Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggilku, seiring dengan terciumnya aroma minyak kayu putih.Perlahan aku membuka mata, samar kulihat seorang pria sedang duduk di sampingku."Arsen?" gumamku saat semuanya sudah terlihat jelas."Nah, sadar juga akhirnya! Ibu pikir kamu akan bernasib sama kaya bangkai tadi," celetuk Bu Hanum yang ternyata juga ada di ruangan ini."Kamu itu ternyata keras kepala, ya! Gak bisa diperingatkan dengan cara halus!" ketus Bu Hanum dengan tatapan marah."Pokoknya, mulai malam ini kamu akan dikurung di kamar ini!" sambungnya kemudian berlalu.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, ternyata ini memang bukanlah kamar yang tadi. Sontak aku membulatkan mata saat aku sadar ternyata aku ada di ruangan dengan pintu dobel itu."Arsen, aku cuma ingin cari udara segar dan tak ada niatan kabur sama sekali. Jadi tolong, jangan kurung aku disini," ucapku seraya memegang pergelangan tangannya."Kamu harap aku percaya?" tanyanya seraya mengangkat sebelah alisnya.Aku
Tak ubahnya seperti hewan yang menunggu datangnya majikan dan berharap diberi makanan. Entah berapa lama aku duduk seraya bersandar pada jeruji besi ini. Sesekali aku juga menoleh ke arah ruang tamu, berharap Arsen ataupun Bu Hanum segera datang dan sadar bahwa aku dari tadi belum makan.Namun, sampai kakiku terasa kesemutan, tak ada satupun dari mereka yang muncul.Tubuhku rasanya makin lemas saja, hingga kuputuskan untuk kembali meringkuk di tempat tidur.Namun, saat mata ini hampir terpejam, kudengar suara gembok yang dibuka.Dengan perasaan senang, akupun segera menoleh dan terlihat Arsen masuk lalu segera mengulurkan tangannya.Untuk beberapa saat aku hanya terdiam memandang tangan yang terulur tersebut, hingga setelah kutatap wajahnya yang kini terlihat lebih bersahabat, akupun langsung menerima uluran tangannya.Tanpa bicara, Arsen menuntunku ke dapur."Kamu, masak?" tanyaku seraya menutup mulut.Mengingat perutku yang sangat lapar, makanya aku begitu senang saat melihat banyak
"Enggak! Ngapain juga aku nguping?" kilahnya seraya meraih kunci mobil dari tanganku."Arsen, tunggu!" ucapku seraya menahan langkahnya."Apalagi? Aku lagi buru-buru," sahutnya."Em, aku boleh minta tolong ambilkan ponselku yang dibawa polisi, gak?" tanyaku penuh harap."Kamu mau hubungin siapa lagi? Mau minta tolong buat kabur lagi, hah?" Arsen malah balik bertanya.Aku menggeleng dengan cepat."Enggak, kok! Aku bukan mau kabur," sahutku."Sebenarnya, aku mau ponsel itu karena di dalamnya ada foto kedua orangtuaku. Aku gak mau sampai kehilangan foto itu. Karena cuma itu satu-satunya kenangan yang kupunya. Soalnya-"Ucapanku terjeda kala air mataku menetes tak tertahan. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku mudah sekali menangis. Apalagi kalau teringat pada ibu dan bapakku."Soalnya, apa?" tanya Arsen seraya mengangkat daguku."Soalnya, album foto kebersamaan kami hilang bersama tas yang dijambret kemarin," jelasku.Untuk sejenak Arsen hanya diam, ia tampak sedang memikirkan sesuatu."Ple
"Kamu gak papa?" tanyaku seraya menepuk-nepuk punggungnya.Arsen mengangkat sebelah tangannya seraya menggeleng pelan."Aku ke toilet dulu!" ucapnya kemudian berlalu.Akupun turut beranjak dari kursi untuk menaruh foto kedua orangtuaku ke dalam kamar. Setelah itu menyusul Arsen ke dapur dan mengajaknya makan malam bersama.Entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, kurasa sikap Arsen saat tak ada Bu Hanum sedikit berbeda. Ia sedikit lembut dan juga tidak irit bicara.****Satu Minggu berlalu.Aku tak pernah mendengar kabar tentang Bu Hanum. Saat kutanya Arsen, ia hanya menjawab ibu sedang ada urusan. Ia tak pernah mau menceritakan urusan apa dan dimana. Padahal, aku benar-benar mengkhawatirkannya.Meski aku merasa hubunganku dengan Arsen sudah semakin dekat, namun tetap saja Arsen seolah memberi batasan diantara kami. Ia tak mau terbuka soal masalah pekerjaannya ataupun masa lalunya yang sampai sekarang belum ku ketahui dengan pasti.Sama halnya seperti hari ini, kulihat seh
Setelah kejadian tadi, semuanya terasa berubah. Suasana kembali dingin dan terasa canggung. Ternyata firasatku tidak salah, kehadiran Bu Hanum memang mempengaruhi sikap Arsen padaku.Seperti malam ini, meski beberapa kali aku mencoba untuk mengajak Arsen bicara, ia tetap saja diam hingga kami habiskan malam ini tanpa adanya pembicaraan sama sekali.Padahal, banyak sekali hal yang ingin kutanyakan padanya.****Siang ini Arsen dan Bu Hanum benar-benar kedatangan tamu.Seorang pria berambut putih nampak sedang duduk di ruang tamu bersama Arsen dan juga Bu Hanum.Dari raut wajahnya, kutaksir usianya sekitar 60 tahunan.Tubuhnya berisi, tidak terlalu gemuk dan tidak juga kurus, Postur tubuhnya tinggi namun agak sedikit bungkuk.Aku yakin, dia adalah pria yang Bu Hanum maksud kemarin.Mengingat mungkin dia orang yang akan membeliku, akupun bergidik ngeri!"Semoga saja, dia urungkan niat buruknya itu!" gumamku seraya mengangkat kedua telapak tangan di depan wajah.Duk!Aku begitu terkejut s
"Sebenarnya masalah anak dalam kandungannya itu udah aku cantumkan dalam surat perjanjian tersebut. Mungkin bapak kurang jeli dalam membacanya," sambung Arsen tanpa merespon ucapanku."Hmm, jadi?"Pak Seno mengusap jambang tipisnya seraya menatap wajah Arsen.Ia terlihat kesal lalu meraih kertas yang tergeletak di atas meja dan terlihat mulai fokus membacanya."Bapak sudah tandatangan. Pilihannya tinggal dua, mau manfaatin dulu sebagai pembantu atau mau nunggu sampai nanti lahiran aja?" tanya Arsen seraya tersenyum tipis.Pak Seno nampak berpikir, sedangkan Bu Hanum terlihat mulai cemas. Mungkin dia khawatir transaksinya gagal.Sedangkan aku sendiri berharap Pak Seno membatalkan niatnya."Oke! Aku akan bawa dia sebagai pembantu. Hanya saja, jika memungkinkan untuk ditiduri, kenapa tidak? Bukan begitu?" ucap Pak Seno kemudian terkekeh."Tentu saja! Hanya saja bapak harus ingat poin pentingnya. Jika sampai terjadi sesuatu pada kandungannya, bapak harus membayarnya tiga kali lipat," jela
"Fahri Raditya Algi. Iyakan?" tanyaku sekali lagi saat pria itu malah mengerutkan dahinya dan terlihat bingung."Kok, mbak tau nama lengkap saya?" Kali ini ia malah balik bertanya."Aku Zea! Alifa Zea Amanda. Inget kan?" ucapku antusias.Sejenak pria itu terdiam seolah sedang mengingat.Beberapa saat kemudian ia tertawa lebar seraya menuntunku untuk keluar dari mobil."Ya ampun, Zea! Ternyata kamu Zea sahabatku. Aku gak nyangka kita bisa bertemu lagi!" ucapnya girang."Panggil aku Radit! Karena disini mereka memanggilku dengan nama itu," sambungnya.Aku mengangguk seraya tersenyum senang.Fahri Raditya Algi.Ia adalah sahabat kecilku sewaktu di kampung. Kami tumbuh dan bermain bersama karena kebetulan kami memang bertetangga.Hanya saja, setelah ibu dan bapakku meninggal aku dan dia jadi jarang bertemu. Kami biasa bertemu hanya pada saat di sekolah saja. Itupun hanya sampai SMP, karena kebetula
Brakk!Aku dan perempuan tadi terlonjak kaget saat pintu tiba-tiba saja dibuka dengan kasar."Fara, bagaimana keadaannya, hah?" ucap Pak Seno."Di-dia pendarahan, pak!" sahutnya terbata.Kulihat perempuan yang ternyata bernama Fara itu menundukkan wajahnya seraya meremas jari jemarinya.Entah apa alasannya sampai ia terlihat ketakutan seperti itu."Dasar gak becus! Kenapa dibiarkan saja!" sentak Pak Seno."Aku gak tau harus ngapain, pak!" cicitnya."Halah ...! Dasar gak berguna!" umpat Pak Seno seraya melayangkan tangannya pada wajah Fara."Pokoknya, kamu harus buat kandungannya baik-baik saja! Jika tidak, kamu akan tau akibatnya!" ancamnya seraya mengguncang tubuh Fara."Ba-bagaimana kalau kita ba-bawa ke rumah sakit saja, pak!" Dengan terbata Fara memberi usul."Lalu, apa gunanya kamu disini?!" sentak Pak Seno.Suaranya menggelegar dengan mata yang seolah akan kelu
Sudah genap satu bulan sejak kejadian mengerikan malam itu. Sejauh ini akhirnya aku dan Arsen bisa kembali bernafas lega. Menjalani hari dengan normal tanpa ada gangguan ataupun ancaman.Bang Gavin dan Keyla sendiri nampaknya juga sedang menikmati momen indah mereka sebagai pengantin baru. Ya, ternyata saran Arsen saat di rumah sakit disetujui oleh Bang Gavin. Mereka akhirnya pergi bulan madu tanpa harus membuat ulang pesta.Tadinya Arsen hendak membayarkan tiket untuk mereka sebagai hadiah, namun sepertinya Bang Gavin merasa kasihan pada kondisi keuangan kami yang sedang acak-acakan hingga ia menolaknya dengan halus."Ah, syukurlah, Ze! Akhirnya resto itu bisa kembali lagi ke tangan kita. Lusa, mungkin berkas-berkasnya sudah beres, jadi ... kita bisa kembali mengelolanya," ucap Arsen seraya duduk disampingku."Syukurlah. Semoga kali ini berjalan lancar," sahutku penuh harap.Aku baru saja hendak menyandarkan kepalaku di bahunya, akan tetapi dering ponsel justru membuat Arsen bangkit
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.