Silaunya sinar mentari yang menembus tirai membuatku terjaga, dan hal yang pertama kali aku lakukan adalah meraba seluruh pakaianku dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Detik kemudian, aku tersenyum mencemooh diriku sendiri.Bisa-bisanya aku sampai berpikir bahwa pria seperti Arsen akan melakukan hal yang macam-macam padaku!"Itu semua gak mungkin, Zea! Dia itu bukan pria yang normal!" Aku mendesis pelan.Gegas aku turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi, mengetuk pintunya dan memanggil Arsen beberapa kali, hingga akhirnya aku kembali menepuk jidat seraya merutuki diriku sendiri."Sudah tau pria itu tak bisa mandi sendiri, mana mungkin juga dia berada di dalam?" gumamku.Aku segera masuk dan membersihkan diriku, setelah itu bergegas turun untuk membuat sarapan.Beberapa ikat sayur dan daging aku keluarkan dari dalam kulkas.Rasanya, pagi ini aku ingin membuat tumis kangkung dan ayam goreng serta sambal, seperti yang sering almarhumah ibu buat untukku.Tanpa sadar, otakku kembali memutar masa kecilku yang indah.Meski keadaan ekonomi kami serba pas-pasan, tapi ibu dan bapak selalu memiliki waktu luang untukku.Makan bersama adalah momen yang paling menyenangkan. Walau hanya dengan lauk seadanya, tapi kami sering bercanda dan berbagi kebersamaan.Sayangnya, keadaan itu mulai berubah saat aku mulai memasuki sekolah dasar.Entah bagaimana ceritanya, bapak menjalin sebuah kerja sama dengan seseorang, hingga keadaan ekonomi kami mulai membaik.Namun, bapak jadi selalu sibuk dan dituntut untuk terus siap siaga kapanpun ia dipanggil.Aku mulai merengek pada ibu dan sepertinya ia merasakan hal yang sama.Keduanya jadi bertengkar terus-menerus, hingga bapak ditangkap polisi sebagai tersangka pengedar barang haram saat aku kelas 2 SD!Parahnya, selang dua hari dari penangkapan tersebut, bapak dikabarkan meninggal dunia karena lapas yang kebakaran.Sejak saat itulah penderitaan ku dimulai, ibu jadi sakit-sakitan, hingga beliau akhirnya meninggal.Memikirkan itu membuatku tanpa sadar meneteskan air mata.Puk!"Ze, kamu nangis?"Tepukan halus dan pertanyaan Bu Hanum membuatku segera tersadar dari lamunan."Aku hanya teringat pada kedua orang tuaku, Bu. Aku kangen mereka," sahutku.Bu Hanum tersenyum seraya mengusap-usap bahuku. Ia lantas menarik kursi lalu duduk."Jangan ditangisi terus, jika ingat pada mereka, lebih baik doakan. Itu akan jauh lebih bermanfaat bagi mereka," ucap Bu Hanum seraya menyendok nasi ke atas piring yang telah aku siapkan."Arsen, ayo duduk! Kita sarapan dulu," sambungnya.Aku ikut menggeser kursi dan duduk di depan Arsen lalu mengambilkan nasi dan lauk untuknya."Arsen udah mandi?"Tiba-tiba pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.Membuat Bu Hanum menghentikan suapan yang hendak masuk ke dalam mulutnya dan memberikan tatapan serta senyum anehnya padaku juga Arsen secara bergantian.Kini aku ingin sekali mencabut ucapanku barusan.Aku tau, saat ini Bu Hanum pasti sedang berpikiran yang macam-macam, sedangkan Arsen sendiri masih tetap pada wajah polos dengan ekspresi mengesalkannya itu."Apa …""Aku cuma tanya, Bu. Soalnya tadi malam Arsen bilang gak bisa mandi sendiri, dan pagi ini ... tiba-tiba saja Arsen sudah rapih," ucapku memotong ucapan Bu Hanum."Astaga, ibu malah berpikir kalau kalian ...," ucapan Bu Hanum terhenti dengan tawa yang tertahan."Kalian ngomongin apa, sih?" tanya Arsen dengan polosnya. Bu Hanum hanya terkekeh kemudian melanjutkan aktivitas makannya.Aku pun langsung mengalihkan fokus ku pada sarapan pagi ini hingga Bu Hanum pamit untuk pergi bersama Arsen ke kantornya.Bu Hanum tetap membawa pria itu untuk ikut dengannya dengan alasan bahwa Arsen adalah satu-satunya penyemangat yang ia punya.“Hati-hati ya!” ucapku sembari melambaikan tangan.Diam-diam, aku merasa kagum dengan Bu Hanum.Sebagai seorang janda yang memiliki anak dengan keterbelakangan seperti Arsen, ia malah memilih untuk melakukan semuanya sendiri.Hal itu terbukti dari dia yang enggan untuk menikah lagi meski katanya sudah menjanda selama 20 tahun lamanya.Bahkan, ia tak memiliki satu pun pekerja di rumahnya meski aku yakin beliau akan sangat mampu untuk membayar banyak.Jika dilihat dari semua harta yang ia miliki saat ini, aku yakin bisnis yang Bu Hanum jalani adalah bisnis besar meski aku tak tahu itu apa.Yang jelas, kasih sayang Bu Hanum pada Arsen mengingatkan aku pada almarhumah ibu!Mungkin, semua ibu di dunia ini memiliki kasih sayang dan cinta yang tak terbatas untuk anaknya apapun kondisinya.Deg!Tiba-tiba saja ada debaran aneh di dada ini.‘Dengan kondisi pernikahanku yang seperti ini, apakah memungkinkan bagiku menjadi seorang ibu?’batinku pedih.Rasanya, aku masih perlu belajar banyak dari Bu Hanum untuk menjadi wanita yang kuat dan mampu menerima kenyataan hidup.Tak terasa, waktu pun bergulir.Kini, aku menahan senyum saat melihat Arsen yang sedang duduk di depan televisi. Terkadang, aku merasa heran dengan hobi pria itu, aku pikir pria yang memiliki sikap dan kebiasaan seperti anak kecil itu akan lebih suka menonton film kartun atau film anak-anak. Tapi, dia malah lebih suka dengan acara berita! Aku bahkan sering bertanya-tanya apakah mungkin Arsen mengerti dengan apa yang disampaikan dalam setiap berita yang ia tonton?"Seorang pemuda berinisial A.N tersangka pengedar narkoba baru saja ditangkap oleh pihak yang berwajib. Pemuda yang buron selama satu minggu itu akhirnya tertangkap di sebuah rumah kosong yang kuat dugaan kerap menjadi tempat untuk bertransaksi barang haram tersebut."Aku mengernyitkan dahi ku saat tiba-tiba saja aku menangkap raut kekesalan dari wajah Arsen. Apakah mungkin ekspresi kesalnya itu karena mendengar berita tersebut?"Arsen?" sapaku, seraya duduk disampingnya.Arsen hanya bergumam tanpa mengalihkan matanya dar
"Sekilas info! Baru saja terjadi kebakaran di sebuah kantor polisi yang mengakibatkan 30 orang meninggal dunia. Dua belas diantaranya adalah seorang tahanan dan sisanya adalah polisi. Menurut keterangan warga sekitar, sempat terdengar suara ledakan yang sangat keras sekitar pukul empat dini hari lalu tiba-tiba saja api langsung membesar dari dalam kantor polisi tersebut. Penyebab pastinya sampai kini masih dalam penyelidikan."Aku menutup mulutku saat mendengar berita tersebut. Baru saja tadi malam aku mendengar berita tentang tertangkapnya pengedar narkoba, namun pagi ini justru pemuda itu ikut tewas dalam peristiwa kebakaran tersebut. Entah mengapa, aku jadi teringat pada almarhum bapak, kejadian ini sama persis dengan apa yang bapak alami dulu.Tak terasa air mataku menetes, antara sedih dan kesal menjadi satu. Padahal, status orang tersebut masih tersangka, sama seperti bapakku dulu. Sidang belum dilakukan dan penyelidikan masih tetap berlanjut, belum tentu juga kan dia sepenu
Mengingat pembicaraan antara Arsen dan Bu Hanum tadi malam, aku langsung memesan alat tes kehamilan malam tadi via online. Beruntungnya hari ini alat tersebut datang tepat waktu, yaitu disaat Bu Hanum dan Arsen sudah keluar. Aku kembali mengingat kapan terakhir kali aku haid, dan benar saja sepertinya aku memang benar-benar telat haid.“Argh!”Lagi, aku mengacak rambutku kasar. Kalau sampai benar aku hamil, itu tandanya Arsen dan Bu Hanum sudah menipuku, jadi ... ucapan Bu Hanum yang mengatakan akan menjual akupun sudah pasti kebenarannya. Segera aku membuka testpack yang kupegang dan gegas ke kamar mandi untuk mencobanya.Dengan dada berdebar aku menunggu hasilnya, debaran ini sungguh jauh lebih menegangkan dibanding debaran dadaku saat pertama kali satu kamar bersama Arsen, pria idiot yang bergelar suami itu. Tunggu! Jika hasilnya positif berarti Arsen bukan pria idiot seperti yang aku pikir.Dan ...Dua garis!Lututku seketika melemas!"Tuhan ... apa yang harus kulakukan?" guma
Astaga!Lututku seketika gemetar mendengar rencana mereka. Ternyata selama ini aku benar-benar telah salah menilai Bu Hanum dan juga Arsen. Gegas aku melangkah menuju kamar ku, mengambil tas yang tadi sempat kusembunyikan lalu segera mengendap menuju pintu keluar. Sepertinya aku tidak boleh mengundur waktu lagi, apa yang barusan Arsen bilang sungguh terdengar mengerikan.Jangan sampai aku celaka untuk yang kedua kalinya!Dengan sangat perlahan aku memutar gagang pintu agar tidak menimbulkan bunyi lalu segera berlari setelah berhasil keluar."Hei, Zea?!" sayup kudengar seseorang memanggilku, namun aku tetap berlari."Hei, kamu beneran Zea, kan? Tunggu, hei!""Sial! Pake ngejar segala, lagi!" umpatku dalam hati saat kusadari seseorang mengejarku dibelakang."Zeaaa?!!"Teriakannya yang melengking memekakkan telinga akhirnya membuatku berhenti berlari.Dengan panik aku berjalan cepat menghampirinya seraya menaruh telunjuk dimulutku berharap dia mau berhenti berteriak."Sstt! Tolong, bu.
Hari sudah semakin sore, namun aku lega karena di depan sana akhirnya aku melihat jalanan besar seperti apa yang pertama kali kulihat saat menginjakkan kaki di kota ini.Pikirku, langkah selanjutnya mungkin aku hanya tinggal mencari terminal, pergi ke sana untuk pulang ke kampung halaman.Ya, walau sepertinya aku tidak akan mendapat sambutan baik dari keluargaku, tapi ... tak apalah, setidaknya aku jangan sampai bernasib lebih malang di perantauan ini.Kuperbaiki letak tas yang kini terasa semakin berat lalu kembali melangkah sebelum akhirnya aku jatuh tersungkur saat seseorang yang mengendarai motor menarik paksa tasku."Tolong ...! Jambret! Tolong ... ada jambret!" teriakku seraya menatap nanar pada dua orang pengendara motor yang telah berhasil membawa paksa tas ku.Arggh!Aku memukul diudara untuk melampiaskan kekesalan ku. Uang jajan yang selama ini Bu Hanum berikan padaku ada di dalam tas tersebut. Lalu, bagaimana aku bisa pulang jika saat ini aku tidak punya uang untuk ongkos?
"Ze, kamu lagi ngapain?" tanya Bu Hanum membuatku sedikit terkejut hingga tak sengaja tespack yang aku pegang kini terjatuh.Dengan perlahan Bu Hanum mengambil tespack tersebut, ia menatapnya agak lama kemudian beralih menatapku dengan penuh tanya."Apa ini penyebabnya, Ze?" tanyanya pelan, sedang aku hanya diam karena bingung harus berkata apa."Iya, Bu. Tolong jelaskan maksud dari semua ini!" pintaku akhirnya dengan menekan rasa takut dalam hati.Pikirku, aku tidak boleh terus mengulur waktu, jika memang mereka orang jahat, maka aku harus segera bisa melepaskan diri dari mereka."Kamu ingin punya anak? Apa selama ini Arsen memperlakukan mu seperti istri yang sesungguhnya?" Bu Hanum malah balik bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya."Apa kamu sedang berharap ada dua garis merah dalam benda tersebut?" lagi Bu Hanum membuat pikiranku untuk berterus terang kalau aku tau semuanya mulai goyah."Cukup, Bu! Siang tadi tespack ini memang menunjukan hasil positif. Harusnya aku yang berta
Aku mengerjapkan mataku berulang saat kudengar suara serine di luar sana.Rupanya, hari telah berganti malam, entah berapa lama aku ketiduran, bahkan keadaan kamar kini begitu gelap.Gegas aku turun dari ranjang dan meraba-raba saklar lampu, setelah ketemu segera kutekan hingga ruangan kini berubah terang.Otakku terus menebak-nebak kiranya siapa yang sedang berurusan dengan polisi di luar sana.Namun, refleks aku hampir saja menjerit saat kusadar bahwa kini aku tak memakai pakaian barang sehelaipun.Suara tawa tiba-tiba saja terdengar dari arah kamar mandi, gegas aku berlari menuju tempat tidur dan meraih selimut untuk menutupi tubuh.Arsen muncul dari balik pintu dengan seringai yang menakutkan, sebuah ponsel yang tak lain adalah milikku sedang ia mainkan dengan sebelah tangannya."Tetap disini dan jadilah wanita penurut, jika kamu tak mau mempermalukan dirimu sendiri!" ucapnya seraya mendekat.Kutepis tangannya yang tiba-tiba saja memegang daguku, sebuah senyum sinis ia sunggingkan
"Arggh! Ibu ini kenapa sih?" protes Arsen seraya melonggarkan kungkungannya."Kita harus segera pergi dari sini sebelum lebih banyak lagi orang yang ikut campur. Ingat itu!" sentak Bu Hanum dengan raut kesal di wajahnya."Iya, iya, iya!" Arsen bangkit dan menghampiri Bu Hanum, sedangkan wanita itu sendiri malah memalingkan wajahnya dan terlihat geli pada Arsen yang melenggang dengan santai tanpa sehelai benang."Tunggu setengah jam saja!" bisik Arsen seraya tersenyum kemudian menutup pintu dan menguncinya."Dasar keras kepala!" umpat Bu Hanum disusul langkahnya yang terdengar kian menjauh."Apa kamu mau merasakan surga dunia, Ze?" tanya Arsen seraya kembali mengunci pintu.Aku menggeleng cepat seraya mempererat pelukan tanganku pada kedua lutut. Saat ini duduk seraya memeluk lutut adalah satu satunya hal yang bisa kulakukan untuk menutupi diri ini.Malu, marah, sedih dan kesal juga takut kini bercampur dalam hatiku. Aku sungguh tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi
Sudah genap satu bulan sejak kejadian mengerikan malam itu. Sejauh ini akhirnya aku dan Arsen bisa kembali bernafas lega. Menjalani hari dengan normal tanpa ada gangguan ataupun ancaman.Bang Gavin dan Keyla sendiri nampaknya juga sedang menikmati momen indah mereka sebagai pengantin baru. Ya, ternyata saran Arsen saat di rumah sakit disetujui oleh Bang Gavin. Mereka akhirnya pergi bulan madu tanpa harus membuat ulang pesta.Tadinya Arsen hendak membayarkan tiket untuk mereka sebagai hadiah, namun sepertinya Bang Gavin merasa kasihan pada kondisi keuangan kami yang sedang acak-acakan hingga ia menolaknya dengan halus."Ah, syukurlah, Ze! Akhirnya resto itu bisa kembali lagi ke tangan kita. Lusa, mungkin berkas-berkasnya sudah beres, jadi ... kita bisa kembali mengelolanya," ucap Arsen seraya duduk disampingku."Syukurlah. Semoga kali ini berjalan lancar," sahutku penuh harap.Aku baru saja hendak menyandarkan kepalaku di bahunya, akan tetapi dering ponsel justru membuat Arsen bangkit
"Sorry, gue gak bisa tepatin janji gue dulu!" ucap Arsen pada Bang Gavin yang baru saja datang.Sekarang Arsen sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari tadi malam. Bahkan, dia baru saja menghabiskan semangkuk penuh bubur yang kuberikan."Wuih ... gak bisa gitu dong! Jangan mentang-mentang loe lagi sakit gini. Janji tetap janji, loe harus tepatin bro!" sahut Bang Gavin.Pria itu mengambil alih tempat duduk ku. Tatapannya dan Arsen saling beradu, hal itu membuatku sedikit khawatir, apa mungkin dalam keadaan seperti ini pun mereka akan tetap berantem?"Ya loe mikirlah! Memangnya dalam kondisi gue yang seperti ini gue bisa apa?!" ketus Arsen kemudian memalingkan wajahnya."Ya emangnya loe udah tau gue mau minta apa?" sahut Bang Gavin tak kalah sengit.Arsen kembali menoleh. Tatapan mereka kembali beradu. Untuk beberapa saat, keheningan terjadi hingga membuat suasana cenderung menjadi menegangkan."Hahaha!"Tawa mereka pecah bahkan hampir bersamaan.Aku, Keyla d
Lima pistol sudah mengarah ke kepala kami masing-masing. Tanganku sudah hilang rasa. Aku tak bisa menggambarkan ketakutan ku saat ini. Dalam hati, mungkin inilah akhir dari hidupku.Kutatap Arsen dengan lekat. Aku tak ingin kehilangan momen terakhirku untuk menatap wajahnya yang kini tak sadarkan diri.Dialah pria yang sudah membawaku kedalam cerita ini. Cerita yang penuh dengan konflik dan juga rahasia yang harus selalu kujaga.Dialah pria yang sudah membuatku jatuh cinta dengan segala kegilaannya.Dialah pria yang membuatku mengerti kenapa orang berkata bahwa cinta itu buta."Ze," Lirih Bu Hanum memanggilku.Aku menoleh padanya. Wajahnya sudah dibanjiri oleh keringat dan juga air mata.Kami sama-sama takut. Kami sama-sama tak bisa berbuat apa-apa."Tolong jangan bunuh aku! Aku gak tau apa-apa!" lirih Keyla.Pandanganku beralih pada Bang Gavin, ia memang nampak lebih tenang daripada kami. Namun, wajahnya tetap saja tak bisa menyembunyikan ketakutannya saat ini."Melenyapkan kami sebe
"Loh, tempat apa ini? Kok sepi banget?" gumam Keyla begitu kami sampai.Saat ini kami memang bukan mengunjungi kantor polisi tempat aku dan Arsen dijebak tempo hari.Erlangga, atau lebih tepatnya Jendral Erlangga suaminya Dokter Siska yang menurutku tak pantas dipanggil gelarnya itu memintaku untuk datang ke tempat ini.Ternyata selama beberapa hari kebelakang, Arsen dikurung di tempat kumuh dan terpencil ini. Mereka seharusnya tak pantas disebut sebagai polisi karena mereka menangkap untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri.Memang mereka tak sepenuhnya salah. Karena yang mereka tangkap dan mereka peras adalah orang yang salah juga. Hanya saja, apa yang mereka pinta sungguh diluar batas kemampuan manusia biasa sepertiku dan Arsen.Mereka benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kami. Lalu, apa bedanya mereka dengan kami para penjahat?"Kamu yakin ini tempatnya, Ze?" tanya Bang Gavin seraya menoleh ke arahku."Menurut lokasi yang Dokter Siska share sih, benar
Setelah acara selesai, aku dan Bu Hanum memilih untuk duduk di luar. Menjauh dari keramaian adalah salah satu cara kami untuk lebih menenangkan diri."Ze, kira-kira kita harus jual apalagi untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?" ucap Bu Hanum memecah keheningan diantara kami."Entahlah, Bu. Bukannya yang kita punya saat ini hanya tinggal rumah itu saja?" sahutku."Jika rumah itu dijual, lalu dimana kita akan tinggal?" sambungku."Iya Ze. Kamu benar. Tapi, gimana kalau sebagian uangnya kita belikan rumah yang lebih kecil. Yang penting jumlah uang yang kita butuhkan bertambah," timpal Bu Hanum membuatku langsung mengangkat wajah."Tak ada salahnya juga sih, Bu! Ayo, kita tawarkan mulai hari ini juga, semoga bisa cepat laku!" ucapku antusias."Gak usah!"Bang Gavin tiba-tiba saja sudah berada dibelakang kami. Ia dan Keyla mulai mendekat menghampiri aku dan Bu Hanum."Aku ada cara lain buat membebaskan Arsen. Ya, semoga saja berhasil!" ucap Bang Gavin seraya duduk disampingku."Cara apa, b
Rumah, mobil, butik, dan juga restoran sudah terjual. Semuanya lenyap hanya dalam tiga hari. Itu juga berkat bantuan Bang Gavin, namun nyatanya uang yang diperlukan masih kurang banyak. Sedangkan, besok adalah hari pernikahan Bang Gavin dan Keyla.Entahlah!Aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Kini, yang tersisa hanyalah rumah yang kami tempati. Bahkan isinya saja sudah berkurang. Karena kami benar-benar menjual apapun yang bisa diuangkan."Bagaimana ini, Bu? Rasanya aku gak akan bisa hadir ke pesta jika Arsen tak ada," gumamku saat aku dan Bu Hanum sedang duduk berdua."Ibu juga pusing Ze," sahut Bu Hanum singkat.Hari ini Bu Hanum nampak lebih murung dari kemarin. Mungkin lelahnya sama denganku, atau justru mungkin lebih?"Bu?" Kuusap bahunya pelan saat ia tertunduk lesu."Kita pasti bisa, Bu! Katanya, doa seorang ibu dan istri itu menembus langit. Kita perkuat lagi doa dan ikhtiar nya, ya! Kita harus semangat!" ucapku mencoba untuk menguatkan.Menguatkan diri sendiri dan
"Ya Allah ... cobaan apalagi ini?!" pekik Bu Hanum dengan tangan bergetar.Surat yang baru saja ia baca bahkan hampir terjatuh karenanya."Bagaimana menurut ibu?" tanyaku pelan."Entahlah, Ze. Apakah semua harta kita bisa cukup atau tidak untuk memenuhi perjanjian ini," sahutnya lemas."Tapi, ibu setuju 'kan untuk berusaha membuat Arsen bebas?" tanyaku lagi.Bu Hanum mengangkat wajahnya, ia lantas memberikan surat itu keatas pangkuanku."Ya tentu saja, Ze! Semua ini terjadi juga awalnya karena kesalahan ibu. Jika Arsen harus bertanggung jawab dan dihukum, maka ibu juga harus dihukum. Tapi, jika memang ada cara lain, kenapa tidak? Ibu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," tutur Bu Hanum seraya beranjak dari duduknya."Ibu mau kemana?" tanyaku cepat kemudian menyusul langkahnya."Ibu mau ambil surat-surat penting. Hari ini juga, kita harus dapatkan uangnya!" tegas Bu Hanum membuatku langsung meneteskan air mata."Terimakasih, Bu!" ucapku bergetar kemudian memeluknya.Kamipun lantas
"Ya tentu saja serius! Memangnya kamu pikir dengan uang itu nyawa orang-orang yang sudah melayang itu bisa kembali apa?" sinis Dokter Siska."Iya memang tidak. Tapi, uang sebanyak itu juga memangnya mau kalian apakan?" tanyaku geram."Ya buat kami nikmati lah! Kamu pikir tutup mulut itu gampang apa? Apalagi, ini soal tindak kriminal yang sangat besar. Gak mudah loh, buat kami menutupi sebuah kejahatan," timpal Dokter Siska yang disambut anggukan oleh suaminya."Biar saja, Ze! Gak usah tanggapi mereka. Mungkin, ini memang saatnya aku mempertanggung jawabkan semuanya. Aku minta maaf untuk selama ini, Ze!" ucap Arsen seraya merangkul bahuku."Uuh, so sweet!" cibir Dokter Siska."Nggak! Kamu gak boleh nyerah. Kamu udah terlanjur bawa aku kedalam hidupmu, Arsen. Jadi, kamu harus tanggung jawab padaku dan tetap bersamaku karena kita harus membesarkan anak ini bersama-sama," tekanku seraya mengusap perutku."Justru demi kamu dan anak kita. Aku tak akan sudi memberikan sepeserpun hartaku pada
"Tidak! Tolong lepaskan kami!" ucapku cepat.Pria itu tersenyum seraya mengalihkan tatapannya padaku. Ia menjentikkan jarinya lalu seorang wanita datang menghampirinya."Do-dokter Siska?" gumamku kala sudah melihat wanita itu dari dekat."Iya, ini aku. Dan ini, suamiku!" terangnya yang langsung membuatku ternganga."Oh, jadi ini suamimu?" desis Arsen seraya menatap Dokter Siska dan pria dengan name tag Erlangga."Iya, aku adalah istri seorang jendral. Bagaimana? Sudah merasa tertipu dengan aktingku selama ini?" tanya Dokter Siska seraya tersenyum kecut."Dokter Siska, tolong bebaskan kami. Arsen sudah berubah, ia tidak seperti yang kalian tuduhkan," ucapku mengiba."Zea, kamu tenang saja. Anggap sja disini, statusmu adalah korban, karena kamu juga pernah hendak dijual pada Pak Seno. Jadi, kamu tidak akan kami tahan," tutur Dokter Siska seraya menghampiriku.Polisi yang sedari tadi meringkus kedua tanganku kebelakang kini langsung melepaskannya begitu dapat perintah dari Dokter Siska.