Doni pulang.
"Akhirnya, bisa pulang juga," guman Ibu sambil membereskan beberapa baju dari nakas rumah sakit."
Aku yang sudah siap sejak pagi, ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Semenjak waktu itu, Entah kenapa Renata tak ada kembali lagi ke rumah sakit, tega sekali dia. Bahkan sekedar menelpon atau chat aja tidak dilakukannya. Padahal surga istri itu ada pada suaminya, aku yakin Renata tahu dan paham akan hal itu.
Bianca selalu membawa pengaruh buruk untuk istriku. Dulu dia sangat penurut ketika aku jauhkan dari teman bar-barnya itu. Tapi sekarang mereka akrab lagi, dan lihatnya, sikap Renata sudah tak elok lagi padaku.
"Jangan ngelamun aja, pamali," ucap ibu membuyarkan semua yang aku pikirkan.
"Iya, Bu!" sahutku dengan lirih. Sambil kuperhatikan setiap gerakan wanita yang telah melahirkanku itu.
Hanya Ibu dan keluargaku yang selalu mendam
Terima kasih sudah membaca 🙏
"Mas Doni, Ibu?!" teriak Renata, ia kaget sekali, seolah-olah menemukan tikus besar atau semacam binatang buas yang membuatnya terperanjat. Jantungnya berdegup kencang melihat kehadiran suami dan mertuanya. Disaat situasi butik tengah ramai pengunjung. Wajah Renata memucat seolah tak berdarah lagi, bukan dia takut dengan kedatangan Doni dan Bu Tuti. Tapi dia tak habis pikir, dengan kelakuan suaminya yang tak merasa bersalah sedikitpun. "Ren, panggilnya untuk kedua kalinya. Renata menatap tajam kearah lelaki berkaos polo itu. Tatapannya mengunci, ada amarah yang jelas dipancarkan dari sorot matanya pada calon mantan suaminya. Doni tersenyum dengan manisnya, melihat wajah terkejut dari sang istri, dirinya merasa berhasil membuat kejutan untuk Renata. Bu Tuti pun, tersenyum simpul pada menantunya. Lain hal dengan wanita satu
Penyesalan Doni langkah awal bagi Bara. "Ayo! Pulang,"ajak Bu Tuti dengan lirih. Sedewasa apapun Doni dimata dunia, baginya, Doni hanyalah anak yang masih perlu dibimbing dan diingatkan. Masih butuh petuah darinya yang melahirkannya. "Sudahlah, nanti kita pikirkan bagaimana selanjutnya, sekarang kita pulang!" ajaknya lagi. Ketika matanya tak menemukan reaksi apapun pada Doni. Doni masih menatap kosong ke sembarang tempat. Dengan airmata yang terus terjun bebas tanpa hambatan. "Aku mau pulang ke istriku, Bu!" lirihnya. "Iya, nanti kita kesana! Tapi sekarang, ayo! Kita pulang dulu, Bapak dan Dina menunggu kita," sahut ibunya sambil mengelus-elus pundak anak laki-laki satu-satunya. Hatinya perih tiada terkira, melihat anak sulungnya seperti itu. Namun kesalahannya memang tidak termaafkan. Jangankan Renata menantuny
Rencana yang gagal. "Mau gak, kamu balikan sama aku?" tanya Bara dengan tatapan penuh harapan kata iya, dari perempuan cantik di hadapannya. Renata seketika memelototkan matanya, pada Bara yang menatapnya seakan mengintimidasinya. "Aku serius!" terangnya, sorot matanya terasa menghujam jantung wanita itu. "Em-emh, apaan sih!" jawab Renata ketus sambil menyelipkan rambutnya di kuping kanannya. Rasanya panas dingin, dan gemetar tubuhnya, saat mendengar apa yang diucapkan oleh laki-laki di depannya. Apalagi saat mata mereka beradu tepat pada manik hitamnya. "Ren, Mas Bian telepon, Ayah jatuh di kamar mandi," ucap Bianca yang tiba-tiba muncul dengan mencangklong tas kecilnya. "APA?!" Jantung Renata terasa mencelos dari tempatnya, saat mendengar kabar Pak Harun,
Bara mendesah kecewa, saat situasinya malah seakan melawan keinginannya, untuk bisa bercerita lebih banyak lagi dengan wanita pujaannya, sebagai langkah awal baginya mengakrabkan diri kembali. Namun dengan respon welcome dari Renata sebenarnya sudah cukup membuatnya bahagia, ditambah dengan statusnya saat ini. Allah seakan-akan memberinya nasib baik terus-terusan kepadanya. Renata menggeliat dalam tidurnya, membuat Bara meliriknya dengan ujung matanya. "Ya … Tuhan, sungguh sempurna, wanita di sebelahku ini!" gumamnya dengan pelan. "Aku janji, Ren, aku akan membahagiakanmu, jika kesempatan ini memang untukku!" tegasnya dalam hati dengan seulas senyum tenang yang menggambarkan kebahagiaan. Sepanjang perjalanan Renata tertidur pulas, dan Bara menyetir dengan penuh harapan dan khayalan yang indah bersama wanita di sebelahnya, yang tengah bermimpi indah pula. Karena dalam tidurnya ada senyum yang membingk
Kebingungan Ela. "Mama pergi dulu ya, Nak," pamitnya pada baby Annisa. Pemandangan yang indah bagi Bara melihat interaksi antara anak dan Ibu itu. Renata menyerahkan anaknya pada Eka, dan berjalan keluar, tapi dia berhenti saat Bara berbalik dan melambaikan tangan pada anaknya. "Papa pergi ya, Nak, bye-bye," teriaknya sambil memberi kiss bye ke arah bayi itu dan disambut dengan senyuman Eka. "Ish kamu!" tegur Renata menepuk tangan Bara dengan keras, sambil mendelikkan matanya, ia merasa malu oleh Eka dengan kekonyolan Bara. "Tapi kamu suka-kan?" tanya Bara yang tersenyum dan menaik turunkan alisnya. "Ish!" ketus Renata lalu dia meninggalkan Bara yang sedang menggodanya dengan memasang wajah kesal. Bara mengejarnya lalu dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Renata. Dan wanita itu masih saja cemberut.
Tamu di kantor Bara. "Errrgh!" kesalnya sambil mengepalkan tangannya penuh emosi. Adik iparnya ini memang kalau sudah ada kemauan tak pernah bisa dihentikan atau ditolak. Kini Ela tak punya pilihan lain selain memberikan apa yang dipinta oleh Bianca. Dia meraih kotak perhiasan miliknya dari meja riasnya, yang langsung disambar oleh Bianca. "HEI, APA-APAAN INI?!" teriak Ela yang kaget dengan kelancangan Bianca. Bianca langsung membuka kotak perhiasannya dan mata langsung menangkap cincin motif bunga bermata hitam. Ela sudah tak mampu berkata-kata lagi saat ia melihat tangan Adik iparnya memegang cincin bermata hitam itu. Bianca menelisik cincin itu dan di lingkaran bagian dalamnya tertera nama Renata dengan jelasnya. Seketika tatapan nya nyalang ke arah Kakak iparnya. Ada amarah yang sengaja di tahan oleh Bianca, walau bagaimanapun,
Bara memarkir mobilnya dengan cepat, setelah tadi di jalanan terjebak padat merayap, lumayan membuatnya kesal. Dia kira berangkat sepagi ini akan selamat dari jalanan yang penuh, tapi ibarat setor nyawa. "Huft!" desahnya. Ia melihat sebuah mobil mewah terparkir indah di depan kantornya, "siapa dia? Klien baru-kah?" Ia melangkahkan kakinya menuju pintu. "Assalamualaikum," ucapnya sambil mendorong pintu kaca. "Waalaikum salam," ucap Santi dan Rindi berbarengan. "Tunggu, itu Rindi-kah?" gumamnya dalam hati. "Hai," sapanya. "Rindi?" panggilnya dengan kaget, melihat gadis cantik itu berada di kantornya sepagi ini. "Apa kabar?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya pada Bara. "Alhamdulillah, baik. Kamu kapan pulang?" tanya Bara berbasa-basi. "Seminggu lalu," ucapnya dengan tersenyum ma
Tidak sadar diri. Rindi keluar sambil membanting pintu ruang kerja Bara. Tanpa menoleh ke arah Santi sedikitpun yang terkejut dengan suara bantingan pintu. Ia menstarter mobilnya lalu mundur untuk berbelok dengan suara decit ban yang membuat kaget orang sekitarnya. Mobil merah mewah itu melesat membelah jalanan dengan kecepatan yang tinggi. Amarahnya memuncak setelah mendengar penuturan Bara tadi. Penolakan Bara kali ini membuat harga dirinya hancur tak tersisa, air matanya terjun bebas tanpa dikomando. Tak pernah terpikirkan oleh Rindi akan mendapat penolakan seperti ini. "Akan kubalas penghinaan ini, Mas! Aku yang mencintaimu sepenuh jiwa raga, tapi kau balas penolakan ini dengan sangat hina!" ucapnya, berbicara sendiri sambil tetap menyetir. Sambil sesekali dia usap kasar air matanya yang tak jua berhenti. "Kamu akan membayar mahal untuk ini, Mas,"
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla