"Tidak! Jangan ambil anakku! Kembalikan dia padaku!" teriakku pada laki-laki bertubuh besar yang membawa Andra.
Aku berlari mengejarnya untuk mengambil anakku kembali, tapi gerakkan lelaki itu lebih cepat. Kulihat ia menyerahkan Andra pada laki-laki yang duduk di kursi belakang sebuah mobil mewah. Lelaki itu menyeringai licik padaku dengan tatapan puas karena telah membuatku menderita.
"Buka!" suruhku padanya sambil menggedor kaca mobil yang belum lama tertutup, saat aku menghampirinya.
"Buka! Kembalikan Andra padaku! Kumohon, jangan ambil anakku!" Aku meminta pada lelaki yang berada di dalamnya. Namun, ia tidak memedulikanku. Mobil itupun perlahan melaju dan menjauh meninggalkan diriku yang menangis sendiri di jalanan yang sepi.
"Kembalikan anakku! Kembalikan dia...!" Aku terus berteriak meminta anakku yang dibawa pergi oleh lelaki jahat itu.
"Andraaa!"
Aku terjaga dari tidur dengan napas tersengal sembari terduduk di atas ranjang. De
Tiiin ... Tiiin .... Suara klakson yang memekakkan telinga membuatku menoleh, saat aku menyebrangi jalan beraspal. Kulihat sebuah mobil pengangkut sayur melaju ke arahku dengan kencang. "Aaakh...!" Aku memekik tanpa mampu menghindar karena kakiku terasa kaku. Namun, kurasakan seseorang mendorong tubuhku dan kami jatuh bersamaan di sisi jalan. "Aww...." Aku meringis kesakitan. "Kamu tidak apa-apa, Dira?" Laki-laki yang aku kenal menanyaiku. "Aku tidak apa-apa, Rian," jawabku sambil menegakkan tubuh. Kuusap siku tangan yang terasa sakit karena terkena aspal. "Woi ... cari mati ya! Kalau mau bunuh diri jangan di jalan!" bentak si pengemudi mobil. Aku dan Adrian menoleh pada sopir yang tengah mengomel dari dalam mobilnya dengan pandangan mengarah pada kami. "Bikin repot orang aja!" omelnya lagi lalu melajukan mobilnya kembali. Adrian membantuku berdiri. Irama jantungku masih berdegup kencang dan perasaanku k
Aku kembali terjaga. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Kutegakkan tubuh dan melihat ke sekeliling ruangan. Aku sudah berada di dalam kamar yang tidak asing. Ini kamarku dan Mas Yusuf. Warna dinding dan tata letaknya tidak ada yang berubah. Namun, ada satu yang berbeda di sudut kamar. Netraku menangkap sebuah ranjang bayi berukuran kecil dan berbahan kayu lengkap dengan kelambu yang terpasang di atasnya. Ada juga beberapa mainan di sana. Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah ranjang kecil itu. "Apa Mas Yusuf yang menyiapkan ini semua setelah tau Andra benar-benar anaknya?" tanyaku sendiri sembari menyentuh sisi ranjang itu. Rafandra adalah anaknya. Saat proses sidang pertama berlangsung, aku mengabulkan keinginan Mas Yusuf untuk melakukan Tes DNA terhadap anakku. Dan hasilnya menunjukkan bahwa Rafandra memang benar anaknya. Karena itulah, ia menginginkan anaknya lagi. Suara laki-laki di luar kamar mengalihkan perhatia
Brak. Mereka terperanjat melihat kedatanganku. Aku berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah. Bergegas aku menghampiri Mas Yusuf dan langsung memberikan tamparan pada laki-laki itu. "Nadhira, kau?" Mas Yusuf menatapku sambil memegangi pipinya. Ia tampak kaget melihatku. "Kenapa? Kamu terkejut aku bisa sampai ke sini?" tanyaku. "A-aku," ucap Mas Yusuf terbata. "Ternyata kamu yang sudah mengambil anakku! Dan kamu melakukan ini untuk menghancurkan aku? Licik sekali kamu, Mas!" ucapku di depannya. "Kamu lelaki pengecut, beraninya memanfaatkan kelemahanku dengan mengambil Andra! Kamu jahat! Kamu memang jahat!" teriakku, kemudian memukuli badannya. Mas Yusuf menghempas tanganku sehingga aku berhenti. "Iya! Aku yang melakukan semua ini! Itu karena kamu menolak membatalkan gugatanmu dan tidak mau kembali padaku!" cetus Mas Yusuf akhirnya. "Dasar b*jingan!" Bugh. Adalah Adrian yang berbicara sembar
"Dengan Bapak Yusuf Pramudya?" Salah satu dari dua orang polisi yang datang ke kantorku, bertanya. "Iya, benar, saya sendiri. Ada apa ya, Pak?" jawabku diakhiri pertanyaan. Saat itu, aku hendak pergi menemui klien di luar kantorku. "Anda kami tangkap atas penculikan yang Anda lakukan terhadap anak dari Ibu Nadhira, istri Anda," ucap polisi itu sambil menunjukkan surat penangkapan. "Apa? Saya menculik anak saya sendiri? Mana mungkin itu, Pak?" kataku berusaha mengelak dengan memasang raut wajah tidak bersalah. "Nanti saja Anda jelaskan di kantor polisi. Sekarang, silakan Anda ikut kami!" ucap polisi itu lagi padaku, lalu beralih pada anak buahnya, "Cepat tangkap Pak Yusuf!" "Siap, Komandan!" "Sebentar ... Anda tidak bisa menangkap saya begitu saja tanpa bukti." Aku kembali mengelak saat polisi itu memborgol kedua tanganku. "Ayo, ikut kami!" ucap polisi yang memborgolku. Aku digiring ke luar menuju mobil polisi yang
Nadhira telah menceraikanku dan sekarang aku benar-benar sudah kehilangannya. Wanita yang selama tiga tahun lebih mendampingiku, akhirnya ia memilih pergi dan tidak mau bertemu denganku lagi. Wajar bila ia sakit hati padaku dan tetap pada pendiriannya ingin berpisah dariku. Itu karena aku sering menyakiti hatinya, bahkan aku meragukan kesetiaannya padaku. Sejak awal pernikahan kami, ia harus dipaksa rela terluka karena aku menikah lagi. Saat aku memintanya membatalkan gugatan cerainya, ia menolak dan tetap melanjutkannya. Akhirnya, aku harus pasrah dengan keputusan persidangan. Mobil yang kukendarai sudah terparkir di depan rumah Nadhira. Aku segera turun untuk berbicara dengannya. "Dek," panggilku. Nadhira melihat ke arahku yang berdiri di dekat pagar. Kulihat ia tengah menyuapi Rafandra sore itu. "Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyanya sambil berdiri. Aku berjalan perlahan ke arahnya. "Nadhira aku ke sini .... " Bel
Hari-hari aku lalui bersama anakku, Rafandra Putra Pramudya, setelah akhirnya hak asuh atas putraku itu, aku dapatkan. Anak kecil itu semakin pintar dan tumbuh dengan baik. Tubuhnya yang gempal dan pipinya seperti bakpao membuat gemas orang yang melihatnya. Ia tidak pernah rewel atau merepotkanku, seolah tahu dengan keadaan bundanya. Usianya sekarang menginjak sebelas bulan, sebulan lagi ia berulang tahun, dan saat ini, ia mulai belajar berjalan.“Ayo sini, sayang, peluk bunda. Bunda di sini,” suruhku pada anak kecil yang berdiri sekitar satu meter lebih dari tempatku.Anak itu tampak kesusahan melangkahkan kakinya yang berbalut sepatu karena tubuhnya juga gemuk, sehingga ia jatuh terduduk kembali di rerumputan taman. Andra melepas sepatunya sendiri. Sepertinya sepatu itu menyulitkannya berjalan.Tampak beberapa orang melihat ke arahnya. Senyuman terkembang di bibir mereka saat melihat Rafandra hanya melepas sebelah sepatunya saja, sedangkan se
Selepas putusan sidang, aku bisa lebih fokus mengurus ayah dan anakku. Kondisi kesehatan ayah semakin membaik karena ia rajin melakukan pengobatan dan fisioterapi. Semua ini tidak lepas dari peran Adrian. Lelaki baik hati itu menepati janjinya untuk membantuku dalam pengobatan ayah. Ia tidak pernah bosan mengantar ayahku ke rumah sakit untuk melakukan terapi. Kadang aku merasa tidak enak dengan keluarganya. Aku takut, mereka berpikir bila aku memanfaatkan Adrian. Aku selalu meminta padanya agar jangan terlalu sering membantuku. Namun, ia bilang, ini adalah urusan dan tanggung jawabnya. Tanggung jawab? Bahkan bukan dia yang menyebabkan ayahku lumpuh. Mengapa ia harus bertanggung jawab? Dia juga bukan siapa-siapa kami. Dia hanya seorang teman. Entah apa alasannya, ia melakukan semua itu untukku dan keluargaku? Apa karena rasa cintanya padaku? Tapi, hingga saat ini aku belum bisa membalasnya. Ia juga tidak punya hutang budi sedikitpun padaku. Namun, mengapa ia masih saj
Setelah Nadhira pergi dariku, kehidupanku benar-benar berubah. Tidak ada lagi sosok wanita yang selalu menungguku pulang atau mengingatkanku makan jika waktu makan tiba saat aku tengah berada di kantor. Walau masih ada istriku yang lain yaitu Naura. Namun, ia seperti tidak peduli padaku. Sudah beberapa bulan ini, aku menjalani kehidupan rumah tangga bersama Naura. Aku melakukan semua ini demi putriku, Kayla. Aku juga mencoba melupakan kesalahan istri keduaku itu dan tetap mempertahankan pernikahan kami. Awalnya, aku merasa semua baik-baik saja. Namun, seiring berjalannya waktu, menjalani kehidupan rumah tangga bersama Naura ternyata sangat jauh berbeda dengan saat aku bersama Nadhira. Walau Naura di rumah, ia tidak bisa mengurus kebutuhanku dengan baik. Ia kembali pada kebiasaannya. Wanita itu lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Ia sering bepergian dan kumpul bersama teman-teman sosialitanya. Ia bilang bosan bila harus berdiam diri di rumah saja. Seperti sore ini, i
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe