Doni mengerutkan keningnya sendiri, ketika Ibunya menyerahkan amplop coklat bertulisan surat panggilan sidang. Gegas dia membukanya dan tertera nama Renata Kania Putri sebagai penggugat, terasa disambar petir di tengah hari, saat ia membaca ulang isi surat itu. Ternyata kediaman istrinya selama ini bukan karena baik-baik saja! "Tapi kenapa harus cara seperti ini, Ren," lirihnya dalam hati.
Tak pernah terpikirkan olehnya akan terjadi seperti ini, cintanya pada Renata begitu dalam, istrinya menghilang sudah lebih tiga minggu dan yang datang malah surat panggilan sidang. "Kamu dimana, Ren, pulang Sayang, aku rindu," batinnya menjerit, perih dan pilu sekali.
Bisa-bisanya Renata, meninggalkannya tanpa pesan, padahal dulu Renata sangat bucin kepadanya, tapi kenapa sekarang dia berubah? banyak pertanyaan dalam hati lelaki berparas tampan itu, yang tak mampu diutarakannya secara lisan.
Renata bukanlah cinta pertamany
Duuh, siapa lagi ini😏
Hari ini adalah hari dimana jadwal mediasi tahap pertama untuk Renata dan Doni dilaksanakan. Sebenarnya Renata tidak menginginkan itu, tapi Doni ngotot dengan alasan mereka baru mempunyai bayi. Sehingga sang Hakim pun mengabulkan keinginan Doni. Entahlah apa yang dipikirkan lelaki itu, bahkan saat istrinya hamil, dia bisa main belakang dengan perempuan lain, tapi ketika Renata memilih menyudahi hubungan mereka. Maka dia-lah yang seakan terdzolimi dengan alasan Renata tidak mempertemukannya dengan anaknya. Wanita cantik berusia 25 tahun itu, sedang dalam masa kejayaannya, apapun yang diinginkannya bisa terwujud dengan mudah, meski tanpa keluarga, sikap-sikap Renata yang santun dan tenang, selalu disukai setiap orang, bahkan para pelangganya pun, Seakan berlomba-lomba untuk dekat dengan pemilik butik terbesar di kota itu. Para sosialita satu persatu mengajak Renata untuk bergabung dengan geng mereka. Namun Renata tetap pada pendiriannya, senang menyendiri dan ti
"Ren, Rena!" teriak Doni, memanggil nama istrinya dengan setengah berlari."Tunggu!" teriaknya lagi.Renata menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa, antara muak dan kesal menyatu dengan hasil mediasi kali ini. Betapa tidak, sidang yang seharusnya bisa selesai dalam waktu satu bulan, namun kini akan terlaksana berjilid-jilid Karena suaminya menolak bercerai."Renaaaa!" teriak Doni makin nyaring, sambil menarik tangan Renata, amarahnya mulai tersulut ketika melihat respon dingin dari istrinya. Renata pun agak oleng akibat tarikan tangan suaminya, dia sedikit limbung dan terhuyung.Renata menghentikan langkahnya, dan menatap tajam tepat dimanik mata suaminya. Tatapan mengancam membuat nyali Doni sedikit ciut, namun dia harus berani atau kalau tidak dia akan kehilangan Renata."Mau apa lagi?" ucap Renata dengan dingin dan bergetar, sorot matanya memancarkan kebencian.&n
Pov Doni Sungguh diluar dugaan, Renata akan melakukan hal seperti itu, karena yang aku tahu, dia sangat bucin dan cinta mati padaku. Sikap lemah lembut dan tenangnya membuat aku yang butuh tantangan jadi khilaf dan membuatnya terluka akibat kecurangan ini. Kukira jika memang suatu hari Renata tahu, aku hanya perlu minta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Namun Renata berbeda, dia diam dan langsung ambil tindakan, bahkan saat aku belum tahu bagaimana wajah anakku, dia berani menggugat cerai diriku. Renata lebih tega dan kejam padaku, betapa tidak! Aku ... suaminya sendiri tidak diperbolehkan menemui anak pertama kami. Istriku itu tidak pernah bisa ditebak, tapi aku tak akan melepaskannya begitu saja. "Kita lihat, Ren, siapa yang kalah." Dunia terasa sempit, kepalaku mau pecah, Apalagi dengan Lia terus-terusan menghubungiku. Aku jadi ingat dengan apa yang diucapkan Bianca tempo hari, yan
Ahmad dan Alvin sudah rapi dengan memakai baju Koko dan kain sarung model celana. Rombongan anak-anak pondok yang ikut untuk ziarah pun, sangat banyak. Satu bus pariwisata dan beberapa mobil pribadi milik para pengajar dan orang tua santri yang juga ikut berziarah. Alvin melambaikan tangannya pada Lia, yang berdiri melepas kepergiannya, dari arah jendela bus yang ditumpanginya, wajah Alvin sangat bahagia, anak itu sangat suka dengan mobil-mobil besar, dan kali ini, dia berada disana bersama ayahnya. "Dadah, Ibu, nanti aku beli oleh-oleh ya!" teriaknya dari jendela Bus. "Hati-hati, Ya, Nak, jangan nakal!" teriak ibunya. Bus pun melaju perlahan mengikuti beberapa mobil yang telah duluan keluar dari gerbang, lalu menghilang. Lia bergegas masuk ke rumahnya dan meraih ponselnya di atas nakas. Dia menekan nomor Doni beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Akhirnya d
Mobil pun melaju dengan cepat, suasana sore yang cukup lenggang di weekend kali ini. Perlahan tapi pasti mobil sedan warna hitam itu, semakin jauh melaju, tidak macet hanya sedikit merayap, apalagi ini sudah suasana menjelang Magrib. Dua insan yang dimabuk asmara mereka lupa dengan dosa. Sifat suka menyalahkan orang lain yang dimilikinya, membuat keduanya mengukir luka pada keluarga. Tawa bahagianya saat ini adalah air mata duka untuk keluarga. Suasana Puncak malam ini tidak sepadat biasanya. "Kita mau makan dulu?" tanya Doni. "Iya dong, saya lapar?" tegas Lia, sambil mengerling manja pada lelaki tampan di balik kemudi itu. "Di warung sate atas sana aja ya!" ucap Doni. Sambil tetap melajukan mobilnya perlahan-lahan, karena jalan yang berkelok. Dan posisi warung sate ada di seberang mobilnya, membuat Doni harus membelokan mobilnya ke sebelah kanan, c
Bianca malah menawarkan diri untuk memberikan salinan chat Doni dan Lia pada polisi, demi mengungkap perselingkuhan mereka. Ada rasa puas yang membuncah dihatinya, tangisan Renata selama ini dibayar tunai, sekaligus dengan terungkapnya hubungan mereka ke publik tanpa harus dia menghajar Doni terlebih dahulu, tapi hukum alam yang bekerja. "Adakah keluarga pasien atas nama Lia Apriliani?" tanya seorang dokter, yang menghampiri mereka. Hening tak ada yang menjawab. "Apakah ada keluarga dari pasien atas nama Lia," tanya dokter itu untuk kedua kalinya. Ahmad tak berminat menjawab, dia hanya memeluk Alvin, wajahnya datar, tanpa ekspresi atau sejenisnya, pandangannya kosong ke arah lantai. Begitupun Sarah, yang merasakan lidahnya kelu meski hanya untuk mengaku sebagai keluarga korban. "Dok, dimana anak saya?" seorang laki-laki tua tergopoh menghampiri kerumunan
Dokter menerangkan bahwa keadaan Doni kritis, harapan hidupnya sangat tipis kecuali ada keajaiban tuhan. Tangis Bu Tuti semakin meraung-raung. Sesekali ia pingsan dalam dekapan suaminya. Sedangkan Renata tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia diam seribu bahasa begitu banyak pertanyaan demi pertanyaan yang dia tanyakan kembali pada hatinya. Walau bagaimanapun, Doni adalah masih suaminya, Doni juga adalah Ayah dari Annisa. Ada iba yang menelisik disudut hatinya. Suara dering ponsel membuyarkan segala yang ada dalam pikirannya. Nama Bik Sumi terpampang jelas saat Renata mengeluarkan ponsel itu dari tas tangannya. "Assalamualaikum, iya, Bik," ucap Renata dengan lembut. "Waalaikumsalam, Neng, Baby Annisa, tubuhnya panas semalaman, sudah bibik coba balurin bawang sama asem, tapi panasnya belum turun aja," terang Bik Sumi pada majikannya. "Hah." Renat
Claudia Rindiani Wisesa, putri bungsu dari seorang pengusaha terkenal Usman Wisesa, yang namanya selalu masuk di deret nama-nama pengusaha sukses. Rindi panggilannya, gadis manja yang pintar. Tak heran sebagai anak bungsu dari keluarga konglomerat, mudah dijangkau apapun yang diinginkannya. Hidupnya penuh dengan gelimang harta, membuat Rindi tumbuh jadi sosok yang egois, apapun yang diinginkannya harus ia dapatkan. Pak Usman Wisesa memiliki satu anak lelaki dan dua perempuan. Semua suda
