“Kalian sudah mendengarnya, kan? Vier tidak pernah mencintai Hara.” Violet dengan tegas mengatakan itu dan menatap satu per satu mereka yang ada di depannya. Violet bisa melihat kepalan tangan ayah Hara menguat. Hara mematung di tempatnya dengan air mata mengalir tanpa bisa dikendalikan, dan ibu Hara melingkari punggung putrinya dengan sebuah pelukan. Sejujurnya, melihat reaksi Hara, Violet merasa kasihan. Tapi tentu saja itu tak lantas membuat dirinya harus menunduk karena rasa kasihannya. Vier lebih kasihan lagi karena selama ini sudah terjebak dengan keluarga mereka yang tidak berperasaan. “Kamu benar-benar mengatakan itu dengan berani Vier?” Suara dingin datang dari ayah Hara. Tampak sekali lelaki itu tidak terima putrinya mendapatkan perlakukan seperti itu. “Saya sudah berusaha untuk mencintai Hara, Pak. Saya terus berusaha. Tapi hati saya tidak mengatakan apa pun kecuali dia adalah teman yang baik. Tentu, saat itu saya tidak peduli bagaimana perasaan saya kepada Hara, adalah
Vier masuk ke dalam mobil miliknya kemudian menelungkupkan wajahnya di atas setir mobil. Tangannya kuat menggenggam setir seolah ingin menghancurkannya. Apakah dia menjadi lelaki jahat sekarang? Dia mendorong orang-orang yang sudah menolongnya di masa lalu dari kehidupannya saat ini. Tapi, ini kan yang diinginkannya? Meskipun mungkin masalah ini belum sepenuhnya selesai, dia benar-benar sudah terlepas dari keluarga tersebut. Suara pintu tertutup di sebelahnya terdengar dan Violet masuk. Perempuan itu tak mengatakan apa pun kecuali hanya diam dan menunggu Vier di sana. Mereka diselimuti keheningan yang kejam. Vier tak lagi bisa berkata-kata, sedangkan Violet tampaknya juga tak berminat untuk bersuara. Mereka terjebak dalam keadaan beku. Vier menegakkan tubuhnya dan duduk dengan benar. Sedikit menoleh pada Violet dan memperhatikan perempuan itu dari samping. Untuk waktu yang cukup lama dia melakukan itu sebelum membuka suaranya.“Terima kasih,” katanya dengan nada suara parau. “Aku ng
“Violet!” Vier tiba-tiba memanggil istrinya. Kepalanya menoleh ke sisi kanan di mana Violet berada. Violet melakukan hal yang sama, menoleh ke sisi kiri. Mereka saling pandang untuk beberapa detik. Meskipun Vier ingin berbicara, entah kenapa suaranya tertahan di tenggorokannya. Mereka seperti dikelilingi oleh hawa dingin yang menyenangkan. “Ada apa Abang memanggilku?” tanya Violet. Vier tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Dia lebih dulu menenggak minumannya sebelum mengatakan sesuatu kepada Violet. Bahkan lelaki itu harus menarik nafasnya panjang sebelum memulai. Tampak kegugupan dan pertimbangan di dalam kepalanya.“Kita seharusnya tinggal dalam satu rumah, Violet.” Akhirnya Vier mengungkapkan maksudnya. “Kalau memang kamu tidak mau di rumahku, maka aku yang akan di sini bersamamu.” Sontak saja hal itu membuat Violet terkejut. Dari mana gagasan itu berasal? Begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh Violet. “Aku tahu kamu sudah berjanji pada Ibu untuk tidak bersama dengan
“Jadi, ada apa dengan perempuan tengik itu?” Candy bertanya dengan nada malas seolah Hara adalah seorang yang tidak penting. Tapi, perempuan itu memang tidak penting, kan? Dia hanya bisa membuat ulah dan terus membuat ulah. Perempuan manja yang tidak ingin kalah dari siapapun tapi selalu saja mengandalkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalahnya.Candy sering melihat orang-orang seperti itu di dunia ini. Dia dalam ‘dunianya’ juga tak kalah banyaknya. Anak-anak muda yang dari kalangan atas dan ingin mewujudkan mimpinya menjadi model, dia tak sungkan meminta ‘orang dalam’ dengan membayar uang agar bisa lolos. Sungguh memalukan. “Vier memutuskan Hara semalam.” Seketika, Candy membelalak lebar ketika mendengar kalimat yang baginya sungguh kabar yang sulit dipercaya. Sesuai dengan yang pernah dikatakan oleh Violet sebelumnya, Vier sudah ‘terjebak’ pada Hara dan tidak bisa keluar begitu saja. Terlebih lagi, Vier tampaknya juga tidak bisa mundur begitu saja dan membiarkan dirinya untuk
Tak terasa, Violet menunggu Vier sampai malam, tapi tidak ada tanda kedatangan lelaki itu di apartemennya. Tentu saja, ada perasaan kurang nyaman yang menggelayuti hatinya. Ada di sisi perasannya yang mengatakan jika ucapan Vier kemarin malam adalah benar. Setelah mereka bersama dan kemudian ‘berpisah’ seperti ini menimbulkan perasaan kurang. Kebersamaan mereka memang baru berjalan dua bulan. Tapi karena banyak masalah yang mereka hadapi bersama, mungkin itulah yang akhirnya secara tak langsung mengikat mereka. Violet memutuskan untuk ke kamar saat bel terdengar dari depan. Perempuan itu tampak terkejut dan jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan. Apakah itu Vier? Tanyanya dalam hati. Ada sebuah harapan muncul di dalam hatinya. Sebelum membuka pintunya, dia bahkan memperbaiki bajunya yang bahkan tidak ada yang salah. Dehemannya tampak sedikit dipaksakan entah dengan tujuan apa. Namun, saat dia membuka pintu, alih-alih Vier, Candy-lah yang datang. Perempuan itu nyengir sebelum meng
Vier terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dikatakan oleh Violet kepadanya. Dia tidak menyangka jika istrinya akan memberikan jawaban yang sangat mengejutkannya. Vier tentu saja tidak bisa menebak kenapa tiba-tiba Violet mengambil keputusan untuk menerima tawarannya. Tatapan laki-laki itu tidak bergeser sedikitpun dari wajah Violet. Tenggorokannya tercekat seolah dia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Apa dia salah tidur semalam? Pikirannya mulai sedikit gila. “Abang!” panggil Violet. “Abang kenapa?” tanyanya. Vier mengusap wajahnya sebelum menarik nafasnya panjang. Setelah itu kepalanya menunduk, tapi tangannya yang ada di atas meja mengepal bulat. Violet yang ada di depannya sungguh tidak tahu ada apa dengan Vier. Lantas dia segera bertanya kembali.“Abang sudah menarik penawaran Abang yang Abang berikan padaku waktu itu?” tanyanya dengan kening mengkerut. “Ah, benar kata Candy. Lelaki itu, memang sukanya cepat-cepat.” Vier yang mendengar ucapan Violet itu segera mendongakk
Awal hubungan Vier dan Violet kini dimulai. Status mereka sekarang adalah kekasih dalam pernikahan. Sedikit menggelikan, tapi memang itulah yang terjadi. Layaknya sepasang kekasih pada umumnya, mereka mungkin nanti juga akan berkencan. Jalan-jalan sambil bergandengan tangan, nonton film, dan melakukan sesuatu yang menyenangkan berdua. Vier tersenyum ketika dia baru saja mengenakan pakaiannya pagi ini. Bayangan itu terasa indah memenuhi kepalanya dan menghangatkan hatinya. Dia dulu tidak seperti ini kepada Hara. Bahkan saat awal mereka dinyatakan ‘official’ berpacaran pun dia sama sekali tak memiliki perasaan antusias sama sekali. “Sarapan sudah siap, Pak.” Bibi memberi tahu saat Vier masuk ke dalam dapur. “Terima kasih, Bik.” Meskipun Violet sudah tidak lagi di rumahnya, Bibi tepat dipekerjakan di sana. Bantuan Bibi sangat membantu Vier. Dia tak perlu lagi sibuk mencari sarapan saat akan bekerja seperti ini. Atau bahkan hanya makan roti yang membosankan. “Sama-sama, Pak.” Bibi me
Vier masih tidak percaya jika dia sekarang berada di kantin kantor bersama Violet dan makan berdua dengan makanan ala kadarnya. Soto. Bukannya Violet tidak pernah makan soto sebelumnya, tapi tentu saja dia biasanya akan makan di tempat yang dianggap lebih pantas dan sangat higienis.Jelas saja, perempuan itu menjadi pusat perhatian. Bahkan penjual di kantin pun tampak terkejut. Tapi justru orang yang mendapatkan tatapan itu tampak tidak peduli sama sekali. “Enak?” tanya Vier. Sejak tadi tidak ada satu pun komentar yang diberikan Violet tentang soto yang sedang dimakannya. “Enam per sepuluh.” Violet mendongak menatap Vier. Wajah perempuan itu tampak tertekan karena makan sesuatu yang kurang menggugah selera. Tapi meskipun begitu, dia sejak tadi terus menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya tampak biasa saja.Hal itu membuat Vier tak tahan untuk tertawa. Melihat wajah tersiksa Violet adalah sesuatu yang sangat lucu baginya. Meskipun tawa itu tak keras, tapi wajah memerah lelaki itu m
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka