Bab 33.B"Ya ampuun, aku ga suka wanita kaya gitu. Apaan kerjaannya cuma pamer aurat sana-sini, aku tuh suka perempuan tertutup yang mana tubuhnya hanya diperlihatkan untuk suaminya saja, keibuan, penyabar dan penuh kasih sayang. Semua itu ada di diri kamu."Satria memandangku dengan serius, kupalingkan wajah ke depan sana, kini hujan telah reda berganti dengan indahnya goresan pelangi."Kalau gitu kenapa kamu ga buat aturan aja sama karyawan perempuan di kantormu untuk menutup aurat jika bekerja," usulku, memang terdengar tak nyambung."Sebenarnya itu perusahaan milik Papa, tapi ide kamu bagus juga, insya Allah nanti aku coba terapkan ya." Ia mangut-mangut.Sekarang jadi bimbang harus mengatakan apa, jika kujawab ya bagaimana dengan Nasya apakah ia setuju aku menikah dengannya? apakah anak itu menerima Satria sebagai ayah kandungnya?"Santai aja, Amira. Fikirkan dan diskusikan ini sama Nasya, aku mau kita menikah dengan restu dan ridho semua orang," ujar Satria seolah bisa membaca ke
Bab 34.AAku mematung di tempat, diri ini terasa terpasung kala melihat harapan dan kekecewaan Silmi terhadap Satria, mungkinkah ia akan menganggapku teman jika tahu orang yang ia suka sudah melamarku jadi istrinya?"Mbak, kok bengong? kaget ya aku suka sama Pak Satria, secara dia duda dan usianya jauh lebih tua, emang sih lebih cocok sama wanita seusia Mbak, tapi 'kan namanya cinta ga mandang umur," celetuknya sambil menimbang-nimbang tubuh Hanan.Aku masih tak bergeming rasanya terkejut sekali dengan keadaanku ini, di mana harus bersaing dengan wanita muda, sexy, cantik dan energik, jika untuk menjadi istri Satria harus memerlukan penilaian seorang juri, tentulah aku akan kalah dengan dirinya.Silmi masih gadis dan tentu itu memberikan nilai lebih untuk lelaki, belum parasnya yang cantik dan aduhai mustahil sekali rasanya ada lelaki yang mengacuhkannya begitu saja."Dih Mbak Amira masih bengong aja, masih syok ya denger aku suka sama Pak Satria?""Mbak!""woy!"Aku terkesiap dari la
Bab 34.B"Orangnya sombong ga, Sil? secara dia 'kan istri orang kaya?" tanyaku memancing lagi"Gimana ya? dibilang sombong engga juga karena dia ramah dan sering nyapa, kalau lihatnya sekilas orang akan menyimpulkan kalau dia sombong, secara baju dan perhiasan yang ia kenakan saja bisa tuh buat beli mobil secara cash."Aku mangut-mangut mencoba menyimpulkan jawaban Silmi, percakapan kami harus berakhir karena ia pamit hendak pulang, katanya ada urusan mendadak dengan teman-temannya.Hari ini rasa resah sedikit melanda, karena Nasya belum kunjung pulang setelah kemarin menginap di rumah Mas Heri. Aku takut ia akan nyaman di sana dan lebih memilih tinggal dengannya."Assalamualaikum, Ma. Nenek ayo masuk." Akhirnya rasa resahku gugur dalam sekejap saat mendengar suaranya dari luar."Wa'alaikumus'salam, kok sore banget pulangnya?""Tadi abis jalan-jalan sebentar sama Nenek dan Papa."Aku tercenung saat mengetahui ternyata Nenek yang ia maksud adalah ibunya Mas Heri, wanita itu turun dari
