Setelah beberapa hari di rumah sakit, akhirnya aku bisa pulang bersama matahari kecilku. Adrian yang menjemput kami dengan mobil barunya. Dan kami baru saja sampai di rumah.
Bi Asih yang menggendong bayiku. Ayah membantuku turun dari mobil sementara Adrian menurunkan barang-barang keperluanku dan bayiku dari mobilnya.
Ayah berjalan lebih dulu untuk membukakan pintu rumah. Ia tampak tergesa-gesa dan tidak sabar.
"Hati-hati, Ayah!" seruku pada ayah sembari berjalan perlahan menuju teras rumah. Setelah pintu terbuka, kamipun masuk.
"Selamat datang di rumah Abah, cucuku," ujar ayahku saat kami sudah berada di dalam rumah.
Kami semua tersenyum haru melihat ayah begitu bahagia menyambut cucu pertamanya. Tergambar rona bahagia di wajahnya. Lelaki paruh baya itu lalu berjalan cepat ke arah box bayi.
"Hayu, Asih, buruan tidurin di box ini! Biar Akang bisa maen sama cucu Akang. Akang teh, kan, belum bisa kalau harus gendong dia," pinta ayah pada
Beberapa panggilan tak terjawab tertera di histori panggilan dalam ponselku. Aku mengecek nama si penelepon, ternyata panggilan tersebut dari ayahnya Nadhira. "Tumben, Bapak menelponku dan untuk apa?" tanyaku sendiri. Dua jam yang lalu lelaki itu menghubungiku, tapi tidak terjawab karena aku lupa membawa ponsel, saat pergi ke bagian produksi dan meninggalkannya di atas meja kerja. "Siapa yang menelpon, Mas?" tanya Naura yang masuk bersamaku ke ruangan. "Bapak mertuaku, tapi gak keangkat," jawabku. Naura duduk di sofa dengan elegan sembari memangku tas mahalnya. "Ah, paling dia mau minta dikirimin uang, Mas. Sekarang kan anaknya udah gak kerja. Jadi, dari mana lagi dia bisa dapet uang, kalau bukan minta sama kamu," terkanya. Naura memang benar. Apalagi sekarang Nadhira tinggal di rumah ayahnya, pasti mereka butuh biaya hidup. Dan mungkin, uang yang aku berikan pada Nadhira sudah habis. Tidak ada salahnya bila aku mentransfer uang
"Assalamu'alaikum, Pak," sapaku pada laki-laki paruh baya yang tengah duduk dan mengobrol di depan teras dengan seorang pemuda berseragam dinas. "Wa'alaikumsalam," jawab mereka berbarengan dan menoleh ke arahku. "Baik, Pak, saya akan bantu urus surat-suratnya. Saya permisi kembali ke kelurahan," ucap pemuda itu sambil membawa map di tangannya. Ternyata pemuda itu adalah pegawai kelurahan. Pegawai kelurahan? Apa yang sedang mertuaku urus di kelurahan? "Hatur nuhun, nya, udah bantu Bapa," (Terima kasih, ya, sudah membantu Bapak) ucap ayah mertuaku dengan logat sundanya. "Sami-sami, Pak. Saya permisi. Assalamu'alaikum," pamit pegawai itu. "Wa'alaikumsalam," balas ayah mertuaku sambil berdiri dari duduk. Pegawai kelurahan itupun pergi. "Pak, apa yang Bapak urus di kelurahan?" tanyaku penasaran sambil meminta tangannya untuk kucium. "Gak sudi tangan saya dicium laki-laki tidak bertanggung jawab sepertimu. Apa y
Aku memilih tinggal di rumah ayah dan menolak pulang bersama Mas Yusuf. Selain memang tidak mau ikut dengannya, aku juga harus merawat ayahku yang sedang sakit. Sakitnya dikarenakan ia terlalu kesal pada menantunya itu. Namun begitu, aku tidak melarang Mas Yusuf untuk bertemu dengan anaknya. "Kamu masih bisa melihat anakmu, Mas. Aku tidak akan memberi batasan padamu untuk bertemu dengan Andra. Kamu bisa ke sini kapanpun kamu mau," ucapku malam itu. Aku tidak mau egois dengan memisahkan anak dari ayahnya. Justru aku ingin Mas Yusuf lebih dekat dengan anaknya, walau kami tidak satu rumah. Aku sadar, aku bukanlah wanita yang sempurna. Sebagai istri, mungkin ada sesuatu yang kurang dari diriku yang tidak ia temukan dan itu ada pada Naura. Sehingga lelaki itu lebih nyaman bersama istri keduanya. Tidak ada yang salah dan tidak perlu saling menyalahkan. Kami hanya perlu mengulas lembaran kelam yang terjadi pada rumah tangga kami dan sebisa mungkin memp
Selain kesibukan mengurus Rafandra dan ayah yang sudah semakin renta, aku juga disibukkan dengan pekerjaan baru sebagai pengajar bimbel.Ya, aku membuka bimbel di rumah. Bagian samping rumah ayah cukup luas. Sewaktu masih sehat, ia memasangkan atap kanopi di atas dan mengubin bagian bawahnya. Di sisian atap digantungkan pot-pot tanaman berukuran kecil dengan jenis tanaman yang daunnya menjalar, sehingga tempat itu terasa teduh.Untuk sementara ini, aku hanya menerima bimbingan belajar untuk siswa tingkat sekolah dasar, khususnya pelajaran Matematika. Walaupun itu bukan bidang pelajaran yang aku ampu sewaktu kuliah, tapi untuk pelajaran Matematika SD, aku cukup menguasainya. Karena sewaktu sekolah, aku sangat suka dengan pelajaran itu.Jadwal mengajar bimbel, aku atur pada siang menjelaskan sore hari. Karena di jam-jam itu, Rafandra sedang tidur. Jadi, aku bisa mengajar anak-anak sekolah siang itu. Dan mereka sangat senang belajar bersamaku. Mereka tidak berasal
"Aku mau kita pisah, Mas!" Kalimat penuh penekanan dan tegas yang Nadhira ucapkan malam itu masih terngiang di telingaku. Namun, beribu kalipun ia mengucapkan itu, aku tidak akan pernah menceraikannya. Katakanlah aku lelaki egois. Bahkan umpatan 'lelaki egois' itu sering aku dengar dari mulut Nadhira, saat kami bertengkar. Aku sangat mencintainya dan takut sekali kehilangan dia. Itulah alasanku tidak ingin berpisah darinya. Namun, kali ini berbeda. Bukan lagi karena takut kehilangannya, tapi karena hadirnya Rafandra di hidupku. Bersikeras aku memintanya untuk ikut denganku, nyatanya aku gagal membawa kembali istri dan anakku pulang ke rumah. Beberapa waktu lalu, aku kembali meminta padanya untuk ikut pulang bersamaku, tapi ia tetap saja menolak. Bahkan aku sering melihat ia bersama Adrian. Lelaki itu selalu datang ke rumahnya dan terlihat bermain bersama anakku. Aku menghubungi Adrian dan memintanya bertemu. Dalam pertemuan kami, ia malah meng
"Kenapa kamu, Mas? Kamu berantem lagi sama Naura?" tanya Nadhira saat aku sudah berada di rumahnya. Nadhira berdiri di depan pintu sambil menggendong anaknya. Ia sudah sangat hafal. Saat aku bertengkar dengan Naura, pasti menemuinya. Terlihat pula dari wajahku yang kusut. "Bersikap baiklah pada Naura, Mas. Dia istrimu juga," ucap Nadhira menasehati. "Boleh aku masuk? Kumohon izinkan aku masuk!" pintaku tanpa menjawab pertanyaannya atau menyahuti ucapan bijaknya tadi. Nadhira tidak mengiyakan. Namun, ia memberi jalan padaku untuk masuk ke rumahnya. Aku pun masuk dan langsung menghempas tubuhku yang lelah di sofa ruang tamu. "Tolong pegang Andra dulu, aku akan buatkan kopi untukmu!" pinta Nadhira sambil memberikan Andra padaku. Aku memangkunya dan mengajaknya bermain. Aku mengambilkan mainan untuk ia pegang. Tak lama Nadhira kembali membawa secangkir kopi di tangannya. Nadhira mengambil Andra kembali dariku dan me
Mas Yusuf datang menemuiku. Tampangnya lesu dan tidak bersemangat karena ia baru saja bertengkar dengan Naura. Aku sering melihat tampang kusutnya bila ia sedang kesal dengan istri mudanya. Selain itu, kedatangan Mas Yusuf ternyata untuk mengajakku kembali pulang ke rumah. Sebelumnya, memang beberapa kali ia pernah memintaku untuk ikut ke Jakarta, tapi aku masih menolak. Karena ketika itu, aku belum siap untuk kembali. Sudah hampir enam bulan ini, aku tinggal di rumah ayah di Bogor. Setelah memikirkan matang-matang dan meminta pendapat ayah, akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi ajakannya. Namun, kejadian siang itu, mengurungkan niatku untuk kembali padanya. Saat aku dan Mas Yusuf tengah berbicara serius tentang kelanjutan hubungan kami, tiba-tiba Naura datang dan menuduhku yang bukan-bukan. Ia menyodorkan bukti foto kedekatanku dengan Adrian pada suamiku dari ponselnya. Dalam foto itu, Adrian tengah merangkulku di depan rumah Mas Yusuf. Ada juga foto saat a
Ayah sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah dirawat beberapa hari. Kondisi tubuhnya sekarang tidak segagah dulu. Lelaki itu kini duduk di kursi roda dengan kondisi tubuh yang tidak bisa digerakkan dan bibir yang sedikit miring, sehingga tidak bisa berbicara. Bahkan membuka mulutnya untuk makan saja sulit. Aku tengah menyuapinya makan sambil sesekali mengusap wajahku yang basah oleh derai air mata. "Ayah, maafkan aku!" ujarku pada laki-laki yang tidak bisa menyahutku. Ayah hanya merespon ucapanku dengan anggukan kepala. Wajahnya begitu sendu. Titik bening di sudut matanya meluncur dengan perlahan. Aku yang duduk bersimpuh di hadapannya, menangis sembari menatapnya lekat. Kugenggam tangan tua itu dengan erat, meminta kekuatan darinya agar aku bisa menghadapi semua ini. Kini, hidupku benar-benar sudah hancur. *** Siang itu, aku sudah rapi dengan pakaian kemeja putih dan rok hitam panjang serta kerudung abu polos. Aku
Alhamdulillah... akhirnya rampung juga novel Suami Bersama. Terima kasih atas dukungan kakak-kakak yang sudah menyempatkan waktu dan membeli koin untuk membaca ceritaku sampai akhir. Semoga Allah menggantinya dengan rezeki yang lebih banyak lagi. Aamiin... Dukungan, vote, dan komen positif yang kalian berikan seperti penyemangat buatku. Sehingga aku semakin bersemangat untuk melanjutkan cerita. Mohon maaf bila dalam penulisan cerita ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Aku juga selalu menggantung cerita dan lama tidak menulis, karena pekerjaan di dunia nyata yang sangat banyak. Moga kalian suka dengan cerita yang aku suguhkan. Ambil yang baiknya dan buang yang jelek. Biar authornya gak dosa. Karena apa yang kita perbuat, akan dimintain pertanggungjawaban kelak. Semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini. Sekali lagi terima kasih readers tercinta. Sampai jumpa di novelku berikutnya. Salam dan peluk jauh d
Adrian sudah menyiapkan tiket pesawat untuk pergi berbulan madu bersama Nadhira. Turki adalah tujuan wisata yang dipilihnya karena Nadhira pernah berkata padanya bahwa ia ingin sekali pergi ke sana. Tidak hanya keindahan alamnya yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk pergi ke sana, di negara itu juga banyak tempat bersejarah yang wajib untuk dikunjungi. Nadhira sangat suka mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Dan sekarang waktunya Adrian mewujudkan impian sang istri tercinta untuk pergi ke sana.Pagi ini mereka sudah bersiap pergi ke bandara. Nadhira tampak bersedih saat akan pamit pada ayah dan ibu mertuanya."Bu, titip Andra ya," ucap Nadhira sambil memeluk ibu mertuanya."Kamu tenang saja, Nak. Ibu dan Bapak akan menjaga anakmu dengan baik," balas Bu Widya, ibu mertuanya.Tak lama, Nadhira melerai pelukan lalu mengusap air matanya. Nadhira menangis karena inilah kali pertama ia akan meninggalkan Andra jauh. Namun, ia tidak khawatir l
Beberapa hari berlalu ....Setelah resmi menjadi istri Adrian dan berganti status sebagai nyonya Mahesa, Nadhira ikut bersama suaminya pindah ke Jakarta. Pagi-pagi sekali, ia menyiapkan barang-barangnya dan kebutuhan Andra ke koper. Setelah itu, ia pun pamit pada ayahnya."Ayah, aku pamit ya. Jaga diri Ayah baik-baik. Jaga kesehatan Ayah," ucap Nadhira dengan derai air mata. Dipeluknya sang ayah dengan erat. Rasanya berat sekali meninggalkan lelaki itu. Apalagi di usia Abah Abdur yang semakin senja. "Aku janji akan sering-sering ke sini menjenguk ayah," ucapnya lagi sambil terisak."Iya, Nak. Kamu tidak usah mengkhawatirkan ayah. Sekarang Ayah tenang, kamu udah ada yang jagain. Berbahagialah bersama suamimu di rumahmu yang baru. Ingat, jadilah istri yang baik untuk suamimu," sahut Abah Abdur. Lelaki itu tak kuasa menahan tangisnya.Anak perempuan satu-satunya yang ia miliki, harus ia relakan untuk laki-laki lain. Ia tidak bisa mencegah kepergian san
Acara resepsi yang diadakan sejak siang hari hingga menjelang Maghrib telah selesai digelar. Keluarga Adrian pun sudah pulang dari rumah Nadhira. Hanya Adrian yang masih berada di rumah itu karena sekarang ia sudah resmi menjadi suami Nadhira. Pernikahan di kampung tidak seperti pernikahan di kota. Suasana hajatan di sini masih terlihat ramai, walau deretan acara telah selesai dilaksanakan dan hari mulai malam. Tamu masih saja berdatangan. Mereka baru menyempatkan diri datang untuk memenuhi undangan setelah pulang dari bekerja. Kerabat Nadhira yang datang dari jauh memilih menginap dan mereka akan pulang esok hari. Adrian maklum, karena memang saudara dari istrinya itu jarang sekali menyambangi rumah kediaman mertuanya. Mereka baru berkumpul di saat ada acara-acara khusus saja, seperti hari ini. *** Adrian tengah bersama saudara-saudara istrinya. Lelaki itu dikerumuni oleh adik-adik sepupu dan keponakan dari sang istri. Ia diajak bermain adu panco kar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadhira Putri binti Abdurrahman dengan Mas kawin ... " "Adrian...!" Kalimat Adrian terputus saat suara ibu memanggilnya. Suara sang ibu terdengar menggelegar hingga ke kamar mandi Adrian. Saat ini Adrian sedang berada di dalam kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel dengan menghadap cermin tengah menghapal bacaan ijab kabul yang akan ia ucapkan saat pernikahannya nanti. Lelaki itu belum bersiap juga. Ia masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. "Aaah ... ibu mengganggu saja. Aku harus menghapal kalimat itu, supaya lancar nanti saat ijab kabul," keluhnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adrian, cepat sedikit! Kamu lagi ngapain sih, di dalam, lama banget? Ini udah jam berapa? Nanti kita terlambat sampai di sana!" seru Bu Widya lagi dari depan pintu kamar Adrian. "Iya, Bu, sebentar lagi aku keluar!" sahut Adrian dengan sedikit berteriak agar sang i
Adrian dan Nadhira sedang melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik ternama di Jakarta. Sebuah gaun pengantin model kebaya berwarna putih dengan taburan payet, yang panjangnya menjuntai dan menutupi seluruh tubuhnya hingga kaki dan dipadukan dengan kain kebaya dengan motif yang mewah dan elegan, sangat pas di tubuh Nadhira yang sedikit berisi. Nadhira tampak cantik dalam balutan kebaya pengantin yang diserasikan dengan kerudung berwarna senada.Semua persiapan pernikahan lainnya sudah diurus oleh keluarga Adrian. Mulai dari dekorasi, catering, sampai undangan pernikahan. Pernikahan mereka akan digelar secara meriah dan dilaksanakan di rumah mempelai wanita.Sebenarnya, Nadhira ingin pernikahan yang sederhana saja yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun, Adrian menolak. Dan itu sempat membuat keduanya bertengkar.Mana mungkin Adrian memberikan yang sederhana saja untuk seorang wanita yang begitu spesial di hatinya. Bahkan sebuah cinc
Tiba di hari lamaran. Adrian bersama keluarganya sedang dalam perjalanan menuju rumah Nadhira untuk melakukan lamaran malam itu. Sejumlah barang seserahan seperti pakaian, alas kaki berupa sepatu dan sandal, tas branded, sampai perlengkapan make up sudah memenuhi kabin belakang mobil yang dikendarai Hadi. Padahal Nadhira tidak meminta semua itu. Namun, ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat dalam acara lamaran. Selain itu, orang tua Adrian juga sudah menyiapkan barang berharga berupa seperangkat perhiasan emas untuk calon menantunya sebagai hadiah. Belum lagi sejumlah uang yang dipersiapkan Adrian untuk calon istrinya. Adrian yang duduk di kursi penumpang samping Hadi tampak gugup sambil memainkan ponselnya. Baru saja ia mengirim pesan pada Nadhira. Lelaki itu kemudian melihat ke arah kaca spion di depannya untuk mengecek penampilannya. "Gimana, Di, penampilan Masmu? Udah keren, kan?" tanyanya pada Hadi sambil merapikan tatanan rambutnya.
Hari itu juga Adrian pulang dari klinik. Nadhira tidak ikut mengantar Adrian ke rumahnya karena hari sudah hampir malam. Selain itu juga, ia harus segera pulang untuk memberi tahu Andra bahwa ayahnya baik-baik saja. Agar anak itu tidak khawatir. Sekarang mereka sedang berada di depan klinik. "Nadhira, kamu ikut kami saja pulangnya. Ini sudah malam," ajak Bu Widya saat mereka akan pulang. "Gak usah, Bu, terima kasih. Aku bawa motor," tolak Nadhira halus. Sebenarnya, ia merasa canggung dengan Bu Widya bila harus pulang bersama. Lagipula jarak klinik ke rumahnya tidak begitu jauh. "Beneran gak apa-apa?" tanya Bu Widya memastikan. "Gak apa-apa, Bu," jawab Nadhira sambil mengulas senyum. "Ya udah, ibu duluan ya," ucap Bu Widya kemudian masuk ke mobil. "Iya, Bu, hati-hati," sahut Nadhira. Ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sikap wanita paruh baya itu berubah drastis terhadapnya. Lebih ramah dibanding saat
Nadhira tersentak saat seseorang menghubunginya dan memberi tahu bahwa Adrian kecelakaan. Baru saja siang tadi, lelaki itu mengantarkan ia dan anaknya pulang dari rumah sakit lalu pergi lagi dengan tergesa-gesa. Dan tiba-tiba, ia mendapat kabar buruk bahwa lelaki itu kecelakaan. Dengan perasaan cemas, ia bergegas pergi ke klinik untuk mengecek keadaan Adrian. Karena orang yang meneleponnya memberi tahu bahwa Adrian ada di klinik dekat pertigaan kampung, tidak jauh tempat tinggalnya. Sebelumnya, ia pamit pada ayah juga anaknya. Mereka tidak kalah terkejut saat mendengar kabar buruk itu. Terutama Andra, anak kecil itu menangis saat mendengar ayahnya kecelakaan. Nadhira menenangkan Andra sebentar, sebelum akhirnya pergi ke klinik. Ia meminta agar Andra berdoa untuk ayah angkatnya. "Bunda mau lihat Ayah di klinik, kamu doakan Ayah Rian agar dia baik-baik saja ya, Nak," ucap Nadhira. "Iya, Bunda," sahut Andra terisak. Nadhira pe