Maria menahan kesabarannya saat ini, dikarenakan adanya kesalahan penulisan nama pada akhir test DNA tersebut. Secara ilmiah mengatakan jika kandungan memiliki banyak tekanan pada janin tidak disarankan untuk melakukan hal tersebut namun itu bukan jadi sebuah masalah untuk perempuan itu, ... Perempuan itu tetap melakukan apa yang ingin ia lakukan satu jam menunggu membuatnya merasa bosan, ketika namanya sudah dipanggil dengan cepat perempuan itu segera menghampiri ruang laboratorium rumah sakit. Perempuan itu berjalan ke arah parkiran seraya mencari letak mobilnya, lalu melesat meninggalkan rumah sakit, perempuan itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengarah ke percetakan murah. Guna mengubah isi surat rumah sakit tersebut, ...
Saat sampai percetakan dengan langkah kaki tergesa-gesa menuju pintu toko percetakan, perempuan itu agak tergopoh dan segera meminta pada penjaga toko untuk mengubah isi surat tersebut. “Akan memakan waktu yang lama,” Mar
Jerome menatap lurus pintu jati berwarna hitam. Pemuda itu mengatur nafasnya agar tak terlihat gugup, hey! Dia bukan ingin melihat sosok kekasih namun melainkan ingin melihat sosok kakak ipar perempuannya. Ketika mengetuk pintunya, bukan, bukan Rosa yang menerima kehadirannya akan tetapi sang kakak. Jaeran menatapnya sengit dan tajam, pemuda tampak berdecak kesal lalu berbalik arah seraya menutup kembali pintunya. Saat di dalam Rosa muncul ingin melihat ke arah luar namun lelaki itu langsung bergegas menariknya agar masuk kembali ke dalam rumah, perempuan itu agak penasaran dengan siapa suaminya berbincang ketika membuka pintu. “Kamu ngobrol sama siapa tadi?” Jaeran menggeleng kepalanya cepat.“Gak ada,” Rosa memincingkan matanya curiga lalu melangkah mendekat ke arah depan. Perempuan itu tersenyum manis pada Jerome yang masih berada di depan rumah, perempuan yang kini menyambut kedatangannya ke kediamannya itu membuat raut wajah sa
Maraka tergelak saat mendengar lelucon dari Jerome yang pada kenyataannya itu sama sekali bukan lelucon yang dilontarkan oleh pemuda tersebut, akan tetapi dengan recehnya pria itu menertawakan dirinya. Maraka sama sekali tidak mengerti jika hal itu adalah sebuah kisah yang mencoba Jerome sampaikan, ... Lelaki itu masih tetap tergelak dengan sikap humor yang berlebihan. Akan tetapi pemuda yang saat ini tengah bermain ponsel itu hanya mengulas senyum simetris dan melirik sang teman, jangan tanyakan bagaimana Maraka saat ini. Yang pasti tewas dalam tawa, bukan berarti ia meninggal dunia itu tidak sama sekali. Kedua pria yang saling bersahabat itu, melangkahkan kakinya keluar dari kamar lalu menuruni tangga menuju lantai bawah, rumah yang semula ramai kini tampak begitu sunyi; sepertinya sudah tidak ada lagi para ibu-ibu yang meramaikan suasana rumahnya.Sudah cukup terbiasa dengan hal tersebut, sang mama hanya meninggalkannya sendirian deng
Rosa membersihkan meja kerjanya yang sedikit berantakan karena terlalu banyak berkas kontrak dan perizinan novelnya yang tak ia rapihkan, perempuan itu agak sedikit merasa lelah dan menegakkan tubuhnya dengan perlahan-lahan. Perempuan itu tersenyum seraya mengusap perutnya yang membesar, ... Jaeran mengetuk pintunya yang terbuka sedikit lalu meminta sang isteri agar beristirahat sejenak agar tidak terjadi masalah pada kehamilannya. Rosa menggeleng kepalanya cepat lalu kembali melakukan aktivitasnya, lelaki tersebut tidak yakin apakah alasan sang isteri tak mau satu meja dengannya karena masih memiliki rasa marah di dalam dirinya. Jaeran menahan lengannya yang masih memegang berbagai tumpukan kertas dan menarik kasar tangannya, pemuda itu agak tersentak ketika melihat reaksi dari sang isteri. “Kamu kenapa, hm?” Tanya lelaki itu melembut.“Kamu tanya aku kenapa? Ya kamu pikir aja sendiri,” acuh Rosa yang kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan ruang kerjanya.
Setelah semua terkendali, lelaki itu menarik kenop pintunya lalu menghela panjang kemudian melangkahkan kakinya menuju lantai bawah. Lelaki itu memejamkan matanya serta mengatur desah deru nafasnya yang memburu kemudian langkahnya terhenti saat dihadapannya ada sosok sang kakak yang menggeram marah' dan menatap manik legamnya dengan tajam. Dari awal Jerome sudah tau konsekuensinya akan sangat fatal bagi hubungan keduanya, ... Namun apakah ia akan membiarkan perempuan yang ia cintai membiru dingin menjadi jasad? Tentu saja tidak. "Ngapain ke sini?" Seru Jaeran dingin."Seharusnya gue yang tanya sama loe mas. Ke mana aja?" Tangan keduanya terkepal kuat dan siap saling hajar satu sama lainnya, kemudian kedua lelaki sama-sama mendengar suara khas seseorang baru bangun tidur memanggil nama Jerome. "Berhenti di sana atau loe masuk kuburan!" Desis sang suami yang menahan lengan sang adik lelakinya itu. Namun
Dirga menghela berat lalu melepaskan jasnya dan kemudian ia letakkan di mana saja, lelaki itu berpikir cukup lama untuk melakukan apa keputusan ini tepat atau tidak terlalu mudah bagi Jaeran menyakiti adiknya yang selalu memberikan kesempatan berulang kali pada pemuda tersebut, ... Namun seperti tidak akan ada kata jera dalam kamus si perempuan yang menjadi hambatan mereka. Dari awal hingga kini lelaki itu sudah duga jika permasalahan ini adalah tentang wanita lain, namun karena sang adik terlalu menutup masalah rumah tangganya serta kesehatannya yang mulai menurun. Dirga khawatir akan berdampak terhadap hubungan juga kehamilan sang adik, ... Pemuda itu memijat pelipisnya pening ketika mendengar berbagai macam cerita yang Jaeran katakan padanya. Ia sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk mengatakan apapun yang ada di dalam benaknya, lagipula mereka berdua sudah terikat dalam pernikahan dan Dirga tau akan hal itu, lelaki yang kini menatap manik sang ipar tersebut tak bis
Bukan mau Jerome menetap dan berada disamping perempuan yang kini tengah memakan ice cream dengan gurat senang lelaki itu hanya menjaga sang putri sebentar sebelum pangerannya kembali dari arena pertempuran--- seperti itu singkatnya. Jerome menatap senyum manis tersebut dan membelai lembut wajah yang selalu menangisi sosok pemuda lain, ... dalam do’anya Jerome selalu meminta agar sang kakak iparnya aman dan damai di manapun mereka berada. Bahkan Jerome rela jika harus mengorbankan nyawanya, pemuda itu mengusapi lembut wajah Rosa yang tengah memandangnya penuh tanya. “Jangan sakit lagi ya,” jeda sesaat sebelum lelaki itu melanjutkan kata-katanya. “Aku sakit setiap liat kamu sakit,” lirih pemuda tersebut.“Jangan nangis,” pelan Rosa yang menangkup wajah tegas pemuda itu. “Aku bahagia kok sama kamu,” senyum itu terulas. Andai Rosa sadar siapa yang saat ini bersamanya mungkin perempuan tak akan mengatakannya dengan senyum yang begitu indahnya, Jerome merasakan per
Hanya perlu waktu sebentar baginya untuk memulihkan keadaan seperti sediakala dan saat itu tiba perempuan tersebut yakin jika dirinya sudah bisa datang menemuinya kembali sampai saat ini, ... Perempuan itu masih tetap memilih untuk menutup akses apapun dari sang suami, bukan karena dirinya tak mau menerima kehadiran suaminya kembali namun untuk waktu lama perempuan tersebut ingin sendirian terlebih dahulu, ... Masalah perihal pemeriksaan atau yang lainnya ia masih bisa memanggil dokternya secara pribadi untuk datang ke rumah. Senyum yang terpatri dalam ruangan itu membuat sang kakak menghela pelan, bahkan sang adik ipar pun ia larang datang menemuinya. Perempuan itu banyak melamun sendiri, dirinya terlalu banyak berpikir mengenai hubungannya dengan sang suami, sudah beberapa hari sang suami tak berusaha mengunjunginya atau hanya saling berbalas pesan singkat. Tak terasa air matanya meluruh mendadak sesak dalam dadanya sangat mempengaruhi kesehatan bayinya, Dirga semakin la
Perdebatan sengit keduanya masih belum berhenti, Jaeran dengan rasa tak percayanya akan ucapan Maria dan perempuan itu masih dengan sikap semena-mena terhadap pemuda tersebut, membuat sang lelaki mau tak mau memercayai bahwa itu benar adanya. Akan tetapi terlalu dini untuk pemuda itu memercayai bahwa kata-katanya adalah sebuah kebenaran yang nyata, Jaeran memandang wajah perempuan itu dengan tatap sulit sekali diartikan. Hey! Maria sudah merencanakannya! Itu jelas. Tak ada yang tak ia rencanakan, semua terlalu rapih dan tak ada bekasnya, membuat sang pemuda sulit untuk tidak percaya. Jaeran terduduk di pinggir ranjangnya dengan kemelud pikiran yang berkecamuk dalam dadanya, pemuda itu ragu untuk membuka surat keterangan dari rumah sakit, yang diberikan oleh Maria.Maria berjalan dengan anggunnya ke arah pintu rumah keluarga Minendra saat hendak mengetuk pintunya ia disambut dengan baik oleh Jena yang kebetulan hendak keluar rumah, perempuan paruh bay
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.