Blouse satin berwarna gading dipadukan dengan blazer merah, kacamata hitam dan rambut pendek curly yang diikat rapi ke belakang adalah style andalan Eleanor di kantor. Tidak lupa celana katun high weish dan sebuah stiletto merah yang membalut kakinya. Seharusnya style seperti itu lebih cocok jika dipadukan dengan rok pensil seukuran lutut, apalagi dengan kegemaran Eleanor terhadap stiletto. Tetapi wanita yang tahun ini genap berusia dua puluh tujuh tahun itu menolak keras gaya berpakaian seperti itu. Eleanor yang seperti alergi dengan pakaian seksi bahkan sampai menetapkan aturan di perusahaannya untuk melarang pegawai wanita memakai rok dan kemeja seksi. Dengan dalil kesetaraan gender, dia tidak ingin pegawai wanita mendapat perlakuan khusus terlebih dipandang dengan sudut kecantikan semata.
Standart kerja yang diterapkan Eleanor sejak dia menjabat sebagai direktur utama HS Group pun juga terbilang tinggi. Setiap pegawai akan diawasi oleh satuan khusus sehingga dilarang bercakap-cakap di area kantor secara berlebihan (Eleanor mempunyai kecurigaan berlebihan pada kemungkinan seseorang yang tanpa sengaja membocorkan informasi perusahaan karena itu hanya sapaan formal yang diijinkan). Tidak boleh ada keributan (Sepanjang jam kerja pun tidak akan terlalu banyak suara), tidak boleh ada keterlambatan (Gaji tidak akan dipotong tapi kontrak kerja tidak akan diperpanjang) dan tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun (Bahkan jika ada yang melanggar, mereka akan langsung dikeluarkan). Semua harus berpakaian rapi (kemeja putih dan celana hitam, juga blazer untuk semua pegawai dan head divisi), bersih serta bekerja sesuai prosedur yang telah ditetapkan perusahaan, baik Eleanor berada di kantor maupun tidak.
Hanya Rere−sekretaris korporasi yang merangkap menjadi sekretaris pribadi Eleanor− satu-satunya yang berani memakai rok pensil di kantor. Bahkan Rere pun pernah memaduhkannya dengan kemeja belahan dada untuk memancing emosi Eleanor. Jika bukan karena Eleanor telah mengenal baik Rere bahkan sebelum dirinya memiliki jabatan tertinggi di perusahaan itu, Rere pasti akan ditendangnya seperti pegawai lain. Tetapi entah bagaimana Eleanor akhirnya membuat pengecualian pada Rere. Bagi Eleanor, Rere itu seperti pisau tajam yang tidak bisa digenggam siapapun. Termasuk dirinya.
“Aku sudah menyiapkan petugas medis hari ini, kalau kamu tiba-tiba kehilangan kendali dan menampar seorang pegawai lagi. Pengacara juga sudah aku minta stand by untuk mengurusi kompensasi kalau kejadian itu terjadi. Tukang untuk memperbaiki meja yang mungkin kamu gebrak hingga hancur dan juga yang paling penting adalah psikiater. Siapa tahu ada karyawan yang tiba-tiba depresi dan menjadi phobia karena kamu.” Cecar Rere di hari pertama mereka tiba di kantor Surabaya setelah beberapa minggu lalu bertugas di kantor Singapura.
Eleanor tidak ambil pusing dengan semua cibiran Rere. Sebab perempuan dengan style rambut panjang yang digelung ala pramugari itu hanya berkata berlebihan. Seorang anggota keamanan pun membantu membukakan pintu mobil begitu Eleanor tiba di lobby luar. Mereka menundukan kepala saat ia berjalan melintas. Rere stand by disamping kanan Eleanor lalu ada beberapa satuan khusus pengendali kinerja yang berada disamping kirinya. Beberapa direktur dan head departemen pun berbaris di sepanjang lobby. Mereka menyambut kedatangan Eleanor sekaligus mencari muka agar jabatan mereka lebih panjang umur kedepannya.
Meeting pertama awal tahun dimulai tiga puluh menit setelah kedatangan Eleanor. Head divisi yang ditujuk oleh para direktur mempresentasikan tentang rencana kerja mereka setahun kedepan. Direktur dari divisi akuntasi dan keuanganan mempresentasikan rencana pemangkasan anggaran belanja beberapa anak perusahaan guna menambah income perusahaan induk. Tetapi ditengah presentasi Eleanor langsung memotong penjelasan mereka,
“Pemangkasan anggaran belanja bukan sesuatu yang pantas dilakukan perusahaan sekelas HS Group, itu hanya akan membuat anak perusahaan keteteran dan kacau karena harus menurunkan kualitas sumber daya mereka. Seharusnya tunjangan kalian yang dipangkas, apa gunanya mengikuti undang-undang kepegawaian jika pola pikir kalian sebagai pegawai HS Group saja dangkal. Next! Presentasi selanjutnya…”
Tidak ada yang berani membantah ucapan Eleanor. Bahkan enam direktur di ruangan itu pun bungkam. Pola pikir Eleanor terlalu tajam, begitu pula dengan gaya bicaranya yang sama persis dengan gaya sarkartis Liem Hok Seeng, pamannya.
“Rencana tahun ini adalah akusisi perusahaan penyiaran, perusahaan penerbangan lokal, PT. Food Ultimate dan PT. Agro Lestari. Dua dari perusahaan tersebut sudah setuju dengan harga yang kita tawarkan. Sementara dua perusahaan lainnya masih dalam tahab.”
“Turunkan lagi untuk harga PT. Agro Lestari, ada masalah terkait pajak yang mereka sembunyikan. Jadi kita tidak bisa mengambil resiko. Kalau mereka sepakat maka teken langsung. Tapi jika tidak maka lepaskan saja, mereka yang akan mengejar kita.”
“Baik, bu.”
“Siapa pemegang saham terbesar perusahaan penerbangan Flyway airlines?”
“Seperti yang kita lihat, saham terbesar Flyways dulunya dimiliki oleh asing. Tapi sepertinya mereka membutuhkan dana yang cukup besar pula sehingga mereka menerbitkaan beberapa saham lagi tahun ini. Sementara ada beberapa perusahaan yang juga mengincar saham terbesar Flywys airlines selain kita.”
“Siapa?”
“Pakubowono Grup juga mengincarnya.”
“Kalau begitu kita tidak harus mendapatkan Flyways airlines. Hanya beri penawaran menarik untuk memancing Pakubuwono Grup memberi penawaran tinggi, setelah itu kita bisa lepas. Flyways bisa kita gunakan untuk mengacaukan keuangan Pakubowono Grup. ” Head divisi yang sedang melakukan presentasi tersebut tampak terkejut dengan strategi Eleanor yang terlalu beresiko tersebut.
“Tapi bagaimana dengan rencana akusisi kita? Tidakkah Flyways yang paling potensial diantara perusahaan penerbangan lain.” Sahut direktur pengembangan usaha.
“Flyways tidak ada apa-apanya dengan Asian.corp. Jika tidak mendapatkan perusahaan lokal maka target kita bisa harus diubah ke perusahaan asing. Atau minimal perusahaan di Asia. Itu untuk mengimbangi aset yang dimiliki Pakubuwono Group.”
Rere yang berada di meja terpisah bisa menarik nafas lega kali ini karena tidak ada perdebatan yang panjang. Dalam meeting ini, divisi pengembangan usaha dan investasi pun lolos dengan persetujuan Eleanor. Sementara divisi pengendalian usaha bidang agro menjadi divisi yang paling penting karena secara langsung menitik beratkan permasalahan industri sawit membuat Rere was-was karena presentasi mereka selanjutnya.
“Saat ini biodiesel yang kita produksi mempunyai kualitas yang sangat baik dan menjadi salah satu biodiesel yang direkomendasikan. Namun dalam beberapa tahun ke depan tampaknya kita akan mengalami masalah serius jika Uni-Eropa meneken aturan yang berisi pelarangan penggunaan biodesel di negara-negara eropa. Mereka beranggapan bahwa biodiesel tidak cukup ramah lingkungan dan produksinya melibatkan banyak perusakan hutan.”
“Jadi bagaimana? Memangnya kita harus menghentikan produksi? Tidak mungkin kan? Orang-orang Uni-Eropa itu memang sok suci sekali. Memangnya mereka tidak pernah melakukan perusakan hutan.” Salah satu direktur itu menimpali topik presentasi. Eleanor tahu jika orang-orang itu memelihara kebiasaan lama mereka di setiap kesempatan, kebiasaan cari muka. Padahal tanpa mencari muka di depannya, Eleanor sudah tahu siapa yang benar-benar berkerja dan siapa yang hanya pandai menjilat.
“Yah… ini masalah serius. Kita bisa tamat jika biodiesel dilarang.” Sahut yang lain.
“Bagaimana tanggapan Pak Liem? Apakah Pak Liem sedang bertindak? Aku yakin Pak Liem tidak akan tinggal diam bukan?”
Tapi bukannya menjawab. Eleanor yang dimintai pendapat justru diam beberapa saat dan memandang malas kearah mereka. Dia dengan wajah garangnya kemudian hampir menggebrak meja jika saja para direktur itu tidak berhenti mengoceh sendiri.
“Lalu apa gunanya kalian di tempat ini? apakah para direktur dengan jabatannya digaji hanya untuk menjadi komentator?”
Semua terdiam. Bahkan Rere pun sampai harus menahan suara ketikannya. Orang-orang yang menganggap bahwa Eleanor akan puas dengan satu pencapaian saja adalah salah besar. Eleanor tidak mudah dijinakan. Bahkan dia akan terus mengingat kesalahan-kesalahan orang-orang di hadapannya meskipun sudah lampau.
“Sangat menjijikan ketika kalian semua tidak memberi kontribusi yang memuaskan tetapi berani berkomentar. Seharusnya sebelum mempresentasikan sesuatu pastikan kalian memiliki solusi yang bisa diajukan. Aku heran kenapa orang-orang seperti kalian duduk di kursi direksi? Mungkin Pak Han sangat baik hati sehingga lebih banyak memilih orang-orang yang memproklamirkan diri sebagai temannya untuk duduk di kursi direksi. Tapi saya, sebagai presdir yang baru tidak segan memberhentikan tanpa hormat seseorang yang tidak memiliki kemampuan. Jadi pastikan kalian berpikir dua kali sebelum berkomentar.”
Dan dalam beberapa menit ke depan, suasana meeting pagi itu pun berubah mencekam. Eleanor lebih kritis dan tidak mudah menyetujui usulan mereka. Bahkan sesekali dia sesekali terlibat perdebatan dengan direktur umum. Kemampuan Eleanor tidak pernah diragukan tapi kemampuan mengendalikan ego dan emosionalnya diragukan.
“Kamu itu memang tidak bisa ya meninggalkan kebiasaan marah-marah itu sekali saja? Apa salahnya si memuji kemudian mengkritik kinerja mereka dengan halus? Apalagi mereka rata-rata seumuran sama pak Han…” tegur Rere setelah Eleanor meninggalkan ruang rapat dengan sepihak dan kembali ke ruangannya.
Bukan pertamakalinya jika meeting dengan para direktur tidak berjalan mulus dan justru diisi dengan perdebatan yang berujung segala makian kotor yang keluar dari mulut Eleanor.
“Memangnya salah kalau aku marah dengan kinerja mereka? Lagipula aku akan bersyukur jika mereka mengundurkan diri jadi aku bisa mengganti mereka dengan direktur-direktur yang lebih muda dan berotak cemerlang.” Sahut Eleanor sambil mendudukkan tubuhnya di meja kerjanya.
“Jangan begitu dong, ibu Eleanor yang terhormat! Mereka itu sudah berkerja cukup lama di perusahaan ini. Hargai mereka sedikit lah…” Rere sejak tadi berusaha mengekori Eleanor.
“Tapi sayangnya mereka yang tidak pernah menghargaiku jadi bagaimana aku bisa menghargai mereka?” tantang Eleanor, “Apa kamu pikir aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan setelah aku pergi? Lagipula mereka juga yang meremehkanku ketika aku baru masuk perusahaan ini jadi pantas lah kalau mereka membayarnya sekarang.”
Rere mendengus kasar. Ada saja alibi yang diberikan Eleanor. Memang setelah Eleanor pergi, para direktur yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Eleanor itu pun menyumpahi Eleanor dengan kata-kata kasar. Mereka juga berbicara tentang semua keburukan Eleanor yang tidak mereka sukai dalam memimpin perusahaan.
“Jadi intinya kamu balas dendam?”
“Tidak! Aku hanya berusaha mencambuk macan-macan tua itu saja, supaya mereka berkerja dengan maksimal jadi mereka tidak punya waktu untuk mencari muka lagi.”
Kali ini Rere sudah kehabisan akal lagi untuk menasehati Eleanor. Padahal setahu Rere, direktur utama/sekaligus CEO yang lama atau ayah Eleanor sendiri tidak pernah memimpin perusahaannya dengan begitu kejam. Sehingga mereka pun sangat menghormati pak Hans. Tapi Eleanor ini justru lebih mewarisi kepemimpinan dan kegilaan Liem Hok Seeng, paman Eleanor yang sekarang menjabat sebagai presiden komisaris Golden Palm International.Ltd.
***
HS Group building merupakan salah satu banggunan tinggi di Surabaya dengan tiga puluh empat lantai. Sementara ruangan Eleanor sendiri berada di lantai tiga puluh tiga. Ruangan yang sama dengan ruangan yang pernah ditempati ayahnya. Hanya dekorasi ruangan itu yang sedikit diubah. Agaknya selera Eleanor sangat berbeda dengan ayahnya sendiri. Ayah Eleanor atau yang bernama lengkap Handoko Liemsudibyo atau Liem Hong Siaw adalah seorang Budha yang taat sehingga dekorasi ruangan itu pun semula penuh dengan lukisan-lukisan pegunungan Tibet. Sementara Eleanor lebih menyukai sesuatu yang abstrak dan warna monokrom. Satu-satunya yang sama dalam hal selera mereka hanya pengaturan ruangan kerja yang dibuat sesederhana mungkin, sehingga tidak memerlukan banyak furniture atau dekorasi yang tidak berguna.
Banyak yang terkejut ketika Handoko Liemsudibyo memilih pensiun dini dan menyerahkan perusahaannya pada putri sulungnya. Banyak yang menyayangkan karena usia Handoko Liemsudibyo yang masih lima puluh tahun (tidak lebih tua dari kakaknya). Tetapi tidak ada orang yang bisa memprotes keputusan Handoko Liemsudibyo tersebut, bahkan sekalipun itu para direksi yang jauh di dalam hati mereka enggan dipimpin oleh anak muda dengan pengalaman minim seperti Eleanor. Sebab saham terbesar HS Group pun sepenuhnya milik Handoko dan akan menjadi milik Eleanor jika dia meninggal.
“Aku sudah mendapatkan informasi yang kamu inginkan.”
Rere melangkah masuk sembari membawa sebuah amplop berwarna coklat yang kemudian dia letakkan di hadapan Eleanor. Salah satu point yang disukai Eleanor dari Rere adalah dia yang mampu berkerja dengan cepat dan akurat seperti yang dia harapkan. Terbukti ketika Eleanor memintanya mencari informasi tentang kedua orang yang mereka temui di Singapura, tak lebih dari satu minggu Rere pun sudah mendapatkannya.
“Sebenarnya apa sih yang ingin kamu lakukan pada mereka?” tanya Rere sekali lagi. Tapi Eleanor tidak berniat langsung menjawabnya dan lebih memilih membuka isi amplop tersebut.
“Darimana kamu mendapatkan informasi ini?” Eleanor justru bertanya balik.
Salah satu tabiat Eleanor adalah tidak pernah bisa mempercayai orang seratus persen. Meski itu Rere sekalipun. Sehingga dia akan bertanya dari daun hingga akar terlebih dulu.
“Yang pasti dari sumber terpercaya.” Sahut Rere geram.
Ada beberapa dokumen dan foto di dalam amplop tersebut. Semua dibandel menjadi satu sehingga memudahkan Eleanor memeriksanya satu persatu. Tetapi seperti sedang menguji pengetahuan Rere, Eleanor justru menanyakannya pula pada seketarisnya itu.
“Allena Rheanatha?” gumam Eleanor yang masih didengar Rere.
“Yah… dia wanita gila yang merebut sepatumu itu. Ternyata dia adalah model kelas atas dari Surabaya. Pantas saja aku seperti pernah melihatnya! Ternyata selain menjadi runner up Asian Top Model, Allena ini juga membintangi beberapa FTV norak di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Jadi tidak heran namanya juga cukup dikenal.” Penjelasan Rere yang sebenarnya tidak diperlukan karena Eleanor bisa membacanya sendiri di dalam dokumen itu.
“Lalu pria kemeja biru sapire itu? Apa dia yang bernama Jonathan Aldebaran?”
Sudah jelas bukan. Tapi Eleanor justru kembali mengharapkan penjelasan Rere. “Yups… benar sekali! Dia adalah kekasih Allena. Atau aku harus menyebutnya tunangan karena beberapa waktu lalu mereka dikabarkan bertunangan secara diam-diam.”
Eleanor mengambil foto Jonathan dari salah satu bandel kemudian mengamatinya dengan lekat. Ada sedikit hal yang membingungkan yang dirasakan Rere ketika melihat Eleanor yang justru mengamati foto Jonathan dibandingkan dokumen lainnya. Padahal Jonathan ini bisa dibilang tidak bersalah sedikitpun perihal sepatu yang direbut Allena, kekasihnya.
“Jonathan ini adalah seorang pengusaha Startup bernama Bimasakti.com yang berlokasi di Surabaya Timur. Memang sih dia terbilang pendatang baru dalam dunia bisnis digital. Tapi prestasi pribadi yang ditunjukan Jonathan ini sangat mengesankan. Dia bukan hanya lulus dari Stanford University, Jonathan juga pernah berkerja di perusahaan Mc Kinsey dan Alibaba Group sebelum memutuskan mendirikan perusahaan sendiri. Lalu karier bisnisnya sekarang bisa dibilang melejit setelah mendapatkan angel investor. Hebat bukan?”
Penjelasan Rere yang juga tanpa canggung juga memuji subjek yang tengah diamati Eleanor. Sementara Eleanor duduk tenang sambil memikirkannya kembali. Ternyata alasan dia tidak menemukan pria seperti Jonathan adalah karena mereka berada diujung dunia yang berbeda. Bahkan dalam hal pilihan pendidikan, Eleanor berada di benua Eropa tepatnya Inggris sementara Jonathan memilih berada di benua Amerika.
“Lalu bagaimana dengan hubungan mereka berdua?”
Beruntung Rere sudah mempelajari dokumen itu terlebih dahulu. Dan dia pun diberkahi daya ingat yang tinggi sehingga hanya dengan sekali membaca, dia bisa menghafal semua rekam jejak subyek yang sudah dia gali dari beberapa informan terpercaya tersebut.
“Cukup mengesankan sih kalau aku bilang.” komentar Rere, kali ini sengaja memancing rasa penasaran Eleanor. Siapa suruh Eleanor berlaku seperti seorang rektor yang sedang membrondonginya segudang pertanyaan seputar skripsi.
“Jawab saja! Aku tidak meminta pendapat darimu.” Cibir Eleanor.
“Yah… yah… ibu Eleanor yang terhormat! Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama tepatnya sejak SMA. Hanya saja putus nyambung sejak Jonathan menempuh pendidikan di Stanford. Sumber terdekatnya mengatakan bahwa Jonathan adalah pria yang sederhana dan setia dalam hubungan sehingga dia bisa dengan mudah memulai kembali hubungannya dengan Allena setelah menyelesaikan study-nya. Walaupun seperti yang kamu tahu, alasan putus mereka adalah karena orang ketiga. Konyol sekali bukan?”
“Apa yang terdengar konyol menurutmu?”
“Maksudku! Ayolah… ibu Eleanor! Apa bagusnya wanita gila fashion seperti Allena sehingga seorang seperti Jonathan begitu tergila-gila padanya dan mau menjalin hubungan kembali dengan wanita tukang selingkuh itu? Aku yakin kalau bukan karena Allena yang memohon seperti pengemis pasti ada yang salah dengan otak cemerlang si Jonathan ini!”
Eleanor hanya menggeleng-geleng mendengar kometar Rere. Sepertinya bukan hanya Eleanor yang menyimpan dendam pada wanita bernama Allena itu, melainkan juga Rere yang pernah berdebat secara langsung. Bahkan jika Jonathan tidak ada saat itu, Rere dan Allena pasti akan berakhir dengan saling menjambak hanya untuk merebutkan sebuah sepatu.
“Kalau begitu aku juga berhak bukan untuk merebutnya kan? Bagaimanapun dia juga tidak pantas mendapatkan seseorang yang seperti dia…”
“Apa? Aku tidak paham siapa yang kamu maksud!” Rere yang tadi berdiri disamping Eleanor pun mendadak menjadi bingung. Dia bukan tidak mendengar, hanya saja kata-kata yang diucapkan Eleanor terdengar ambigu.
“Kamu ingin merebut kepemilikan agensi model Allena atau perusahaan IT Jonathan? Kalau kamu ingin memiliki keduanya untuk menghancurkan karier dua orang itu, aku sungguh akan memberimu label wanita tidak berperasaan.” Cecar Rere.
Namun Eleanor justru memicingkan mata. “Bukan keduanya, Re!”
“Lalu?”
Eleanor menghentakan foto yang sejak tadi digenggamnya ke hadapan Rere. Bola mata Rere melotot seketika saat mengetahui siapa yang dimaksud Eleanor. “Satu-satunya yang ingin kurebut adalah dia! Menurutmu berapa uang yang harus aku keluarkan untuk mendapatkannya?” ujar Eleanor penuh keyakinan.
Rere pikir dia harus segera membuat jadwal kunjungan psikiater untuk Eleanor. Karena semakin lama, wanita yang terpaut usia tiga tahun dibawahnya tersebut−yang juga telah dianggapnya bukan sekedar atasan−semakin tidak waras dari hari ke hari. Tidak waras bukan dalam artian kehilangan akal sehat, tetapi lebih pada cara berpikirnya yang semakin berbahaya dan menyeramkan. Padahal dia jelas mengenal Eleanor sejak masih remaja. Dan Eleanor yang dulu pun sama sekali berbeda dengan Eleanor yang sekarang. Rere tidak tahu apakah harus mendukung keinginan Eleanor kali ini atau menghentikannya dengan cara halus?
Tidak ada jaminan bahwa seseorang yang dibesarkan dari keluarga harmonis dan bahagia tidak akan memiliki trauma pada pernikahan. Seorang yang lahir di keluarga yang sempurna seperti Eleanor pun bahkan bisa tidak mempercayai cinta sedikitpun, apalagi sebuah komitmen yang disebut pernikahan. Eleanor tidak punya waktu untuk memikirkan pernikahan dalam hidupnya. Karena kebanyakan pernikahan yang dikenalnya tidak lebih dari pernikahan bisnis, atau kalau tidak pernikahan parasite, dimana salah satu belah pihak berusaha mendapatkan keuntungan dari pernikahaan itu. Sungguh Eleanor tidak tertarik jenis pernikahaan apapun di dunianya.Begitu pula dengan pesta pernikahan konyol yang sedang berlangsung itu. Dibandingkan dengan pesta pernikahaan romantis dimana kedua mempelai menunjukan tatapan saling mencintai, pesta itu justru lebih tepat disebut pesta pernikahan bisnis. Banyak relasi dari Jimmy Kwok yang hadir, dibandingkan keluarga atau sahabat dekat Jenny. Tetapi Eleanor juga hampir
“Keberanian untuk mengambil resiko apapun demi mencapai tujuan.”Di sebelah Konservatorium mini halaman rumahnya, ada sebuah sauna dari bambu yang rutin digunakan Eleanor untuk Meditasi atau Yoga. Paling lama setengah jam, tergantung seberapa besar amarah yang sedang dikendalikannya. Tapi terkadang juga bisa sampai berjam-jam, atau lima belas menit saja kalau tidak ada hal apapun yang menganggu mood-nya. Suasana hati Eleanor memang mirip cuaca. Kadang mendung, kadang cerah. Sebentar hujan, lalu tiba-tiba menghangat. Tapi dalam keadaan cerah sekalipun, sikap Eleanor memang tetap kaku seperti itu.Hanya saja Rere tidak tahu apa yang membuat Eleanor mampu menghabiskan dua jam di arena tembak. Pasti moodnya kali ini lebih ekstrim dari yang bisa dikendalikannya dengan Yoga. Olahraga ekstrim itu pun hanya dilakukan Eleanor paling tidak seminggu sekali. Itu juga paling lama tiga puluh menit. Dan jangan ditanya seberapa jago Eleanor menembak. Dari usinya t
“Keluar dari jalur kuno dan menciptakan inovasi.”Dalam sebuah keluarga besar pasti ada seorang pembangka di dalamnya. Atau si bungsu yang merasa terabaikan sehingga melakukan banyak tingkah untuk mendapatkan perhatian. Begitulah William Liemsudibyo. Lahir dengan IQ 150. Setidaknya cukup membuatnya mendapat julukan genius. Saat masih kecil William bercita-cita menjadi dokter, sehingga ayahnya langsung membuatkannya sebuah rumah sakit premium bernama Williemsiom. Namun di tahun terakhir dia kulia kedokteran di NUS, William justru mengundurkan diri. Lalu memutuskan untuk mengambil study robotika di Penysilvania. Tentu saja hal itu menjadi kontroversi besar di keluarganya.Tidak berhenti disana, William bahkan nyaris mengitari separuh dunia untuk menguji kemampuannya sendiri. Setelah menyelesaikan study robotika-nya, William mengambil gelar lain dari universitas yang berbeda-beda, mulai dari Swiss Federal Institute of Technology Zurich jurusan teknik,
Sekilas tentang Haryanto Liemsudibyo atau Liem Sioe Gwan, raja sawit di Indonesia yang telah tutup usia.Haryanto Liemsudibyo lahir dan dibesarkan di Pontianak. Ayahnya seorang Fujian yang kemudian menikah dengan wanita pribumi dan membuka usaha toko kelontong. Setelah dewasa, Haryanto pergi ke jawa untuk melanjutkan kulia. Setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung, dia mencoba berwirausaha kecil-kecilan untuk menambah uang kulianya. Namun tidak disangkah usaha itu cukup berkembang. Di pulau jawa, Haryanto juga bertemu gadis pujaannya yang juga peranakan bernama asli Tan mei hwandan kemudian menikahinya. Dari keluarga istri-nya, Haryanto mulai memiliki banyak koneksi. Dia pun secara tidak langsung mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan usahanya.Dimulai dari usaha dibidang pangan yaitu mendirikan pabrik mie instant, lalu bank hingga kini perkebunan sawit. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 dan ditamb
Afternoon tea di TWG Tea Salon & Boutique setiap weekend, berburu barang-barang branded, pemotretan, wawancara majalah, haha-hihi dengan geng “Canci”, party nightmare alias clubbing adalah sederet kegiatan Allena di ibukota. Dia sudah menjadi bagian dari standart hidup wanita di kota itu. Kehidupan Allena pun terlihat sempurna. Apalagi dengan bergabungnya dia di lingkaran geng wanita-wanita populer itu. Sebut saja Mia Arestya, mantan pemain sinetron yang sekarang menjadi nyonya di keluarga Pramuwidjadja (walaupun dia masih terbilang kalah elegan dengan mertuanya yang mempunyai aset fantastis).Mia adalah ketua geng Canci sekaligus pendirinya. Dia yang menyatukan ketiga anggota lainnya; Jenifer Alison, Alexa Indira dan Allena Rheanatha yang juga berasal dari industri hiburan. Jenifer lebih dulu mengenal Allena
Dalam suatu perusahaan, setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing. Namun kepentingan tersebut harus bersinergi dengan kepentingan bisnis. Begitupula dengan sistem di keluarga besar Eleanor. Semua anggota keluarga memiliki kepentingannya masing-masing. Mereka pun tidak lebih dari orang asing terdekat. Namun satu hal yang pasti bahwa keberadaan mereka harus bersinergi dan saling menguntungkan. Setiap anak dan cucu di keluarganya pun harus membangun dinasti sendiri. Seperti bisnis pamannya di Singapura dan bisnis ayahnya di Indonesia, kelak anak-anak mereka harus bisa membangung ekspansi bisnis di negara lain. Sayangnya dalam hal ini hanya Eleanor yang berada di jalur tersebut. Sepupuh-sepupuhnya memilih keluar dari sistem stakeholder di keluarganya. Begitupula dengan ayah Eleanor kini.“Papa mau pergi?” tanya perempuan itu ketika bertemu ayahnya di koridor lantai dua. Handoko, sosok berkacamata bingkai hitam itu menghentikan lan
Ini mimisan yang ketiga kalinya dalam minggu ini untuk Jonathan. Dia terlihat seperti pria lemah jika sudah seperti ini. Ryan bahkan sering menggodanya karena kelemahannya tersebut. karena biarpun badan Jonathan termasuk cetakan gym dengan otot bisep yang lebih besar dari milik Ryan. Namun jika memang sudah lelah, tubuhnya tidak bisa dikompromi. Dia akan langsung mimisan seperti hari ini.Selama sebulan ini memang sangat berat untuk bisnis Jonathan. Belum selesai masalahnya dengan para hacker yang mencoba meretas data perusahaannya, dia justru mendapat masalah lain yang lebih serius. Kehilangan investor terbesar perusahaannya, yaitu Jimmy Kwok. Proyek baru yang awalnya akan berjalan sukses dan mendapat dukungan penuh dari semua pihak kini akan lumpuh total jika dia tidak segera menemukan alternatif.Jonathan juga tidak mengerti mengapa perusahan start up seperti Bimasakti harus menerima serangan begitu hebat. Patner bisnisnya; Jimmy Kwok yang tiba-tiba menarik investas
Untuk pertamakalinya dia tertarik pada seorang pria biasa yang tidak berasal dari kalangannya. Pria berkulit eksotis yang mempunyai sorot mata tajam sekaligus sendu, tidak begitu menarik untuk orang-orang dari lingkungannya dan sangat beresiko jika dia mendekatinya. Hari itu Eleanor melihatnya diantara orang-orang mulia yang rajin mendonasikan kekayaannya untuk menyelamatkan satwa sekaligus harga diri mereka. Laki-laki itu terlihat tidak nyaman tetapi garis rahangnya yang kaku itu tetap dipaksakan untuk tersenyum ramah. Tidakkah dia terlihat seperti kucing yang tersesat. Sosok Jonathan bahkan tidak bisa melebur diantara mereka. Dia terlalu menonjol. Begitu juga dengan sikapnya yang kentara dengan masalah yang dialaminya.Dari balkon VVIP, Eleanor terus mengamati sosok Jonathan hingga tanpa sadar rahangnya mengeras. Dia tidak suka dengan apa yang dilakukan Jonathan di tempat itu. Jonathan terlalu berharga untuk jatuh dalam kubangan orang-orang munafik yang datang
Atas permintaan Jonathan acara pernikahan itu pun digelar secara sederhana. Pemberkatan yang digelar di salah satu gereja di Surabaya Barat hanya dihadiri oleh keluarga. Di salah satu gereja elit dengan bangunan bernuansa putih dan berlantai marmer, lukisan-lukisan kisah kristus di langit-langitnya serta deretan tempat duduk jemaat yang dihiasi pita-pita cantik, juga bunga-bunga segar; camelia, mawar, ponny hingga krisan itu Eleanor dan Jonathan berdiri berdampingan menghadap sang pastor untuk mengucapkan janji pernikahan. Eleanor dengan gaun brokat satin putih berlengan panjang dengan potongan dada rendah serta tundung transparan yang menutupi wajahnya terlihat tenang dan anggun saat mengucapkan janji pernikahan dengan bimbingan sang pastor. Sementara Jonathan dengan setelan tuxendo hitam dan sarung tangan putih tampak memandang lurus ke depan seolah memikirkan sesuatu. Di barisan depan kursi jemaat duduk Liem Hok dengan wajah masamnya lalu ayah Eleanor dengan pandangan mata berkaca-
“Ada hal yang harus kita bicarakan!” Saat pesan itu masuk ke ponselnya, Jonathan sudah bisa menebak hal apa yang akan mereka bicarakan. Sehingga dia langsung memutar mobilnya dan mengambil jalur tercepat menuju HS Group Building. Jam kerjanya fleksibel jadi dia akan memberitahu Ryan untuk memulai briefing tanpanya. Sebenarnya ini adalah hari pertamanya kembali berkerja setelah mengambil cuti panjang. Tidak terbayang banyaknya perkerjaan yang harus diselesaikannya nanti. Meskipun selama masa cutinya baik dia maupun Ryan tetap terhubung dengan perkerjaan mereka. Sesampainya disana Jonathan segera mencari tempat parkir. Meski sudah beberapa kali menginjakkan kakinya di tempat itu, entah kenapa dia masih sering merasa terintimidasi saat memandang bangunan tinggi di hadapannya. Jonathan pun terdiam begitu saja disana setelah keluar dari mobilnya. Butuh beberapa saat baginya untuk menetralkan pikirannya sebelum menghadapi Eleanor. Letak kesalahan itu memang ada pada diri Jonathan. Baik yan
Bahagia itu bukan hanya perkara memiliki sesuatu. Tapi melepaskan juga bisa menjadi awal dari bahagia. Hanya saja melepaskan memang terkadang lebih sulit dari pada mengejar sesuatu yang diinginkannya. Jadi Jonathan tidak bisa menyalahkan Allena sepenuhnya atas apa yang terjadi tempo hari. Allena berada dalam keterpurukan karena sesuatu hal yang Jonathan belum pahami. Mungkin karena kekasih baru Allena yang pernah dilihat Jonathan telah meninggalkan perempuan itu entah kemana, atau barangkali mereka hanya sedang menggunakan istilah “break” dalam hubungan mereka seperti yang pernah Allena katakan pada Jonathan. Tapi apapun itu perasaan Allena pada Jonathan malam itu pasti hanya bersifat temporal. Dan ketika Allena tidak lagi merasa kesepian, dia pasti akan mencampakkan Jonathan lagi. Atau mereka akan sering bertengkar lagi karena kebiasan Jonathan yang gila kerja. Jadi Jonathan telah memutuskan tidak ingin lagi terjebak perasaan lam
Rere berjingit saat Eleanor menyumpit potongan tumis pare dan kemudian memakannya. Tidak peduli apakah sayuran pahit itu sudah direndam dalam air garam atau tidak sebelum memasaknya, rasa pahit pare tidak akan hilang sepenuhnya. Tetap ada rasa pahit yang tertinggal. Rere pun tidak habis pikir dengan selera makan Eleanor. Orang-orang berduit di luar sana menghabiskan waktu makan siang mereka dengan makanan enak dan mewah yang dimasak oleh chef di restaurant terkenal sambil menikmati pemandangan indah. Tapi Eleanor justru menikmati tumis pare, nasi putih, ikan kukus, sup kaldu jamur bening dan hidangan pencuci mulut berupa pudding buah untuk makan siangnya. Ditambah Eleanor harus melakukan perjalanan bolak-balik dari kantor ke rumahnya lalu ke kantor lagi hanya untuk makan siang itu.Hari ini Rere tiba dengan penerbangan pertama dan dia langsung menemui Eleanor yang sedang menikmati makan siang di rumahnya. Eleanor ternyata sudah kembali dari Perth sejak beberapa
Saat memutuskan bertunangan, dia dan Jonathan sepakat dalam satu hal. Bahwa cinta tidak begitu diperlukan dalam hubungan pernikahan mereka. Ada banyak orang-orang di lingkarannya yang memutuskan menikah dengan alasan seperti kepentingan bisnis, mengamankan aset, mengembangkan koneksi, mendapatkan status hingga balas budi. Sementara cinta hanyalah salah satu dari beberapa syarat yang jarang dipertimbangkan. Sebab syarat yang paling penting biasanya hanya menyangkut seperti latar belakang keluarga, harta, karier, pendidikan, kepribadian, penampilan dan kelayakannya. Cinta sendiri ada dalam daftar paling terakhir, atau lebih tepatnya tidak begitu penting. Mereka yang menikah karena cinta adalah orang-orang yang beruntung. Di sebuah bungalow tepi pantai Eleanor menyesap aroma penfolds grange shiraz. Sementara lidahnya mulai terbiasa dengan rasa sepat dan pahit dari kombinasi oak leather, vanilla, kakao, tobacco yang seimbang dan diakhiri fruit bomb
“Aku akan membantumu setelah acara pertunangan kita.” dengan nada bicara yang terdengar dingin Eleanor menyanggupi permintaan Jonathan. Sehingga acara pertunangan itu pun berjalan seperti yang seharusnya terjadi.Pasific Rim adalah restaurant yang menyajikan makanan tradisional asia dengan dekorasi dan patern ala Tibet. Berlantai marmer dengan nuansa yang kental dengan warna black & gold di sekelilingnya. Juga pemandangan jendela yang mengarah langsung ke lautan lepas. Semua meja di tempat itu telah terisi penuh oleh tamu undangan dan kerabat Eleanor. Peralatan makan mewah dengan serbet putih, chop stick serta gelas sampanye juga tertata rapi di hadapan mereka. Beberapa waiters pun tampak menyajikan hidangan pembuka.Acara pertunangan sendiri baru dimulai ketika Eleanor dan Jonathan memasuki tempat itu. Best Man yang tak lain adalah Ryan memberikan kontak cincin yang dipercayakan padanya untuk kemudian disem
Semua telah disiapkan sedemikian rupa. Bahkan untuk setelan tuxendo yang dikenakan Jonathan di acara pertunangannya nanti malam. Setelan itu sudah ada di suite-nya sejak tadi pagi, masih rapi dan terbungkus. Jonathan tidak menyentuhnya sama sekali, tidak pula berniat mencobanya untuk mengetahui apakah setelan itu sesuai ukurannya atau tidak. Orang lain mungkin berpikir bahwa dia merasa gugup karena acara pertunangan itu. Sehingga dia sampai meng-skip sarapan dan makan siangnya hari ini, lalu memilih tetap berada di dalam suite-nya. Namun bukan itu alasan perubahan diri Jonathan. Acara pertunangan itu tidak sedikitpun membuatnya gugup. Malahan dia nyaris lupa jika hari pertunangannya dengan Eleanor telah tiba dan dia pun terjebak di sebuah hotel berjalan yang letaknya ribuan mil dari tempatnya berasal.Jonathan memandangi setelan itu sejenak, menghelaikan napasnya lalu kembali memeriksa ponselnya. Kapal pesiar itu sedang transit di pel
Cukup merepotkan sebenarnya jika harus mengadakan pesta pertunangan di atas kapal pesiar. Mereka harus terbang ke Singapura, menginap di hotel beberapa waktu sembari menunggu jadwal pelayaran. Namun tidak ada yang sulit dilakukan selama Liem Hok yang memutuskan. Kapal pesiar mewah Seven Sea itu akan melakukan perjalanan selama 14 hari dari Singapura menuju melintasi beberapa pelabuhan di negara-negara seperti Thailand, Cambodia, Vietnam, Philippines, sebelum sampai di Hongkong. Dan Liem Hok-lah yang membiayai perjalanan serratus lima puluh tamu undangan di kapal pesiar itu, termasuk keluarga dan kerabatnya. Semua dilakukannya seolah–olah demi pesta pertunangan keponakan kesayangannya, Eleanor Liemsudibyo. Meski yang dilihat Eleanor sendiri justru tidak demikian rupa.Untuk orang seperti pamannya, Eleanor memahami bahwa dia tidak perlu berbicara lantang untuk menolak atau menentang sesuatu. Karena bagi Liem Hok uang-lah yang dapat menggantikan
Tak pernah Eleanor merasa sesulit ini bertemu pamannya. Dan baru pertama kalinya pula dia diperlakukan seperti ini oleh pamannya. Padahal sudah tiga hari sejak Eleanor tiba di Hongkong, menginap di salah satu apartemen keluarganya hanya sekedar menunggu Liem Hok memiliki waktu untuk menemuinya. Sudah berkali-kali juga dia menanyakan agenda pamannya pada sang sekretaris, tapi jawaban yang didapatnya tetap bahwa Liem Hok sedang sibuk hingga akhir pekan. Bahkan ketika Eleanor nekat mendatangi kediaman pamannya pun dia tetap tidak bisa bertemu dengan pamannya. Selalu ada alasan bagi Liem Hok untuk mengulur-ulur waktu Eleanor. Dan hal itu semakin menguatkan keyakinan Eleanor bahwa Liem Hok sudah mengetahui semua. Sekarang dia pun hanya bisa bergantung pada perjanjian yang dibuatnya dengan William.“Oke… aku akan tanda tangan. Tapi dengan satu syarat. Aku mau kamu membiarkan Rere berkerja denganku setelah kamu menikah dengan Jonathan. Bagaimana?”