Renata menggelar resepsi pernikahan di sebuah Waterboom yang menyediakan taman yang luas, dan fasilitas untuk wedding. Tema pestanya adalah outdoor. Pagi yang cerah disertai sinar mentari yang hangat, menambah indah minggu pagi ini. Annisa kecil sejak tadi sudah sempurna memakai gaun putih persis seperti yang dipakai Renata. Gadis kecil itu berlari kesana kemari sambil memegang balon. Renata begitu terlihat sangat cantik, dengan riasan yang serba nude, membuat penampilanya terlihat sangat elegan, dengan bagian rambut yang masih tersisa beberapa yang telah di curly juga. Bunda Hani mengusap air matanya melihat senyuman bahagia dari pengantin wanita yang telah dianggap anak olehnya. Pak Harun pun demikian, Adit dan Bian beserta istrinya juga telah hadir semenjak kemarin. Begitupun paman dari Renata yang selama ini tak pernah bersua kini hadir beserta keluarganya guna menjadi wali pada pernikahan keponakannya. P
"E—emh." ucapnya dengan melirik ke arah Bara. "Modusnyaaaaa, juaraa!" cibir Bianca. "Nda, ayo!" ajak Annisa dengan menarik tangan ibunya. Membuat Renata kebingungan. Bara yang paham situasinya, seketika mengangguk dan memegang pundak Renata. Walau bagaimanapun ada Annisa yang harus dijaga perasaannya. Anak itu belum paham kenapa dia punya dua Papa kini. Annisa menarik juga tangan Bara yang disambut tawa ngakak oleh Bianca. Ketika yang ditarik tangan Bara dan Renata bukan Doni. Sungguh puas hatinya hari ini melihat mantan suami sahabatnya menekuk muka 180° ibarat telah kehilangan uang milyaran rupiah. Akhirnya tak hanya berfoto bertiga, tapi ber-enam dengan Bianca dan Aisyah. ———— Satu bulan setelah Bara dan Renata sepakat akan menikah, kini keduanya tengah sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Mulai dari tempat, fitting baju juga catering untuk jamuan para
POV Renata.Hari ini ulang tahun Annisa yang pertama, anak Perempuanku sudah mulai aktif berlari kesana kemari, di usia sepuluh bulan selain mulai berbicara kata Mama Papa, dia juga mulai melangkah, alhasil usia satu tahun dia sudah bisa berlari meski kadang terjatuh, kosa katanya semakin banyak meski belum bisa merangkai kalimat, cerewet sekali anak itu.Mas Doni dan keluarganya bahkan menanggung acara ulang tahun Annisa yang kami laksanakan di sebuah cafe ternama dengan tema Frozen. Cantik sekali anakku memakai gaun warna biru langit. Semenjak hari itu, aku tak pernah membatasi Mas Doni untuk kerumah menemui Annisa. Dan aku yang memilih menghindar, karena kamar Annisa di bawah dan kamarku di atas, jadi kami jarang bertemu. Mas Doni pun sepertinya paham aku menghindarinya, ia tak pernah memaksa untuk berinteraksi denganku meski tetap selalu mencari celah untuk bisa bertemu denganku. Aku tak membencinya hanya rasa kecewa dan sakit hati membu
"Jadi, bagaimana, Bu, setujukan kalau aku melamar Renata?" tanyaku lagi."Lamar lah jika memang kamu mencintainya, tapi… pastikan dia juga mencintaimu juga keluargamu. Pilihlah perempuan yang akan menganggap ibumu ini juga adikmu keluarganya," tegas Ibu, pandangannya kosong entah kemana."Renata anak yatim piatu, Bu, semoga setelah menikah, Ibu bisa jadi pengganti orang tuanya," jawabku dengan harapan yang besar.Kenapa aku jadi sok tahu begini, kayak yang iya aja bakal di terima. Bahkan untuk melamar Renata aja baru modal cincin karena nyali ini sedikit masih ciut sih. Tapi yang penting Restu Ibu sudah kudapat. Semoga melalui izin dari Ibu akan membuahkan hasil seperti yang aku inginkan.Dari segi apapun, aku sudah layak untuk melamar seorang perempuan, tapi yang ingin ku lamar adalah Renata. Wanita yang pernah aku tinggalkan! Mungkin bagi orang lain dia tak ada artinya, t
POV Bara."Seriusan ini bagus, is?" tanyaku pada Aisyah yang memilihkan cincin bermata ungu itu."Aku sih, suka ya, Kak, tapi gak tahu kak Renata," ucapnya sambil nyengir. Adikku itu sungguh tak bisa diajak jadi pendukung yang handal. Buktinya ia juga malah meragukan pilihannya sendiri.Ya, aku ingin melamar Renata, meski jawaban iya darinya belum pernah aku terima. Namun dari sikapnya, sepertinya ia sudah bisa menerimaku.Meski kulihat gurat lesu di wajah Ibu, setelah aku menceritakan tentang Renata semuanya. Bahkan Ibu, agak terkejut saat aku bilang status Renata yang janda beranak satu. Sedangkan Aisyah dia tidak berkomentar lebih karena sudah pernah ku ajak main ke rumah Renata waktu itu.Tak ada patahan kata yang menyinggung atau penolakan dari Ibu saat itu, aku hanya menangkap tak ada semangat dari wajahnya."Is, Ibu ada
Renata mengerutkan keningnya, selama ini dirinya merasa tak pernah memiliki musuh, tapi kok ada yang jahat dan ingin mencelakakan dirinya.Renata merogoh tas selempangnya mengambil ponsel dan menunjukan poto Doni pada lelaki itu."Ini orangnya bukan, koh?""Lah, ini mah suamimu bukan?" Pemilik toko itu balik bertanya. Renata mengangguk."Saya tidak pernah bermasalah dengan siapapun, tapi saya dan Mas Doni sudah bercerai, siapa tahu dia marah dan ingin mencelakakan saya untuk mengambil hak asuh anak kami," tutur Renata dengan lesu."Gak mungkinlah, si Doni gak ada tampang kriminal hanya pengkhianat saja," bela lelaki gempal itu. Lalu kami sama-sama diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing."Baiklah, saya permisi, Koh, dan terima kasih atas waktu dan keterangannya," pamit Renata."Sama-sama, dan maafkan saya tidak bisa membantu," jawabnya
Siapa pelakunya bagian 1.Lancang sekali ucapan mantan Ibu mertua Renata itu, pikir Bara. Padahal sudah jelas yang salah adalah anaknya. Tapi tetap saja yang disalahkan perempuan yang duduk di sampingnya.Bara telah membuka mulutnya berniat membalas tudingan konyol Bu tuti , namun Renata mengusap-usap serta mengamati kepalanya. "Aku yang laki-laki saja tak tahan mendengar setiap ucapannya! Tapi Renata masih memilih tenang, luar biasa, jadi jika aku Renata, berarti aku tak akan salah calon istri," gumamnya.Doni
Pov Doni.Niat awal mencari rumah barunya Renata selain ingin bertemu anakku juga ingin kembali mendekatinya. Renata itu tipe perempuan bucin dan labil, gampang sekali kalau di rayu. Jadi aku bulatkan tekad kesana dengan meminjam mobilnya Raka. Bagaimana aku mendapat alamat Renata? Tentu saja aku memaksa Dian ditengah jalan agar memberi tahu alamat bosnya. Meski penuh ancaman dan intimidasi aku berhasil mengetahui rumah kediaman mantan istriku itu.Namun saat sampai disana, kulihat Renata tengah duduk berdua dengan seorang pria. Ya … dia Bara, teman sekolahku dulu bahkan mereka hampir saya berciuman jika aku tak memberinya tepuk tangan. Entah bagaimana mereka bisa sedekat ini.Cemburu? Tentu saja bahkan ingin aku menghajarnya, dia telah mencuri start ku duluan untuk mendekati Renata. Akh syal*n.Ibu memegang tanganku dengan erat, aku tau maksudnya agar aku tak menghajar lelaki yang duduk
Kuremas kesepuluh jariku dengan cara ditautkan. Cemas dan takut berbaur jadi satu, hatiku tak nyaman seolah-olah terancam dengan kedatangan Mas Doni serta Ibunya ke rumah ini. Namun tak dapat kupungkiri ia mempunyai hak yang sama denganku dalam pengasuhan Annisa.Bara mengusap-ngusap bahuku dengan pelan, ia mencoba menenangkan kegelisahan hati ini. Aku masih beruntung kali ini, Mas Doni datang saat Bara ada di rumahku.Sudah berulang kali lelaki dari masa laluku itu mencoba mengutarakan niatnya, ingin melanjutkan kisah kami yang dulu. Namun kegamangan hatiku terlalu besar, hingga sampai saat ini belum ku temukan jawabannya.Dulu aku terluka olehnya, lalu menikah dengan Mas Doni yang kuanggap sebagai penyembuh luka namun pada nyatanya dia bahkan memberi luka yang tak berujung. Harga diriku, nama baikku hancur olehnya.Malu yang diberikan Mas Doni seolah mencopot satu persatu tulangku, membuatku lungla