"Fikrikan lagi, Mir." Ucapan ibu masih menggema di telinga menumbuhkan kebimbangan yang semakin menjulang."Aku harap Ibu jangan pernah ikut campur masalahku lagi, dan masalah Nasya jika Ibu dan Mas Heri membawanya nginap hanya untuk mencuci otaknya saja demi kepentingan Ibu sendiri, maka lebih baik tak usah di sini dia juga tak kekurangan kasih sayang dan apapun," ucapku secara tegas."Nasya kamu masuk! Mama paling ga suka sama anak yang suka ngebantah."Wajah Nasya mendung karena kecewa, bagaimana lagi aku tak suka melihatnya berpihak pada orang-orang licik yang mementingkan perutnya sendiri.Kini dapat kubaca jika inilah salah satu usaha ibu untuk melancarkan rencananya, meracuni otak Nasya dengan beribu kata dusta, besar kemungkinan bila mereka selalu bersama maka akan menumbuhkan rasa benci terhadap Satria."Mama kok gitu sih? Mama jahat!" Ia menghentakkan sebelah kaki lalu masuk ke dalam penuh emosi."Aku tahu sekarang Nasya begitu ternyata karena Ibu ya, Ibu 'kan yang bilang k
Aku tergugu tak percaya dengan ini semua, benarkah anak itu telah menerima Satria? "Kok kamu ngomong gitu sih? bukannya kemarin bilang kalau Papa Heri itu baik ya," jawabku sambil menyeka air mata."Iya sekarang sih emang baik, tapi dulu waktu kita masih tinggal bersama bukannya Papa sering marahin Mama ya, sering ngebentak dan ngatain Mama seenaknya, kalau ingat itu aku jadi pengen nangis, siapa tahu aja Om Satria ga kaya gitu ya, Ma."Nasya mengeratkan pelukannya, aku pun membalas dengan perasaan haru dan bahagia."Insya Allah Om Satria ga akan kaya gitu, Nasya jangan khawatir Om Satria udah janji mau bikin bahagia kita bertiga." Anak itu menganggukan kepala sambil tersenyum, beberapa detik kemudian tangannya mulai jahil menggelitik kaki Hanan hingga bayi itu terbangun.*Keesokan harinya Satria datang untuk menagih keputusan, lelaki itu terlihat akrab berbincang dengan ibu dan bapak, mereka tertawa entah sedang membicarakan apa, hingga aku datang membawa teh hangat dan beberapa c
(POV SATRIA)Wajah Amira selalu terbayang kala hendak terlelap, ingin sekali mengirimkan pesan agar rindu ini tersampaikan. Namun, aku tersadar Amira bukan tipikal orang yang bisa kuajak menggombal.Dia pasti sibuk menyusui Hanan yang mungkin saja rewel kala malam menjelang, belum lagi ia harus membantu Nasya belajar, semua itu membuatku faham bahwa dunianya lebih luas dibanding duniaku yang hanya sibuk dengan pekerjaan saja.Ingin sekali cepat-cepat menghalalkannya, menjadikan ia ratu di istana yang sudah kupersiapkan, akan kubuat ia bahagia hingga lupa pada derita yang pernah dirasa.Berawal dari perasaan iba hingga tumbuh menjadi suka lantaran keteguhan dan kesabarannya dalam menghadapi perihnya kehidupan, hingga akhirnya rasa ini menjadi cinta lantaran kagum dengan keshalihahannya.Ia selalu menjaga diri dari pandangan laki-laki, ia juga pribadi yang tegar saat melihat suaminya bersanding dengan wanita lain, padahal di rahimnya telah tumbuh benih lelaki itu.Kadang aku heran kenap
(POV SATRIA)Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, tadinya aku berniat untuk mengunjungi Amira. Akan tetapi, niat itu diurungkan karena kehadiran Rista dan mamanya.Aku berdecak kesal karena mama tak mengizinkanku pergi kemana-mana, katanya tak enak dengan Tante Tamara, mereka ke sini ingin mendekatkan aku dengan Rista.Benar ternyata ia menaruh perasaan suka atau bisa jadi cinta, tapi terlambat di hati ini sudah ada seseorang yang bertahta."Satria, Rista bawain Rawon sama iga bakar loh, makanan kesukaan kamu semua, ini Rista yang masak sudah pintar rupanya dia sekarang." Puji mama berlebihan."Iya, Satria, sekarang Rista bukan hanya pandai mengurus bisnis tapi pintar masak juga, benar-benar istri idaman kamu beruntung kalau bisa menikahinya," celetuk Tante Tamara kepedean.Lalu kenapa bisa dia bercerai dengan suami sebelumnya? padahal setahuku Ardan buka tipe lelaki buruk seperti Heri, tapi sayangnya pertanyaan ini hanya melayang dalam angan saja."Ya sudah kita makan sekarang yuk
Bab 37.A SM(POV Amira)Ibu bilang Satria masih menunggu di teras, katanya ia takkan pergi sebelum aku keluar menemuinya, padahal aku ingin sendiri menata hati ini mengapa lelaki itu tak mengerti? dipikir tak sakit hati melihat calon suami begitu dekat dengan wanita lain.Apa semua lelaki memang sama-sama menyebalkan seperti Mas Heri? "Emang kenapa kok ga mau nemuin Satria? ada masalah apa?" tanya ibu mendekati.Aku diam saja tak tertarik berbagi kisah cinta ini padanya."Temuin aja sebentar abis itu masuk lagi, ayo sana." Ibu mengambil Hanan dari pangkuanku.Dengan terpaksa meraih jilbab ala kadarnya lalu melangkah ke luar, lelaki itu langsung berdiri dan menghampiri."Amira, maafin aku semua ini ga seperti yang kamu lihat, dia ke rumahku cuma caper, dan masalah unggahannya di Instagram itu cuma ngada-ngada, please jangan ngambek dong," ujarnya, bicara tanpa jeda."Aku ga ngambek kok, cuma tahu diri aja emang ga pantes buat kamu," jawabku sambil duduk di kursi, tampang judes sengaja
"Aku selalu menelponmu tapi percuma jarang diangkat, sekali pun diangkat cuma sebentar padahal banyak yang ingin aku ceritakan soal Ibu, cerita juga mending kalau kamunya percaya, ya sudah sejak itu aku tak ingin lagi berhubungan denganmu," lanjut Ardan mengungkapkan kekecewaannya.Aku terduduk di bangku plastik miliknya, raga ini lemas mendengar semua kenyataan yang sebenarnya."Aku minta maaf, Ardan. Harus gimana supaya kamu memaafkan," ucapku dengan pasrah.Ia diam sibuk dengan pekerjaannya, haruskah aku berlutut di kakinya?"Ini ada uang buat modal tambahan usahamu, pakailah tadinya uang itu untuk pegangan beberapa bulan ke depan." Aku menyerahkan ATM sekaligus password-nya."Aku ga butuh, lagi pula sekarang bisa cari uang sendiri berikan saja uang itu untuk istrimu," jawab Ardan dengan culas."Ambil aja itu untuk pengobatan ibu kalau kamu ga mau, maafkan aku Ardan, sedikit pun aku ga pernah niat menelantarkanmu dan Ibu, ini semua karena Tania pandai memutar balikkan fakta, dan b*
(POV HERI)Satu tahun lamanya aku tak pulang ke kampung halaman, sebenarnya enam bulan yang lalu aku hendak pulang, tetapi keadaan tak memungkinkan dan banyak pula hambatan.Sengaja tak memberikan kabar kepulangan ini pada Tania ataupun Ardan, entah kenapa anak itu kini nomornya sudah tak aktif lagi, aku pun bertanya pada Tania katanya Ardan baik-baik saja dan ia sibuk bekerja.Aku turut bersuka cita atas perubahan anak itu, yang dulu ia manja dan lalai terhadap tanggung jawab, kini bisa mandiri dan mencari uang sendiri.Pesawat tiba di Jakarta tepat pukul sembilan pagi, untuk menuju kota kelahiranku dibutuhkan waktu sekitar dua jam lagi.Usai adzan Dzuhur berkumandang, akhirnya aku tiba di halaman rumah Tania, semuanya masih sama hanya warna cat rumah yang memudar.Aku melangkah masuk ke dalam pagar, memencet bel berkali-kali hingga pintu itu terbuka, nampaklah Tania yang berpenampilan berbeda.Rambutnya dipotong sebahu, wajahnya terlihat makin cerah dengan polesan make-up seperti bi
"Mbak Naya, bisa berhenti di depan?" tanyaku pada supir baru, Mas Satria sengaja memilih seorang wanita agar tidak ada ikhtilat diantara kami berdua saat bersama."Bisa, Bu," sebentar ya." Ia menuruti perintahku."Tolong jagain Hanan sebentar ya, saya mau nemuin orang itu.""Oh iya, Bu, sini Dedek Hanannya."Kuserahkan Hanan yang tertidur lelap ke pangkuan Naya, beruntung anak itu tak menangis.Aku segera berlari menembus kemacetan hingga akhirnya tubuhku sudah ada di hadapan ibu."Bu, kenapa di sini?" tanyaku sedikit berteriak."Ibuu!" teriakku sekali lagi, karena ia tak merespon panggilanku."Ibu, ngapain di sini?" Aku menyentuh pundaknya.Ia menepis dengan kasar lalu memandangku dengan berang."Diam! Aku lagi nunggu mantuku, Amira, dia janji mau ngajak shoping hari ini," jawabnya ngelantur.Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Mas Satria yang menelpon, karena takut ia marah aku segera menjawabnya."Sayang kamu di mana? kok belum nyampe juga?""Iya sebentar lagi nyampe kok, ini se
(POV AMIRA)Rumah seluas lima belas meter kali kali sepuluh meter menjadi hunian baru untukku dan anak-anak, Mas Satria membelikan hadiah ini sebagai hadiah pernikahan.Ia mengatakan jika rumah ini kurang besar dan mewah maka ia akan merenovasinya, tentu saja menurutku hal itu terlalu berlebihan, karena rumah ini seluas lapangan bola, mungkin jika orang tuaku tinggal di sini rumah ini pun takkan kesempitan.Tak sampai di situ Mas Satria pun mempekerjakan asisten rumah tangga dan seorang supir wanita khusus untuk mengantarku ke mana-mana, ah betapa bahagianya diperlakukan layaknya nyonya.Hari ini ia mulai bekerja setelah satu Minggu lebih menghabiskan masa cuti pernikahan di rumah, sengaja kami tak liburan ke mana-mana karena diluar pandemi masih melanda."Aku pergi dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecup kening.Jika di hadapan anak-anak ia akan memanggil 'mama' tapi jika tak ada siapa-siapa, kata sayang adalah panggilan untuk kami berdua.Sungguh romantis dan harmonis."Hati-hati
.Sedangkan Tania dan Tante Eva terlihat santai tak terpancing dengan omongan ibu. Akan tetapi, tetap saja mereka berdua membalas ucapan ibu dengan pedasnya membuat ibu makin emosi dan tak bisa mengontrol diri.Kepala ini pusing pasalnya jika pulang ke rumah selalu saja melihat keributan antara ibu dan Tania, mereka tak ada yang mengalah saling mempertahankan egonya."Ayo kita ke kamar, Bu. Aku beliin makanan," ujarku sambil merangkul pundak ibu."Makanan apa? itu dikasih Amira ya? dia emang menantu baik dan pengertian ga kaya kamu!" Ibu menunjuk wajah Tania.Aku kesal melihat tingkahnya, bagaimana jika Tania tak tahan dengan ibu lalu mengusir kita, akan tinggal di mana kami berdua."Sudah, ayo kita masuk kamar." Aku merangkul paksa dan membawanya menuju kamar."Ardan kamu harus usir Tania dari rumah ini dan bawa Amira kembali ya, Ibu itu cuma pengen punya menantu yang kaya ga kaya Tania bisanya ngabisin uang saja," cerocos ibu tak bisa diam."Sekarang Ibu makan dulu ya." Aku menyuapi
(POV Ardan)Nasib Bu Ninik.Sudah satu bulan lebih kakakku Heri berada di perantauan, ia mengatakan setiap tanggal satu akan mengirimkan transferan.Sedangkan kondisi ibu semakin hari kian memperhatikan, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena jika berpapasan dengan Tania bawaannya terlihat emosi, tak jarang ia marah-marah tanpa alasan."Mbak, Heri udah kirim uang?" tanyaku pada kakak ipar yang sedang menggunting kukunya.Ia malah menatapku sinis, seolah aku ini seorang pengemis."Mau apa emang?!" tanyanya sedikit membentak.Apa ia lupa? atau pura-pura lupa jika dalam uang itu ada hak mertua juga adik iparnya, dasar serakah! Entah apa yang dipikirkan kakakku hingga menggantikan Amira dengan wanita macam dia."Ya mau minta bagian, Heri 'kan janji kalau udah gajian mau bawa ibu ke psikiater," balasku tak kalah sinis.Untuk makan sehari-hari kami berdua terpaksa aku yang kerja, beruntung bengkel milik Adi setiap hari selalu ramai banyak kendaraann yang berdatangan, sehingga aku t
"Ok bagus." Tante Tamara melanjutkan langkahnya dengan wajah masam.Sedangkan Rista bersalaman dengan kami tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku penuh kebencian, bagiku tak masalah toh tak meminta uang padanya.Pesta hampir usai, tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan pulang, mama memintaku untuk bersiap berganti pakaian, ibu bilang malam ini Hanan biar tidur dengannya saja agar aku bisa menikmati malam pertama bersama Satria.Diperlakukan seperti itu aku jadi malu sendiri, padahal Satria tak keberatan jika Hanan tidur dengan kami, baik itu di malam pertama atau di malam-malam selanjutnya, karena anakku telah menjadi anak Satria juga, begitu katanya."Jangan bantah, malam ini Ibu mau tidur sama Hanan, udah sana ganti pakaian, besok Ibu akan antarkan Hanan ke rumah mertuamu," ucap ibu sedikit memaksa.Kulihat bayi mungil itu terlelap di pangkuannya."Kalau Hanan rewel telpon aja ya, Bu," ujarku sebelum pergi.Saat melangkah ada Rista berdiri menghalangi, tatapannya penuh
(POV Amira)Di sebuah gedung pernikahanku dan Satria dilaksanakan, sebenarnya aku malu menyelenggarakan pesta. Namun, apalah daya keluarga besar Satria yang menginginkannya.Acara akad sekaligus resepsi hari ini memang tergolong sederhana, tapi tetap saja aku tak nyaman harus bersanding di pelaminan, sementara anak-anakku takut tak diperhatikan.Ijab kabul dimulai ada perasaan haru dan tegang mendominasi, ibu dan juga kedua anak-anakku tak pernah jauh mereka selalu ada di sisi.Kebaya warna putih dengan jilbab senanda dipadukan dengan rok batik berwarna coklat membalut tubuhku dengan indahnya, aku tersenyum melihat pantulan diri di cermin, rasa bahagia terlukis sempurna di wajah ini."Sah."Akhirnya kata itu terucap di bibir orang-orang banyak, akhirnya aku resmi jadi nyonya Satria Bagaskara, kami menandatangani bekas-bekas dari KUA, lalu penghulu memberikan sepasang surat nikah.Ciuman pertama sungguh terasa menggetarkan jiwa, terlebih saat aku mencium takzim punggung tangannya, sudu
Aku masih diam menatapnya dalam sambil mendengarkan penjelasan pekerjaan apa yang akan kulakukan di sebrang pulau sana."Emang sih kerjanya capek, tapi 'kan duitnya gede." Tania masih membujuk, memang yang ada dalam otak wanita ini hanyalah uang, tak masalah walaupun harus jauh dari suami.Ah menyebalkan!"Terus ibuku gimana? tar kamu jadikan pembantu lagi di sini," jawabku ketus."Iya aku ga bakalan jadikan ibumu pembantu, lagi pula 'kan ada Ardan biarin aja dia yang ngurus ibumu, aku ga mau ikut campur," jawab Tania tak kalah ketus."Nanti aku fikirkan." Aku beranjak pergi karena berada di dekatnya tak menemukan kenyamanan yang ada ia terus memberikan tuntutan.Sempat terdengar ia mengoceh dan menghina. Namun, untuk kesekian kalinya aku bungkam karena malas dengan pertengkaran, lama-lama aku pun jadi terbiasa atas semua ocehan dan hinaan Tania.Cukup lama nongkrong di warung kopi memikirkan tawaran Tania diterima atau tidak, aku pun sudah meminta pendapat teman-teman dan mereka meng