"Fahri Raditya Algi. Iyakan?" tanyaku sekali lagi saat pria itu malah mengerutkan dahinya dan terlihat bingung.
"Kok, mbak tau nama lengkap saya?" Kali ini ia malah balik bertanya."Aku Zea! Alifa Zea Amanda. Inget kan?" ucapku antusias.Sejenak pria itu terdiam seolah sedang mengingat.Beberapa saat kemudian ia tertawa lebar seraya menuntunku untuk keluar dari mobil."Ya ampun, Zea! Ternyata kamu Zea sahabatku. Aku gak nyangka kita bisa bertemu lagi!" ucapnya girang."Panggil aku Radit! Karena disini mereka memanggilku dengan nama itu," sambungnya.Aku mengangguk seraya tersenyum senang.Fahri Raditya Algi.Ia adalah sahabat kecilku sewaktu di kampung. Kami tumbuh dan bermain bersama karena kebetulan kami memang bertetangga.Hanya saja, setelah ibu dan bapakku meninggal aku dan dia jadi jarang bertemu. Kami biasa bertemu hanya pada saat di sekolah saja. Itupun hanya sampai SMP, karena kebetulaBrakk!Aku dan perempuan tadi terlonjak kaget saat pintu tiba-tiba saja dibuka dengan kasar."Fara, bagaimana keadaannya, hah?" ucap Pak Seno."Di-dia pendarahan, pak!" sahutnya terbata.Kulihat perempuan yang ternyata bernama Fara itu menundukkan wajahnya seraya meremas jari jemarinya.Entah apa alasannya sampai ia terlihat ketakutan seperti itu."Dasar gak becus! Kenapa dibiarkan saja!" sentak Pak Seno."Aku gak tau harus ngapain, pak!" cicitnya."Halah ...! Dasar gak berguna!" umpat Pak Seno seraya melayangkan tangannya pada wajah Fara."Pokoknya, kamu harus buat kandungannya baik-baik saja! Jika tidak, kamu akan tau akibatnya!" ancamnya seraya mengguncang tubuh Fara."Ba-bagaimana kalau kita ba-bawa ke rumah sakit saja, pak!" Dengan terbata Fara memberi usul."Lalu, apa gunanya kamu disini?!" sentak Pak Seno.Suaranya menggelegar dengan mata yang seolah akan kelu
"Kamu kenal dia?" tanya Fara seraya memicingkan matanya."Tentu! Dia itu sahabatku saat di kampung. Kamu juga kenal Radit? Dia orang yang baik, gak mungkin 'kan dia ikut memperlakukanmu dengan tidak layak?" jelasku."Ya, Radit memang orang yang baik. Sayang, kebaikannya malah membuatnya ikut terjebak di sini," ucap Fara.Pandangannya kini kembali lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu yang telah berlalu.Hal itu tentu saja membuatku semakin tertarik untuk terus bertanya banyak hal padanya."Memangnya, apa yang membuat Radit bisa berurusan dengan Pak Seno?""Sebenarnya, Radit itu ...-""Fara!""Fara!"Ucapan Fara terjeda kala terdengar Pak Seno berteriak memanggil namanya."Aku pergi dulu!" ucapnya tergesa.Aku hanya bisa menghembuskan nafas gusar!Padahal aku masih ingin berbicara banyak hal dengannya.Kuraih koper dan kembali membukanya untuk memindahkan pa
"Pergilah jika kamu hanya ingin mengganggu! Jangan rusak kesenanganku!" sentak Pak Seno seraya menatapku tajam."Aku tak akan pergi sebelum kalian hentikan kedzaliman ini!" ucapku tak kalah lantang.Aku bergegas mengambil spatula lalu memukul satu persatu pria yang sedang melecehkan Fara."Berhenti! Kalian harus berhenti melakukannya!" teriakku."Abaikan wanita itu jika kalian tak ingin bernasib sama seperti Radit," ucap Pak Seno datar.Aku menoleh lalu menatap tajam pada Pak Seno.Merasa usahaku untuk menolong Fara sia-sia karena jumlah pria yang mengerjainya sekitar sepuluh orang, akupun bergegas menghampiri Radit yang sepertinya sudah pingsan."Berhenti menyetrum nya!" sentakku pada pria yang tetap menjalankan tugasnya.Pria itu tak merespon!Ia seolah menulikan telinganya akan ucapanku."Berhenti, atau aku pukul kamu!" ancamku dengan spatula yang siap melayang pada tangannya.Lagi,
Meski hatiku rasanya teriris melihat apa yang Fara lakukan, namun tak urung aku pergi juga.Aku tau, dia sengaja mengorbankan dirinya demi melindungiku, dan karena itu aku tak boleh menyia-nyiakan pengorbanannya!"Sudah siap, mbak? Mari!"Seorang pria dengan baju juga aksesoris serba hitam tiba-tiba saja menghampiriku.Aku menatap penampilannya dari atas hingga bawah."Kamu siapa?" tanyaku seraya memicingkan mata.Kurasa dia bukan salah satu bodyguard nya Pak Seno.Soalnya, penampilannya berbeda.Tak hanya memakai masker saja, pria yang kini berdiri di depanku juga memakai kacamata dan juga topi."Pak Seno memintaku untuk mengantarmu pada seseorang," sahutnya."Heh, memangnya aku ini barang apa? Di antar kesana kesini?!" sungutku."Tidak usah membuang waktu! Ayo!" ajaknya seraya menarik tanganku."Tunggu! Aku gak mau! Kamu harus bilang dulu, aku mau dibawa kemana dan untuk apa
"Padahal sudah jelas, aku telpon kamu untuk minta bantuan agar kamu menolong Fara. Tapi, nyatanya kamu juga turut menyakitinya!" kesalku seraya memalingkan wajah."Ya aku terpaksa! Aku cuma gak mau kamu disentuh oleh Pak Seno. Memangnya, kamu mau apa?" ucap Arsen."Kamu kan laki-laki! Kenapa gak kamu aja yang nolong aku?!" ketusku."Justru karena aku laki-laki! Mana mau Pak Seno sama aku," celetuknya seraya mengulum senyum."Arsen gak lucu! Maksudku bukan kamu yang gantiin posisi aku! Memangnya kamu gak bisa apa lawan dia? Lagian dia udah tua juga, pasti gak akan sulit untuk mengalahkannya," cerocosku."Sudahlah Ze! Gak usah dibahas lagi, kamu gak akan mengerti!" tukasnya."Iya, aku gak akan ngerti! Soalnya kamu juga gak pernah jelasin apa-apa!" ketusku.Arsen tak menjawab lagi. Ia malah menyandarkan punggungnya pada pohon dan terlihat kembali bersantai.Sedangkan aku sendiri terus menimbang dalam hati. Kiranya
"Loh, kenapa dia bisa ikut sama kamu?"Bu Hanum langsung menghadang kami begitu aku dan Arsen masuk ke dalam rumah."Ceritanya panjang, Bu. Aku lelah, ini sudah hampir pagi sedang aku sama sekali belum tidur," sahut Arsen seraya menguap."Arsen, jangan coba-coba buat masalah!" tekan Bu Hanum dengan tatapan tajam."Ibu tenang aja! Pak Seno sendiri yang memintanya agar Zea kembali kesini," jelas Arsen kemudian berlalu menuju kamarnya.Aku tersenyum seraya mengulurkan tanganku pada Bu Hanum. Namun, hingga sepersekian detik tak ada juga sambutan darinya.Akhirnya aku langsung meraih tangan Bu Hanum dan menciumnya dengan takjim."Ibu apa kabar? Aku senang bisa kembali ke keluarga ini," ucapku."Gak usah basa-basi! Udah sana masuk!" sahut Bu Hanum ketus.Aku hanya mengangguk kemudian menyusul Arsen ke kamar.Kulihat Arsen nampak sudah tertidur pulas.Jika diamati, tak ada sedikitpun raut jah
Setelah kekacauan yang terjadi saat masak memasak. Akhirnya kini menu sarapan kami hanya nasi goreng telur ceplok saja. Karena didalam kulkas hanya tinggal tersisa telur.Aku dan Arsen beberapa kali saling mencuri pandang ke arah Bu Hanum yang sepertinya masih kesal dengan kejadian tadi.Setelah saling memberi kode, akhirnya aku memulai pembicaraan."Ibu masih marah?" tanyaku pelan.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia kemudian menggeleng pelan."Kalau gitu, kenapa ibu diam aja?" tanyaku hati-hati."Gak papa! Cuma lagi bad mood aja!" sahutnya.Aku dan Arsen hanya saling melempar pandang, sedangkan Bu Hanum nampak tergesa menghabiskan sisa makanannya."Ibu udah selesai! Nanti piring kotornya kamu cuci, ya Ze!" ucap Bu Hanum."Iya Bu. Nanti biar aku yang beresin semuanya," sahutku kemudian tersenyum."Arsen, kira-kira ibu kenapa sih? Masa cuma gara-gara masakannya gosong dan sayuran yang terbuang dia
Aku menghela nafas cukup dalam. Mencoba untuk menerka maksud dari pembicaraan mereka tentang ayah Arsen."Apa mungkin Arsen membunuh ayahnya sendiri?" gumamku.Sedetik kemudian aku menggeleng dengan cepat.Tapi rasanya tidak mungkin!Sejahat apapun seorang ayah, mana mungkin ada anak yang tega membunuh ayah kandungnya sendiri.Tap! Tap! Tap!Suara langkah kaki diluar sana membuatku panik. Aku celingukan ke kanan dan kiri mencari tempat persembunyian yang aman. Namun, tak ada satupun tempat yang bisa menyembunyikan tubuhku. Hal itu membuatku semakin kalang kabut, apalagi saat kudengar suara langkah kaki itu makin mendekat.Kurasa, mungkin itu Bu Hanum yang akan masuk ke kamarnya.Ceklek!Pintu terbuka bersamaan dengan munculnya sosok Bu Hanum. Ia nampak terkejut saat melihatku, begitupun sebaliknya. Namun, aku tetap berusaha tenang dengan memberikan senyum termanis ku padanya."Kamu ngapain disi
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.
Sesampainya di Polsek. Aku dan Arsen segera turun. Tak lupa, Arsen juga memastikan bahwa satpam tadi juga ada bersama kami.Dengan tergesa, Arsen kembali menarik paksa wanita tadi untuk segera masuk."Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang polisi yang tengah berjaga."Saya mau membuat laporan!" tegas Arsen."Baik, silahkan duduk!" ucapnya.Arsen duduk di kursi yang sudah disediakan. Disampingnya wanita itu juga turut duduk. Sedangkan aku berdiri di belakang Arsen bersama satpam tadi."Siapa namanya, pak?" tanya polisi tadi seraya menatap Arsen."Arsen!" sahut Arsen singkat."Boleh nama lengkapnya?" tuturnya lagi."Arsenio Cleosa Raymond!" sahut Arsen cepat."Alamat?" polisi itu kembali bertanya. Setiap pertanyaan yang ia ajukan selalu dimintai jawaban yang detail.Arsenpun terus menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan padanya. Hingga ujungnya polisi tersebut meminta KTP milik Arsen.Arsen mengernyitkan dahinya. Ia pun lantas bertanya balik."Maaf, pak! Disini saya ma