan pelan dipipiku, akupun mengerjapkan mata dan menguap beberapa kali karena rasa kantuk yang belum terobati. Rasanya baru saja mata ini terpejam namun aku sudah dibangunkan. Apa mungkin ini sudah sampai? Apa mungkin malam ini juga aku akan dijual? Batinku terus bertanya."Ayo cepat turun!" sentak Arsen seraya menarik tanganku."Arsen, kumohon ... jangan jual aku. Apapun syaratnya aku bersedia lakukan asal kamu mau melepaskan ku," ucapku mengiba."Cih! Kamu pikir aku sudi mempertahankan wanita kampung kaya kamu? Kalau laku, ya lebih baik kujual 'kan?" decihnya kemudian tersenyum miring."Arsen, apapun alasannya, apapun tujuannya, intinya kamu sudah menikahiku secara sah meski kita hanya menikah siri. Tapi, itu tandanya kamu sudah berjanji dihadapan
Malam begitu cepat berlalu.Dengan susah payah aku bangun dan bergegas untuk membersihkan diri. Seluruh tubuhku rasanya sakit semua."Apa ini karena ulah Arsen tadi malam?""Tapi, jika itu penyebabnya, mengapa sebelumnya aku tak pernah merasakan hal yang sama? Bukankah tadi malam itu bukan yang pertama?"Tak hentinya aku bertanya meski kutau jawabannya harus kupikirkan sendiri hingga membuat kepalaku berdenyut nyeri.Tak hanya itu saja, sensasi mual seperti tempo hari kini kembali terasa.Aku segera menyudahi aktifitas ku saat rasa mual itu semakin menjadi.Pikirku, mungkin aku masuk angin karena kemarin terlalu lama tanpa busana dan setelahnya langsung melakukan perjalanan yang kurasa cukup jauh.Setelah selesai berpakaian, aku bergegas menuju dapur. Mungkin segelas air hangat bisa membuat rasa mualku sedikit berkurang."Apa?! Vitamin dan obat pereda nyeri?"Ku hentikan langkahku saat kudengar suara Bu Hanum yang tengah berdiri beberapa langkah di depanku. Sepertinya ia sedang berbic
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma