Nadia sudah menyelesaikan makannya, dirinya berjalan pincang dipapah oleh Amira sedangkan tongkat berjalan dipegangi bodyguardnya. "Tuhan ... Nadia mau berjalan lagi, tapi kok ngilu. Hiks!" raungannya hingga membuat miris yang mendengar apalagi Amira."Sabar ya ..., saya akan temani kamu selama kita bersama, saya akan sabar memapah kamu. Hiks!" Pemandangan ini memilukan untuk para gadis-mahasiswi di sekitar Nadia, maka Nadia mendapatkan banyak tawaran, tetapi ditolak halus karena sudah ada Amira.Esther-bodyguardnya hanya tersenyum simpul menyaksikan pemandangan ini karena tingkah anak-anak itu begitu lucu di matanya. Jadi, dirinya bisa menyimpulkan jika Nadia aman selama berada di lingkungan kampus, tetapi mata elangnya tetap siaga.Materi selanjutnya berjalan lancar, hingga jam terakhir. "Akhirnya ...." Nadia meluruskan punggungnya yang sedikit kaku."Padahal saya mau main ke rumah kamu lagi, tapi gara-gara Devan suruh saya belanja sama mamanya jadi tidak bisa deh!" keluhan serta ru
Nadia ingin mencari tahu maksud ucapan Abimana, tetapi dirinya terlalu takut mengetahui kenyataan jika ternyata hanya menyakiti. Maka, gadis ini segera mengalihkan topik pembicaraan. "Saya lapar.""Kita makan dulu di retoran." Senyuman teduh menjadi bagian utama pemandangan di wajah Abimana. Nadia menyukainya dan merasakan besarnya kasih sayang sang suami, tetapi dirinya tidak boleh bertindak seperti wanita murahan walau hati mudah tersentuh oleh senyuman itu.Sebuah restoran mewah dikunjungi, ini tidak aneh, karena hidup Abimana royal. Nadia memesan dua porsi untuk memuaskan rasa laparnya. "Jangan tertawakan saya!" peringatannya sebelum menjadi bahan olok-olok Abimana.Abimana membuang udara tipis. "Padahal sejak tadi saya romantis sama kamu, tidak ada niat ingin menertawakan.""Hihi ...." Nadia menangkup bibirnya dengan anggun menggunakan telapak tangan yang sangat halus, "saya harus berjaga-jaga dari ejekan kamu.""Makan yang banyak, sayang." Senyuman teduh Abimana kembali melengku
Malam belum terlalu larut, jam dinding baru saja berhenti di angka sepuluh, tetapi Abimana sudah mulai melakukan pemanasan walau Nadia belum siap. "Saya sudah tegang!""Jangan bicarakan itu dan jangan mengakuinya terus-menerus!" Pipi Nadia memerah malu."Bagaimana bisa dipendam. Memang kenyataannya, sayang!" Seringai genit Abimana mengembang."Tidak perlu diucapkan, saya bisa melihat!" Pipi Nadia semakin merona. Entahlah benda tegang itu membuatnya kegelian, tetapi sangat betah untuk dipandangi, digenggam atau bahkan membawanya ke kenikmatan dunia."Iya sudah, kita mulai saja sayang." Suara berat Abimana. Kaki Nadia segera dibuka lebar, "sangat feminim." Wajah Abimana sangat cabul saat ini karena milik Nadia sangat indah di matanya."Kamu belum melakukan pemanasan. Nanti saya sakit!" Malu Nadia saat mengatakannya. Seketika Abimana mencumbu leher dan bagian-bagian sensitif lainnya yang berada di tubuh Nadia hingga istrinya meminta dirinya dengan frontal.Malam ini memabukkan, dewa dan
Kafka tersenyum tipis menyahut kalimat Nadia. "Saya minta maaf kalau kamu tidak nyaman.""Saya sangat tidak nyaman. Kalau bapak sayang dan peduli sama Nadia, bapak tidak harus tahu segala hal yang terjadi sama Nadia." Gadis ini belum selesai mengungkapkan rasa tidak nyaman di hatinya, maka dirinya masih menumpahkan unek-unek yang harus Kafka ketahui. Lawan bicaranya sangat mengerti, maka Kafka mengangguk kecil."Saya tidak akan melakukannya lagi. Sekali lagi saya meminta maaf karena membuat kamu tidak nyaman." Kafka masih memandang teduh Nadia bagaimanapun kalimat si gadis padanya."Nadia juga minta maaf karena harus mengatakan semuanya pada bapak.""Justru itu sangat bagus, setiap manusia memang harus berani mengungkapkan perasaannya apalagi jika hal itu membuatnya tidak nyaman. Jangan lupa berkata tidak kalau memang tidak mau dan tidak suka." Nasihat Kafka disahut anggukan oleh Nadia, kemudian gadis itu berpamitan, keluar dari mobil Kafka dibantu Esther.Nadia berjalan tertatih tanp
Andini selalu bekerja keras melakukan tugasnya sebagai sekretaris. Kini, dirinya sedang beristirahat makan siang. "Ternyata cukup sulit menjadi sekretarisnya Tuan Abi, saya dituntut cekatan!" Cerita pendeknya pada kawan-kawannya."Kenapa mengeluh? Artinya kamu kalah dong dari Tania dan Riana," kekeh salah seorang wanita saat melakukan candaan."Tidak, bukannya mengeluh, saya hanya bercerita kok. Tapi sih kalau dibandingkan sama pekerjaan saya sebelumnya tingkat kesibukannya bertambah enam puluh persen.""Kamu tidak boleh menyerah, kamu sudah sangat beruntung terpilih menjadi sekretaris Tuan Abi, jangan sampai Tuan Abi merekrut salah satu dari kita." Tawa anggunnya."Saya akan berusaha keras, saya tidak akan menjadi seperti Tania dan Riana!" Tekad bulat Andini, "ngomong-ngomong, kalian tahu nasib mereka sekarang?""Entahlah, keduanya tidak bisa dihubungi sejak Tuan Abi melakukan konferensi pers, mungkin mereka kabur karena tidak ingin mendapatkan hukuman.""Masuk akal. Untuk manusia be
Saraswati menatap lirih Mila setelah sempat menatap kosong ke arah dinding di hadapannya. “Nenek ingin beristirahat sebentar.”“Mari saya bantu.” Mila segera memapah Saraswati menuju ke kamarnya, kemudian memeriksa Nadia. “Sayang, masih belajar?”“Iya, ma, tapi punggung Nadia sedikit sakit, istirahat dulu saja. Ada apa, ma?” Ditutupnya buku dan laptop oleh si gadis seiring memandangi Mila, bertanda menyambutnya.“Tidak ada apa-apa, mama hanya ingin memastikan kalau Nadia baik-baik saja.” Mila membelai sisi rambut Nadia, menatap sayang.“Kaki Nadia sudah membaik kok, ma.” Senyuman diulas manis.“Bagaimana kuliah Nadia hari ini?” Basa-basi Saraswati, dirinya ingin lebih dekat dengan sang menantu walau hubungan mereka memang dekat, tetapi wanita ini ingin mempertebalnya.“Baik-baik saja seperti kemarin. Nadia punya teman-teman yang baik lalu ada Esther yang selalu menjaga dan membantu. Hihi ....”“Apa Nadia betah dengan Esther?”“Betah saja ma, Esther bisa diandalkan.”“Baguslah kalau Na
Malam harinya Saraswati makan malam bersama keluarga setelah Mila memeriksa keadaannya. Wanita ini sempat melararang dan menyarankan supaya Saraswati tidak perlu lagi berpura-pura sehat di hadapan Nadia, tetapi wanita tua ini harus menyelesaikan aktingnya dengan sempurna. Bahkan malam ini, dirinya duduk bersebelahan dengan Nadia."Kenapa porsi makan nenek sedikit?" Nadia memerhatikan."Nenek sudah makan roti dan susu sebelum makan malam," kekeh tegar Saraswati kala nafsu makannya hilang."Pantas saja, tapi nenek jangan lupakan cuci mulutnya ya, buah-buahan juga penting buat kesehatan.""Iya ... nenek akan makan." Senyuman indah Saraswati. Di seberangnya jantung Mila berdetak tidak karuan karena mungkin Saraswati merasakan gejala tidak nyaman di tubuhnya. Namun, sebesar apapun rasa cemasnya, wanita ini tidak bisa menunjukannya.Abimana menambahkan sepotong daging pada piring Nadia. "Makan yang banyak." Seringai tipisnya."Iya. Saya akan makan seperti gozila!" kesal Nadia, tetapi tidak
Niat awal Abimana adalah meniduri Nadia malam ini sebelum istrinya mendapatkan jadwal menstruasi, tetapi karena Nadia sedang bersedih maka niatnya diurungkan, pria ini memeluk serta mengelus puncak dahi Nadia. "Sayang, sudah malam, tidurlah.""Saya sedang sangat merindukan papa," rintih merindu Nadia yang ditunjukan dalam suara serta raut wajahnya."Doakan saja, dan kamu tidak perlu khawatir papa sudah tenang di sisi Tuhan.""Selain merindukan papa, saya juga merindukan mama yang entah di mana, sedang apa dan apakah mama masih berada di dunia yang sama dengan Nadia.""Pasti suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jawabannya." Selesai kalimat Abimana, Nadia mulai menurunkan kelopak matanya perlahan, memejamkan matanya, sedangkan Abimana tetap mengelus puncak dahi istrinya hingga dirinya ikut terlelap.Keesokan paginya ternyata Nadia tidak ingin kuliah, suasana hatinya sedang tidak memungkinkan maka Saraswati tidak bisa memeriksakan dirinya ke dokter atau memanggil dokter. "Nek, kita ber
Kafka adalah keponakan pejabat tersebut, pria hebat ini mengajak keponakan membanggakannya karena prestasi gemilangnya di gedung perusahaan milik saudaranya yaitu ayahnya Kafka. Abimana geram mengetahui kenyataan ini bukan karena merasa tersaingi hanya saja di rapat penting ini dirinya harus berjabat tangan dengan Kafka seiring menatap wajahnya terus-menerus."Senang berkerjasama dengan anda." Kalimat Kafka yang salah satunya disampaikan pada Abimana setelah mengucapkannya pada Wira."Begitupun kami." Abimana tetap bersikap propesional walau keadaan hatinya meledak-ledak. Seusai rapat, pria ini berkata pada ayahnya, "Kafka adalah ayah si bayi, tapi Abi yang direpotkan Tania!""Jadi tadi kamu terlambat karena Tania!" kekesalan Wira segera hadir saat mendengarnya."Iya pa, Tania meminta diantar memeriksakan bayinya. Abi turuti saja supaya Tania menjaga bayinya hingga Abi bisa membuktikan pada semua orang.""Wanita ular!" desis geram Wira yang tidak ingin berkata apapun lagi tentang Tani
Nadia dibuat tidak setuju dengan ungkapan yang terdengar frontal itu. "Bayi itu tidak berdosa, Tania yang banyak membuang waktu kamu, bukan bayinya."Abimana mengerjap kecil, kemudian menarik senyuman bangga pada makhluk cantik di hadapannya. "Semakin hari kamu semakin dewasa. Bukan hanya pertambahan usia, tapi pola pikir kamu juga walau ... masih banyak sikap kekanakan." Senyuman lebarnya di akhir."Kamu memuji atau menghina sih? Kalimat kamu sering membuat saya bimbang tahu tidak sih!" Nadia membaringkan tubuhnya dengan malas."Bicara kamu seperti dalam sinetron!" ejek kecil Abimana.***Pagi ini Abimana menemani Tania memeriksakan kandungannya karena ini salah satu cara supaya Tania tetap memibiarkan bayinya sehat dan yang paling penting tetap hidup. Degupan jantung si bayi sangat kencang hingga membuat senyuman manis sekaligus haru ditarik oleh Tania walaupun Abimana tetap bersikap datar. Andai tersenyum pun hanya bagian dari pormalitas saja."Bayinya sangat sehat, perkembangannya
Tidak berapa lama, tepatnya kala Nadia dan Amira sedang asik di salah satu kolam, tiba-tiba saja airnya surut perlahan bahkan semua orang yang berada di sana ikut terheran-heran. "Kok air di sini surut?""Entah, yang lain tidak kok!" Amira melukis wajah heran sama seperti Nadia.Esther berkata santai nan santun, "Maaf nyonya, tapi ini atas perintah Tuan Abimana. Jadi, jika anda berpindah kolam maka kolam itu juga akan dibuat surut.""Apa. Dasar Abi!""Tuan Abi bilang Anda harus segera pulang," tambah Esther masih dengan santun."Abi ...!" teriak Nadia hingga memekak ruang dengar Esther, tetapi justru Amira terkekeh kegelian."Sabar ya ...," goda Amira. Maka, walau sangat keberatan Nadia dipaksa pulang oleh keadaan. Jika tidak begitu maka pengunjung lain akan ikut terganggu."Kok bisa sih Abi memerintahkan seseorang untuk membuat kolamnya surut. Seperti punya dia saja!"Esther memberikan penjelasan secera terperinci, "Tuan Abimana mengenal pemilik kolam ini. Jadi mungkin mudah bagi Tua
Hari sudah berganti, Tania menemui suster yang sudah mendapatkan uangnya. "Bagus kamu masih di sini. Saya kira kamu akan kabur!""Tidak akan nyonya. Ada apa menemui saya?""Saya cuma mau mengingatkan. Jika sekitar tiga bulan lagi saya akan melahirkan."Wanita berpakaian medis ini menampakan senyuman. "Selamat ya nyonya, jagalah kandungan anda dengan baik." Namun, kalimatnya ini tidak digubris oleh Tania."Jangan lupakan tugas kamu setelah bayi ini lahir!"Wanita ini mengangguk kecil. "Saya sangat mengingatnya, nyonya tenang saja." Kalimatnya ini membuat Tania merasa puas, jadi wanita cantik ini segera berlalu. Di lorong, Tania berpapasan dengan Naila yang hendak melakukan pengecekan rutin. Naila tidak pernah melewatkan pemeriksaan tubuhnya.Sejenak, Tania memerhatikan karena wanita yang sedang terbatuk di atas kursi roda memiliki wajah yang mirip dengan Nadia. "Saya harap suatu saat nanti Nadia yang mengalami kondisi seperti wanita itu. Jadi kalau Nadia penyakitan, Abi tidak akan mau
Abimana tiba di sebuah rumah cukup mewah, tetapi sangat sepi, hanya terdapat seorang satpam yang asik memainkan handphone. "Permisi pak, apa benar ini kediaman Nyonya Naila?" Abimana hanya memunculkan wajahnya tanpa keluar dari mobil.Segera, satpam meletakan handphonenya. "Benar tuan. Jika boleh tahu anda siapa dan ada keperluan apa menemui Nyonya Naila?""Saya salah satu kerabat jauhnya.""Akan saya sampaikan. Atas nama siapa?""Abimana-suaminya Nadia." Sengaja perkenalan seperti ini disebutkan karena mungkin keberadaannya akan sangat mudah diterima. Satpam segera menghubungkan panggilan."Tolong katakan pada nyonya, ada seorang pria yang ingin menemuinya. Bernama Abimana suaminya Nadia." Satpam bergeming sesaat kemudian menyimpan gagang telepon di atas meja. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Abimana."Iya." Abimana dapat menilai dengan akurat jika memang tidak sembarang manusia bisa menemui Naila bahkan hanya sekedar masuk ke dalam halamannya.Tidak selang berapa lama satpam kembali
Setibanya di rumah, Nadia segera mendapatkan pelukan hangat nan khawatir dari Mila dan Saraswati. Walau Wira dan Abimana tidak mengatakan apapun, tetapi kedua wanita ini mengetahui kabar insiden yang terjadi lewat media layar kaca yang menayangkan secara langsung. "Nadia tidak apa-apa?" Kecemasan wanita tua ini melebihi siapapun."Nadia tidak apa-apa nek ..., tadi Nadia menyelamatkan diri sama Amira walau sempat terpisah." Genggaman tangan Nadia dan Amira saling bertautan."Syukurlah kalian baik-baik saja," ucap Mila.Amira berkata, "Tante, tapi Ami tidak akan lama-lama di sini karena papa mau jemput.""Iya sudah ..., pasti orangtua Ami sangat khawatir. Tapi sekarang minum dulu saja ya, istirahat dulu." Mila menjamu kawan menantunya dengan sayang sama halnya pada Nadia. Tidak berapa lama ayahnya Amira datang. Pria ini berbasa-basi sebentar karena Wira merupakan kawan bisnisnya dan ini pertama kalinya pria ini bertemu dengan anggota keluarga Wira yang lain selain Abimana yang sudah dik
Kali ini Nadia mulai memutuskan jika dirinya akan meminta bantuan Abimana untuk mencari ibunya. "Tolong temukan mama." Tatapannya begitu merindu."Iya, saya akan berusaha maximal mencari mama kamu yang juga adalah mertua saya!" Tekad tegas Abimana, "terimakasih sudah percaya pada saya." Senyuman melengkung bangga karena akhirnya Nadia meminta pertolongan dirinya untuk hal sangat penting ini."Nenek yang memberi saran, nenek juga bilang bisa merasakan kehadiran mama yang katanya masih ada, mama tidak meninggalkan saya, mungkin cuma raga kami saja yang terpisah.""Iya, saya janji. Kamu bisa memegang janji saya ini dan ingatkan saya jika suatu hari saya lalai pada janji saya ini!" Tekad kuat Abimana masih diperlihatkan, kali ini seiring mengusap sebelah pipi Nadia.Malam ini, Nadia memandangi foto ibunya yang diberikan Saraswati. "Ma, cepat temui Nadia ya, jangan buat Nadia gelisah terus-menerus dan bertanya-tanya di mana mama karena Nadia tidak bisa seperti itu terus ...."Abimana memot
"Ma, apa kita harus kembali?" Tania mulai memikirkan ulang melahirkan di negara ini karena dirinya memiliki suster yang sudah disuap di negara asalnya demi mengubah DNA bayinya menjadi milik Abimana."Jangan sayang, lebih baik melahirkan di sini saja, kamu sedang hamil tua, jangan sering bepergian.""Tapi Tania tidak mau melahirkan di sini walau Abi siap datang kesini.""Kenapa ..., ada mama di sisi kamu, mama tidak akan meninggalkan kamu." Nia membelai lembut putrinya."Tapi Tania tetap akan kembali saja bulan depan saat usia kandungan tujuh bulan!" Wanita ini mulai khawatir karena angka kelahiran tidak selalu bulan ke sembilan, sering terjadi kelahiran di bulan ketujuh, maka untuk berjaga-jaga lebih baik dirinya kembali ke negara asal."keputusan ada pada kamu, tapi mama memberi saran saja supaya melahirkan di sini.""Terimakasih ya ma selalu ada di sisi Tania." Pelukannya melingkar dengan penuh rasa syukur karena tanpa ibunya maka dirinya tidak akan bisa bertahan hingga hari ini.*
Malam ini Abimana meninggalkan alat pengaman yang selalu tersedia di dalam laci rahasia yang terkunci supaya tidak seorangpun tahu jika mereka sangat berhati-hati tentang kehamilan. Benda pusakanya sangat bersemangat karena akan mengeluarkan cairan putih di dalam rahim Nadia bersama harapan cairan itu akan menggumpal hingga menghasilkan anak yang sempurna."Abi, kamu yakin tidak akan pakai alat pengaman?" keraguan masih mencambuk hati Nadia."Tidak usah, kita lakukan saja secara alami." Semangat berlipat Abimana."Tapi ..., kalau saya hamil dan melahirkan saat usia kuliah, bagaimana masa depan saya, bagaimana saya bisa menyenangkan nenek dengan prestasi," risaunya."Kamu masih bisa menggapai cita-cita walau hamil dan melahirkan. Tenanglah semuanya akan berjalan dengan mulus, saya jamin!" Abimana berpikir jika uang bisa menyelesaikan segalanya salah satunya saat Nadia hamil, tapi tetap ingin kuliah atau setelah menjadi ibu, tetapi tetap ingin menggapai masa depan, semuanya seolah tingg