(POV SATRIA)Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, tadinya aku berniat untuk mengunjungi Amira. Akan tetapi, niat itu diurungkan karena kehadiran Rista dan mamanya.Aku berdecak kesal karena mama tak mengizinkanku pergi kemana-mana, katanya tak enak dengan Tante Tamara, mereka ke sini ingin mendekatkan aku dengan Rista.Benar ternyata ia menaruh perasaan suka atau bisa jadi cinta, tapi terlambat di hati ini sudah ada seseorang yang bertahta."Satria, Rista bawain Rawon sama iga bakar loh, makanan kesukaan kamu semua, ini Rista yang masak sudah pintar rupanya dia sekarang." Puji mama berlebihan."Iya, Satria, sekarang Rista bukan hanya pandai mengurus bisnis tapi pintar masak juga, benar-benar istri idaman kamu beruntung kalau bisa menikahinya," celetuk Tante Tamara kepedean.Lalu kenapa bisa dia bercerai dengan suami sebelumnya? padahal setahuku Ardan buka tipe lelaki buruk seperti Heri, tapi sayangnya pertanyaan ini hanya melayang dalam angan saja."Ya sudah kita makan sekarang yuk
Bab 37.A SM(POV Amira)Ibu bilang Satria masih menunggu di teras, katanya ia takkan pergi sebelum aku keluar menemuinya, padahal aku ingin sendiri menata hati ini mengapa lelaki itu tak mengerti? dipikir tak sakit hati melihat calon suami begitu dekat dengan wanita lain.Apa semua lelaki memang sama-sama menyebalkan seperti Mas Heri? "Emang kenapa kok ga mau nemuin Satria? ada masalah apa?" tanya ibu mendekati.Aku diam saja tak tertarik berbagi kisah cinta ini padanya."Temuin aja sebentar abis itu masuk lagi, ayo sana." Ibu mengambil Hanan dari pangkuanku.Dengan terpaksa meraih jilbab ala kadarnya lalu melangkah ke luar, lelaki itu langsung berdiri dan menghampiri."Amira, maafin aku semua ini ga seperti yang kamu lihat, dia ke rumahku cuma caper, dan masalah unggahannya di Instagram itu cuma ngada-ngada, please jangan ngambek dong," ujarnya, bicara tanpa jeda."Aku ga ngambek kok, cuma tahu diri aja emang ga pantes buat kamu," jawabku sambil duduk di kursi, tampang judes sengaja
Kulihat dari kaca jendela seorang perempuan yang umurnya tak jauh beda dengan ibu keluar dari mobil tersebut, lalu setelahnya terlihat Satria keluar dari pintu depan, mereka berjalan bersisian membukakan pagar yang sedikit terbuka.Jangan-jangan itu Mama Rosa? seketika aku panik bingung harus apa, masa iya menemuinya mengenakan daster saja."Kamu kenapa? itu ada yang ketuk pintu kok ga dibuka?" tanya ibu membuatku kaget saja.Tanpa menjawabnya segera aku cuci muka lalu masuk kamar memilih baju yang paling sempurna, senada dengan hijabnya yang menambah kesan sopan dan elegan.Dari pandangan pertama manusia akan menilai dari segi penampilan, semakin sopan ia berpakaian pastilah semakin baik penilaiannya."Amira, Satria ke sini bawa mamanya, kenapa kamu ga bilang Ibu 'kan bisa siapin makanan," ujarnya sambil menghampiriku dekat meja rias."Aku juga ga tahu dia mau ke sini, dadakan kayanya, mereka udah masuk?" tanyaku sambil merapikan jilbab.Untuk wajah sengaja tak meriasnya karena dalam
(POV Heri)"Ibu ini bukan pembantu kalian, aku ini orang tua kalian!" sungut ibu marah-marah.Aku berdecak kesal pasalnya setiap hari selalu saja ada keributan, padahal sekarang aku dan Ardan sudah bekerja ya walaupun hanya jadi montir serabutan."Yang namanya numpang itu harus tahu diri dong," sahut Tante Eva dengan gemulaiWanita itu memang pandai menyulut api, semua pertengkaran yang terjadi antara ibu dan Tania pasti berawal dari kata-kata pedasnya, andai saja kami masih punya rumah, sudah kutinggalkan neraka ini."Dasar ga pernah makan bangku sekolah! Begitu kelakuannya sama orang tua, gini-gini juga aku mertuamu, Tania!" sergah ibu penuh emosi."Hallaaah sudahlah, kalau ga mau masak ya sudah tidur aja sana, biar kita berdua order makanan, iya ga, Tante? kalau masih mau makan ya masak kalau ga mau puasa aja jangan minta makanan sama kita," jawab Tania dengan pongah.Jujur, sebagai suami dan anak harga diri ini terasa diinjak-injak, hanya karena tak bisa memberinya uang banyak ia
(POV HERI)"Jadi pembantu di rumah orang, Alhamdulillah dia mau bayar harian ga dibulankan, kalau ga gini kita ga bisa bayar hutang!" Dadaku makin sesak mendengar ucapan ibu, teringat dulu ia selalu memperlakukan Amira seperti pembantu padahal ia seorang menantu, kini semua kesusahan dan kesedihan itu berbalik pada diri kami masing-masing."Maafkan aku, Bu. Tapi gimana lagi Ibu sabar aja dulu semoga ke depannya aku dapat kerjaan yang mendingan, dulu aku pernah bilang 'kan jangan banyak berhutang, sekarang Ibu rasakan sendiri akibatnya.""Ibu sudah bilang ceraikan Tania dan kembalilah dengan Amira, Ibu yakin lama-lama dia akan luluh kalau kamu tulus, lihatlah sekarang dia sudah kaya," ucap ibu seenaknya.Aku memandang ibu dengan kecewa karena bisa mengatur hidupku seenaknya, dipikir mudah mengejar Amira yang sudah terluka, dipikir ia wanita bo*oh yang mudah terbuai dengan kata cinta."Dahulu waktu jadi istrimu dia ga kurang ajar seperti Tania, malah kalau Ibu minta uang dia suka ngas
(POV Heri)"Bu, Tania mau adopsi anak, aku tuh pusing, Hanan sama Nasya aja ditelantarkan, bisa-bisa aku gila karena larut dalam penyesalan kalau beneran adopsi anak," ujarku, mencoba berbagi duka dengan ibu.Kebetulan Tania sedang tak ada di rumah, ia bilang ingin berbelanja dengan Tantenya, entah ia punya uang dari mana, karena nafkah yang kukasih hanya cukup untuk makan saja."Jangan diturutin! Kamu harus tegas sama Tania, kalau mau anak ya hamil sendiri ngapain harus ngurusin anak orang, mending kalau anak itu diambil dari keluarga baik-baik, lah kalau anak hasil perzinahan atau anak dari orang tua yang penyakitan misal HIV, 'kan ngeri," jawab ibu, memang ada benarnya juga."Aku juga udah nolak eh dia malah ngasih aku pilihan kita ngurus Hanan atau adopsi anak," jawabku sambil mengacak rambut."Kalau ngurus Hanan sih Ibu setuju, tapi masalahnya 'kan Amira mana mungkin ngasih. Sudahlah Ibu bilang juga balikan lagi sama dia."Curhat dengan ibu bukan menemukan solusi malah memperkeru
"Apa? mau marah?! Emang kenyataannya kamu itu mandul ga bisa kasih keturunan, sekarang aku faham yang mandul itu bukan Satria tapi kamu 'kan? lihatlah sekarang mantan suamimu mau nikah dengan Amira janda anak dua, lihat saja nanti Amira bisa hamil lagi atau engga." Ibu menyeringai puas."Oh ya satu lagi kalau sampai kamu beneran adopsi anak maka akan kusuruh Heri untuk ceraikan kamu, silakan urus anak pungut itu seorang diri kalau berani."Lepas meluapkan emosinya ibu beranjak pergi, tapi tak berselang lama Tania murka dengan cara menjerit sekeras-kerasnya, membuat semua orang jadi tutup telinga."Aku ga mandul! Lihat saja nanti nenek lampir aku bakal hamil dan punya anak!" teriaknya dengan bercucuran air mata.Aku tak dapat membeli siapa diantara mereka, juga tak bisa menenangkan Tania karena mulutnya sudah sering membuat hatiku terluka, jadi rasa iba mendadak sirna."Sudah Tania jangan nangis." Tante Eva merangkul menenangkan keponakannya."Kamu tuh ya dasar benalu, udah numpang di
(POV Heri) Benar saja diantara kerumunan aku melihat ibu mengerang kesakitan, beberapa orang sempat memberikan pertolongan pertama pada lukanya.Aku dan Ardan cepat berlari membelah kerumunan, saat sudah mendekat ternyata ibu sudah kehilangan kesadaran. "Ibuu!" teriak Ardan sambil menangis sesenggukan.Aku pun ingin menangis. Akan tetapi, air mata ini tertahan lantaran malu banyak pasang mata yang menyaksikan.Beruntung ada seseorang yang baik hati mau memberikan tumpangan, entah dia siapa yang jelas aku membantu warga lainnya menggotong tubuh ibu masuk ke dalam mobil.Di rumah sakit aku kembali kebingungan bagaimana membayar administrasi pengobatan ibu yang kemungkinan akan dirawat inapResepsionis bilang jika ibu memiliki BPJS maka kartu itu bisa digunakan, terpaksa aku kembali ke rumah karena yang kutahu ibu memang memilikinya."Ardan, jagain Ibu dulu aku mau ngambil berkas-berkas buat administrasi."Ia menganggukkan kepalanya.Tiba di rumah Tania menatapku tanpa gairah."Tania,
"Aku selalu menelponmu tapi percuma jarang diangkat, sekali pun diangkat cuma sebentar padahal banyak yang ingin aku ceritakan soal Ibu, cerita juga mending kalau kamunya percaya, ya sudah sejak itu aku tak ingin lagi berhubungan denganmu," lanjut Ardan mengungkapkan kekecewaannya.Aku terduduk di bangku plastik miliknya, raga ini lemas mendengar semua kenyataan yang sebenarnya."Aku minta maaf, Ardan. Harus gimana supaya kamu memaafkan," ucapku dengan pasrah.Ia diam sibuk dengan pekerjaannya, haruskah aku berlutut di kakinya?"Ini ada uang buat modal tambahan usahamu, pakailah tadinya uang itu untuk pegangan beberapa bulan ke depan." Aku menyerahkan ATM sekaligus password-nya."Aku ga butuh, lagi pula sekarang bisa cari uang sendiri berikan saja uang itu untuk istrimu," jawab Ardan dengan culas."Ambil aja itu untuk pengobatan ibu kalau kamu ga mau, maafkan aku Ardan, sedikit pun aku ga pernah niat menelantarkanmu dan Ibu, ini semua karena Tania pandai memutar balikkan fakta, dan b*
(POV HERI)Satu tahun lamanya aku tak pulang ke kampung halaman, sebenarnya enam bulan yang lalu aku hendak pulang, tetapi keadaan tak memungkinkan dan banyak pula hambatan.Sengaja tak memberikan kabar kepulangan ini pada Tania ataupun Ardan, entah kenapa anak itu kini nomornya sudah tak aktif lagi, aku pun bertanya pada Tania katanya Ardan baik-baik saja dan ia sibuk bekerja.Aku turut bersuka cita atas perubahan anak itu, yang dulu ia manja dan lalai terhadap tanggung jawab, kini bisa mandiri dan mencari uang sendiri.Pesawat tiba di Jakarta tepat pukul sembilan pagi, untuk menuju kota kelahiranku dibutuhkan waktu sekitar dua jam lagi.Usai adzan Dzuhur berkumandang, akhirnya aku tiba di halaman rumah Tania, semuanya masih sama hanya warna cat rumah yang memudar.Aku melangkah masuk ke dalam pagar, memencet bel berkali-kali hingga pintu itu terbuka, nampaklah Tania yang berpenampilan berbeda.Rambutnya dipotong sebahu, wajahnya terlihat makin cerah dengan polesan make-up seperti bi
"Mbak Naya, bisa berhenti di depan?" tanyaku pada supir baru, Mas Satria sengaja memilih seorang wanita agar tidak ada ikhtilat diantara kami berdua saat bersama."Bisa, Bu," sebentar ya." Ia menuruti perintahku."Tolong jagain Hanan sebentar ya, saya mau nemuin orang itu.""Oh iya, Bu, sini Dedek Hanannya."Kuserahkan Hanan yang tertidur lelap ke pangkuan Naya, beruntung anak itu tak menangis.Aku segera berlari menembus kemacetan hingga akhirnya tubuhku sudah ada di hadapan ibu."Bu, kenapa di sini?" tanyaku sedikit berteriak."Ibuu!" teriakku sekali lagi, karena ia tak merespon panggilanku."Ibu, ngapain di sini?" Aku menyentuh pundaknya.Ia menepis dengan kasar lalu memandangku dengan berang."Diam! Aku lagi nunggu mantuku, Amira, dia janji mau ngajak shoping hari ini," jawabnya ngelantur.Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Mas Satria yang menelpon, karena takut ia marah aku segera menjawabnya."Sayang kamu di mana? kok belum nyampe juga?""Iya sebentar lagi nyampe kok, ini se
(POV AMIRA)Rumah seluas lima belas meter kali kali sepuluh meter menjadi hunian baru untukku dan anak-anak, Mas Satria membelikan hadiah ini sebagai hadiah pernikahan.Ia mengatakan jika rumah ini kurang besar dan mewah maka ia akan merenovasinya, tentu saja menurutku hal itu terlalu berlebihan, karena rumah ini seluas lapangan bola, mungkin jika orang tuaku tinggal di sini rumah ini pun takkan kesempitan.Tak sampai di situ Mas Satria pun mempekerjakan asisten rumah tangga dan seorang supir wanita khusus untuk mengantarku ke mana-mana, ah betapa bahagianya diperlakukan layaknya nyonya.Hari ini ia mulai bekerja setelah satu Minggu lebih menghabiskan masa cuti pernikahan di rumah, sengaja kami tak liburan ke mana-mana karena diluar pandemi masih melanda."Aku pergi dulu ya, Sayang," ucapnya sambil mengecup kening.Jika di hadapan anak-anak ia akan memanggil 'mama' tapi jika tak ada siapa-siapa, kata sayang adalah panggilan untuk kami berdua.Sungguh romantis dan harmonis."Hati-hati
.Sedangkan Tania dan Tante Eva terlihat santai tak terpancing dengan omongan ibu. Akan tetapi, tetap saja mereka berdua membalas ucapan ibu dengan pedasnya membuat ibu makin emosi dan tak bisa mengontrol diri.Kepala ini pusing pasalnya jika pulang ke rumah selalu saja melihat keributan antara ibu dan Tania, mereka tak ada yang mengalah saling mempertahankan egonya."Ayo kita ke kamar, Bu. Aku beliin makanan," ujarku sambil merangkul pundak ibu."Makanan apa? itu dikasih Amira ya? dia emang menantu baik dan pengertian ga kaya kamu!" Ibu menunjuk wajah Tania.Aku kesal melihat tingkahnya, bagaimana jika Tania tak tahan dengan ibu lalu mengusir kita, akan tinggal di mana kami berdua."Sudah, ayo kita masuk kamar." Aku merangkul paksa dan membawanya menuju kamar."Ardan kamu harus usir Tania dari rumah ini dan bawa Amira kembali ya, Ibu itu cuma pengen punya menantu yang kaya ga kaya Tania bisanya ngabisin uang saja," cerocos ibu tak bisa diam."Sekarang Ibu makan dulu ya." Aku menyuapi
(POV Ardan)Nasib Bu Ninik.Sudah satu bulan lebih kakakku Heri berada di perantauan, ia mengatakan setiap tanggal satu akan mengirimkan transferan.Sedangkan kondisi ibu semakin hari kian memperhatikan, ia lebih banyak mengurung diri di kamar, karena jika berpapasan dengan Tania bawaannya terlihat emosi, tak jarang ia marah-marah tanpa alasan."Mbak, Heri udah kirim uang?" tanyaku pada kakak ipar yang sedang menggunting kukunya.Ia malah menatapku sinis, seolah aku ini seorang pengemis."Mau apa emang?!" tanyanya sedikit membentak.Apa ia lupa? atau pura-pura lupa jika dalam uang itu ada hak mertua juga adik iparnya, dasar serakah! Entah apa yang dipikirkan kakakku hingga menggantikan Amira dengan wanita macam dia."Ya mau minta bagian, Heri 'kan janji kalau udah gajian mau bawa ibu ke psikiater," balasku tak kalah sinis.Untuk makan sehari-hari kami berdua terpaksa aku yang kerja, beruntung bengkel milik Adi setiap hari selalu ramai banyak kendaraann yang berdatangan, sehingga aku t
"Ok bagus." Tante Tamara melanjutkan langkahnya dengan wajah masam.Sedangkan Rista bersalaman dengan kami tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku penuh kebencian, bagiku tak masalah toh tak meminta uang padanya.Pesta hampir usai, tamu undangan pun satu persatu mulai berpamitan pulang, mama memintaku untuk bersiap berganti pakaian, ibu bilang malam ini Hanan biar tidur dengannya saja agar aku bisa menikmati malam pertama bersama Satria.Diperlakukan seperti itu aku jadi malu sendiri, padahal Satria tak keberatan jika Hanan tidur dengan kami, baik itu di malam pertama atau di malam-malam selanjutnya, karena anakku telah menjadi anak Satria juga, begitu katanya."Jangan bantah, malam ini Ibu mau tidur sama Hanan, udah sana ganti pakaian, besok Ibu akan antarkan Hanan ke rumah mertuamu," ucap ibu sedikit memaksa.Kulihat bayi mungil itu terlelap di pangkuannya."Kalau Hanan rewel telpon aja ya, Bu," ujarku sebelum pergi.Saat melangkah ada Rista berdiri menghalangi, tatapannya penuh
(POV Amira)Di sebuah gedung pernikahanku dan Satria dilaksanakan, sebenarnya aku malu menyelenggarakan pesta. Namun, apalah daya keluarga besar Satria yang menginginkannya.Acara akad sekaligus resepsi hari ini memang tergolong sederhana, tapi tetap saja aku tak nyaman harus bersanding di pelaminan, sementara anak-anakku takut tak diperhatikan.Ijab kabul dimulai ada perasaan haru dan tegang mendominasi, ibu dan juga kedua anak-anakku tak pernah jauh mereka selalu ada di sisi.Kebaya warna putih dengan jilbab senanda dipadukan dengan rok batik berwarna coklat membalut tubuhku dengan indahnya, aku tersenyum melihat pantulan diri di cermin, rasa bahagia terlukis sempurna di wajah ini."Sah."Akhirnya kata itu terucap di bibir orang-orang banyak, akhirnya aku resmi jadi nyonya Satria Bagaskara, kami menandatangani bekas-bekas dari KUA, lalu penghulu memberikan sepasang surat nikah.Ciuman pertama sungguh terasa menggetarkan jiwa, terlebih saat aku mencium takzim punggung tangannya, sudu
Aku masih diam menatapnya dalam sambil mendengarkan penjelasan pekerjaan apa yang akan kulakukan di sebrang pulau sana."Emang sih kerjanya capek, tapi 'kan duitnya gede." Tania masih membujuk, memang yang ada dalam otak wanita ini hanyalah uang, tak masalah walaupun harus jauh dari suami.Ah menyebalkan!"Terus ibuku gimana? tar kamu jadikan pembantu lagi di sini," jawabku ketus."Iya aku ga bakalan jadikan ibumu pembantu, lagi pula 'kan ada Ardan biarin aja dia yang ngurus ibumu, aku ga mau ikut campur," jawab Tania tak kalah ketus."Nanti aku fikirkan." Aku beranjak pergi karena berada di dekatnya tak menemukan kenyamanan yang ada ia terus memberikan tuntutan.Sempat terdengar ia mengoceh dan menghina. Namun, untuk kesekian kalinya aku bungkam karena malas dengan pertengkaran, lama-lama aku pun jadi terbiasa atas semua ocehan dan hinaan Tania.Cukup lama nongkrong di warung kopi memikirkan tawaran Tania diterima atau tidak, aku pun sudah meminta pendapat teman-teman dan mereka meng