Bianca malah menawarkan diri untuk memberikan salinan chat Doni dan Lia pada polisi, demi mengungkap perselingkuhan mereka. Ada rasa puas yang membuncah dihatinya, tangisan Renata selama ini dibayar tunai, sekaligus dengan terungkapnya hubungan mereka ke publik tanpa harus dia menghajar Doni terlebih dahulu, tapi hukum alam yang bekerja.
"Adakah keluarga pasien atas nama Lia Apriliani?" tanya seorang dokter, yang menghampiri mereka.
Hening tak ada yang menjawab. "Apakah ada keluarga dari pasien atas nama Lia," tanya dokter itu untuk kedua kalinya.
Ahmad tak berminat menjawab, dia hanya memeluk Alvin, wajahnya datar, tanpa ekspresi atau sejenisnya, pandangannya kosong ke arah lantai. Begitupun Sarah, yang merasakan lidahnya kelu meski hanya untuk mengaku sebagai keluarga korban.
"Dok, dimana anak saya?" seorang laki-laki tua tergopoh menghampiri kerumunan
Naudzubilah himinzalik. Semoga pembaca cerbung ini selalu dilindungi Allah SWT. Aamiin. Hati pertama puasa, ada yg lupa sahut??? 😁😁😁
Dokter menerangkan bahwa keadaan Doni kritis, harapan hidupnya sangat tipis kecuali ada keajaiban tuhan. Tangis Bu Tuti semakin meraung-raung. Sesekali ia pingsan dalam dekapan suaminya. Sedangkan Renata tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia diam seribu bahasa begitu banyak pertanyaan demi pertanyaan yang dia tanyakan kembali pada hatinya. Walau bagaimanapun, Doni adalah masih suaminya, Doni juga adalah Ayah dari Annisa. Ada iba yang menelisik disudut hatinya. Suara dering ponsel membuyarkan segala yang ada dalam pikirannya. Nama Bik Sumi terpampang jelas saat Renata mengeluarkan ponsel itu dari tas tangannya. "Assalamualaikum, iya, Bik," ucap Renata dengan lembut. "Waalaikumsalam, Neng, Baby Annisa, tubuhnya panas semalaman, sudah bibik coba balurin bawang sama asem, tapi panasnya belum turun aja," terang Bik Sumi pada majikannya. "Hah." Renat
Claudia Rindiani Wisesa, putri bungsu dari seorang pengusaha terkenal Usman Wisesa, yang namanya selalu masuk di deret nama-nama pengusaha sukses. Rindi panggilannya, gadis manja yang pintar. Tak heran sebagai anak bungsu dari keluarga konglomerat, mudah dijangkau apapun yang diinginkannya. Hidupnya penuh dengan gelimang harta, membuat Rindi tumbuh jadi sosok yang egois, apapun yang diinginkannya harus ia dapatkan. Pak Usman Wisesa memiliki satu anak lelaki dan dua perempuan. Semua suda
Renata mematut penampilannya di cermin besar, yang terletak di walk in closet kamar pribadi miliknya. Dengan busana casual, celana jeans panjang dipadu dengan kemeja motif leopard keluaran brand ternama dipadu dengan flat shoes warna hitam senada dengan warna tas tangannya. Wajah tirus serta body yang langsing membuat penampilannya tidak seperti telah punya anak. Tapi matanya sedikit ada lingkaran hitam karena hampir setiap malam baby Annisa begadang. Entahlah apa yang membuat bayi itu selalu terbangun ditengah malam. Bahkan sampai Renata membuat jadwal agar mereka bertiga gantian menjaga baby Annisa ketika malam hari. Bayi berusia 2 bulan itu tumbuh dengan sehat dan menggemaskan, asupan nutrisi yang dimakan Renata membuat kualitas asinya mengalir deras. Membuat bayi itu tak pernah kekurangan air susu ibunya. "Bik, saya mau keluar dulu ya, Asi sudah ada di freezer," terangnya, pada Bik Sumi, orang
Obsesi atau cinta. Rindi bergelayut manja ditangan kakaknya. Banyak orang mengira bahwa mereka sepasang kekasih, karena perbedaan usianya hanya beberapa tahun saja. Ditambah postur tubuh Rindi juga yang hanya selisih sekitaran 15 cm dengan tinggi Bima, serta polesan make up yang membuat dirinya pantas menyandang pasangan dari Ceo perusahaan tersebut. Cantik dan ganteng. Serasi sekali, ucapan itulah saat beberapa pasang mata melihat Bima dan Rindi berjalan bersama menuju lobi kantor. Banyak karyawan yang belum tahu siapa gadis itu. Bahkan sebagian besar justru tidak tahu hubungan Rindi dengan Bima sebagai apa. "Kak, janji ya, cari informasi tentang Bara secepatnya! Kakak-kan banyak tuh Mafia-nya," ucap Rindi sambil menatap wajah tampan sang Kakak. "Hmz, kamu pikir aku ini pengedar obat terlarang? Pake nyebut Mafia segala, orang ganteng mana mungkin main begituan!" tegas
Bara merebahkan tubuhnya diatas sofa yang tersedia di kantornya. Hari ini badannya terasa letih, jadwal sidang minggu ini padat sekali, bahkan sangat padat membuat dirinya kewalahan. Pandangan menyapu bersih langit-langit kantornya, pikirannya menerawang kesegala sudut kehidupannya. Ia merasa telah sukses menggapai semua cita-citanya, bahkan ia sukses menjamin kehidupan Ibu dan adiknya. Dirinya berhasil menjaga keluarganya. Mengantarkan adiknya juga jadi seorang sarjana hukum tahun depan. Masalah keuangan bukan lagi hal yang sulit, secara kini bukan dia yang bekerja untuk uang, tapi uang yang mencarinya. Dengan memiliki kos-kosan itu, ia tak salah memilih membeli properti saat itu, adalah hal yang tepat baginya. Kini adik dan Ibunya sudah tak perlu khawatir kekurangan uang. Tanpa Bara memberi uang bulanan pun, hidup mereka sudah terjamin. Hanya saja dia masih ingin membelikan mobil untuk adiknya. Tapi Aisyah menolaknya dengan
Saat suara itu berlalu menjauh dari kamarku, aku pun tersadar kalau aku sedang berada di rumah sakit. Dengan infusan yang menggantung dan bau obat-obatan yang sangat menyengat di indra penciumanku. Badanku yang ngilu, dan kepalaku yang pusing menarik memoriku kembali ke permukaan. Bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan. Beberapa saat kemudian aku bisa melihat ada seorang dokter yang didampingi oleh dua orang suster masuk ke dalam ruanganku. Dokter tersebut tersenyum manis, sambil meletakkan stetoskop di atas dadaku. "Alhamdulillah, Pak Doni sudah siuman. Apakah Bapak bisa mendengar dan melihat dengan normal?" tanyanya sambil tersenyum sopan. Aku mengangguk dan mencoba menggerakkan tubuhku, tapi hanya sakit yang kurasakan, sepertinya tulang-tulangku dicabut paksa dari tempatnya. "A—air ...." kataku dengan terbata-bata, menahan s
Dina memacu motornya dengan membonceng ibunya. Dia menuju butik Renata dengan harapan Renata bisa sedikit memberi waktu untuk mendampingi Doni sampai pulih ingatannya. "Bu, bagaimana kalau, Kak Rena, menolak untuk mengunjungi Kakak di rumah sakit?" tanya Dina, saat motor berhenti di lampu merah. "Semoga Ibu bisa membujuknya," ucapnya dengan gamang. Karena dirinya sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Mengingat sikap ketusnya terhadap menantunya selama ini, apalagi saat di rumah sakit, saat dirinya dengan lantang menyalahkan Renata adalah sebab dari kecelakaan itu. Namun di hadapan Dina, ia tak boleh lemah. Tidak butuh lama perjalanan antara rumah sakit dan butik Renata. Hanya dua puluh menit saja. Mereka kini telah sampai. Bu Tuti dengan setengah berlari memasuki butik yang sedang ramai pengunjung. Matanya langsung menatap ke arah wanita berbaju pink yang s
Pov Renata. Kepalaku berdenyut kencang, ketika mendengar permintaan ibu mertuaku yang terus menghiba. Karena ramainya pengunjung butik, aku sampai lupa Annisa kubawa kesini. Dan sekarang bayi itu sedang nyenyak dipangkuan neneknya. Semua kontak telepon dan sosial media keluarga suamiku masih ku blokir. Niat awalku adalah tak ingin menampakkan diri lagi di hadapan keluarga suamiku, hingga proses sidang ceraiku selesai. Namun keadaan tidak berpihak padaku sepertinya. Karena tempat usahaku yang tidak mungkin pindah juga, hanya karena ini semua. Lihatlah hari ini, Ibu mertuaku datang ke butik untuk memintaku menjenguk anaknya! Ya … salam, apakah tidak sadar Ibu mertuaku ini, dengan apa yang dilakukan anaknya kepadaku. Mas Doni bukan hanya mengkhianatiku saja, dia menyakitiku sekaligus menghancurkan nama baikku ke seluruh pelosok negeri ini, dengan kecelakaan yang dialaminya bers
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla